Hal ini dapat terjadi karena kondisi ruang kelas SDN yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Padahal sebagian besar waktu siswa adalah di
sekolah khususnya di dalam kelas. Kondisi ruang kelas tersebut meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan ventilasi ruang kelas Pramayu, 2012.
Menurut Hasil laporan EPA 2002, kondisi ruang kelas dan kualitas udara kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Breysse
2010 menyatakan bahwa kondisi ruangan khususnya kualitas udara ruang seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat. Kualitas udara ruang
seharusnya menjadi perhatian mengingat bahwa anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah dan anak-anak
merupakan golongan yang rentan terkena penyakit.
C. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA
Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam ruang kelas Kepmenkes, 2002. Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh banyak
kehilangan garam dan air. Selain itu, peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara WHO, 1997. Suhu menjadi faktor
penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan. Selain itu, suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi
kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi membran mukosa WHO, 2007.
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan terperangkap dan tidak menyebar. Selain itu peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia
perubahan polutan udara. Tingginya suhu udara akan menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap ke dalam
pernafasan. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya ISPA Yusnabeti, 2010.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun
2013, dengan p value sebesar 0,001. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara suhu dengan kejadian ISPA r=0,653.
Penelitian Pramayu 2012 menyatakan bahwa siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu yang tidak memenuhi syarat maka akan
beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu yang memenuhi
syarat. Kemudian pada penelitian lain yang dilakukan Lindawaty 2010 menyatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan
ISPA. Balita yang berada dalam rumah dengan suhu tidak dalam rentang yang dtentukan oleh kementrian kesehatan maka akan mengalami resiko 18 kali lebih
tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan suhu yang memenuhi syarat.
Suhu ruang dikatakan memenuhi syarat yaitu sebesar 18-28 C. Hasil
pengukuran suhu di 30 ruang kelas SD negeri di Kecamatan Ciputat
menunjukkan 8 sekolah dengan suhu ruang kelas memenuhi syarat. Selain itu, 22 kelas menunjukkan hasil pengukuran suhu ruang kelas diatas 28
C. Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri
dan jamur yang menyebabkan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum suhu yang optimal.
Pada suhu tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati dalam rentang suhu 18-28
C, tapi pada suhu tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat
yaitu pada suhu lebih dari 29 C. Hal ini yang membahayakan karena semakin
sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin
besar peluang anak untuk terjangkit ISPA Padmonobo, 2012.
D. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA