ACFTA dalam Perspektif Hukum

4. Mutual Benefit Saling menguntungkan antar negara anggota. Prinsip ini juga terdapat dalam ACFTA sebagaimana perjanjian dagang internasional lainnya. Ini berarti dalam kerjasama ACFTA perdagangan bebas yang dilakukan antara Indonesia dan China haruslah saling menguntungkan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat e dan f Keppres Nomor 48 Tahun 2004 yaitu: ”ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk menanggulangi bidang-bidang yang sensitive dalam sektor-sektor barang, jasa dan investasi dimana fleksibilitas akan dinegosiasikan dan disepakati bersama berdasarkan prinsip timbal balik dan saling menguntungkan” 75 , dan dalam Pasal 2 f Keppres No. 48 Tahun 2004 yang menyatakan; “pembentukan langkah-langkah fasilitas perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tapi tidak terbatas pada, penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan”. 76

B. ACFTA dalam Perspektif Hukum

Anzilotti, seorang ahli hukum internasional Italia menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional adalah karena prinsip mendasar yang disebut pacta sunt servanda. Menurut prinsip ini, negara terikat untuk melaksanakan dengan itikad baiknya kewajiban-kewajiban yang dipikulnya sesuai dengan perjanjian 75 Pasal 2 e Keppres No. 48 Tahun 2004. 76 Pasal 2 f UU No. 48 Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara tersebut. 77 Pada saat perjanjian tersebut berlaku, maka harus juga diberlakukan oleh negara-negara pihak dengan itikad baik. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 1 Statuta Mahkamah Internasional bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. 78 Oleh karena itu, negara sebagai subyek hukum internasional berkewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hukum internasional, di dalam bahasa Inggris dikenal beberapa bentuk dari perjanjian internasional, diantaranya yaitu; treaty, convention, agreement, arrangement, declaration, charter, covenant, statute, protocol, pact, process verbal, modus Vivendi, act, final act, general act. 79 ACFTA jelas merupakan salah satu bentuk Agreement atau yang dalam bahasa Indonesianya disebut sebagai “Perjanjian”. Istilah “perjanjian internasional” adalah istilah yang secara khusus digunakan dalam bahasa hukum Indonesia, yang menurut artinya dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah dalam arti generik, yaitu suatu istilah yang dimaksudkan untuk mencakup segala bentuk, jenis, atau macam perjanjian internasional. Dan golongan yang kedua adalah dalam arti spesifik, yaitu istilah perjanjian internasional yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang jika ditinjau dari segi substansinya berkenaan dengan masalah yang tergolong penting dan besar 77 Sumaryo Suryokusumo, loc. cit., hlm. 41. 78 Pasal 38 angka 1 Statuta Mahkamah Internasional. 79 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm. 26. Universitas Sumatera Utara baik bilateral maupun multilateral, baik yang berisi kaidah hukum yang khusus berlaku antara para pihak saja, maupun yang membentuk kaidah hukum yang berlaku umum atau bersifat terbuka, sedangkan untuk perjanjian yang substansi tergolong kurang penting atau lebih bersifat teknis, digunakan istilah “persetujuan”. 80 Berdasarkan hal ini, tampak bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara persetujuan dan perjanjian internasional, dalam hal ini ACFTA dikategorikan sebagai perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000 dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memiliki perbedaan defenisi dengan versi Konvensi Wina 1969, menyebutkan “Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.” 81 Selain itu dilihat dari ruang lingkupnya, ACFTA merupakan suatu bentuk perjanjian internasional regional atau kawasan, yang dalam hal ini kesepakatan diantara negara-negara yang tergabung dalam organisasi internasional. Perjanjian internasional regional adalah perjanjian internasional yang ruang lingkup berlakunya terbatas pada suatu kawasan tertentu saja. ini berarti, perjanjian tersebut mengikat 80 Ibid., hlm. 33 81 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 128. Universitas Sumatera Utara negara-negara yang berada dalam suatu kawasan, yang sekaligus menunjukkan ciri regionalnya. 82 Pengaturan perdagangan regional regional trading arrangements di mana suatu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintangan- rintangan terhadap impor dari sesama anggotanya, telah berlangsung di beberapa region dunia, seperti ME sekarang European Union dengan konsep pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya, dan lain-lain. GATT, dalam Pasal XXIV, mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui pengelompokan- pengelompokan demikian itu sebagai suatu pengecualian dari aturan umum klausul MFN. 83 Dengan demikian, integrasi regional seperti itu harus berfungsi sebagai pelengkap bagi sistem perdagangan multilateral, dan bukan sebagai ancaman terhadapnya. Pengelompokan-pengelompokan regional menurut Pasal XXIV dapat berupa custom union atau free trade area. Dalam dua bentuk pengelompokan tersebut bea duties dan rintangan-rintangan lain terhadap semua perdagangan di antara negara- negara dalam kelompok tersebut harus dihilangkan. Dalam suatu free trade area, 82 Ibid., hlm. 49. 83 Prinsip MFN dalam WTO menghendaki setiap anggota memberikan perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagangnya. Akan tetapi sejak WTO mengalami kemandekan dalam perundingannya, hal ini mendorong negara-negara anggota untuk membentuk kawasan perdagangan regional untuk mengembangkan perdagangan mereka, bahkan perdagangan regional ini diperbolehkan oleh WTO sebagaimana diatur dalam Artikel XXIV GATT. Pasal ini mensyaratkan dibolehkannya negara-negara anggota WTO untuk membentuk organisasi ekonomi regional dengan syarat bahwa organisasi regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi negara ketiga. Dalam hal inilah tampak pengecualian dari prinsip MFN, sebab pada dasarnya prinsip MFN justru bertentangan dengan pengaturan GATTWTO dalam Artikel XXIV yang memperbolehkan negara-negara anggota untuk membentuk organisasi regional tersebut. Hal ini dikarenakan dalam perdagangan regional, yang justru terjadi adalah adanya rintangan pada negara diluar keanggotaan organisasi regional tersebut. Universitas Sumatera Utara setiap anggota tetap menjalankan kebijaksanaan perdagangan eksternalnya, termasuk tarif, terhadap non anggota. 84 Persetujuan ACFTA berlaku di Indonesia setelah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China. Dasar hukum pembuatan Perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional di Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional, memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ratifikasi perjanjian ACFTA tersebut sah secara hukum? Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD 1945 tersebut maka terbitlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka, dasar hukum penandatanganan dan pemberlakuan Perjanjian ACFTA mengacu ke Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tersebut. 84 Huala Adolf dan A. Candrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, loc. cit., hlm. 20. Universitas Sumatera Utara Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 4 b menyebutkan “Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.” 85 Dengan demikian itu ratifikasi ACFTA juga harus memperhatikan kepentingan nasional. Jika diperhatikan penandatangan ACFTA oleh pemerintah tampak kurang memperhatikan kepentingan nasional. Menurut penulis seharusnya pemerintah dapat mempertimbangkan secara matang apakah dengan kondisi perekonomian dan industri tanah air serta berbagai faktor lainnya termasuk infra struktur yang masih sangat minim serta cadangan energi yang juga sangat minim Indonesia dapat bersaing dalam ACFTA. Meskipun demikian persetujuan ACFTA tersebut sah menurut hukum positif di Indonesia apabila diperhatikan dari pembuatan dan pengesahannya. Mengenai pengesahan terhadap Perjanjian Internasional dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa: Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: 86 a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 85 Pasal 4 b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 86 Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000. Universitas Sumatera Utara e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman danatau hibah luar negeri. Selanjutnya dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.” 87 Berdasarkan kedua pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tersebut maka tampak bahwa ratifikasi ACFTA sesungguhnya sah secara hukum sebab ACFTA diratifikasi melalui Keppres yaitu Keppres Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China. Selain itu, dengan diundang-undangkannya Piagam ASEAN oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 memiliki arti yang penting dalam menyangkut kekuatan berlakunya ACFTA di Indonesia. Setiap kesepakatan yang dibuat ASEAN termasuk semua perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan Negara lain juga akan berlaku untuk Indonesia. Hal ini tentunya akan semakin menambah efek negatif bagi pertumbuhan industri dalam negeri dan kehidupan dunia usaha di Indonesia. Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf n Piagam ASEAN mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan 87 Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000. Universitas Sumatera Utara perdagangan ASEAN itu harus sama homogen. Pasal itu menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar kawasan. 88

C. Posisi Indonesia dalam ACFTA