Faktor-Faktor Penyebab Terpuruknya Industri dalam Negeri dalam

tahun 2010 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja PHK. Jumlah penganggur kian bertambah. 180

E. Faktor-Faktor Penyebab Terpuruknya Industri dalam Negeri dalam

ACFTA Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesifikasi produksi komoditas yang diunggulkan masing-masing negara tersebut. Namun, fakta lain dari perdagangan bebas tersebut bahwa perdagangan bebas juga dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah elsploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri lokal, keamanan barang menjadi lebih rendah dan sebagainya. Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif. 181 Umumnya perusahaan besar terutama yang berasal dari negara maju telah menguasai seluruh level perekonomian dari hulu hingga hilir, dapat meliputi perbankanjasa keuangan, eksploitasi sumber bahan mentah, manufaktur, 180 Djimanto dalam Administrator, “Produk China Di Setiap Lini”, http:trijayanews.com201104produk-china-di-setiap-lini, diakses tanggal 4 Juni 2011. 181 Firman mutakin dan Aziza Ragmaniar Salam, loc. cit. Universitas Sumatera Utara perdagangan hingga pada tingkat ritel. Ditambah lagi dukungan negara secara langsung dalam membiayai investasi luar negeri dari perusahaan-perusahaan tersebut akan meningkatkan kemampuan kompetisi mereka. 182 Dengan penurunan tarif hingga 0 tersebut, maka kehancuran industri dalam negeri sudah pasti akan terjadi, terutama pada sektor-sektor industri dengan modal kecil dan teknologi rendah industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, industri komponen manufaktur otomotif, jasa engineering juga beberapa sektor yang menggunakan teknologi tinggi seperti, petrokimia, elektronik, industri permesinan, besi dan baja. 183 Kehancuran industri dalam negeri ini terutama disebabkan, pondasi Industri Nasional yang memang rapuh, dimana landasan utama pembangunan industri nasional bukanlah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan mengandalkan kekayaan alam baik yang di darat maupun di laut. Sampai dengan hari ini, teknologi yang digunakan oleh industri nasional sebagian besar adalah teknologi impor, bahkan persentasenya mencapai 92 37 persen dari Jepang, 27 dari negara-negara Eropa, 9 dari Amerika Serikat, 9 dari Taiwan, 4 dari China, 3 persen dari Korea Selatan, 2 persen dari India, dan 1 persen 182 Administrator, “Menggugat Perjanjian Kerjasama ASEAN-China”, http:www.igj.or.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=385Itemid+193_ftn4, diakses tanggal 24 April 2011. 183 Budi Wardoyo, “Haruskah “Perdagangan Bebas?” Ada Alternatif lain Diluar Sistem Kapitalisme dan Perdagangan Bebas Ala Kapitalis”, http:saepudinonline.wordpress.com20110322haruskah-E2809Cperdagangan- bebasE2809D, diakses tanggal 14 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara dari Thailand. Dengan kata lain, selama puluhan tahun tidak terjadi proses alih teknologi. Hampir semua bahan baku untuk industri nasional juga harus diimpor, misalnya untuk industri makanan dan minuman, bahan baku gula rafinasi gula dengan standar industri makanan dan minuman masih impor dengan persentase 100. Untuk industri elektronik, 30 bahan bakunya masih harus diimpor, dan 90 bahan baku industri farmasi nasional juga masih impor, bahkan 60,5 bahan untuk tempe dan tahu pun masih diimpor. Situasi industri nasional tersebut semakin diperparah dengan kurangnya modal, akibat kredit perbankan nasional yang masih terlalu tinggi menetapkan suku bunga kredit, yang berkisar antara 11-13, sementara bunga deposito sekitar 7 ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi modal yang paling liberal, sehingga arus keluar masuk modal lebih banyak pada spekulasi saham maupun obligasi, dan bukan pada sektor real industri. Masalah lainnya yang juga membuat industri nasional semakin tidak berkembang adalah masalah infrastruktur yang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan dengan Malasya. Studi Asia Foundation dan Bank Dunia pada April tahun 2007 mencatat, biaya transportasi di Indonesia adalah US 34 sen per kilometer, sedangkan di Malaysia hanya US 22 sen per kilometer. Masalah buruknya infrastruktur ini, seperti transportasi jalan, baik dari lokasi bahan baku ke Universitas Sumatera Utara pabrik, atau dari lokasi produksi ke kota-kota tujuan pemasaran menyebabkan ongkos transportasi di Indonesia sangat mahal. 184 Hal tersebut semakin diperparah dengan persoalan banyaknya pungutan- pungutan liar yang ikut membebani industri nasional, bahkan meningkatkan biaya produksi hingga 40. 185 Hal lain adalah inefisiensi dalam proses perizinan yaitu terlalu banyak meja yang harus dilewati, terlalu lama dan ketidakpastian waktu perizinan. Hal ini menimbulkan peningkatan biaya produksi sehingga harga produk industri dalam negeri, bahkan untuk pasar dalam negeri sendiri lebih mahal daripada produk impor. Faktor lain yang juga menyebabkan terpuruknya industri dalam negeri dalam implementasi ACFTA ini adalah, sikap masyarakat Indonesia sebagai konsumen yang lebih menyukai produk impor China daripada produk industri dalam negeri. Hal ini disebabkan karena efisiensi biaya yang lebih murah yang diperoleh oleh konsumen, walaupun banyak diantara produk impor tersebut memiliki kualitas yang lebih rendah dari pada produk industri dalam negeri, konsumen cenderung tetap memilih produk China dari pada produk industri dalam negeri. Sekilas memang masyarakat diuntungkan karena mendapatkan barang-barang dengan harga murah, mulai dari produk makanan hingga elektronik, namun pada saat yang bersamaan sebagian industri dalam negeri akan bangkrut atau setidak-tidaknya mengalami penurunan produksi terutama pada industri yang mengandalkan 184 Ibid. 185 Ibid. Universitas Sumatera Utara pemasaran produknya di dalam negeri seperti: industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, industri permesinan, jasa engineering, besi dan baja, serta industri komponen manufaktur otomotif. Jika tidak ada upaya yang serius untuk menata ulang industri nasional, maka kekhawatiran bahwa industri nasional akan semakin terdegradasi dalam perekonomian nasional. Bahkan kondisi deindustrialisasi hanya menunggu waktu dialami oleh Indonesia seiring semakin luasnya pemberlakuan ACFTA terlebih dengan akan menyusulnya realisasi perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang telah disetujui oleh pemerintah. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sikap pesimis bahwa produk- produk industri nasional akan menjadi the losers untuk bersaing dengan produk industri impor dari China, diantaranya yaitu: 186 1 Kecenderungan yang terjadi, semakin meningkatnya similarity index dari produk ekspor industri nasional dengan produk ekspor industri China ini berarti bahwa struktur perdagangan diantara China-Indonesia bersifat subtitusi daripada komplemeter, permberlakuan ACFTA akan membuat produk industri nasional harus head to head bersaing dengan produk industri China. 2 Perhitungan terhadap Tenaga kerja sebagai proksi produktivitas, menunjukkan bahwa terdapat gap produktivitas tenaga kerja Indonesia dengan produktivitas tenaga kerja China yang semakin melebar. Pada tahun 1996, produktivitas tenaga 186 Latief Adam, loc. cit. Universitas Sumatera Utara kerja Indonesia adalah 70,1 dari produktivitas tenaga kerja China, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi 65,4. 3 Pemerintah China memiliki rencana aksi action plan yang cukup jelas jika dibandingkan dengan pemerintah Indonesia untuk menata sektor industrinya. Misalnya, China menyediakan dana yang cukup besar untuk embantu industri andalan ekspornya seperti indsutri TPT untuk melakukan restrukturasi permesinan sehingga permesinan industri China sangat efisien dan memiliki produktivitas tinggi bahkan mampu menghemat energi 17 lebih rendah dari permesinan yang digunakan industri TPT Indonesia. 4 Pemerintah China memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menciptakan lingkungan yang pro bisnis yang tentunya sangat kontras bila dibandingakan dengan Indonesia. Selain melakukan reformasi birokrasi, menegakkan law enforcement, dan menciptakan stabilitas ekonomi makro. Pemerintah China juga mengalokasikan anggaran yang cukup signifikan untuk membangun dan menjaga kualitas infrastruktur. Dalam hal ini, budget infrastruktur sebagai rsio terhadap PDB China selalu berada di kisaran 7,5-10. Sangat berbeda dengan Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir alokasi anggaran infrastruktur yang dialokasikan pemerintah relatif sangat kecil bahkan cenderung terus menurun dari 3,7 pada tahun 1999, 3,6 pada tahun 2003, 2,9 pada tahun 2008, dan hanya 1,5 pada tahun 2009. Tampak jelas ini merupakan penyebab pendapat yang menyatakan bahwa infrastruktur menjadi salah satu kendala serius yang dihadapi negara Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saingnya. Selain itu Universitas Sumatera Utara persoalan rumitnya birokrasi dalam perizinanan juga masih menjadi persoalan yang mempersulit pelaku usaha di tanah air. 5 Terdapat beberapa BUMN yang menguasai industri hulu, seperti Pertamina dan PLN, tidak beroperasi secara efisien. Hal ini berlanjut dengan pemberian harga jual yang tinggi bagi produkjasa yang dihasilkannya kepada industri dalam negeri. 6 Otoritas moneter di China mampu mendorong perbankan bekerja secara efisien sehingga mampu menyediakan kredit murah. Bunga kredit yang ditawarkan perbankan China ada di kisaran 5-6, jauh lebih rendah daripada bunga kredit yang ditawarkan perbankan Indonesia yang masih berada di kisaran 11-13. Tingginya bunga kredit yang harus dihadapi perusahaan industri dalam negeri menyebabkan pelaku usaha industri dalam negeri mengeluarkan biaya modal 8 lebih tinggi dari biaya modal yang harus di bayar perusahaan China di China. Dalam Road Map Pembangunan Ekonomi Indonesia tahun 2009 – 2014 tampak bahwa industri manufaktur memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dari PDB Produk Domestik Bruto sejak tahun 2005. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan industri tersebut semakin rendah sejak pemberlakuan ACFTA. Ada pun yang menjadi kendala bagi sektor industri manufaktur untuk berkembang adalah persoalan-persoalan yang secara umum bersifat generik dan berpengaruh terhadap efisiensi dan daya saing seluruh sektor dalam perekonomian. Karena industri manufaktur merupakan trade sector, maka penurunan daya saing sangat berpengaruh Universitas Sumatera Utara pada pertumbuhannya. Adapun yang menjadi kendala bagi industri manufaktur tersebut sehingga tidak mampu tumbuh dengan optimal adalah: 1. Kendala Internal, yang terdiri dari: a Struktur industri yang sangat rapuh. b Industri dasar yang belum berkembang. c Industri berteknologi belum berkembang. d Kapasitas produksi belum optimal. e Ketergantungan pada pesanan di negara tujuan ekspor. 2 Kendala Eksternal, yaitu ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan non fisik yang kurang memadai. 187 Dengan bangkrutnya sebagian industri dalam negeri, maka jumlah penganguran akan meningkat, sehingga pada akhirnya tekanan peningkatan pengangguran yang meningkat berkali lipat ini, akan menyebabkan kesejahteraan kaum buruh yang masih bekerja akan menurun.

F. Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri dari dalam