saling memberikan perlindungan investasi. Kegiatan sosialisasi ini akan memaparkan kebijakan, peraturan, ketentuan, dan prosedur investasi. Dari sudut pandang investor,
Persetujuan Investasi ASEAN – China memberikan berbagai manfaat nyata seperti:
61
1. jaminan perlakuan yang sama untuk penanam modal asal China ataupun ASEAN antara lain dalam hal manajemen, operasi, likuidasi;
2. pedoman yang jelas mengenai ekspropriasi, kompensasi kerugian dan transfer serta repatriasi keuntungan;
3. kesetaraan untuk perlindungan investasi dalam hal prosedur hukum dan administratif. Apabila terjadi sengketa yang muncul antar investor dan salah satu
pihak, persetujuan ini memberikan mekanisme penyelesaian yang spesifik disamping adanya kesepakatan semua pihak untuk terus berupaya menjamin
perlakuan yang sama atau non-diskriminatif.
3. Tujuan ACFTA
Pasar bebas yang dibangun oleh negara-negara di suatu kawasan bertujuan:
62
a. Memperbesar pasar dan meningkatkan perdagangan.
b. Menghilangkan hambatan perdagangan, membentuk spesialisasi dan
meningkatkan efisiensi ekonomi. c.
Meningkatkan prospek investasi d.
Memberikan konsumen pilihan produk yang lebih baik dan lebih murah.
61
Ibid.
62
Noviansyah Manap, dalam Martin Khor, ibid., hlm 210.
Universitas Sumatera Utara
Kesepakatan ACFTA yang merupakan salah satu bentuk perdagangan bebas juga memiliki beberapa kerangka tujuan yang tidak berbeda jauh dari tujuan normatif
pembentukan kawasan perdagangan tersebut, yang intinya adalah peningkatan perekonomian di antara ASEAN dan China. Tujuan kerjasama ACFTA tersebut
antara lain: a.
Memperkuat dan meningkatkan perdagangan ASEAN-China; b.
Liberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan dan penghapusan tarif;
c. Mencari area baru dan pengembangan kerjasama ekonomi yang saling
menguntungkan, serta; d.
Mempermudah integrasi ekonomi yang lebih efektif antar negara-negara baru anggota ASEAN dan menjembetani gap diantara ASEAN dan China. Terjadinya
liberalisasi perdagangan antara ASEAN dan China memudahkan perpindahan barang antara dua pihak tersebut.
63
4. Prinsip-Prinsip Perdagangan ACFTA
Profesor Aleksander Goldštajn, seorang sarjana hukum perdagangan internasional memperkenalkan prinsip-prinsip dasar fundamental principles dalam
hukum perdagangan internasional. Prinsip-prinsip dasar tersebut, yaitu:
64
63
Khairil Muslim dan Arie Heraldin Hutama, “Dua Sisi ACFTA”, http:bacaekon.com201104dua-sisi-acfta?wpmp_switcher=mobile, diakses tanggal 24 Mei 2011.
64
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
a. Prinsip Kebebasan Para Pihak dalam berkontrak the principle of the freedom of
contract. Prinsip ini merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional.
Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang. Kebebasan ini tidak boleh
bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain- lain sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.
65
b. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Prinsip ini mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan itikad baik.
66
c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase.
67
Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam perdagangan internasional menghendaki perlakuan tarif yang sama atas setiap produk baik terhadap produk
impor maupun produk domestik. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.
Selain prinsip-prinsip dasar tersebut, prinsip-prinsip perdagangan yang juga dianut dalam ACFTA adalah Prinsip-prinsip perdagangan yang terdapat dalam
ketentuan WTOGATT. Prinsip kerjasama tersebut meliputi:
65
Ibid.
66
Ibid., hlm. 16.
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Most Favoured Nation MFN
Prinsip MFN ini berisi ketentuan bahwa suatu negara memberikan perlakuan yang istimewa kepada negara mitra dagangnya dan hendaklah juga memberikan
perlakuan yang sama istimewanya kepada negara-negara lain yang melakukan transaksi perdagangan dengan negara bersangkutan. Perlakuan yang sama itu harus
tercermin dalam tarif impor, pajak ekspor, dan pungutan lain. Prinsip tersebut bertujuan agar semangat perdagangan bebas menjadi meluas sehingga manfaat yang
timbul dari perdagangan bebas itu dapat dinikmati oleh seluruh negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional. Selain itu, Prinsip tersebut juga
bertujuan agar negara-negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional lebih mengutamakan sistem multilateral yang bersifat kooperatif dari pada
pembentukan aliansi bilateral dalam sistem perdagangan internasional.
68
Dalam ACFTA hal ini diatur dalam Pasal 9 Keppres Nomor 48 Tahun 2004 yaitu “China
harus menyetujui perlakuan MFN yang konsisten dengan peraturan dan persetujuan WTO terhadap seluruh pihak ASEAN yang bukan pihak WTO pada tanggal
persetujuan ini ditandatangani.”
69
2. National Treatment
Memberikan perlakuan sama terhadap produk-produk impor baik barang maupun jasa, dengan produk sejenis di dalam negeri. Prinsip ini merupakan
pencerminan dari pembatasan kedaulatan negara. Hal ini sering diperjanjikan dalam
68
R. Hendra Halwani, op.cit., hlm. 302.
69
Pasal 9 Keppres No.48 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
rangka mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dengan kepentingan Internasional yang sering bertentangan. Tujuan prinsip ini adalah untuk
menciptakan harmonisasi perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif di pasar domestik, sebab pasar domestik tidak terlepas dari pasar
internasional suatu negara yang menginginkan barangnya laku di negara lain.
70
Dalam prinsip National Treatment ini terlihat konsep ekonomi liberal yaitu adanya peraturan yang membatasi campur tangan pemerintah dalam pasar
perdagangan domestik, agar semua produk beredar dapat bersaing wajar. Namun, prinsip ini hanya mungkin terlaksana secara adil di negara-negara yang sudah kuat
ekonominya. Sebab biasanya suatu negara yang masih kurang kuat ekonominya dan kedaulatannya lebih sulit mengakui prinsip ini dari pada negara yang ekonominya
sudah kuat. Berdasarkan hal tersebut tampak jelas bahwa prinsip ini sesungguhnya adalah untuk melindungi barang-barang impor. Hal ini tentu saja menyulitkan
kedudukan daya saing barang-barang buatan dalam negeri di negara berkembang, karena harga produksi barang-barang yang diimpor.
71
Prinsip ini juga terdapat dalam ACFTA yaitu pada pasal 3 angka 6 Keppres No.48 Tahun 2004. Ini berarti dalam ACFTA, pemerintah tidak boleh lebih
mengistimewakan produk dalam negeri daripada produk impor yang dalam hal ini
70
Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Persaingan Usaha Industri Kecil di Era Pasar Bebas, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Persaingan Usaha Industri Kecil di Era Pasar Bebas,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan HAM RI, 2004, hlm. 12.
71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
adalah produk dari China beredar di masyarakat serta produk dari negara-negara anggota ASEAN lainnya.
3. Transparansi Transparency
Bersikap terbukatransparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya. Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan implementasi ACFTA, maka pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikasikan kebijakan tersebut sehingga
negara anggota ACFTA dapat mengetahuinya. Prinsip transparansi ini terlihat dalam Pasal 1 ayat b Keppres No. 48 Tahun 2004 yaitu; “meliberalisasikan secara
progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu rezim investasi yang transparan, liberal dan mudah.”
72
Selain itu prinsip ini juga tertuang dalam Pasal 3 angka 8 f Keppres No. 48 Tahun 2004 yang menyatakan;
“safeguard didasarkan pada prinsip-prinsip GATT, termasuk, tapi tidak terbatas, pada elemen-elemen berikut ini: transparansi, cakupan, kriteria obyektif untuk aksi,
termasuk konsep kerugian yang serius atau ancaman, dan keadaan yang sementara”
73
serta dalam Pasal 5 b Keppres No. 48 Tahun 2004 yaitu “memperkuat kerjasama investasi, mempermudah investasi dan meningkatkan transparansi dari peraturan dan
regulasi investasi;
74
.
72
Pasal 1 b Keppres No. 48 Tahun 2004.
73
Pasal 3 angka 8 f Keppres No. 48 Tahun 2004.
74
Pasal 5 b Keppres No.48 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
4. Mutual Benefit Saling menguntungkan antar negara anggota. Prinsip ini juga terdapat dalam
ACFTA sebagaimana perjanjian dagang internasional lainnya. Ini berarti dalam kerjasama ACFTA perdagangan bebas yang dilakukan antara Indonesia dan China
haruslah saling menguntungkan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat e dan f Keppres Nomor 48 Tahun 2004 yaitu:
”ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk menanggulangi bidang-bidang yang sensitive dalam sektor-sektor barang, jasa dan
investasi dimana fleksibilitas akan dinegosiasikan dan disepakati bersama berdasarkan prinsip timbal balik dan saling menguntungkan”
75
, dan dalam Pasal 2 f Keppres No. 48 Tahun 2004 yang menyatakan; “pembentukan langkah-langkah
fasilitas perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tapi tidak terbatas pada, penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan
yang saling menguntungkan”.
