BAB I PENDAHULUAN
A. .................................................................................................................
La tar Belakang
Dunia sekarang sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi. Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang
lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan
berlangsung terus dengan laju yang semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan
masyarakat dunia.
1
Sangat jelas bahwa era globalisasi ekonomi ini ditandai dengan adanya keterbukaan, keterkaitan dan juga persaingan yang semakin ketat dalam masyarakat
internasional khususnya di bidang ekonomi. Gejala globalisasi ini terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian
mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi tersebut telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan
menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usahabisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.
2
1
Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 1.
2
R Hendra Halwani, Ekonomi Internasional Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 224.
Universitas Sumatera Utara
Selama ini setiap negara pada umumnya meyakini bahwa tidak satu pun negara di dunia yang dapat mengisolasi diri dari proses globalisasi. Dengan demikian
penerapan perdagangan dan investasi bebas adalah pilihan baik yang harus dilaksanakan. Namun kenyataan menunjukkan lain, di mana hasil studi membuktikan
bahwa manfaat yang lahir dari penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi tidak sama bagi setiap bangsa.
3
Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan dalam liberalisasi perdagangan sebab negara maju memiliki keunggulan
dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi yang tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya.
Sangat jelas, bahwa negara berkembang adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi perdagangan ini.
Negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara sehingga negara berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang
sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea masuk atas produk dan jasa dari negara maju di negara berkembang.
4
Negara-negara industri tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke
negara sedang berkembang. Karena itu, dalam waktu bersamaan, globalisasi akan melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara ke dalam kelas baru berdasarkan
kemampuan ekonomi. Dengan demikian tampak bahwa globalisasi juga akan melahirkan jurang antara yang kaya dengan yang miskin kian lebar, baik antara
3
Ibid, hlm. 228.
4
Mamnun Laidu, “Dampak Liberalisasi Perdagangan bagi Pelaku Bisnis Indonesia”, http:www.baubaupos.compage.php?kat=10id_berita=1104, diakses tanggal 13 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
negara yang satu dengan lainnya maupun internal individu sesama warga negara di negara tersebut.
Dalam memasuki era perdagangan bebas ini, Indonesia sudah harus memiliki persiapan yang mantap untuk menghadapi pengaruh yang timbul pada perekonomian
dan atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi sebagai pranata hukum yang berisikan kebijakan
untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.
5
Berkaitan dengan ini, aturan yang berlaku di tingkat internasional menegaskan tentang kedaulatan negara sebagaimana tertuang dalam Charter of Economic Rights
and Duties of State. Article 2 1 Resolusi ini menyebutkan “Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and
disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.
6
Berdasarkan aturan hukum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk menentukan kebijakan ekonominya termasuk kebijakan perdagangan yang bersifat
proteksionis. Namun demikian, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, yaitu dalam rangka memberikan kesempatan kepada negara yang bersangkutan untuk
mempersiapkan diri menghadapi resiko liberalisasi perdagangan.
5
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Books Terrace Library, 2009, hlm. 3.
6
United Nations, General Assembly Resolution, December 12
th
1974, No. 3281 XXIX, lihat dalam Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah
Pasca Sarjana, 2005, hlm. 135-136.
Universitas Sumatera Utara
Liberalisasi perdagangan ini tampak dalam sejumlah kerjasama ekonomi internasional negara-negara di dunia dalam perdagangan baik kerjasama multilateral
maupun regional. Untuk kawasan Asia Tenggara, ASEAN Free Trade Area AFTA merupakan bentuk kerjasama regional, yang mana Indonesia merupakan salah satu
negara anggotanya selain Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filiphina, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam. AFTA ini merupakan salah satu bentuk FTA atau
Free Trade Area. FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerja sama ekonomi regional
yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.
7
Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masing-
masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Tujuan strategis AFTA adalah meningkatkan keunggulan komparatif regional Association of Southeast Asian
Nations ASEAN sebagai suatu kesatuan unit produksi. Oleh karena itu, penghapusan rintangan tarif dan non-tarif di antara negara-negara anggota diharapkan
untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, produktivitas, dan daya saing negara-negara anggota ASEAN.
8
Berkaitan dengan hal ini, sebuah terobosan dilakukan oleh komunitas masyarakat regional ASEAN yang pada akhirnya terealisasi dalam bentuk komunitas
7
Hamdy Hady, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 88.
8
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
perdagangan bebas, yakni antara negara-negara yang tergabung di ASEAN dengan China, melalui ASEAN-China Free Trade Agreement ACFTA. Sebagai salah satu
negara anggota dari ASEAN, Indonesia ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN, termasuk kesepakatan atau perjanjian perdagangan
antara negara-negara ASEAN dengan China yang disebut ACFTA. Dalam rangka akomodasi kepentingan ACFTA tersebut, dan berdasarkan isi
perjanjian dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of
China, sebagaimana telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004, pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan ACFTA, diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355KMK.012004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang
dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57PMK.0102005 tanggal 7 Juli 2005
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
21PMK.0102006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 04PMK.0112007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-
China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53PMK.0112007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam
Universitas Sumatera Utara
rangka ASEAN-China Free Trade Area, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235PMK.0112008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
9
Perjanjian ACFTA ini menimbulkan suatu perkembangan baru pada kegiatan perdagangan internasional, terutama pada kawasan Asia Tenggara. Kesiapan
menyambut dampak positif dan negatif dari terselenggaranya ACFTA menjadi problematika tersendiri, terutama di negara Indonesia. Investasi ke dalam dan ke luar
negeri dalam konteks ACFTA merupakan peluang yang memiliki dua sisi yang berlawanan, yaitu yang menjanjikan danatau justru merugikan. Indonesia dengan
segala potensinya diperhadapkan pada sebuah tantangan untuk dapat bertahan dan meningkatkan posisinya di kancah perdagangan dan investasi.
Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri dalam negeri Indonesia.
Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara
lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainnya. Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu
tertentu bagi produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi
9
Setyo Pamungkas, “Implikasi ASEAN – China Free Trade Area ACFTA Terhadap Hukum Investasi di Indonesia”,
http:setyopamungkas.wordpress.com20100308implikasi-asean- E28093-china-free-trade-area-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia, diakses tanggal 28
Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang.
Seperti diketahui pemberlakuan ACFTA diikuti dengan pemberlakuan seluruh tarif impor menjadi nol persen 0, dan hal yang akan terjadi adalah serbuan besar-
besaran produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak mampu bersaing, maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri dalam
negeri gulung tikar dan angka pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak mampu direbut, kecil kemungkinan untuk industri dalam negeri dapat menembus
pasar internasional, sebab faktor harga yang lebih tinggi akan menjadi masalah bagi industri dalam negeri. Dalam hal ini tentunya dukungan pemerintah bagi para
pengusaha atau dunia industri dalam negeri khususnya industri kecil sangat dibutuhkan, agar industri dalam negeri tidak terpuruk akibat implemantasi ACFTA
tersebut.
10
Menurut Ketua Assosiasi pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat sekitar 16 enam belas sektor usaha menyatakan belum siap memasuki pasar bebas.
Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik,
aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia API membeberkan
proyeksi bahwa pangsa sektor Tekstil dan Produk Tekstil TPT lokal pada tahun
10
Rooma, “Analisis Dampak ACFTA bagi Indonesia, Peluang atau Hambatan”, http:www.persma.combaca20100429analisis-dampak-acfta-bagi-indonesia-peluang-atau-
hambatan.html, diakses tanggal 1 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
2010 mulai tergerus 12 dua belas persen dibandingkan dengan kondisi pada tahun ini dari 52 lima puluh dua triliun rupiah 67 menjadi 47 empat puluh tujuh
triliun rupiah 55. Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik didominasi produk-produk jadi seperti garmen pakaian jadi dan aksesori lain. Pada
tahun 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus 95,55 Sembilan puluh lima koma lima puluh lima triliun rupiah justru semakin diisi
produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai 52,56 lima puluh dua koma lima puluh enam triliun rupiah atau 55 lima puluh lima persen, sedangkan porsi
penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39 tiga puluh Sembilan persen atau setara 39 tiga puluh Sembilan triliun rupiah dari total penjualan TPT
domestik sebesar 130 seratus tiga puluh triliun rupiah. Artinya, TPT China menguasai 70 tujuh puluh persen pasar lokal dengan nilai sekitar 91 Sembilan
puluh satu trilun rupiah.
11
Potensi kerugian yang dialami industri manufaktur nasional sebagai dampak dari implementasi perjanjian ACFTA diperkirakan mencapai 35 triliun rupiah per
tahun. Nilai yang tentunya sangat besar tersebut hanyalah potensi kerugian yang bakal diderita oleh tujuh sektor manufaktur yaitu industri petrokimia, pertekstilan,
alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta
11
Setyo Pamungkas, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
besi dan baja. Perkiraan potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ISEI.
12
Invasi produk China ke pasar Indonesia ini tentunya akan mengganggu pasar domestik khususnya bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah UMKM apabila
produk mereka tidak bisa mengimbangi dari sisi harga, kualitas, dan lain-lain. Hal yang sangat dikhawatirkan adalah produk UMKM akan terus bergeser pada titik
rawan daya beli karena produk yang dihasilkan terlalu mahal dengan kualitas yang hampir sama.
13
Sejak pemberlakuan ACFTA, kecenderungan yang terjadi adalah membanjirnya produk industri China, yang mengakibatkan besarnya arus impor
produk dari pada ekspor ke China. Bahkan, perdagangan antara China dengan Indonesia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2010, yakni mencapai 5,5
miliar Dolar AS.
14
Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa masuknya impor produk-produk industri China tersebut merugikan beberapa sektor industri dalam negeri Indonesia.
Dengan masuknya produk China tanpa bea masuk, menyebabkan lesunya aktivitas pelaku usaha lokal yang dapat berdampak pada lesunya kegiatan industri dalam
12
Erman Rajagukguk, “ASEAN-China Free Trade Agreement Dan Implikasinya Bagi Indonesia”, http:ermanhukum.comMakalah20ER20pdfACFTA.pdf, diakses tanggal 19 Juni
2011.
