Alasan Pemerintah Menyetujui ACFTA

Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan Indonesia adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China. China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding Indonesia. dengan upah tenaga kerja yang hampir sama, buruh China bekerja lebih efesien, ulet dan telaten serta keahlian yang lebih memadai. Berdasarkan laporan The Global Competitiveseness Report 2009-2010, efesiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 133 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 75 jauh di bawah China. Dengan diberlakukannya ACFTA ini, hubungan dagang khususnya ekspor China semakin surplus karena China memiliki kekuatan ekonomi serta stabilitas negara yang sangat mendukung negara tersebut, sementara Indonesia semakin defisit dalam ekspor khususnya produk industri manufaktur, terlebih dengan semakin membanjirnya tidak hanya produk China melainkan juga produk-produk industri negara ASEAN lainnya yang juga terikat dalam ACFTA, produk-produk industri dalam negeri bahkan mungkin tidak dapat menjadi raja atas pasar dalam negeri. Dengan demikian tampak bahwa dalam perkembangan hubungan dagang antara China dan Indonesia lebih menguntungkan China.

C. Alasan Pemerintah Menyetujui ACFTA

Merundingkan suatu FTA adalah kegiatan yang serius karena hasilnya bisa menimbulkan dampak besar bagi kebijakan pembangunan dan dampak ekonomi, Universitas Sumatera Utara sosial serta bagi pembangunan. Walaupun mungkin bisa memicu peningkatan ekspor, FTA juga bisa: 154 a Meningkatkan impor, dengan dampak pada neraca perdagangan serta posisi hutang; b Memfasilitasi ledakan impor ketika tarif diturunkan atau dihapus, dan ini bisa mempunyai dampak buruk bagi industri dan pertanian lokal; c Mengurangi pendapatan negara dari tarif, sehingga menimbulkan dampak pada anggaran pemerintah; d Menghambat, bahkan dalam beberapa kasus menghilangkan ruang kebijakan atau pilihan dan instrumen yang tersedia bagi suatu negara untuk menjalankan kebijakan ekonomi, sosial dan pembangunan tertentu. Berdasarkan hal tersebut hal yang dapat dilihat adalah globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang begitu besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas ini, baik negara maju maupun sedang berkembang, bahkan negara yang terbelakang sekalipun harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Berdasarkan hal tersebut, sebuah negara perlu mempunyai 2 dua hal penting, yaitu: 155 154 Martin Khor, loc. cit., hlm. 202. 155 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1. Sebuah kerangka kebijakan pembangunan nasional yang terdiri dari strategi pembangunan nasional yang terdiri dari strategi pembangunan menyeluruh, dengan rencana nasional sektoral untuk pertanian, industri, dan jasa, serta rencana berbasis isu kebijakan tentang investasi asing, partisipasi lokal, kekayaan intelektual, dan lain-lain. 2. Perlu ada sebuah kerangka untuk mengkaji untung rugi atau manfaat dan biaya dari FTA. Kajian tersebut bisa mencakup berbagai komponen, usulan serta ketentuan di dalam FTA, dan keseimbangan secara keseluruhan. Manfaat dan biaya dapat dikaji dalam hal keuntungan dan kerugian dalam kerangka perdagangan misalnya peningkatan ekspor dan impor, keuntungan dan kerugian dalam hal lapangan pekerjaan, dampak pada tingkat ruang dan kebijakan dan fleksibilitas yang tersedia bagi suatu negara akibat FTA, dampak sosial yaitu akses terhadap kesehatan, pengetahuan , ketahanan pangan dan lain-lain, serta dampak pada alih teknologi. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya pemerintah kurang matang dalam mengkaji apakah Indonesia siap melaksanakan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas khususnya dalam hal ini adalah ACFTA. Kesepakatan ACFTA merupakan salah satu kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Kebijakan perdagangan bebas ACFTA merupakan suatu kebijakan yang digagas pemerintah Indonesia berdasarkan pada kesepakatan bersama semua anggota ASEAN guna menarik investasi dan memajukan sektor perdagangan di negara-negara ASEAN. Kebijakan perdagangan bebas ini, dirumuskan oleh negara-negara anggota ASEAN yang meliputi Indonesia, Universitas Sumatera Utara Thailand, Malaysa, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam dengan China terkait dengan isu globalisasi. 156 Ada 3 tiga alasan utama mengapa pemerintah mengambil kesepakatan ACFTA, yakni: 157 1. Penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China dilihat membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. 2. Penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. 3. Peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan pembangunan kapasitas, transfer teknologi dan transfer kemampuan managerial. Namun demikian, terdapat indikasi yang kuat bahwa pemerintah tidak mempersiapkan diri secara matang untuk meraih peluang positif dari pemberlakuan ACFTA. Ini tercermin salah satunya dari ketidakmampuan pemerintah mendorong peningkatan daya saing, yang sebenarnya merupakan prasyarat utama untuk dapat meraih manfaat dari pemberlakuan ACFTA tersebut. 156 Restu Rahmawati, “Kebijakan Perdagangan Bebas ASEAN-China ACFTA: Mencari Pelajaran dari Sebuah Kebijakan”, http:resturahmawati.blogspot.com201104normal-0-false-false- false-inx-none-x.html, diakses tanggal 14 Mei 2011. 157 Santhi Margaretha, “China-ASEAN Free Trade Area CAFTA CAFTA: JAngan Sampai Indonesia Jadi Korban Perdagangan Bebas Cina”, http:www.theglobal- review.comcontent_detail.php?lang=idid=1226type=4, diakses tanggal 24 April 2011. Universitas Sumatera Utara Perdagangan bebas memang seakan-akan menawarkan solusi terbaik bagi permasalahan ekonomi, namun konsep perdagangan bebas mengharuskan sebuah persaingan sempurna dan di dalam persaingan sempurna, negara dengan modal dasar yang besar akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang, dan mempunyai pilihan-pilihan akses terhadap kapital, informasi, pendidikan dan hubungan relasi yang lebih banyak dari pada negara dengan modal kecil. 158 Indonesia telah menandatangani banyak perjanjian dagang bebas bilateral maupun multilateral, termasuk dengan Korea Selatan 2007, Jepang 2007, Australia dan Selandia Baru 2009, India 2009, dan China 2010. Semua perjanjian perdagangan bebas ini dapat membawa baik kesempatan dan ancaman pada ekonomi nasional. 159 Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat dan terkait dengan beban keuangan negara harus melalui persetujuan wakil rakyat. Penjelasan Pasal 2 Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa perjanjian internasional dapat dibatalkan atas permintaan DPR. Amanat konstitusi dengan jelas menyinggung akibat luas dan mendasar terkait dengan kepentingan nasional. Pengertian kepentingan seperti yang tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang RJPJ 158 Ibid. 159 Bagus Arya Wirapati dan Niken Astria Sakina Kusumawardhani, “Apakah ACFTA Merupakan Strategi yang Tepat Untuk penuntasan Kemiskinan yang Berkesinambungan?: Bukti dari Penurunan Tingkat Simpanan” ,http:www.bi.go.idNRrdonlyres8E17FA47-1493-4B36-91ED- C16248D031F521626BAWirapati.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara mendefenisikan bahwa rakyat sebagai subjek, bukan objek. Atas dasar itu, legitimasi publik tentang hajat hidupnya adalah kewenangan mereka yang tidak boleh secara sewenang-wenang didikte oleh penguasa. 160 Kebijakan pemerintah menyetujui ACFTA tersebut tidak memperhitungkan dengan matang apakah produk industri dalam negeri telah siap untuk bersaing dengan produk impor bukan hanya dari China tetapi juga dari negara ASEAN lainnya. Akibat pemberlakuan ACFTA, sebagian industri nasional mati secara perlahan-lahan akibat penurunan produksi dalam negeri bahkan ada sekitar 1650 seribu enam ratus lima puluh industri nasional yang bangkrut sejak tahun 2006 hingga tahun 2008. Kerjasama perdagangan bebas itu juga menyebabkan penurunan penjualan, keuntungan, hingga pengurangan tenaga kerja. 161 Ada 9 Sembilan sektor industri yang terkena dampak negatif ACFTA. Dampak itu ditandai dengan menurunnya produksi, penjualan, keuntungan hingga pengurangan tenaga kerja. Kesembilan sektor tersebut antara lain adalah industri tekstil dan produk tekstil TPT, industri alas kaki sepatu, industri elektronik, industri mebel kayu dan rotan, industri mainan anak, industri permesinan, industri besi dan baja, industri makanan dan minuman, serta industri jamu dan kosmetik. Penurunan produksi yang terjadi tersebut sebesar 25-50, penurunan penjualan di 160 Mukhamad Misbakhun, “Cacat Hukum AC-FTA”, http:bataviase.co.iddetailberita- 10556542.html, diakses tanggal 5 Mei 2011. 161 Administrator, “Hentikan Perdagangan Bebas ACFTA”, http:www.igj.or.idindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=525, diakses tanggal 29 Juli 2011. Universitas Sumatera Utara pasar domestik sebesar 10-25, hingga pengurangan tenaga kerja sebesar 10- 25. 162 Bahkan, pada industri permesinan, juga alas kaki dan tekstil, sejumlah industri beralih menjadi produsen perakitan, pengemasan, ataupun distributor. Industri- industri tersebut tidak lagi memproduksi. Akibatnya, ribuan tenaga kerja terpaksa menganggur. 163

D. Dampak Pelaksanaan ACFTA Bagi Indonesia