prevalensi di atas angka nasional. Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Bangkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua.Prevalensi ISPA tertinggi pada balita yaitu
lebih dari 35 diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29. Artinya kejadian ISPA pada anak usia sekolah juga cenderung tinggi Riskesdas, 2007.
2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus,
Bordetelladan Korinebakterium.
Virus penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Bibit penyakit utama ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik
karena infeksi sekunder atau primer dapat memberikan manifestasi klinis yang lebih berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80 tetapi
seperempatnya saja yang menjadi sakit atau menimbulkan gejala setelah beberapa hari atau bulan Lubis, 2000. Kebanyakan infeksi menyerang
bagian atas
dan bawah
saluran nafas
secara bersamaan
atau berurutan.Beberapa diantaranya akan mengkhususkan pada bagian tertentu
dari saluran nafas. Insiden infeksi saluran pernafasan meningkat karena adanya polusi udara.
3. Epidemiologi
Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan WHO, 2007:
- kondisi lingkungan misalnya: polutan udara, kepadatan anggota
keluarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur -
ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran misalnya: vaksin,
akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi -
faktor pejamuseperti: usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya
atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum
- karakteristik pathogen seperti: cara penularan, daya tular, faktor
virulensi dan jumlah atau dosis mikroba Beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada
anak-anak dan balita adalah: a. Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5 tahun dan 30 persen pada anak berusia 5 sampai 12 tahun. Umur terkait
dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih
rentan terhadap berbagai penyakit infeksi Rahajoe, 2008. b. Jenis kelamin
Insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun Rahajoe, 2008. Salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan
insidens terjadinya infeksi saluran pernafasan pada anak balita adalah jenis kelamin laki-laki. Selama masa anak-anak, laki-laki dan
perempuan mempunyai kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama. Kebutuhan gizi untuk usia 10 tahun pertama adalah sama, sehingga
diasumsikan kerentanan terhadap masalah gizi dan konsekuensi kesehatannya akan sama pula.
Anak perempuan mempunyai keuntungan biologis. Pada lingkungan optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar
0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian Departemen Kesehatan RI, 2002. Survei Kesehatan Rumah Tangga
SKRT tahun 2002-2003 mencatat bahwa anak balita yang mempunyai gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan, sebesar
7,7 dari jumlah balita yang ada 14.510 adalah anak balita laki-laki. Sedangkan jumlah balita perempuan yang mempunyai gejala-gejala
pneumonia sebesar 7,4.
c. Status gizi Status gizi buruk merupakan fakor predisposisi terjadinya kasus
ISPA pada anak karena adanya gangguan respon imun. Risk ratio RR anak malnutrisi dengan ISPApneumonia adalah 2,3. Keadaan gizi yang
buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang Rahajoe, 2008.
Supriasa 2002 menyatakan bahwa antara sebuah penyakit infeksi dengan kondisi status gizi individu dapat digambarkan sebagai sebuah
hubungan timbal balik. Jika individu terkena penyakit infeksi maka keadaan tersebut mampu memperburuk kondisi gizi.Apabila individu
mengalami kondisi gizi yang buruk maka tubuhnya akan menjadi rentan terhadap penyakit.
Gizi buruk juga akan menghambat reaksi imunologis serta berhubungan dengan prevalensi penyakit dan derajat berat ringannya
penyakit. Penyakit infeksi akan meningkatan penghancuran jaringan tubuh karena dipakai untuk pembentukan protein atau enzim-enzim
yang diperlukan dalam imunitas. Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologis terhadap suatu
penyakit ataupun kejadian keracunan Soemirat, 2000.
d. Lingkungan Salah satu faktor resiko ISPA dari lingkungan yaitu polusi udara.
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik di dalam maupun di luar rumah berhubungan dengan
beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori
Rahajoe, 2008. Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah
tercemar bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu maka penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease.
Penularan melalui udara yang dimaksud adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
terkontaminasi. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien Alsagaff dan Mukty, 2010.
4. Patogenesis