13
Vica Herawati, “Analisis Pengaruh Asean China Free Trade Agreement Acfta Terhadap
Kinerja Keuangan Yang Dilihat Dari Penjualan Pada Ukm Tekstil Di Pekalongan”, http:eprints.undip.ac.id227031SKRIPSI.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2011.
14
Dikutip dari pernyataan Deputi Menko Perekonomian Adi Putra Irawadi, dalam Mastardi, “Perdagangan Indonesia-China Defisit USD 5,5 Miliar”,
http:infopublik.depkominfo.go.idindex.php?page=newsnewsid=934, diakses tanggal 24 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
negeri bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan tutupnya beberapa industri lokal. Pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan bertambahnya angka
pengangguran akibat Pemutusan Hubungan Kerja PHK tenaga kerja pada sektor industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA.
Bila diperhatikan sebelum ACFTA berlaku, produk-produk China sebenarnya telah mendominasi pasar Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Produk China
telah menjadi salah satu pesaing utama bagi produk-produk industri dalam negeri. Maka daya saing kemudian menjadi taruhan utama dalam menentukan kebijakan
hukum investasi yang tepat. Sebab modal yang dibawa investor merupakan hal yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Dengan
demikian maka kepastian hukum bagi investor adalah tolak ukur utama untuk menghitung resiko. Apabila investor tidak merasakan adanya jaminan kepastian
hukum yang dapat melindungi investasi mereka, maka dapat dipastikan investor tidak akan berinvestasi baik dalam bentuk portofolio, apalagi dalam bentuk penanaman
modal langsung direct investment.
15
Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi tiada lain karena, lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional telah
mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga mau tidak mau ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan tuntutan global khususnya dengan
15
Ridwan Khairandy,”Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah, “Jurnal Hukum Respublica, Vol 5 No.2 Tahun 2006, hlm. 148, sebagaimana dikutip dalam
Mahmul Siregar, Perdagamgam Internasional, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana, 2008, hlm. 530-531.
Universitas Sumatera Utara
pemberlakuan ACFTA yang sangat mempengaruhi maju mundurnya beberapa sektor industri dalam negeri. Pada kenyataannya perdagangan ekspor impor yang terjalin
antara China dan Indonesia dalam kerangka ACFTA ini menjadi titik tolak pengaturan hukum investasi. Hal ini dikarenakan investasi China diharapkan tidak
merugikan kepentingan ekspor pengusaha dalam negeri ke China karena produk dan komoditasnya kalah bersaing. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Baharuddin Lopa, bahwa agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, maka ia harus membuka diri menerima unsur-unsur
dari luar yang dapat memperlancar pembangunan nasional.
16
Terkait dengan persaingan yang semakin berat, terutama dengan produk China, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk segera mengambil sejumlah
langkah strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam upaya melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif sebagai akibat dari
pemberlakuan perjanjian ACFTA. Hal penting yang perlu dikaji adalah bagaimana mengaitkan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi domestik dengan langkah-
langkah yang ditempuh pada tingkat internasional, misalnya terkait posisi pemerintah yang semakin lemah dalam menghadapi hambatan dalam mengupayakan peningkatan
efesiensi dan daya saing nasional di perdagangan internasional terkhusus dalam menghadapi ACFTA ini.
17
Sebab sejak ACFTA diberlakukan, telah menyebabkan terjadinya peningkatan impor khususnya sektor non migas yang cukup signifikan
16
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 21.
17
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 121.
Universitas Sumatera Utara
dalam kurun waktu tahun 2004-2008 di Indonesia bahkan peningkatan impor tersebut pada umumnya diatas 20 per tahunnya.
18
Selain itu, produk impor China tersebut membanjir dengan harga yang sangat murah sehingga hal ini menimbulkan dugaan
bahwa praktek dumping juga mewarnai ACFTA yang tentunya semakin merugikan industri dalam negeri.
Terlebih lagi dengan fakta bahwa perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang telah disetujui Indonesia akan menyusul pemberlakuannya seperti
ASEAN Korea FTA, Indonesia Japan Economic Partnership Agreements IJEPA, ASEAN Australia New Zealand FTA AANZFTA, dan ASEAN India FTA. Dalam
format kerjasama yang berbeda, Partnership Cooperation Agreement PCA antara Indonesia – Uni Eropa juga telah ditandatangai bulan November 2009. Dalam PCA
tersebut, terdapat klausul-klausul kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi perekonomian, khususnya dalam Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual terkait
perdagangan dimana Uni Eropa mempunyai kepentingan di dalamnya. Di luar itu masih banyak FTA atau kerjasama ekonomi yang merujuk pada liberalisasi
perekonomian yang masih berada dalam proses perundingan atau dalam tahap pengkajian.
19
18
Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, “Dampak Penerapan ASEAN China Free Trade Agreement ACFTA Bagi Perdagangan Indonesia”,
http:www.bni.co.idPortals0DocumentUlasan20EkonomiACFTA.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2011.
19
Administrator, “Free Trade Agreements dan Demokrasi Kita”, http:www.igj.or.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=394itemid=164, diakses
tanggal 24 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah