Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH :
HERISMA YANTI
109101000045
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 H
(2)
(3)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Mei 2014
Herisma Yanti, NIM : 109101000045
Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
( xv+83 Hal+11 tabel+ 2 Bagan+ 12 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan
paling banyak pada anak-anak. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012, kejadian
ISPA pada anak usia 5-14 tahun mencapai 64.750 kasus. Tingginya kasus ISPA pada
anak usia sekolah dapat disebabkan faktor lingkungan dalam ruang kelas karenasiswa
menghabiskan sebagian besar waktu dalam kelas.
Penelitian ini merupakan studi ekologi. Tujuan penelitianuntuk mengetahui
hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5
sekolah dasar negeri (SDN). Variabel bebas/independen penelitian adalah suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi alami, ventilasi alami, ventilasi buatan
dan lantai kelas. Sedangkan variabel terikat/dependen adalah kejadian ISPA. Populasi
dalam penelitian ini adalah SDN di Kecamatan Ciputat, sedangkan sampel penelitian
yaitu ruang kelas lima di tiap SDN. Uji statistik yang digunakan dalam
penelitianyaitu uji Korelasi dan uji Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga variabel independen yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat,
yaitu suhu (p=0,001), kelembaban (p=0,016), dan kepadatan siswa (p=0,011).
Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu luas ventilasi, ventilasi alami,
ventilasi buatan dan lantai kelas.
Kata Kunci: Kejadian ISPA, Faktor Lingkungan Kelas, Siswa Kelas 5 SDN
Daftar Bacaan : 84
(4)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergratuated Thesis, May 2014
Herisma Yanti, NIM : 109101000045
Association Between Environment In the Classroom and Acute Respiratory
Infections (ARI) Among5
thStudents In Ciputat June 2013
(xv+83 Pages+11 Tables+2 Charts+12Attachments)
ABSTRACT
Acute Respiratory Infections (ARI) isthemostcause of illnessin children.Based
on
Tangsel
Health
Department
datain
2012,ARIincidencein
children
agedmorethan5years
reach64750caseswith
thehighestcases
atCiputat
Health
Center.High incidence ofARIin childrenof schoolage maycaused by school
environment factors, especially classroom. Students spendmost oftheir times inthe
classroom.
This researchis anecologicalstudy. The purposeofthis researchistodetermine the
relationship between school environment in the classroom and ARIamong students in
public elementary school.Independent variablesin this researcharetemperature,
humidity,students
density,
extensivenatural
ventilation,
natural
ventilation,
artificialventilationandfloor.Dependent variablein this research is ARI among
students in public elementary school. Populationin this researchis public elementary
schoolin Ciputatsub-district, while the samplearefifthclassroomineach school.
The result showed there were three variables had association with ARI. Those
variables were temperature(
p =0.000
), humidity (
p= 0.000
), andstudents density
(
p=0.001
).In contrast, variables such as extensivenatural ventilation, natural
ventilation, artificialventilationandfloorwere negatively associated with Acute
Respiratory Infections (ARI).
Keywords:ARI,EnvironmentClassroom Factors,5
thElementary SchoolStudents
Reading List:84
(5)
(6)
(7)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Herisma Yanti
Tempat, Tanggal Lahir
: Tangerang, 09 Maret 1991
Alamat
: Komplek Perumahan Persada Indah 1 Jalan 4 No.7
Blok A5 Desa Tualang Perawang, Kabupaten Siak Sri
Indrapura, Riau-Pekanbaru
Agama
: Islam
Golongan Darah
: AB
No.Telp
: 087808205540
:
rizh_sherl@yahoo.com
; herismayanti@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1996
-
1997
TK YPPI Riau
1997
-
2003
SDS YPPI Riau
2003
-
2006
SMPS YPPI Riau
2006
-
2009
SMA Islam Nurul Fikri Boarding School Anyer-Serang
2009
-
2014
S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
(8)
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Allah
Subhanahu wa Ta
’
ala
yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang serta dorongan yang kuat, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul
“
Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada
SiswaKelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
”
. Shalawat serta
salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad
Shalallahu
‘
Alaihi wa Sallam
yang
telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman
terang benderang akan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.Dibalik rasa syukur, dalam
penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapakan terima kasih dengan tulus atas
bimbingan serta dukungan kepada:
1.
Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan.
2.
Ir.Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
3.
Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Pembimbing I dan Dr.Ela
Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberi motivasi dan
dukungan morilserta menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk
membimbing penyusunan skripsi ini.
4.
Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, dr.Gatot
Sudiro Husodo, Sp.P, selaku penguji skripsi atas kesempatannya menguji dan
mendukung penelitian ini.
(9)
5.
Pihak Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan
Ciputat, Kepala sekolah, Guru dan Siswa di SDN yang berada di Kecamatan
Ciputat yang bekerja sama dengan baik serta membantu dalam ketersediaan data
dan membantu menjalankan penelitian.
6.
Orang tua (Bapak Heryadi dan Ibu Emi Suhaemi) serta adik-adik (Herisfani
Fauziah, Herisfina Fauziah dan Surandi Imam Syahputra) yang selalu
memberikan motivasi dan doa.
7.
Saudara seperjuangan,
jama
’
ah
peminatan Kesehatan Lingkungan 2009 atas
dukungan dan masukan penelitian; Ratna, Maya, Nita, Yenni, Nisa, Rudi, Tari,
Ersa, Yudi, Agung, Rahmi, Cita, Aan, Dila, Moris, Udin, Zia, dan Reni.
Rahmayatul Fillacano dan Yenni Faridawati yang telah membantu dalam
pengumpulan data di lapangan.
8.
Sahabat dan teman-teman serta rekan-rekan seperjuangan yang telah membantu
memberikan senyuman, doa, dukungan dan semangat demi selesainya skripsi ini,
terima kasih atas segala bantuan apapun.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat bagi
masyarakat dan penelitian selanjutnya. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan
dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih
cerah bagi kita semua. Amin
Ciputat, Mei 2014
(10)
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan
………
i
Abstrak... ii
Abstract... iii
Lembar Persetujuan
………
iv
Lembar Pengesahan
………
v
Riwayat Hidup...vi
Kata Pengantar... vii
Daftar Isi... ix
Daftar Tabel... xiv
Daftar Bagan
…
... xvi
Daftar Lampiran
………
xvii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang... 1
B.
Rumusan Masalah... 5
C.
Pertanyaan Penelitian... 6
D.
Tujuan Penelitian...
1. Tujuan Umun...
2. Tujuan Khusus...
7
7
7
E.
Manfaat Penelitian...
1. Bagi Pemerintah...
9
9
(11)
2. Bagi Masyarakat...
3. Bagi Penulis...
9
10
F.
Ruang Lingkup Penelitian...
10
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)...
1. Definisi...
2. Etiologi...
3. Epidemiologi...
4. Patogenesis...
5. Klasifikasi dan Gejala ISPA...
11
11
13
14
17
19
B.
Faktor Lingkungan Dalam Kelas...
1. Suhu dan Kelembaban...
2. Ventilasi Ruangan...
3. Kepadatan Hunian...
4. Lantai...
20
21
23
29
31
C.
Gangguan ISPA Ditinjau dari Faktor Lingkungan...
32
D.
Studi Ekologi...
33
E.
Kerangka Teori...
34
(12)
BAB IV: METODOLOGI PENELITIAN
A.
Desain Studi...
44
B.
Lokasi Penelitian...
44
C.
Populasi
………
...
44
D.
Jenis Data...
48
E.
Pengumpulan Data...
46
F.
Pengolahan Data...
47
G.
Analisa Data ...
48
BAB V: HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian...
50
B.
Analisis Univariat
………
51
1.
Gambaran Kejadian ISPA
………
...
…………
51
2.
Gambaran Faktor yang Mempengaruhi ISPA Pada Siswa
SD
………
...
………
...
…
53
BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
A.
Kerangka Konsep...
37
B.
Definisi Operasional...
40
(13)
C.
Analisis Bivariat
………
55
1.
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
………
...
2.
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
…………
...
3.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
……
..
4.
Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
…
.
5.
Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
………
..
6.
Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA
………
.
7.
Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA
………
...
…
55
56
57
58
59
60
61
BAB VI: PEMBAHASAN PENELITIAN
A.
Keterbatasan Penelitian
………
...
………
62
B.
Kejadian ISPA
………
.
62
C.
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
………
...
63
D.
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA
…………
...
65
E.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
………
..
68
F.
Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA
…………
.
71
G.
Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA
………
...
……
..
74
(14)
BAB VII: SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan...
79
B.
Saran...
81
1.
Pihak Sekolah...
2.
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan
………
...
3.
Puskesmas
………
4.
Penelitian Selanjutnya
………
..
………
81
81
81
82
(15)
DAFTAR TABEL
4.1
Pengkodean untuk Faktor Lingkungan Sekolah...
47
5.1
Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat Bulan Juni Tahun 2013...
51
5.2
Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat Bulan Juni Tahun 2013...
53
5.3
Distribusi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi SDN di
Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...
53
5.4
Distribusi ventilasi alami, ventilasi buatan, lantai kelas SDN di
Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...
54
5.5
Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5
SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014
………
56
5.6
Analisis Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014
…………
..
56
5.7
Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014
……
57
5.8
Analisis Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
(16)
5.9
Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014
……
59
5.10 Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA Pada
Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014
……
60
5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa
(17)
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori...
3.1 Kerangka Konsep...
36
39
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian
Lampiran 2
Kuesioner
Lampiran 3
Lembar Observasi
Lampiran 4
Hasil Uji Statistik
Lampiran 5
Besar Suhu Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun
2013
Lampiran 6
Besar Kelembaban Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni
Tahun 2013
Lampiran 7
Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan
Juni Tahun 2013
Lampiran 8
Besar Luas VentilasiKelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni
Tahun 2013
Lampiran 9
Ventilasi Alami SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 10
Ventilasi BuatanSDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 11
Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 12
Dokumentasi Lapangan
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan
paling banyak pada anak-anak dan penyebab kematian utama di dunia
(Stansfield, 2000). ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Depkes, 2002).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah
25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai
prevalensi di atas angka nasional. Salah satu provinsi tersebut adalah Banten.
Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada balita (>35%) diikuti dengan usia 5-14
tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).Hasil analisa data kegiatan
surveilans ISPA berat di Indonesia (SIBI) (2013),dari 275 kasus ISPA berat
sebesar 16% merupakan kelompok umur 5-14 tahun.
Dari hasil pengamatan epidemiologi diketahui angka kesakitan ISPA di
kota lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan tingkat kepadatan
tempat tinggal dan pencemaran lingkungan/pencemaran udara di kota lebih tinggi
daripada di desa (Widoyono, 2008).Berdasarkan WHO 23 persen dari seluruh
kematian disebabkan oleh faktor lingkungan.Kemungkinan atas resiko ini tidak
(20)
terjadi di semua usia. Anak-anak adalah golongan yang paling rentan terhadap
efek pajanan lingkungan, dengan proporsi kematian pada anak terkait dengan
faktor lingkungan adalah sebesar 36 persen(Breysse, 2010).
Penelitian Pramayu (2012) terkait faktor lingkungan sekolah (sanitasi
fisik) terhadap ISPA pada siswa SDN di Depok menyatakan bahwa faktor
lingkungan/sanitasi fisik meliputi suhu, kelembaban serta kepadatan ruang kelas
berpengaruh terhadap ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan suhu dan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan beresiko 3,08 kali untuk terkena
gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan
suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Siswa yang berada di dalam ruang kelas
yang luas ruangannya < 2 m
2/siswa akan beresiko 2,73 kali lebih besar terkena
gangguan ISPA dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas
≥
2 m
2/siswa.
Hasil laporan
U.S. Environmental Protection Agency
(EPA, 2004)
mengatakan bahwa hampir semua tipe sekolah di Amerika (sekolah baru atau
lama, besar atau kecil, sekolah dasar sampai sekolah menengah umum)
mengalami masalah dalam hal kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara di
ruang kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Kualitas udara
di ruang kelas juga dapat mempengaruhi produktivitas guru dan karyawan
sekolah lainnya (EPA, 2004).
Ironisnya sedikit perhatian atas kualitas udara di dalam ruangan sehingga
seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat.Padahal seharusnya
(21)
kualitas udara di dalam ruang menjadi hal yang harus diperhatikan karena pada
saat ini banyak sekali orang yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di
dalam ruangan(Breysse, 2010). Kualitas udara sekolah seharusnya menjadi
perhatian penting karena anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang
signifikan di sekolah dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena
penyakit(EPA, 2004).
Di Kota Tangerang Selatan, ISPA merupakan 10 besar penyakit di semua
puskesmas. Kejadian ISPA pada usia lebih dari 5 tahun di Kota Tangerang
Selatan pada tahun 2012 mencapai 64.750 kasus dengan kasus tertinggi pada
Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus (Dinkes Tangsel, 2012). Dari LB1
(data kesakitan) Puskesmas Ciputat, diketahui bahwa jumlah kasus ISPA pada
anak usia SD pada tahun 2012 sebesar 1321 kasus. Jumlah ini tidak jauh dengan
kasus ISPA pada balita sebesar 2412 kasus.
Tingginya kasus ISPA pada anak usia SD di Ciputat dapat disebabkan
olehlingkungan sekolah khususnya ruang kelas karena siswa menghabiskan
waktu sebagian besar di dalam ruang kelas. Faktor tersebut meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, dan luas ventilasi (Handajani, 2004). Hasil
penelitianGardinassi (2012) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara
berkorelasi positif dengan virus penyakit pernafasan terhadap anak-anak di
bagian tenggara Brasil.
Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya
cross infection
. Ketika
ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan maka pada saat batuk/bersin
(22)
melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain
(Mairusnita, 2007). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi dimana sirkulasi
udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara menjadi rendah sehingga
kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan
mikroorganisme termasuk virus penyebab ISPA (WHO, 2007).
Letak sekolah yang dekat dengan akses kendaraan motor juga merupakan
salah satu faktor resiko kejadian ISPA pada siswa. Sebuah studi cohort selama 3
bulan pada murid SD mengenai gangguan pernapasan dengan tingkat pajanan
pencemaran udara di DKI Jakarta oleh Djafri (2007) menyimpulkan dari 4 gejala
pernapasan yang dianalisis, angka kesakitan masing-masing gejala yang
didapatkan lebih tinggi pada sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara
tinggi dibandingkan sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara rendah.
Hasil studi pendahuluan pada siswa SD di dua sekolah menunjukkan
bahwa 60% siswa SD mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari. Tiga puluh
persen siswa SD mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan. Selain
itu, hasil observasi di beberapa SDN di Cipayung, beberapa sekolah berada di
pinggir jalan raya. Jendela di ruang kelas hanya sedikit yang dibuka dan lantai
ruang kelas berdebu. Beberapa jendela dan ventilasi kelas bahkan tertutup oleh
poster. Hal ini tentu akan mengganggu sirkulasi udara dalam kelas. Padahal
ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan
salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997).
(23)
Banyaknya kejadian ISPA pada siswa SD di Tangerang Selatan
khususnya di Kecamatan Ciputat serta berdasarkan studi pendahuluan yang
menunjukkan banyaknya siswa mengalami batuk pilek dan sakit tenggorokan
(60% siswa mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa
mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan) serta letak sekolah dasar
yang sebagian besar berada di pinggir jalan membuat peneliti tertarik untuk
mengangkat judul hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian
keluhan gejala ISPA pada siswa kelas 5 SDNbulan Juni tahun 2013.
Studi ekologi adalah investigasi dari distribusi kesehatan dan faktor
determinannya antara grup. Studi ekologi digunakan jika data pada tingkat
individu tidak tersedia, data tingkat pengukuran pajanan individu tidak tersedia,
tetapi data pada tingkat grup/populasi tersedia (Goldberg, 2000). Penelitian ini
menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam peneitian ini adalah
populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu maupun faktor fisik
(suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi
buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan data yang tersedia
adalah pada populasi.
B.
Rumusan Masalah
ISPA tidak hanya rentan pada balita, tetapi juga pada anak-anak usia
sekolah. Sebagian besarSDN berada di pinggir jalan raya dengan pencemaran
udara dari transportasi yang cukup tinggi. Banyaknya siswa SD yang tercatat
(24)
menderita ISPA dimungkinkan karena kondisi lingkungan sekolah khususnya
ruang kelas yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan sekolah (ruang kelas) yang
tidak memenuhi syarat meliputi faktor suhu, kelembaban, ventilasi, kepadatan
huniandan lantai kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa SD.
Hasil studi pendahuluan menunjukkan 60% siswa SDN mengalami batuk
dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa SDN mengalami batuk dan pilek
disertai sakit tenggorokan. Beberapa penelitian telah melakukan penelitan
tentang hubungan lingkungan sekolah terhadap ISPA. Penelitian ini tidak hanya
melihat ada tidaknya hubungan, tetapi juga melihat derajat asosiasi (keeratan
hubungan) antara lingkungan dalam kelas dengan ISPA. Oleh karena itu
dilakukan penelitian mengenai hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN bulan Junitahun 2013.
C.
Pertanyaan penelitian
1.
Bagaimanakah gambaran kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
2.
Bagaimanakah gambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas
ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di Kecamatan
Ciputat bulan Juni tahun 2013?
3.
Apakah ada hubungan antara suhu dalam ruang kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
(25)
4.
Apakah ada hubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengankejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
5.
Apakah ada hubungan antara kepadatan hunian dengankejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
6.
Apakah ada hubungan antara luas ventilasi dalam kelas dengankejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7.
Apakah ada hubungan antara ventilasi alami kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
8.
Apakah ada hubungan antara ventilasi buatan kelas dengankejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
9.
Apakah ada hubungan antara lantai kelas dengankejadian ISPA pada siswa
kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
D.
Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang
Selatan bulan Junitahun 2013.
2.
Tujuan Khusus
1.
Mengetahui
gambaran
kejadian
ISPA
pada
siswa
kelas
5
SDNdiKecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
(26)
2.
Mengetahuigambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas
ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di
Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
3.
Mengetahuihubungan antara suhu dalam ruang kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
4.
Mengetahuihubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni
tahun 2013
5.
Mengetahuihubungan antara kepadatan huniankelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013
6.
Mengetahuihubungan antara luas ventilasi alami dalam kelas dengan
kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni
tahun 2013
7.
Mengetahuihubungan antara ventilasi alami kelas dengan kejadian ISPA
pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
8.
Mengetahuihubungan antara ventilasi buatan kelas dengan kejadian
ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun
2013
9.
Mengetahuihubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada
siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
(27)
E.
Manfaat
1.
Bagi Pemerintah
a.
Terbinanya kerjasama dengan institusi dalam upaya meningkatkan
kesadaran terhadap kesehatan lingkungan baik di pemukiman, sekolah
maupun di tempat-tempat beraktivitas lainnya.
b.
Menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan dan puskesmas dalam perencanaan program
penanganan ISPA pada siswa SD serta memberikan perhatian pada
kondisi lingkungan fisik kelas demi kelancaran proses belajar mengajar.
2.
Bagi Masyarakat
a.
Membantu masyarakat mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan
ISPA akibat adanya pajanan di sekitar wilayah tinggal maupun wilayah
beraktivitas
b.
Membantu masyarakat mengenali gangguan kesehatan yang diderita
tidak hanya akibat faktor tunggal
(28)
a.
Menambah ilmu dan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama
di bangku perkuliahan
F.
Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam
ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat
bulan Junitahun 2013. Lingkungan sekolah dalam ruang kelas meliputi suhu,
kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami dan buatan, serta
lantai kelas. Penelitian ini menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam
penelitian adalah populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu
maupun faktor fisik (suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian,
ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan
data yang tersedia adalah pada populasi.
Dalam pengumpulan data primer, peneliti menggunakan alat pengukur
suhu dan kelembaban yaitu
thermohygrometer
dari laboratorium HES FKIK UIN
Jakarta. Luas ventilasi diukur menggunakan
rollmeter
. Sedangkan data ventilasi
alami, ventilasi buatan dan lantai kelas diperoleh dari hasil observasi. Data-data
keluhan gejala ISPA diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner. Data
sekunder didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas
Ciputat, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat dan sekolah yang dijadikan
tempat penelitian.
(29)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
banyak diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun negara
maju. Banyak dari anak-anak harus mendapat penanggulangan dari rumah sakit
karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernafasan pada
masa bayi dan anak-anak dapat memberi kecacatan sampai pada masa dewasa
(Suprajitno, 2004).
1.
Definisi
Istilah ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut.
Istilah ini merupakan padanan istilah Bahasa Inggris
Acute Respiratory
Infection
(ARI). ISPA mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas
dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Dalam lokakarya tersebut
terdapat dua perbedaan pendapat dalam pemilihan istilah. Pendapat pertama
memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua
memilih istilah ISNA (Infeksi Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya
diputuskan memilih istilah ISPA (Depkes, 2002).
(30)
ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Depkes, 2002). Pengertian lain ISPA adalah infeksi
saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru
yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di
atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan
bawah secara simultan atau berurutan (Muttaqin, 2008).
ISPA adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya
menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah
dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan,
dan faktor pejamu (WHO, 2007). Timbulnya gejala ISPA biasanya
berlangsung cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza
(pilek), sesak nafas, mengi atau kesulitan bernafas (WHO, 2007).
ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan manifestasi
ringan sampai berat. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA
berat dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian utama, terutama pada balita (Riskesdas, 2007).
Prevalensi ISPA di Indonesia menurut Riskesdas (2007) adalah 25,5%
(rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai
(31)
prevalensi di atas angka nasional. Sebanyak 16 provinsi mempunyai
prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Bangkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo,
Maluku, Papua Barat, dan Papua.Prevalensi ISPA tertinggi pada balita yaitu
lebih dari 35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29%. Artinya kejadian
ISPA pada anak usia sekolah juga cenderung tinggi (Riskesdas, 2007).
2.
Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus
Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus,
Hemofilus,
Bordetelladan
Korinebakterium.
Virus
penyebabnya antara lain golongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus
.
Bibit penyakit utama ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik
karena infeksi sekunder atau primer dapat memberikan manifestasi klinis
yang lebih berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80% tetapi
seperempatnya saja yang menjadi sakit atau menimbulkan gejala setelah
beberapa hari atau bulan (Lubis, 2000). Kebanyakan infeksi menyerang
bagian
atas
dan
bawah
saluran
nafas
secara
bersamaan
atau
berurutan.Beberapa diantaranya akan mengkhususkan pada bagian tertentu
(32)
dari saluran nafas. Insiden infeksi saluran pernafasan meningkat karena
adanya polusi udara.
3.
Epidemiologi
Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor.
Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan (WHO, 2007):
-
kondisi lingkungan (misalnya: polutan udara, kepadatan anggota
keluarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur)
-
ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah
pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya: vaksin,
akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi)
-
faktor pejamu(seperti: usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya
atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi
kesehatan umum)
-
karakteristik pathogen (seperti: cara penularan, daya tular, faktor
virulensi dan jumlah atau dosis mikroba)
Beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada
anak-anak dan balita adalah:
a.
Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5
tahun dan 30 persen pada anak berusia 5 sampai 12 tahun. Umur terkait
(33)
dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan
kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih
rentan terhadap berbagai penyakit infeksi (Rahajoe, 2008).
b.
Jenis kelamin
Insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun
(Rahajoe, 2008). Salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan
insidens terjadinya infeksi saluran pernafasan pada anak balita adalah
jenis kelamin laki-laki. Selama masa anak-anak, laki-laki dan
perempuan mempunyai kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama.
Kebutuhan gizi untuk usia 10 tahun pertama adalah sama, sehingga
diasumsikan kerentanan terhadap masalah gizi dan konsekuensi
kesehatannya akan sama pula.
Anak perempuan mempunyai keuntungan biologis. Pada
lingkungan optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar
0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian
(Departemen Kesehatan RI, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2002-2003 mencatat bahwa anak balita yang mempunyai
gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan, sebesar
7,7% dari jumlah balita yang ada (14.510) adalah anak balita laki-laki.
Sedangkan jumlah balita perempuan yang mempunyai gejala-gejala
pneumonia sebesar 7,4%.
(34)
c.
Status gizi
Status gizi buruk merupakan fakor predisposisi terjadinya kasus
ISPA pada anak karena adanya gangguan respon imun. Risk ratio (RR)
anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3. Keadaan gizi yang
buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang (Rahajoe, 2008).
Supriasa (2002) menyatakan bahwa antara sebuah penyakit infeksi
dengan kondisi status gizi individu dapat digambarkan sebagai sebuah
hubungan timbal balik. Jika individu terkena penyakit infeksi maka
keadaan tersebut mampu memperburuk kondisi gizi.Apabila individu
mengalami kondisi gizi yang buruk maka tubuhnya akan menjadi rentan
terhadap penyakit.
Gizi buruk juga akan menghambat reaksi imunologis serta
berhubungan dengan prevalensi penyakit dan derajat berat ringannya
penyakit. Penyakit infeksi akan meningkatan penghancuran jaringan
tubuh karena dipakai untuk pembentukan protein atau enzim-enzim
yang diperlukan dalam imunitas. Kekurangan gizi akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologis terhadap suatu
penyakit ataupun kejadian keracunan (Soemirat, 2000).
(35)
d.
Lingkungan
Salah satu faktor resiko ISPA dari lingkungan yaitu polusi udara.
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi
udara, baik di dalam maupun di luar rumah berhubungan dengan
beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi
polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori
(Rahajoe, 2008).
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah
tercemar bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh
karena itu maka penyakit ISPA termasuk golongan
air borne disease.
Penularan melalui udara yang dimaksud adalah cara penularan yang
terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien (Alsagaff dan Mukty, 2010).
4.
Patogenesis
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
(36)
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Haddad, 2002).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.
Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk
(Haddad, 2002).
Adanya infeksi virus menurut Haddad (2002) merupakan predisposisi
terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibatnya terjadi kerusakan mekanisme
mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti
streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus
menyerang mukosa
yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi
mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga
timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi
bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti suhu, kelembaban
dan malnutrisi
Menurut Tyrell (1980) virus yang menyerang saluran nafas atas dapat
menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
(37)
menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas
bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas
bawah. Bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus dapat menginfeksi
paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
5.
Klasifikasi dan Gejala ISPA
Seorang anak yang menderita ISPA bisa menunjukkan
bermacam-macam tanda dan gejala, seperti batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit
telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas
yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, mual, muntah, tak mau makan,
badan lemah dan sebagainya. Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA
dalam 3 kategori, yaitu:
1.
ISPA ringan
Keluhan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak ada
nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada dalam.
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara),
pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan
lebih dari 30
oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke puskesmas
atau diberi obat penurun panas di rumah(Suyudi, 2002).
(38)
2.
ISPA sedang
Keluhan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari
39
oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. Seseorang
dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan
disertai gejala: suhu lebih dari 39
oC, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga
sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti
mendengkur (Suyudi, 2002).
3.
ISPA berat
Keluhan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi
cepat/tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru
(
sianosis
). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan
gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih keluhan gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan
berbunyi mengorok atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga
tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per
menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah (Suyudi, 2002).
B.
Faktor Lingkungan Dalam Kelas
Salah satu faktor resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit
adalah lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. ISPA merupakan
(39)
salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan
(Kemenkes, 2002).
1.
Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap ISPA. Suhu dan kelembaban mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur yang
menyebakan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu dan kelembaban
yang optimal) (Padmonobo, 2012).
Pada suhu dan kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA
pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau
mati, tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan
berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal ini yang membahayakan karena
semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan
dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut.
Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo,
2012).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Mengenai Persyaratan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri (2002), suatu ruangan memenuhi
syarat jika suhu udara dalam ruangan berkisar antara 18
0C-28
0C. Suhu udara
yang tinggi akan menyebabkan tubuh semakin banyak kehilangan garam dan
(40)
air.Akibatnya akan terjadi kejang atau kram serta mengalami gangguan
metabolisme dan sirkulasi aliran darah.
Suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban, sehingga
dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi
membran mukosa. Hal ini menjadi faktor penting yang harus diperhatikan
karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan (WHO, 1997).
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap
dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia
perubahan polutan udara (Yusnabeti, 2010).
Selain itu kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat
alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan
kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus
(Kemenkes, 2007). Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat
mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat
meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi.
Kelembaban dianggap memenui syarat apabila berada pada kisaran
40-70 persen dan dikatakan tidak memenuhi syarat bila <40 persen dan >40-70
persen (Kepmenkes, 2011). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi karena
sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam
rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udara menjadi tinggi.
Jamurmenjadi salah satu indikator tingginya kelembaban dalam suatu
(41)
ruangan. Hal tersebut berperan besar dalam pathogenesis penyakit
pernafasan.
Kelembaban yang cukup tinggi dalam ruang kelas dapat disebabkan
karena ventilasi alami yang terdapat dalam ruang kelas tidak dipergunakan
secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas banyak, namun
banyak juga dari jendela tersebut yang tidak dapat dibuka. Sehingga tidak
dapat membantu sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya
mengandalkan lubang angin dalam ruang kelas (Pramayu, 2012).
2.
Ventilasi Ruangan
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam rumah dan
pengeluaran udara kotor dari suatu rungan tertutup baik secara alamiah
maupun mekanis (Ranuh, 1997). Ventilasi adalah proses pergantian udara
segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan (Millatin, 2011).Ventilasi ruangan adalah
proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang
yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan (WHO,
2007).
Tujuan ventilasi adalah mempertahankan kualitas udara dalam ruang
yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam ruang aman untuk keperluan
pernapasan (WHO, 2007)
.Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai
berikut (Suhandayani, 2009) :
(42)
a.
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen
yang optimum bagi pernapasan.
b.
Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan
zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c.
Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d.
Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e.
Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f.
Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu (Notoatmodjo, 2003):
a)
Ventilasi alami
Ventilasi alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam
ruang yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, serta lubang
angin. Kegunaan lain dari ventilasi alamiah adalah untuk
menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat
porous
dinding ruangan,
atap dan lantai. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
karena perubahan temperatur.
b)
Ventilasi buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin,
exhauster
dan pendingin
(43)
ruangan atau
Air Conditioner
(AC). Ventilasi buatan berpengaruh
terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian Moerdjoko
(2004) menunjukkan jumlah koloni mikroorganisme pada ruangan
yang menggunakan AC lebih sedikit dibandingkan mikroorganisme
dari ruangan yang tidak menggunakan AC. Mikroorganisme udara
pada ruang yang menggunakan AC lebih sedikit dibanding yang tidak
ber AC, yaitu antara 3 -15 koloni (< 20 koloni) per cawan petri.
Sedangkan pada ruang yang tidak menggunakan AC jumlah koloni per
cawan petri adalah 24-43 koloni (> 20 koloni).
Mikroorganisme memerlukan lingkungan yang memadai untuk
pertumbuhan yang optimal. Pada ruangan yang tidak menggunakan
pengontrol udara maka pengaruh udara luar sangat berperan, seperti
temperatur dan kelembaban. Pada ruang yang menggunakan AC
temperatur dan kelembaban diatur dengan alat tersebut.Kondisi udara
menjadi media yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Sehingga jumlah dan jenis mikroorganisme yang
teridentifikasi pada cawan petri tidak banyak. Oleh karena itu ruangan
memerlukan adanya
fan
maupun AC agar di dalam ruangan selalu ada
pergerakan atau sirkulasi udara (Moerdjoko, 2004).
Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1077 Tahun 2011, ventilasi dikatakan
baik dan memenuhi syarat bila memenuhi kriteria berikut:
(44)
a.
Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas
lantai ruangan.
b.
Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak dicemari asap
kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu.
c.
Aliran udara diusahakan
cross ventilation
.
Cross ventilation
adalah
dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.
Aliran udara tersebut tidak boleh terhalang oleh barang-barang besar
seperti dinding, lemari, sekat rumah.
Pengukuran atau penilaian ventilasi udara dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan
rollmeter. Jika berdasarkan indikator penghawaan rumah, maka luas
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
≥
10 persen dari luas lantai
rumah.Sedangkan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah <10
persen dari luas lantai rumah (Notoatmodjo, 2003).
Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No 829 Tahun
1999 adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya
kurang baik akan membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan.
Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah
bakteri udara akan bertambah jika penghuninya ada yang menderita penyakit
saluran pernafasan, seperti TBC, Influenza dan ISPA (Millatin, 2011).
(45)
Mikroorganisme
dapat berada di udara dengan berbagai cara antara
lain dari debu yang bertebaran. Debu ini dapat berasaldari tanah, kotoran
hewan atau manusia yang mengering serta bahan lainya. Debu yang
mengandung mikroorganisme ini akan berterbangan di dalam ruangan.
Sehingga jika tidak terdapat ventilasi, debu yang berada di udara dan
mengandung mikroorganisme ini tidak dapat keluar ruangan. Hal ini
menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti ISPA (Millatin, 2011).
Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau
ruangan yang sangat dibutuhkan manusia.Sehingga apabila suatu ruangan
tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan
over crowded
maka akan
menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan (Millatin,
2011).Menurut Lindawaty (2010) kurangnya ventilasi akan menyebabkan
proses sirkulasi udara dalam ruangan berjalan tidak normal, serta membuat
ruangan menjadi terasa panas. Kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk
apabila ruangan tersebut padat penghuninya yang mengakibatkan kurangnya
oksigen serta meningkatnya karbondioksida.
Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara
tidak dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan pajanan asap.
Ventilasi yang kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan
basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada
dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.Terhalangnya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
(46)
rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar
dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah
anak-anak untuk terserang ISPA (Millatin, 2011).
Ruangan dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat
menyebabkan kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan
tubuh dari kulit. Jika udara kurang mengandung uap air, maka udara terasa
kering dan tidak menyenangkan. Apabila udara yang banyak mengandung
uap air akan menjadi udara basah dan apabila dihirup dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi paru (Padmonobo, 2012).
Fungsi lain dari ventilasi adalah untuk menjaga agar ruangan rumah
selalu tetap pada kelembaban yang seharusnya. Tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan meningkat karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.Sedangkan
kelembaban merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
(Tugaswati, 1996). Ventilasi yang kurang baik dapat membahayakan
kesehatan kususnya saluran pernafasan. Ventilasi yang buruk dapat
meningkatkan pajanan asap.
Luas ventilasi yang kurang menyebabkan suplai udara segar masuk ke
dalam ruangan tidak mencukupi, sementara pengeluaran udara kotor dalam
ruangan juga tidak maksimal. Dengan demikian akan menyebabkan kualitas
udara dalam rumah menjadi buruk. Kurangnya luas ventilasi juga dapat
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
(47)
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit
(Widianingtias, 2004).
Ventilasi yang baik akan menyebabkan sirkulasi yang baik. Sirkulasi
udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila
ventilasi tidak memenuhi syarat maka akan meningkatkan kadar partikulat di
dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama patogen karena dengan adanya
ventilasi maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus
(Notoatmodjo, 2003).
Sirkulasi yang baik yaitu udara dapat bergerak atau bertukar akan
mengurangi jumlah mikroorganisme. Sebaliknya jika sirkulasi buruk, udara
relatif tidak bergerak atau ada pergerakan tetapi sedikit dan tidak mampu
mengganti udara berkualitas buruk dengan udara bersih/segar.Sehingga
kemungkinan akan mengandung mikroorganisme lebih besar. Hal ini berarti
pada ruangan yang menggunakan AC ataupun ventilasi alami, jika sirkulasi
udara buruk maka mikroorganisme akan tetap dapat tumbuh, asalkan
temperatur dan kelembaban memenuhi syarat (Moerdjoko, 2004).
3.
Kepadatan Hunian
Infeksi saluran pernafasan ditularkan melalui kontak langsung atau
droplet dari saluran pernafasan dan lebih sering terjadi pada kontak yang
(48)
dekat. Keadaan tersebut terjadi di semua bentuk kepadatan seperti kepadatan
hunian rumah (jumlah saudara dan besarnya rumah) maupun kepadatan
penghuni ruangan serta kepadatan populasi. Menurut Depdiknas RI (2007),
persyaratan luas ruang kelas sekolah dasar yaitu 56 m
2dengan kapasitas
maksimum 28 orang atau 2m
2/orang.
Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan
prasarana sekolah, ditetapkan sebesar
≥
2m
2/siswa. Jika dirasakan dalam
suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi
ini karena luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid.
Terlalu padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran
udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu,
2012).
Kepadatan yang terlalu tinggi dalam sebuah ruangan juga
memudahkan terjadinya penularan suatu penyakit. Penularan dapat melalui
inhalasi individu ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang
sakit kepada siswa lainnya (Pramayu, 2012). Berdasarkan penelitian Janssen
(1999) di Amsterdam menunjukkan konsentrasi PM10 yang tinggi di dalam
kelas berhubungan dengan resuspensi debu akibat aktivitas murid di dalan
kelas ketika ruang kelas dihuni oleh sekitar 30 anak.
Kondisi kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu
penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus
(49)
disebarkan melalui individu lainnya dan dihantarkan melalui udara.
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa kondisi rumah yang dihuni lebih
dari batas hunian yang dipersyaratkan dapat mengakibatkan kurangnya
konsumsi oksigen, kemudian memudahkan terjadinya penularan apabila ada
salah satu penghuni rumah yang sedang menderita penyakit infeksi.
4.
Lantai
Jenis lantai atau kondisi lantai sangat penting. Lantai yang tidak
memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media penularan penyakit
seperti penyakit saluran pernafasan. Lantai yang tidak memenuhi standar
adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus
penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering
dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah dibersihkan
dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan akan lebih
baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM
dan PL, 2002).
Syarat yang penting disini adalah tdak berdebu pada musim kemarau
dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang
padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian
dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali.
Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit gangguan
pernapasan (Notoatmodjo, 2007).
(50)
C.
Gangguan ISPA ditinjau dari Faktor Lingkungan
Beberapa penelitian meneliti perihal hubungan ISPA dengan kondisi
lingkungan. Sehingga penelitian-penelitian tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian yang sedang dilakukan.
Pramayu (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa
yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak
memenuhi syarat, maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena
gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas
dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat.
Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
anatara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat
akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban yang
berada dalam rentang yang memenuhi syarat.Lindawaty (2010) menyatakan
bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang
berada dalam rumah tinggal dengan suhu tidak memenuhi syarat maka akan
mengalami resiko 18 kali lebih tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan
dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan siswa
dalam kelas dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan
(51)
luas <2m
2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas
≥
2m
2/siswa (Pramayu, 2012). Penelitian Wattimena (2004) mendapatkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
terjadinya gangguan pernafasan pada balita, dimana balita yang berada di dalam
rumah yang tidak memenuhi batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi
dibanding rumah yang memenuhi batas hunian.
Ventilasi akan mempengaruhi terjadinya gangguan saluran pernafasan.
Namun tidak hanya pada pengukuran luas ventilasi tetapi juga diukur dari laju
udara yang mampu dilewati melalui ventilasi. Dengan meningkatkan rata-rata
laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik
mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada
anak sekolah (Hellsing, 2009).
D.
Studi Ekologi
Studi ekologi merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua
variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk
melihat hubungan antara gejala satu dengan gejala yang lain atau variabel satu
dengan variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Studi ekologi adalah salah satu
penelitian yang unit analisisnya adalah kelompok. Ciri analisis primer studi
ekologi adalah tidak diketahuinya
joint distribution
faktor studi dan penyakit di
setiap kelompok (unit analisis) (Goldberg, 2000).
(52)
Pada dasarnya, desain studi ekologi menggambarkan hubugan korelatif
antara penyakit dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Disain studi ini
memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan studi ini adalah dapat
menggunakan data insidensi, prevalensi maupun mortalitas. Studi ini tepat
digunakan untuk penyelidikan awal hubungan penyakit karena mudah dilakukan
dan murah dengan memanfaatkan informasi yang tersedia. Kelemahan dari
desain studi ini adalah tidak dapat dipakain untuk menganalisis hubungan sebab
akibat karena tidak mampu menjembatani kesenjangan status pajanan dan status
penyakit pada tingkat populasi dan individu, seta tidak mampu engontrol faktor
perancu potensial (Supriyadi, 2009).
E.
Kerangka Teori
Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu
resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit. ISPA merupakan salah satu
penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan. Kondisi
higiene bangunan tersebut yang merupakan lingkungan fisik ruangan meliputi
suhu, kelembaban, kepadatan hunian, ventilasi dan lantai ruangan.
Suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban.
Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya
organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Virus, bakteri dan
jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum
(53)
(suhu dan kelembaban yang optimal). Sehingga host akan terpapar
mikroorganisme dan berpeluang terhadap kejadian ISPA.
Selain suhu dan kelembaban, faktor lain yang dapat menyebabkan
perkembangbiakan kuman adalah kepadatan hunian, ventilasi dan lantai.
Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya
cross infection
. Ketika ada
penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin
maka kuman penyakit dapat menyebar melalui udara dan akan mempercepat
proses penularan terhadap orang lain. Ventilasi berfungsi membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen. Ventilasi juga berperan
dalam mengontrol suhu dan kelembaban dalam ruang. Lantai yang tidak
memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau
virus penyebab ISPA.
Selain kondisi lingkungan, karakteristik individu juga mempengaruhi
kejadian ISPA. Karakteristik individu tersebut meliputi umur, jenis kelamin, dan
status gizi. Berdasarkan umur, balita lebih rentan terkena ISPA karena daya tahan
tubuh yang masih rentan terhadap penyakit. Berdasarkan jenis kelamin, anak
laki-laki lebih rentan karena lebih banyak beraktivitas di luar sehingga pajanan
faktor resiko ISPA lebih besar. Status gizi berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh. Status gizi kurang maupun buruk akan meyebabkan daya tahan tubuh
lemah sehingga rentan terhadap infeksi kuman penyakit.
(54)
Bagan 2.1
Kerangka Teori
Kejadian ISPA
Pertumbuhan Kuman
Kondisi Lingkungan
Fisik Ruangan
-
Suhu
-
Kelembaban
-
Kepadatan hunian
-
Ventilasi Alami
-
Ventilasi Buatan
-
Lantai
Karakteristik Individu
-
Umur
-
Jenis kelamin
-
Status gizi
Jumlah
Kuman
(55)
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
A.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor
lingkungan dalam ruang kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa kelas 5
SDN. Kondisi lingkungan dalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban,
ventilasi, kepadatan huniandan lantai kelas.
Suhu udara yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir
terperangkap dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi
kimia perubahan polutan udara. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat
alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan
kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus.
Kelembaban udara dalam ruang dapat meningkat jika ventilasi ruang
tidak cukup. Ventilasi yang kurang dalam ruang dapat menyebabkan debu yang
mengandung mikroorganisme akan berterbangan di dalam ruangan. Akibatnya
debu tidak dapat keluar ruangan sehingga menyebabkan timbulnya berbagai
penyakit antara lain ISPA. Ruangan juga memerlukan ventilasi buatan (
fan
maupun
air conditioning
)agar di dalam ruangan selalu ada pergerakan atau
sirkulasi udara.
(56)
Kejadian ISPA juga tidak lepas dari kepadatan hunian. Kepadatan
hunian merupakan faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan
pernafasan yang disebabkan oleh virus disebarkan melalui individu lainnya dan
dihantarkan melalui udara. Selain itu lantai yang tidak memenuhi standar
adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab
ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dilapisi ubin atau keramik dan tidak
berdebu.
Adapun variabel yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik individu.
Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status merokok.
Penelitian ini merupakan studi ekologi dimana objek penelitian adalah populasi
bukan individu, sehingga faktor karakteristik individu tidak diteliti dalam
penelitian ini.
(57)
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Kejadian
ISPA
Suhu
Kelembaban
Kepadatan Hunian
Luas Ventilasi Alami
Ventilasi Alami
Ventilasi Buatan
(58)
B.
Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur Alat Ukur
Skala
Ukur
Hasil Ukur
1.
Angka
Kejadian
ISPA
Jumlah siswa ISPA yang mengalami
gejala ISPA berdasarkan keluhan yang
dirasakan dibagi total siswa yang
menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan
Ciputat
Wawancara
Kuesioner Rasio
Incidence Rate
/IR (%)
2.
Suhu
Hasil pengukuran derajat panas atau
dingin
udara
dalam
ruang
kelas
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan kerja
perkantoran dan industri)
Pengukuran
di titik
episentrum
ruang kelas
Thermo
hygro
meter
Rasio
0C
3.
Kelem-baban
Hasil pengukuran persentase kandungan
uap air udara dalam ruang kelas
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang
persyaratan kesehatan lingkungan kerja
kantoran)
Pengukuran
di titik
episentrum
ruang kelas
Thermo
hygro
meter
(59)
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur Alat Ukur
Skala
Ukur
Hasil Ukur
4.
Kepadatan
Hunian
Kepadatan siswa dalam kelas yang
diperoleh dari hasil perhitungan luas
lantai ruang kelas dibagi jumlah siswa
dalam ruang kelas (Permendiknas,
2007)
Pengukuran Meteran
Rasio
m
2/siswa
5.
Luas
Ventilasi
Alami
Luas jendela dan lubang angin ruangan
kelas yang berfungsi untuk aliran udara
dari luar kelas ke dalam kelas atau
sebaliknya
Pengukuran Meteran
Rasio
luas ventilasi (m
2) : luas lantai
(m
2)
6.
Ventilasi
Alami
Keadaan ventilasi alami (jendela dan
lubang angin) dalam ruang kelas
Observasi
Lembar
Observasi
Ordinal
1.
Tidak baik jika aliran udara
terhalang barang besar atau
kurang dari 4 jendela terbuka
saat belajar
2.
Baik jika aliran udara tidak
terhalang barang besar atau
minimal 4 jendela terbuka saat
belajar (Kepmenkes, 2011)
(1)
Lampiran 7
Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Kepadatan Hunian (m2/siswa)
No Nama Sekolah Kepadatan Hunian (m2/siswa) 1. SDN 2 Ciputat 1,15 13. SDN 2 Serua Indah 1,11 2. SDN 3 Ciputat 1,04 14. SDN 3 Serua Indah 1,41
3. SDN 4 Ciputat 0,98 15. SDN 1 Sawah 1,32
4. SDN 5 Ciputat 2,01 16. SDN 3 Sawah 1,13
5. SDN 7 Ciputat 1,36 17. SDN 4 Sawah 0,97
6. SDN 8 Ciputat 1,36 18. SDN 1 Sawah Baru 1,14 7. SDN 9 Ciputat 0,97 19. SDN 2 Sawah Baru 1,21 8. SDN 3 Cipayung 1,10 20. SDN 3 Jombang 1,14 9. SDN 4 Cipayung 1,25 21. SDN 4 Jombang 1,01 10. SDN 1 Serua 0,95 22. SDN 5 Jombang 1,20 11. SDN 3 Serua 1,08 23. SDN 6 Jombang 1,31 12. SDN 5 Serua 1,04 24. SDN 11 Jombang 1,14
(2)
Lampiran 8
Besar Luas Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Ventilasi Luas Alami (m2)
No Nama Sekolah Ventilasi Luas Alami (m2) 1. SDN 2 Ciputat 11,06 13. SDN 2 Serua Indah 9,73 2. SDN 3 Ciputat 9,53 14. SDN 3 Serua Indah 13,74
3. SDN 4 Ciputat 8,67 15. SDN 1 Sawah 6,65
4. SDN 5 Ciputat 13,74 16. SDN 3 Sawah 12,43
5. SDN 7 Ciputat 7,97 17. SDN 4 Sawah 5,72
6. SDN 8 Ciputat 9,37 18. SDN 1 Sawah Baru 4,34 7. SDN 9 Ciputat 13,50 19. SDN 2 Sawah Baru 10,08 8. SDN 3 Cipayung 10,05 20. SDN 3 Jombang 12,88 9. SDN 4 Cipayung 7,20 21. SDN 4 Jombang 5,98 10. SDN 1 Serua 10,05 22. SDN 5 Jombang 12,53 11. SDN 3 Serua 9,35 23. SDN 6 Jombang 11,04 12. SDN 5 Serua 10,44 24. SDN 11 Jombang 13,08
(3)
Lampiran 9
Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Aliran Udara Jendela yang
dibuka Kesimpulan
1. SDN 2 Ciputat Terhalang lemari dan beberapa poster di lubang angin
3 dari 7 Tidak baik
2. SDN 3 Ciputat Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
3. SDN 4 Ciputat Tidak terhalang 0 dari 6 Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
5. SDN 7 Ciputat Tidak terhalang 6 dari 6 Baik
6. SDN 8 Ciputat Tidak terhalang 8 dari 8 Baik
7. SDN 9 Ciputat Terhalang lemari kelas dan papan tulis kecil
0 dari 7 Tidak baik
8. SDN 3 Cipayung Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
9. SDN 4 Cipayung Tidak terhalang 3 dari 8 Tidak baik
10. SDN 1 Serua Tidak terhalang 6 dari 8 Baik
11. SDN 3 Serua Terhalang lemari 3 dari 8 Tidak baik
12. SDN 5 Serua Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
13. SDN 2 Serua Indah Terhalang papan dan poster 2 dari 7 Tidak baik 14. SDN 3 Serua Indah Terhalang lemari dan poster 3 dari 7 Tidak baik
15. SDN 1 Sawah Tidak terhalang 3 dari 8 Tidak baik
16. SDN 3 Sawah Tidak terhalang 4 dari 7 Baik
17. SDN 4 Sawah Tidak terhalang 4 dari 8 Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Tidak terhalang 2 dari 3 Tidak baik
19. SDN 2 Sawah Baru Tidak terhalang 2 dari 6 Tidak baik
20. SDN 3 Jombang Terhalang lemari dan poster di lubang angin
4 dari 8 Tidak baik
21. SDN 4 Jombang Tidak terhalang 0 dari 8 Tidak baik
22. SDN 5 Jombang Terhalang poster dan papan tulis kecil
3 dari 7 Tidak baik
(4)
Lampiran 10
Ventilasi Buatan Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Keberadaan
Kipas Angin
Pemakaian
Kipas Angin Kesimpulan
1. SDN 2 Ciputat Ada Digunakan Baik
2. SDN 3 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 3. SDN 4 Ciputat Ada Tidak digunakan Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Ada Digunakan Baik
5. SDN 7 Ciputat Ada Digunakan Baik
6. SDN 8 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 7. SDN 9 Ciputat Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 8. SDN 3 Cipayung Ada Tidak digunakan Tidak baik 9. SDN 4 Cipayung Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 10. SDN 1 Serua Ada Tidak digunakan Tidak baik 11. SDN 3 Serua Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
12. SDN 5 Serua Ada Digunakan Baik
13. SDN 2 Serua Indah Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 14. SDN 3 Serua Indah Ada Tidak digunakan Tidak baik 15. SDN 1 Sawah Tidak Ada Tidak ada Tidak baik 16. SDN 3 Sawah Ada Tidak digunakan Tidak baik
17. SDN 4 Sawah Ada Digunakan Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
19. SDN 2 Sawah Baru Ada Digunakan Baik
20. SDN 3 Jombang Ada Tidak digunakan Tidak baik 21. SDN 4 Jombang Tidak Ada Tidak ada Tidak baik
22. SDN 5 Jombang Ada Digunakan Baik
23. SDN 6 Jombang Ada Digunakan Baik
(5)
Lampiran 11
Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No Nama Sekolah Jenis
Lantai
Kondisi
Lantai Kelas Kesimpulan 1. SDN 2 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
2. SDN 3 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
3. SDN 4 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
4. SDN 5 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
5. SDN 7 Ciputat Keramik Bersih Baik
6. SDN 8 Ciputat Keramik Bersih Baik
7. SDN 9 Ciputat Keramik Kotor Tidak baik
8. SDN 3 Cipayung Keramik Bersih Baik
9. SDN 4 Cipayung Keramik Kotor Tidak baik
10. SDN 1 Serua Keramik Kotor Tidak baik
11. SDN 3 Serua Keramik Bersih Baik
12. SDN 5 Serua Keramik Kotor Tidak baik
13. SDN 2 Serua Indah Keramik Kotor Tidak baik 14. SDN 3 Serua Indah Keramik Kotor Tidak baik
15. SDN 1 Sawah Keramik Kotor Tidak baik
16. SDN 3 Sawah Keramik Kotor Tidak baik
17. SDN 4 Sawah Keramik Bersih Baik
18. SDN 1 Sawah Baru Keramik Kotor Tidak baik 19. SDN 2 Sawah Baru Keramik Kotor Tidak baik 20. SDN 3 Jombang Keramik Kotor Tidak baik 21. SDN 4 Jombang Keramik Kotor Tidak baik 22. SDN 5 Jombang Keramik Kotor Tidak baik
23. SDN 6 Jombang Keramik Bersih Baik
(6)
Lampiran 12 Dokumentasi Lapangan