76
B. ACFTA dalam Perspektif Hukum
Anzilotti, seorang ahli hukum internasional Italia menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional adalah karena prinsip mendasar yang disebut
pacta sunt servanda. Menurut prinsip ini, negara terikat untuk melaksanakan dengan itikad baiknya kewajiban-kewajiban yang dipikulnya sesuai dengan perjanjian
75
Pasal 2 e Keppres No. 48 Tahun 2004.
76
Pasal 2 f UU No. 48 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
tersebut.
77
Pada saat perjanjian tersebut berlaku, maka harus juga diberlakukan oleh negara-negara pihak dengan itikad baik.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 1 Statuta Mahkamah Internasional bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional.
78
Oleh karena itu, negara sebagai subyek hukum internasional berkewajiban untuk melaksanakannya.
Dalam hukum internasional, di dalam bahasa Inggris dikenal beberapa bentuk dari perjanjian internasional, diantaranya yaitu; treaty, convention, agreement,
arrangement, declaration, charter, covenant, statute, protocol, pact, process verbal, modus Vivendi, act, final act, general act.
79
ACFTA jelas merupakan salah satu bentuk Agreement atau yang dalam bahasa Indonesianya disebut sebagai
“Perjanjian”. Istilah “perjanjian internasional” adalah istilah yang secara khusus digunakan
dalam bahasa hukum Indonesia, yang menurut artinya dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah dalam arti generik, yaitu suatu istilah yang
dimaksudkan untuk mencakup segala bentuk, jenis, atau macam perjanjian internasional. Dan golongan yang kedua adalah dalam arti spesifik, yaitu istilah
perjanjian internasional yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang jika ditinjau dari segi substansinya berkenaan dengan masalah yang tergolong penting dan besar
77
Sumaryo Suryokusumo, loc. cit., hlm. 41.
78
Pasal 38 angka 1 Statuta Mahkamah Internasional.
79
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
baik bilateral maupun multilateral, baik yang berisi kaidah hukum yang khusus berlaku antara para pihak saja, maupun yang membentuk kaidah hukum yang berlaku
umum atau bersifat terbuka, sedangkan untuk perjanjian yang substansi tergolong kurang penting atau lebih bersifat teknis, digunakan istilah “persetujuan”.
80
Berdasarkan hal ini, tampak bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara persetujuan dan perjanjian internasional, dalam hal ini ACFTA dikategorikan
sebagai perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000 dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri yang memiliki perbedaan defenisi dengan versi Konvensi Wina 1969, menyebutkan “Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk
dan sebutan, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”
81
Selain itu dilihat dari ruang lingkupnya, ACFTA merupakan suatu bentuk perjanjian internasional regional atau kawasan, yang dalam hal ini kesepakatan
diantara negara-negara yang tergabung dalam organisasi internasional. Perjanjian internasional regional adalah perjanjian internasional yang ruang lingkup berlakunya
terbatas pada suatu kawasan tertentu saja. ini berarti, perjanjian tersebut mengikat
80
Ibid., hlm. 33
81
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 128.
Universitas Sumatera Utara
negara-negara yang berada dalam suatu kawasan, yang sekaligus menunjukkan ciri regionalnya.
82
Pengaturan perdagangan regional regional trading arrangements di mana suatu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintangan-
rintangan terhadap impor dari sesama anggotanya, telah berlangsung di beberapa region dunia, seperti ME sekarang European Union dengan konsep pasar
tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya, dan lain-lain. GATT, dalam Pasal XXIV, mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui pengelompokan-
pengelompokan demikian itu sebagai suatu pengecualian dari aturan umum klausul MFN.
83
Dengan demikian, integrasi regional seperti itu harus berfungsi sebagai pelengkap bagi sistem perdagangan multilateral, dan bukan sebagai ancaman
terhadapnya. Pengelompokan-pengelompokan regional menurut Pasal XXIV dapat berupa
custom union atau free trade area. Dalam dua bentuk pengelompokan tersebut bea duties dan rintangan-rintangan lain terhadap semua perdagangan di antara negara-
negara dalam kelompok tersebut harus dihilangkan. Dalam suatu free trade area,
82
Ibid., hlm. 49.
83
Prinsip MFN dalam WTO menghendaki setiap anggota memberikan perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagangnya. Akan tetapi sejak WTO mengalami kemandekan dalam
perundingannya, hal ini mendorong negara-negara anggota untuk membentuk kawasan perdagangan regional untuk mengembangkan perdagangan mereka, bahkan perdagangan regional ini diperbolehkan
oleh WTO sebagaimana diatur dalam Artikel XXIV GATT. Pasal ini mensyaratkan dibolehkannya negara-negara anggota WTO untuk membentuk organisasi ekonomi regional dengan syarat bahwa
organisasi regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi negara ketiga. Dalam hal inilah tampak pengecualian dari prinsip MFN, sebab pada dasarnya prinsip MFN justru bertentangan dengan
pengaturan GATTWTO dalam Artikel XXIV yang memperbolehkan negara-negara anggota untuk membentuk organisasi regional tersebut. Hal ini dikarenakan dalam perdagangan regional, yang justru
terjadi adalah adanya rintangan pada negara diluar keanggotaan organisasi regional tersebut.
Universitas Sumatera Utara
setiap anggota tetap menjalankan kebijaksanaan perdagangan eksternalnya, termasuk tarif, terhadap non anggota.
84
Persetujuan ACFTA berlaku di Indonesia setelah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama
Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China.
Dasar hukum pembuatan Perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional di Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24
tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional, memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut
dengan itikad baik. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ratifikasi perjanjian ACFTA tersebut
sah secara hukum? Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan undang-undang.
Sesuai dengan amanah UUD 1945 tersebut maka terbitlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka, dasar hukum penandatanganan
dan pemberlakuan Perjanjian ACFTA mengacu ke Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tersebut.
84
Huala Adolf dan A. Candrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, loc. cit., hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 4 b menyebutkan “Dalam pembuatan perjanjian internasional,
Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.”
85
Dengan demikian itu ratifikasi ACFTA juga harus memperhatikan kepentingan nasional. Jika diperhatikan penandatangan ACFTA oleh pemerintah
tampak kurang memperhatikan kepentingan nasional. Menurut penulis seharusnya pemerintah dapat mempertimbangkan secara matang apakah dengan kondisi
perekonomian dan industri tanah air serta berbagai faktor lainnya termasuk infra struktur yang masih sangat minim serta cadangan energi yang juga sangat minim
Indonesia dapat bersaing dalam ACFTA. Meskipun demikian persetujuan ACFTA tersebut sah menurut hukum positif di Indonesia apabila diperhatikan dari pembuatan
dan pengesahannya. Mengenai pengesahan terhadap Perjanjian Internasional dalam pasal 10
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
86
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
85
Pasal 4 b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
86
Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman danatau hibah luar negeri.
Selanjutnya dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak
termasuk materi sebagaimana dimaksud pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.”
87
Berdasarkan kedua pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tersebut maka tampak bahwa ratifikasi ACFTA sesungguhnya sah secara hukum
sebab ACFTA diratifikasi melalui Keppres yaitu Keppres Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh
Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China.
Selain itu, dengan diundang-undangkannya Piagam ASEAN oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 memiliki arti yang penting dalam
menyangkut kekuatan berlakunya ACFTA di Indonesia. Setiap kesepakatan yang dibuat ASEAN termasuk semua perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan
Negara lain juga akan berlaku untuk Indonesia. Hal ini tentunya akan semakin menambah efek negatif bagi pertumbuhan industri dalam negeri dan kehidupan dunia
usaha di Indonesia. Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf n Piagam ASEAN mengatur prinsip
pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan
87
Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
perdagangan ASEAN itu harus sama homogen. Pasal itu menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar
kawasan.
88
C. Posisi Indonesia dalam ACFTA
Perdagangan bebas menyatukan dunia dalam distribusi barang. Tidak ada diskriminasi antara barang impor dengan produk domestik. Sebelum penerapan
perdagangan bebas, barang impor akan dikenai pungutan negara berupa bea masuk. Pengenaan bea masuk ini menjadikan barang impor mengalami kenaikan harga.
ACFTA yang merupakan persetujuan antara negara-negara anggota ASEAN dan China merupakan kesepakatan yang bersifat regional. Oleh karena itu, dengan
ikut menandatangani kesepakatan tersebut, maka Indonesia terikat dalam sebuah perjanjian internasional yang tentunya harus dilaksanakan. Meskipun, ternyata dalam
implementasinya telah memberikan dampak yang tidak baik bagi beberapa sektor industri nasional.
89
Indonesia semestinya lebih matang mempertimbangkan keputusan untuk menyetujui kesepakatan ACFTA tersebut yaitu pada tahun 2002 yang lalu saat
88
Salamuddin Daeng dikutip dalam Administrator, “UU Ratiifikasi Piagam ASEAN Diuji ke MK”, http:hukumonline.comberitabacalt4dc2cf078aa3euu-ratifikasi-piagam-asean-diuji-ke-mk-,
diakses tanggal 26 Mei 2011.
89
Dampak negatif dalam pelaksanaan ACFTA yang dimaksud adalah terhadap sektor-sektor industri yang tidak mampu bersaing dengan produk China. Sektor-sektor industri tersebut khusnya
adalah bidang sektor industri manufaktur atau sektor non migas. Hal ini disebabkan karena produk impor China memiliki similaritas dengan produk industri nasional sehingga dengan membanjirnya
produk impor China yang lebih murah daripada produk industri nasional mengakibatkan produk industri nasional kalah bersaing bahkan untuk pasar domestik.
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan tersebut ditandatangani. Sebab pada kenyataannya China adalah pemain global yang sangat kuat saat ini. Ditengah dunia digempur krisis keuangan global,
China justru mengalami kelebihan devisa yang luar biasa yang diperoleh dari surplus perdagangannya. Tahun-tahun kedepan China akan mengalami surplus perdagangan
yang lebih besar lagi khususnya terhadap ASEAN dan Indonesia. Diperkirakan angka impor Indonesia akan mencapai 104,038 miliar dollar AS
dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya sebesar 68,6 miliar dollar AS. Sebab pada tahun 2004 hingga tahun 2008 neraca perdagangan tumbuh negatif dengan rata-rata
pertumbuhan -17,96 dimana sektor manufaktur berkontribusi paling besar terhadap defisit tersebut dengan pertumbuhan -11,69. Sedangkan pertumbuhan ekspor rata-
rata hanya mencapai 17,18, berada jauh dibawah rata-rata pertumbuhan impor yang mencapai 25,83. Hal ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara net
importer.
90
Adapun faktor yang menjadi keunggulan Indonesia dalam ACFTA adalah ekspor yang berbasis kepada sumber daya alam dan bukan produk manufaktur.
Sebaliknya, China sangat unggul dalam ekspor produk olahan dan barang jadi. Berdasarkan hal ini, tampak bahwa ACFTA merupakan ancaman bagi industri
manufaktur di Indonesia sebab produk impor China yang masuk ke Indonesia memiliki similaritas dengan produk hasil industri dalam negeri.
90
Rully Indrawan, Percepatan Reformasi Birokrasi Dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa Di Era ACFTA, disampaikanpada pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II
Angkatan XXVIII, LAN, 14 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
Jika dicermati, kedudukan Indonesia dalam kesepakatan ACFTA bila dilihat dari dalam pertumbuhan industri bahkan ketahanan terhadap dampak negatif
pemberlakuan ACFTA tidaklah pada posisi yang kuat. Bahkan lebih lemah dibanding dengan negara-negara tetangga Indonesia sendiri seperti Singapura, Malaysia,
Filiphina bahkan Thailand. Dalam kerangka ACFTA, terlihat bahwa industri dalam negeri khusnya sektor
manufaktur dirugikan sebab tidak memiliki daya saing.
91
Pelaksanaan ACFTA sejak satu tahun yang lalu memperlihatkan ketidaksiapan Indonesia dalam pemberlakuan
ACFTA ini.
D. Aspek Hukum Perlindungan Industri Dalam Negeri dalam Kerangka
ACFTA
Semangat yang dimiliki Indonesia dan negara berkembang lainnya dalam mengikutsertakan dirinya dalam WTO sebagai organisasi perdagangan dunia
didasarkan antara lain oleh harapan untuk mendorong terciptanya perdagangan dunia yang bebas dari hambatan secara menyeluruh. Berdasarkan hal tersebut, tanpa adanya
perjanjian yang mengikat secara multilateral, dalam keadaan dan juga kenyataan bahwa semua negara di dunia menerapkan berbagai macam kebijakan untuk
91
Kerugian industri nasional akibat implementasi ACFTA tampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Institute for Global Justice. Menurut hasil penelitian Institute for Global Justice,
sepanjang tahun 2006-2008 tercatat 1.650 industri nasional mengalami kebangkrutan akibat tidak mampu bersaing dengan produk impor China dan sebanyak 140.584 tenaga kerja terpaksa kehilangan
pekerjaan karena perusahaan gulung tikar, lihat. Administrator, “Minta ACFTA Distop Untuk Sementara”, http:bataviase.co.idnode644345, diakses tanggal 22 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
melindungi negaranya masing-masing dari gejolak pasar dunia sampai saat ini, tatanan perdagangan yang tanpa distorsi mustahil tercapai.
92
Dalam hal ini negara berkembang menyadari bahwa tingkat kematangan ekonomi dan pertumbuhan pembangunan antar negara anggota tidaklah sama.
Berkaitan dengan hal ini, berbagai pasal dan ayat dalam dokumen perundingan, mengakui adanya perbedaan antar negara sehingga negara berkembang sebetulnya
berhak mendapatkan berbagai pengecualian-pengecualian. Ini tampak dalam Pasal XXXVI GATT 1994 ayat 3 yang menyebutkan perlunya upaya-upaya positif yang
ditujukan untuk menjamin negara berkembang mendapat bagian yang pasti dalam pertumbuhan perdagangan internasional bersamaan dengan pembangunan
perekonomian.
93
Hal inilah yang melatarbelakangi pengaturan mekanisme perlindungan industri dalam negeri dalam ketentuan GATTWTO.
Dengan perkiraan jumlah penduduk yang mencapai 1,7 miliar jiwa, secara populasi ACFTA merupakan FTA terbesar di dunia. Indonesia sebagai salah satu
negara anggota ASEAN dengan penduduk paling besar tentu akan menjadi sasaran utama bagi ekspansiperluasan produk-produk China. Terlebih dengan meningkatnya
proteksionisme pada sejumlah negara-negara mitra dagang utama China, Amerika Serikat, Jepang dan Eropa, Rusia serta beberapa negara lain, mengakibatkan volume
92
Budiman Hutabarat dan Bambang Rahmanto, “Aturan Dan Mekanisme Perlindungan Terhadap Dampak Liberaslisasi Perdagangan Untuk Siapa?”,
http:pse.litbang.deptan.go.idindpdffilesFAE25-1e.pdf, diakses tanggal 22 Juni 2011.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perdagangan China mengalami kemerosotan. ACFTA menjadi momentum bagus bagi China mengembalikan surplus perdagangan luar negerinya.
94
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ACFTA merupakan salah satu produk kapitalisme. Maka, sesungguhnya kesepakatan tersebut juga sama dengan
perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang lebih mengakomodir kepentingan pihak yang kuat, yaitu negara- negara maju yang dalam hal ini adalah
negara China, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darusalam. Sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya, pihak
yang lemah cenderung dirugikan akibat dampak negatif dari pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas tersebut. Berkaitan dengan pemberlakuan ACFTA di
Indonesia, tampak jelas bahwa industri dalam negeri semakin terpuruk akibat membanjirnya produk China. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan bagi
industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA. Berdasarkan hal tersebut, konsep perlindungan yang dimaksud disini adalah
menyangkut perlindungan hukum yang diberikan negara dalam melindungi industri dalam negerinya dari dampak negatif pelaksanaan kesepakatan ACFTA.
Pengaturan hukum mengenai perlindungan industri dalam negeri dalam ACFTA diatur dalam Article 3 8 f and g Trade In Goods Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation Beetween the Association of South Asian Nations and the People’s Republic of China yang diratifikasi dalam Keppres Nomor
94
Edy Burmansyah, “ACFTA dan Perlindungan Industri Nasional-Bagian 1”, http:www.theglobal-review.comcontent_detail.php?lang=idid=1568type=4, diakses tanggal 24
April 2011.
Universitas Sumatera Utara
48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
Dan Republik Rakyat China, Pasal 3 angka 8 f. Tindakan-tindakan dalam upaya perlindungan hukum yang diperbolehkan bagi industri dalam negeri tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Safeguard Pengamanan Perdagangan.
Ketentuan mengenai tindakan Safeguard ini disebutkan dalam Article 3 8 f Trade In Goods Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
Beetween the Association of South Asian Nations and the People’s Republic of China sebagaimana diratifikasi melalui Keppres No. 48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan
Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China, pasal
3 angka 8 f yang tetap mengacu pada prinsip GATT. Safeguard ini merupakan bentuk perlindungan terhadap industri dalam negeri yang mengalami kerugian atau
ancaman kerugian yang disebabkan oleh meningkatnya impor dengan membatasi barang-barang impor yang impornya mengalami peningkatan. Tindakan Safeguard
dimaksudkan untuk menghindari keadaan, dimana anggota WTO menghadapi suatu dilema antara membiarkan pasar dalam negeri mereka yang sangat terganggu oleh
barang impor atau menarik diri dari kesepakatan.
95
95
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia KPPI, Perlindungan Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard Wold Trade Organization, Jakarta: KPPI, 2005, hlm 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan mengenai pengaturan safeguard di Indonesia ada dalam Keppres Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari
Akibat Lonjakan Impor Safeguard. Tindakan penyelamatan safeguard dilakukan lebih ke arah penyelidikan pada
peningkatan impor secara umum yang terjadi dalam periode dan keadaan tertentu. Peningkatan impor yang dimaksud terjadi dalam praktek perdagangan yang fair atau
dalam persaingan yang normal. Apabila terbukti kuat bahwa terjadinya lonjakan impor
96
dari barang terselidik telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri, maka tindakan pengamanan sementara
dapat dikenakan.
97
Berdasarkan ketentuan internasional, artikel XIX GATT 1994 dan Safeguard Agreement SA, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi dalam penentuan
peningkatan impor yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan safeguard. Pertama, peningkatan impor yang terjadi harus disebabkan oleh adanya
perkembangan yang tidak diperkirakan sebelumnya sebagai akibat dari tindakan memenuhi kewajiban internasional dalam rangka liberalisasi perdagangan. Kedua,
96
Lonjakan impor yang dimaksud dalam hal ini adalah peningkatan impor yang tajam dan sangat signifikan serta menimbulkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri. Pada
dasarnya tidak semua peningkatan impor yang terjadi dapat dikenakan safeguard. Peningkatan impor yang dapat dikenakan safeguard adalah peningkatan impor yang terbukti memiliki hubungan kausalitas
dengan ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri tersebut. Faktor-faktor untuk menilai kerugian tersebut diatur dalam Artikel 4.2 a SA, yang meliputi jumlah dan prosentase peningkatan
impor barang yang diselidiki secara absolute dan relatif; pangsa pasar yang direbut oleh meningkatnya barang impor; tingkat perubahan dari penjualan, produksi, produktivitas, penggunaan kapasitas, untung
dan rugi, dan tenaga kerja. Lebih lanjut lihat dalam Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia KPPI, Ibid., hlm. 16.
97
Ramziati, Pengamanan Perdagangan Dalam Negeri Safeguard Dalam Teori Dan Praktek, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006, hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
peningkatan impor tersebut mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri. Dalam artikel 2.1 SA terdapat pedoman dalam
mengidentifikasi peningkatan impor, yaitu bahwa barang impor yang masuk dalam wilayah kepabeanan suatu negara meningkat dalam jumlah secara absolut dan
relatif
98
dibanding dengan produksi dalam negeri serta mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri yang menghasilkan barang yang
serupa atau secara langsung tersaingi oleh barang impor tersebut.
99
Berkaitan dengan persyaratan untuk menunjukkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam artikel 2.1 SA dapat terpenuhi, yaitu khususnya tingkat dan jumlah
peningkatan impor secara absolut dan relatif dan berapa besar pangsa pasar dalam negeri yang direbut oleh peningkatan impor tersebut.
100
Penentuan kerugian serius” meliputi pembuktian bahwa terjadinya peningkatan impor barang tertentu mengakibatkan kerugian serius atau ancaman
kerugian serius bagi industri dalam negeri yang menghasilkan barang serupa atau secara langsung tersaingi dengan barang impor tersebut. Pembuktian ini merupakan
persyaratan utama dalam melakukan tindakan safeguards.
101
Dalam safeguard, “kerugian serius” ditunjukkan oleh menurunnya secara keseluruhan indikator kinerja
98
Peningkatan impor secara absolut misalnya, dalam ton atau satuan ukur lainnya sedangkan perbandingan secara relatif terhadap produksi dalam negeri atas barang serupa atau barang
yang secara langsung tersaingi. Berdasarkan Artikel 2.1 SA, ketentuan absolut dan relatif merupakan persyaratan yang bersifat alternatif, ini berarti untuk menetukan peningkatan impor cukup dipenuhi
salah satunya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penentuan peningkatan impor adalah ketentuan tentang kuantitas yang menjadi fokus bahasan, bukan dalam bentuk nilai. Lihat dalam KPPI, op.cit.,
hlm. 10-11.
99
Ibid., hlm. 5.
100
Ibid., hlm. 6.
101
Ibid., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
industri dalam negeri. Sedangkan “ancaman kerugian serius” yang dimaksud adalah terjadinya ancaman nyata dalam waktu dekat yang perlu segera dilakukan tindakan
perlindungan terhadap industri dalam negeri.
102
Selanjutnya, untuk mengidentifikasi kerugian serius
103
atau ancaman kerugian serius langkah-langkah yang dilakukan yaitu Pertama, mengidentifikasi barang yang
diproduksi di dalam negeri yang “serupa” atau “secara langsung tersaingi” dengan barang impor yang diselidiki. Kedua, mengidentifikasi industri dalam negeri yang
memproduksi barang tersebut, dan ketiga, mengkaji secara menyeluruh penurunan yang signifikan atas kinerja industri dalam negeri.
104
Artikel 4.1 c SA memberikan dua kriteria untuk mengidentifikasikan “industri dalam negeri” yang terkait. Pertama, industri dalam negeri didefenisikan
sebagai produsen yang menghasilkan barang tertentu yang serupa atau “secara langsung tersaingi” dengan barang impor yang diselidiki. Kedua, dalam pengkajian
kerugian serius dapat dilakukan evaluasi terhadap seluruh atau sebagian besar dari industri dalam negeri.
105
Berkaitan dengan penentuan kondisi kerugian serius yang dialami industri dalam negeri, ada 10 sepuluh indikator yang menjadi penilaian KPPI terhadap
102
Ramziati, op.cit., hlm. 39.
103
Article 4.2 a SA mengatur tentang petunjuk dalam penilaian kerugian yang didasarkan berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh dari berbagai faktor terkait secara objektif dan terukur yang
dihadapi oleh industri dalam negeri atau sering disebut sebagai “faktor-faktor kerugian”. Faktor-faktor tersebut meliputi pertama, jumlah dan prosentase peningkatan impor barang yang diselidiki secara
absolut dan relatif; kedua, pangsa pasar yang direbut oleh meningkatnya barang impor tersebut; ketiga, tingkat perubahan dari penjualan, keempat, produksi, kelima, produktivitas, keenam, penggunaan
kapasitas, ketujuh, untung rugi, dan kedelapan tenaga kerja. lihat dalam Ramziati, ibid., hlm. 40.
104
Ibid.
105
KPPI, op.cit., hlm. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
kinerja perusahaan yang mengajukan permohonan penyelidikan tindakan safeguard, yaitu: volume dan nilai produksi, penggunaan kapasitas produksi, pangsa pasar,
penjualan, produktivitas, keuntungan dan kerugian, tenaga kerja, besarnya kapasitas ekspor barang di negara yang dituduh, serta kemungkinan impor akan mengalami
kenaikan.
106
Dalam penerapan safeguard di Indonesia, tindakan pengamanan harus memenuhi persyaratan seperti diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 8, serta Pasal
11 Keppres Nomor 84 tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor.
Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tersebut mengatur penentuan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri
akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh faktor-faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri dimaksud, yang
meliputi:
107
a. tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung
bersaing; b. pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik;
dan
106
Djoko Mulyono “Prosedur Permohonan Penyelidikan Safeguard”, dalam Ramziati, ibid., hlm. 45.
107
Budi Nugroho, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
c. perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
Apabila dalam suatu hasil penyelidikan menunjukkan tidak ada hubungan sebab-akibat bahwa peningkatan impor mengakibatkan kerugian serius, maka
tindakan pengamanan sementara dihentikan dan bea masuk yang telah dipungut dikembalikan secepatnya, sejak dikeluarkan keputusan menteri keuangan mengenai
pencabutan bea masuk. Akan tetapi, jika terbukti telah terjadi kerugian serius akibat lonjakan impor, maka tindakan pengamanan ditetapkan dalam bentuk kuota tidak
boleh lebih kecil dari data impor rata-rata dalam tiga tahun terakhir.
108
Dalam penegakkan ketentuan safeguard di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah institusi yang dibentuk pemerintah yaitu KPPI Komite Pengamanan
Perdagangan Indonesia. Komite ini merupakan institusi pemerintah yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
84MPPKep2003 tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia.
109
Sejak China bergabung dengan WTO, ketentuan mengenai safeguard sebagaimana terdapat dalam bagian 16 dari Protocol Aksesi China yang dikenal
dengan ketentuan China Safeguard secara khusus diatur dalam WTO. Sejatinya, ketentuan ini lahir sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan kerugian impor
yang akan dialami negara-negara anggota WTO dengan masuknya China sebagai anggota. China Safeguard dapat diterapkan khusus terhadap produk impor dari China
108
Ramziati, loc.cit., hlm 57-58.
109
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, Dan Tindakan pengamanan Safeguard Dalam GATT Dan WTO, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 159.
Universitas Sumatera Utara
yang mengakibatkan kerugian materiil terhadap industri domestik. China Safeguard merupakan opsi strategi pengamanan perdagangan yang efektif untuk diterapkan oleh
negara-negara anggota WTO apabila penyebab dari kerugian industri adalah akibat impor produk China.
110
Apabila dibandingkan, maka kriteria penerapan China Safeguard lebih ringan daripada penerapan Safeguard secara umum dalam WTO. Safeguard secara umum
mensyaratkan adanya kerugian serius sementara China Safeguard hanya mensyaratkan kerugian materiil yang berakibat gangguan terhadap pasar market
disruption. Gangguan terhadap pasar dilihat dari tiga kondisi yaitu peningkatan impor produk China baik secara absolut maupun relatif, adanya kerugian materil atau
ancaman akan kerugian materil dari industri domestik, dan peningkatan impor merupakan penyebab signifikan dari kerugian materiil atau ancaman kerugian
materiil tersebut.
111
Akan tetapi China Safeguard ini hanya dapat diterapkan dalam jangka 12 tahun sejak tangal terhitung China masuk ke WTO. Ini berarti mekanisme
safeguard khusus ini hanya dapat digunakan hingga tahun 2013 saja. Setelah lewat 12 tahun dari tanggal bergabungnya China ke WTO, maka China Safeguard tidak
berlaku lagi, sehingga perlakuan terhadap produk China akan sama dengan negara- negara anggota WTO lainnya.
110
Feitty Eucharisti, “Strategi Hukum atas Gagalnya Renegosiasi ACFTA: Safeguard Khusus Produk
Cina”, http:www.jatnika.comindex.php?option=com_contentview=articleid=59Itemid=63, diakses
tanggal 7 Juli 2011.
111
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Antidumping