Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS HAK INFORMASI TERHADAP PRODUK KECANTIKAN

IMPOR MENURUT UU No. 8 Tahun 1999 (Studi pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AZIZA HASANAH NIM : 110200301

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS HAK INFORMASI TERHADAP PRODUK KECANTIKAN

IMPOR MENURUT UU No. 8 Tahun 1999 (Studi pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AZIZA HASANAH NIM : 110200301

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, SH.,M.HUM NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

MALEM GINTING, SH.,M.HUM Dr. DEDI HARIANTO, SH.,M.HUM NIP. 195707151983031002 NIP. 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : AZIZA HASANAH

NIM : 110200301

DEPARTEMEN : KEPERDATAAN BW

JUDUL SKRIPSI : Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak

Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor (Studi Pada

Innovation Store SUN Plaza Medan)

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan

dari skripsi atau karya ilmiah orang lain

2. Apabula terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat

hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan

dari pihak manapun.

Medan, 21 April 2015

Aziza Hasanah


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan karuni-Nya kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Departemen Hukum Perdata/BW. Adapun judul skripsi ini adalah “TINJAUAN

YURIDIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS HAK INFORMASI TERHADAP PRODUK KECANTIKAN IMPOR MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999 (STUDI PADA INNOVATION STORE SUN

PLAZA MEDAN)”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari

kesalahan dan masih perlu perbaikan, maka untuk itu penulis tetap terbuka untuk

menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan

skripsi ini.

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak dibantu dengan

dukungan moril maupun materil. Maka dari itu penulis dalam kesempatan ini

menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga khususnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas


(5)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Jurusan Hukum

Perdata.

6. Bapak Malem Ginting, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II

8. Ibu Joiverdia Arifiyanto, SH.,MH selaku Dosen Pembimbing Akademik

9. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis

selama mengikuti perkuliahan.

10.Orang tua penulis Ahmad Tarigan dan Andriyani Nurdin yang sangat

penulis sayangi dan hormati yang telah membesarkan penulis dengan

penuh kasih sayang, doa dan dukungan baik metril maupun moril sehingga

penulis dapat meneyelsaikan skripsi dan kuliah dengan sebaik-baiknya,

serta kesabarannya selama ini.

11.Kepada kakak dan adik penulis Amanah Anindita Tarigan, Azalea Azura

Tarigan, Taufiq Al Hafiz Tarigan yang selalu mendoakan dan memberi


(6)

12.Kepada teman-teman terdekat penulis Dio, Dinda, Aina, Kiki, Bila, Piti,

Aldi, Ojan, Bokir yang selalu memberikan dukungan, saran dan semangat

kepada penulis, semoga kita sukses sama-sama dalam hal pendidikan dan

pekerjaan.

13.Kepada seluruh teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Stambuk 2011, terima kasih atas dukungan dan sarannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kata sempurna. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat

untuk menambah wawasan berfikir bagi setiap orang yang membaca skripsi ini.

Terima kasih

Medan, 23 Maret 2015


(7)

ABSTRAK Aziza Hasanah* Malem Ginting **

Dedi Harianto ***

Setiap orang khususnya wanita pasti ingin memiliki kulit yang bersih dan mulus untuk menunjang penampilannya. Kaum hawa biasanya lebih tertarik dengan produk kecantikan yang berasal dari luar, hal ini disebabkan karena merek/brand yang sudah terkenal dan khasiatnya yang baik untuk kulit. Namun, hal ini sering dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan mengedarkan produk kecantikan impor yang tidak memiliki informasi berbahasa Indonesia dan tidak memiliki izin edar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga timbul suatu rumusan masalah, bagaimana perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor, tanggung jawab pelaku usaha atas tidak terpenuhinya hak informasi dan penyelesaian sengketa kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha dalam penerapan hak informasi.

Adapun dalam menguraikan permasalahan dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan dilakukan pada suatu perusahaan yang mengimpor berbagai produk kecantikan impor yaitu Innovation Store Sun Plaza Medan. Studi kepustakaan dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah pendelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tentang bagaimana bentuk perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen hadir sebagai payung hukum untuk memenuhi perlindungan konsumen khususnya terhadap hak informasi. Pengaturan tersebut diikuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, intansi non pemerintah, lembaga swadaya konsumen, dan masyarakat untuk mendukung perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor. Dan mengatur tanggung jawab pelaku usaha apabila tidak memenuhi penerapan hak informasi serta penyelesaian sengketa terkait kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha karena tidak memenuhi penerapan hak atas informasi.

Kata kunci: Perlindungan Konsumen, Informasi, Produk Kecantikan Impor * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Keaslian Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN ATAS PRODUK KECANTIKAN IMPOR DI INDONESIA A. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia 1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia ... 18

2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ... 28

3. Asas-asas Hukum Konsumen ... 34

4. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 37

5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 42

6. Hubungan Transaksi antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ... 46

B. Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia 1. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan .. 51

2. Fungsi dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 52

BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP INNOVATION STORE SELAKU DISTRIBUTOR RESMI PRODUK KECANTIKAN IMPOR A. Innovation Store sebagai Distributor Resmi Produk Kecantikan Impor 1. Profil Innovation Store ... 54

2. Proses Pendaftaran Produk Kecantikan Impor ... 56

3. Penerapan Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor ... 65


(9)

B. Produk Kecantikan Impor yang Beredar di Indonesia

1. Pengertian Produk Kecantikan Impor ... 70 2. Peraturan Hukum Terhadap Produk Kecantikan

Impor ... 72 3. Pemberian Izin Edar dan Pengawasan Terhadap

Produk Kecantikan Impor ... 75

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS HAK

INFORMASI TERHADAP PRODUK KECANTIKAN IMPOR

A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor ... 80

1. Pengaturan Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor ... 83 2. Pengawasan atas Hak Informasi Terhadap Produk

Kecantikan Impor ... 91 B. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Terhadap

Pelanggaran Hak Informasi

1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas pelanggaran Hak Informasi ... 95 2. Bentuk-bentuk Pelanggaran Atas Hak Informasi .. 103 3. Sanksi Atas Pelanggaran Hak Informasi ... 113 C. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Kerugian

Konsumen Atas Kelalaian Pelaku Usaha Dalam Penerapan Hak Informasi ... 116

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 131 B. Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 136 LAMPIRAN : A. Hasil Wawancara


(10)

ABSTRAK Aziza Hasanah* Malem Ginting **

Dedi Harianto ***

Setiap orang khususnya wanita pasti ingin memiliki kulit yang bersih dan mulus untuk menunjang penampilannya. Kaum hawa biasanya lebih tertarik dengan produk kecantikan yang berasal dari luar, hal ini disebabkan karena merek/brand yang sudah terkenal dan khasiatnya yang baik untuk kulit. Namun, hal ini sering dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dengan mengedarkan produk kecantikan impor yang tidak memiliki informasi berbahasa Indonesia dan tidak memiliki izin edar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga timbul suatu rumusan masalah, bagaimana perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor, tanggung jawab pelaku usaha atas tidak terpenuhinya hak informasi dan penyelesaian sengketa kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha dalam penerapan hak informasi.

Adapun dalam menguraikan permasalahan dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan dilakukan pada suatu perusahaan yang mengimpor berbagai produk kecantikan impor yaitu Innovation Store Sun Plaza Medan. Studi kepustakaan dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah pendelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tentang bagaimana bentuk perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen hadir sebagai payung hukum untuk memenuhi perlindungan konsumen khususnya terhadap hak informasi. Pengaturan tersebut diikuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, intansi non pemerintah, lembaga swadaya konsumen, dan masyarakat untuk mendukung perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap produk kecantikan impor. Dan mengatur tanggung jawab pelaku usaha apabila tidak memenuhi penerapan hak informasi serta penyelesaian sengketa terkait kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha karena tidak memenuhi penerapan hak atas informasi.

Kata kunci: Perlindungan Konsumen, Informasi, Produk Kecantikan Impor * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memiliki wajah yang cantik tanpa kerutan maupun flek-flek hitam adalah

hal yang ingin dimiliki oleh setiap orang khususnya bagi para kaum perempuan.

Sehingga kecantikan menjadi suatu kebutuhan yang harus didapat bagaimanapun

caranya. Di zaman yang modern ini manusia juga menjadikan kecantikan sebagai

suatu hal yang dapat di pamerkan dan menjadi nilai penting dalam sebuah

penampilan. Hal ini membuat orang rela menghabiskan uangnya untuk pergi ke

salon, klinik kecantikan atau membeli produk-produk kecantikan.1

Kebutuhan manusia yang semakin konsumtif akan kecantikan, membuat

berbagai pelaku usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri berlomba-lomba

menghasilkan dan menjual produk kecantikan dengan berbagai macam fungsi dan

manfaat bagi masyarakat. Dengan era perdagangan yang bebas sekarang ini,

berbagai macam produk kecantikan marak beredar di pasaran. Baik dalam bentuk

obat-obatan, supplement, cream atau dalam bentuk kosmetik.

Kondisi tersebut tentu akan menguntungkan bagi konsumen karena

kebutuhan akan produk kecantikan terpenuhi. Berbagai macam produk yang

beraneka ragam memberikan konsumen kebebasan dalam memilih produk itu

1

Indonesia lahan subur industri kosmetik http://kemenperin.go.id/artikel/5897/Indonesia-Lahan-Subur-Industri-Kosmetik (diakses pada tanggal 20 Oktober 2014)


(12)

sendiri. Harga, kualitas, maupun merek/ brand pada suatu produk merupakan salah satu pertimbangan konsumen dalam memilih suatu produk yang akan

dipakai. Semua tergantung pada keinginan dan kemampuan finansial konsumen

itu sendiri. Namun disisi lain, ketersediaan berbagai produk kecantikan

memberikan dampak negatif bagi konsumen. Diantaranya, produk kecantikan

impor (import) yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dan produk yang tidak mencantumkan bahan dasar dan komposisi dalam produknya tentu saja akan

menyulitkan si pemakai untuk menggunakan produk tersebut dan berujung pada

kesalahan pemakaian yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian fisik.

Atau dengan adanya zat-zat yang berbahaya seperti mercury didalam produk kecantikan tersebut.2

Konsumen menjadi objek bagi para pelaku usaha dan secara tidak

langsung menjadikan konsumen berada di pihak yang lemah.3 Pelaku usaha akan

melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya

tanpa memperhatikan hak-hak konsumen, salah satunya dengan menjual produk

kecantikan dari luar negeri dengan harga yang murah untuk menarik minat

konsumen dalam membeli suatu produk kecantikan.

Masyarakat golongan menengah ke bawah, para remaja, para pekerja

kantoran ataupun pekerja lainnya yang dituntut untuk tampil cantik menjadi

sasaran utama bagi pelaku usaha untuk menjual produk kecantikan impor. Dengan

2

Hampir 50% kasus penyakit kulit disebabkan produk kosmetik

http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/general-articles/1906-hampir-50-kasus-penyakit-kulit-disebabkan-produk-kosmetik.html (diakses pada tanggal 25 Desember 2014)

3


(13)

alasan harga murah dan buatan luar negeri, maka dengan mudah sekali menarik

minat pembeli untuk membeli produk tersebut. Ditambah lagi dengan gengsi yang

tinggi di zaman yang serba modern ini, rasanya akan sangat percaya diri apabila

memakai produk kecantikan dengan merek buatan luar negeri yang sudah akrab di

telinga masyarakat walaupun mungkin produk tersebut tidak memenuhi

persyaratan ataupun palsu.

Maraknya penjualan produk kecantikan impor, membuat para penegak

hukum dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak dapat melakukan

tugasnya dengan maksimal untuk mengawasi peredaran produk kecantikan impor,

sehingga produk-produk kecantikan yang tidak jelas asal-usulnya semakin banyak

diperjual belikan.

Produk-produk kecantikan yang dijual di pasar Indonesia saat ini banyak

berasal dari produk impor yang tidak terdaftar dan tidak jelas kandungan serta

bahan-bahan yang digunakan. Banyak pula dijumpai produk yang tidak tercantum

label dengan jelas, tidak ada tanggal kadaluarsa, efek samping pemakaian, cara

pemakaian, tidak berbahasa Indonesia, tidak memiliki segel dan tidak ada nomor

registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).4 Produk-produk

tersebut sangatlah berbahaya dikarenakan dapat memberikan efek buruk bagi

tubuh. Dengan begitu, konsumen harus cerdas dalam memilih produk dan tidak

gampang tertipu dengan harga produk kecantikan yang murah.

4


(14)

Lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian konsumen terhadap

hak-haknya sebagai konsumen merupakan persoalan yang banyak ditemui. Hak-hak

yang dimaksud misalnya konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang

manfaat produk barang dan/atau jasa.5

Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dengan pelaku usaha. Hal ini terlihat pada perjanjian baku yang siap ditandatangani dan bentuk klausula atau ketentuan baku yang tidak

informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.6

Agar masyarakat tidak dirugikan oleh peredaran produk kecantikan impor

yang banyak dijual dipasaran, konsumen berhak mendapatkan informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.7

Sebaliknya, para pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk memenuhi

hak-hak konsumen tersebut dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan

penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.8

Dengan pemberian informasi yang benar dan jelas, konsumen terhindar

dari kerugian baik kerugian fisik maupun materil. Hal ini sekaligus dapat

memberikan hak atas keamanan bagi konsumen, sebagaimana disebutkan didalam

5

Ibid, hal 3 6

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 3

7

Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN Nomor 42

8


(15)

Pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen (yang selanjutnya disebut dengan UUPK) yaitu “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.”9

Kerugian yang banyak dialami oleh Konsumen di Indonesia dikarenakan

kurangnya interaksi antara penjual dan pembeli mengenai suatu produk yang di

promosikan, dan banyak pula iklan-iklan, brosur-brosur pada suatu produk yang

tidak memuat informasi yang benar dengan kenyataan yang ada. Misalnya dengan

promosi diskon besar-besaran atau clearance sale suatu produk yang ternyata sudah sedikit rusak atau akan segera kadaluarsa.

Contoh kasus yang sering terjadi dimasyarakat terhadap produk kecantikan

impor adalah tidak memuat komposisi bahan baku pada kemasan produk,

sehingga masyarakat tidak mengetahui pasti apa yang terkandung didalamnya.

Ironisnya produk kosmetik impor tersebut sering kali dijual tanpa disertai dengan

keterangan mengenai nomor layanan konsumen atau pihak yang harus dihubungi

apabila terjadi resiko atau efek samping yang berkenaan dengan pemakaian

produk kosmetik tersebut.10

Disinilah peran penting kesadaran konsumen untuk berinteraksi dengan

penjual dan berhak mendapatkan informasi yang benar dan jujur dari penjual.

9

Ibid, Pasal 4 huruf a 10

Aspek hukum pemakaian kosmetik yang mengandung zat aditif berdasarkan undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen http://stihpada.ac.id/aspek-hukum- pemakaian-kosmetik-yang-mengandung-zat-aditif-berdasarkan-undang-undang-nomor-8-tahun-1999-tentang-perlindungan-konsumen.html (diakses pada tanggal 20 Oktober 2014)


(16)

Hak atas informasi adalah hak paling mendasar bagi konsumen untuk

melakukan perjanjian jual beli. Melalui informasi yang benar, jujur, dan jelas

inilah konsumen kemudian menentukan produk yang akan digunakan. Sehingga

konsumen diminta untuk tahu akan hak-haknya, karena mengharapkan kesadaran

dari pelaku usaha itu sendiri sangatlah sulit.

Prinsip ekonomi yang dianut oleh pelaku usaha menjadi alasannya, yaitu

mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit-dikitnya tanpa

memperhatikan kerugian bagi konsumen baik secara langsung maupun tidak

langsung.11

Seperti yang tertuang di dalam buku A Guide To Consumer Law & Sale Of Goods karya Gopalan Nair12

“It is the consumers’ right to be given correct information on the goods he

purchase. In a consumer society such as ours a great deal of advertising goes into ensuring higher sales. The products themselves are also accompanied by descriptive labels. It is obvious that the advertisements and the description of the goods should be correct. Otherwise the consumer buying the goods after having relied on the advertisement or the description would clearly have been cheated. A trade mark is also considered as part of the description of the goods. Therefore, a trade marks, too, should not false or misleading. To ensure that suppliers of goods ensure that their advertisement or the description of the goods they sell are not false and misleading, the Government passed the consumer protection (Trade Description and Safety Requirements) act 1975”

(Ini adalah hak konsumen untuk diberikan informasi yang benar pada

barang yang ia beli. Masyarakat konsumen seperti kita ini membuat banyak iklan

11

Happy Susanto, Op.Cit, hal 4 12

Gopalan Nair, A Guide To Consumer Law & Sale Of Goods, (Singapore : UINS PTE LTD,1984), hal. 81


(17)

yang masuk dan dipastikan mendapatkan penjualan yang lebih tinggi. Produk itu

sendiri juga disertai dengan label deskriptif. Hal ini jelas bahwa iklan dan

deskripsi barang harus benar. Sebaliknya, konsumen sudah membeli barang

tersebut dan baru menyadari bahwa iklan atau deskripsi pada barang tersebut tidak

benar. Sebuah merek dagang juga dianggap sebagai bagian dari deskripsi barang.

Oleh karena itu, merek dagang seharusnya juga benar atau tidak menyesatkan .

Untuk memastikan bahwa pemasok barang memastikan bahwa iklan mereka atau

deskripsi barang yang mereka jual tidak palsu dan menyesatkan, Pemerintah

memberikan perlindungan konsumen (Keterangan Perdagangan dan Persyaratan

keselamatan) tahun 1975.)

Bahwa hak konsumen adalah mendapatkan hak informasi yang benar atas

barang/produk yang telah dibelinya. Produk tersebut sudah dilengkapi dengan

informasi, baik melalui iklan ataupun dilabel produk tersebut. Namun, disisi lain

setalah membeli barang, konsumen menyadari bahwa penjelasan yang telah

dijelaskan tidak sesuai dengan kenyataannya. Pelaku usaha juga mempunyai

kewajiban untuk menjelaskan produk yang mereka jual dengan benar, tidak salah,

sehingga tidak terjadi salah paham.

Bertitik tolak pada peristiwa-peristiwa yang banyak merugikan konsumen,

maka dengan diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan

menjadi dasar hukum bagi upaya perlindungan konsumen dan tanggung jawab

pelaku usaha.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya dilatarbelakangi


(18)

pelaku usaha yang menawarkan, menjual dan mempromosikan produknya

menjadikan dirinya lebih kuat dibanding konsumen. Hal ini bisa terjadi, ditunjang

dari kebutuhan informasi pada saat tahap pra transaksi, sedikitnya pilihan atas

produk-produk lain, keterbatasan pengetahuan, promosi produk yang

membingungkan dan kemampuan pendidikan konsumen untuk mencerna

kalimat-kalimat reklame dan lain-lain menyebabkan posisi konsumen terhadap pelaku

usaha semakin melemah.13

Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang

perlindungan konsumen justru mendorong iklim usaha yang sehat serta

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas.14

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak

konsumen terutama hak atas informasi perlu dilindungi dan diimplementasikan.

Karena hak informasi merupakan hak paling mendasar bagi konsumen dalam

menentukan pilihan mereka untuk melakukan jual beli, agar tidak mengalami

kerugian baik fisik maupun materil. Terutama dalam membeli produk kecantikan

impor yang beredar dipasaran.

Maka bahasan perlindungan konsumen terkait produk kecantikan import

menjadi sangat relevan untuk diteliti, oleh karena itu diajukan judul skripsi yang

13

Hartini Sri, Perilaku Pembelian Smartphone Analisis Brand Equity dan Brand Attachment. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.3, No. 1, April 2012, 25-33 ISSN 2087-1090

14


(19)

berjudul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen atas Hak

Informasi terhadap produk kecantikan Impor menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 (Studi pada Inovation Store Sun Plaza Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka ada

beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu

sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap

produk kecantikan impor?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap pelanggaran hak

informasi?

3. Bagaimana upaya penyelesesaian sengketa terhadap kerugian konsumen atas

kelalaian pelaku usaha dalam penerapan hak informasi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen, terutama dari penyampaian informasi yang tidak benar, tidak jelas, dan

tidak jujur melalui media iklan, ataupun pada brosur-brosur suatu produk

kecantikan impor, serta dapat menjadi bahan masukan guna penyempurnaan


(20)

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan konsumen atas hak informasi terhadap

produk kecantikan impor yang semakin marak beredar diindonesia.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha yang menimbulkan

kerugian bagi konsumen akibat kelalaian pelaku usaha yang tidak memenuhi

penerapam hak informasi yang benar, jelas, dan jujur.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa terhadap kerugian konsumen atas

kelalaian pelaku usaha dalam penerapan hak informasi.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat

praktis sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam rangka ilmu pengetahuan, untuk memperluas

pemahaman bagi perkembangan ilmu hukum perdata dan ilmu hukum

perlindungan konsumen. Dan diharapkan akan melahirkan pemahaman

bahwa pentingnya penerapan hukum oleh pemerintah dan lembaga-lembaga

yang terkait dalam melindungi hak-hak konsumen. Agar kosnumen tidak

merasa dirugikan dan dapat memperoleh barang dan/atau jasa yang


(21)

2. Secara Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam

memberikan informasi dan masukan bagi yang berwenang dan pengetahuan

bagi penulis. Serta diharapkan menjadi bahan masukan bagi masyarakat

selaku konsumen itu sendiri agar semakin sadar akan ketentuan-ketentuan

hukum dan hak-haknya dalam perlindungan konsumen terutama mengenai

hak informasi terhadap produk kecantikan impor.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

metode yuridis normatif dengan pendekatan secara deskriptif analisis.

Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna

melakukan penelusuran hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka yang ada.15 Sumber data penelitian yang digunakan adalah sumber data

skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tertier.

15

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14


(22)

Penelitian hukum normatif, sering dikonsepkan sebagai apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan atau hukum sebagai kaidah berpatokan

pada perilaku manusia yang dianggap pantas16

Pendekatan penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang didasarkan

atas datu atau dua variable yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori

atau konsep yang bersifat umum yang digunakan untuk menjelaskan beberapa

data, atau untuk menunjukkan hubungan seperangkat data dengan data yang lain17

Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder yaitu

data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan

perundang-undangan, buku-buku, media massa, artikel, kamus, internet serta data bahan

hukum perimer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang

membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim.18 Dapat juga berupa buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah

dan sebagainya. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan

ini yakni: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)

Bahan hukum sekunder dapat berupa pendapat atau pikiran para pakar atau

ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan

16

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal.139

17

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pres, 2010), hal.38 18

http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/ (diakses pada tanggal 1 september 2014)


(23)

petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan

sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet yang berkaitan dengan permasalahan di dalam skripsi

ini.19

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan

pengertian atas bahan hukum lainnya.20 Misalnya, kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif dan sebagainya.

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif analisis

yang merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung

menggunakan analisis. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus

penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga

bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan

sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.21

Untuk memperoleh data pendukung, digunakan metode pengumpulan data

dengan dilakukan wawancara, menggunakan petunjuk umum wawancara yang

telah dipersiapkan terlebih dahulu pada beberapa informan yang mengetahui

pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian.

Penarikan kesimpulan terhadap data hasil penelitian ini, dikumpulkan

dengan menggunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun

19

Ibid. (diakses pada tanggal 1 september 2014) 20

Ibid. (diakses pada tanggal 1 september 2014) 21


(24)

secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan

yang telah disusun.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan pada ide, gagasan, pemikiran penulis

secara pribadi dari awal penulisan hingga akhir penyelesaian. Adapun ide atau

gagasan yang timbul, dikarenakan penulis melihat perkembangan zaman yang

semakin modern dan transaksi perdagangan yang semakin luas terutama

perdagangan pada produk-produk kecantikan impor. Dan penulis melihat

banyaknya masyarakat yang menjadi sasaran utama bagi pelaku usaha yang tidak

memikirkan hak-hak konsumen, terutama hak informasi yang menjadi kewajiban

pelaku usaha dalam memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur terhadap

produk kecantikan impor kepada konsumen.

Selain didasarkan pada ide, gagasan, dan pemikiran penulis pribadi, skripsi

ini didukung dan dilengkapi dengan pendapat dan/atau kutipan dari berbagai

buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, skripsi, tesis, maupun internet.

Karena dalam menyusun dan menyelesaikan suatu penulisan karya tulis,

dibutuhkan pendapat dan atau/kutipan dari berbagai sumber sebagai referensi


(25)

Adapun beberapa judul Skripsi, Tesis yang telah ada mengenai

Perlindungan Konsumen Terhadap Hak Informasi adalah:

1. Nama: Doni Amri H.Tambunan

Fakultas: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Judul Skripsi: Perlindungan Konsumen perusahaan listrik Negara dalam

memperoleh hak informasi ( studi di perusahaan listrik Negara cabang

Binjai )

2. Nama: Alexander Victory

Fakultas: Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Judul Skripsi: Perlindungan hukum terhadap hak konsumen obat-obatan

atas informasi obat yang beredar luas di pasaran ditinjau dari hukum

perlindungan konsumen: Studi kasus tiga merek obat penghilang gejala flu

3. Nama: Rika Rizki Meilia Sari

Fakultas: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Judul Skripsi: Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap

Kosmetik China yang Mengandung Bahan Kimia Berbahaya di Kota

Yogyakarta

Artinya skripsi ini bukanlah hasil ciptaan atau penggandaan dari karya tulis orang


(26)

G. Sistematika penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi dari skripsi ini dan agar

tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulisan ini

terbagi menjadi 5 bab. Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini digambarkan mengenai hal-hal yang bersifat umum yang diikuti

dengan alasan pemilihan judul, kemudian dilanjutkan dengan pokok

permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan dan metode penelitian. Bab ini ditutup dengan memberikan

sistematika dari penulisan skripsi.

BAB II Tinjauan umum terhadap perlindungan konsumen dan peran Badan

Pengawasan Obat dan Makanan atas produk kecantikan impor di Indonesia

Dalam bab II ini, dikemukakan tinjauan umum terhadap perlindungan konsumen

yang berlaku di Indonesia, yang berisi sejarah perlindungan konsumen dan

pengaturan perlindungan konsumen, pengertian konsumen, pengertian pelaku

usaha, asas-asas yang terdapat didalam hukum konsumen, hak dan kewajiban

konsumen, serta hubungan transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha. Dan

tinjauan umum terhadap Badan Pengasan Obat dan Makanan.

BAB III Tinjauan umum terhadap Inovation Store selaku distributor resmi


(27)

Dalam bab III ini, dikemukakan tinjauan umum terhadap Inovation Store selaku

distributor resmi produk kecantikan impor. Proses pendaftaran produk kecantikan

import yang dilakukan Inovation Store kepada BPOM. Pemberian informasi yang

jelas terhadap produk kecantikan impor kepada konsumen, serta tanggung jawab

Inovation Store atas tidak terpenuhinya hak informasi kepada konsumen. Tinjauan

umum terhadap produk kecantikan impor yang beredar di Indonesia dan

pemberian izin dan pengawasan produk kecantikan impor oleh BPOM.

BAB IV Tinjauan yuridis pelaksanaan perlindungan hukum konsumen atas

hak informasi terhadap produk kecantikan impor

Dalam bab IV ini, dikemukakan pelaksanaan perlindungan hukum atas hak

informasi terhadap produk kecantikan impor. Juga akan dibahas mengenai

bentuk-bentuk pelanggaran pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha atas tidak

terpenuhinya hak informasi kepada konsumen. Serta proses penyelesaian sengketa

terhadap kerugian konsumen akibat kelalaian pelaku usaha yang tidak memenuhi

penerapan hak informasi.

BAB V Kesimpulan dan saran

Bab V ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V

ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulis mengenai pokok permasalahan


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN ATAS

PRODUK KECANTIKAN IMPOR DI INDONESIA

A. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Dalam membahas hukum konsumen di Indonesia, tidaklah lengkap apabila

tidak membahas terlebih dahulu sejarah perlindungan konsumen dan

pengaturannya, perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru di

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan yang sangat pesat telah

mendorong tumbuhnya sistem perlindungan konsumen, dengan kemajuan

teknologi telekomunikasi dan informasi, arus transaksi barang dan jasa semakin

luas melintasi batas-batas wilayah suatu negara, yang pada akhirnya konsumen

menghadapi berbagai jenis barang dan jasa yang beraneka ragam baik yang

berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.22

Jenis barang dan jasa yang beraneka ragam itu memang memberikan

kemudahan bagi konsumen dalam memilih, namun disisi lain memberikan

22


(29)

dampak negatif bagi penggunanya apabila produk tersebut mengakibatkan

kerugian bagi sipengguna.

Tumbuhnya perlindungan konsumen bermula dari adanya gerakan-gerakan

konsumen (consumers movement) diawal abad ke 19. Diikuti dengan dibentuknya Liga Konsumen yang pertama kali di New York pada tahun 189123

Pada tahun 1960 berdiri sebuah organisasi konsumen bertaraf

Internasional bernama Internasional Organization of Consumer Union (IOCU)

yang di wakili dari berbagai Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda,

Australia dan Belgia.24 Di era tahun 1960-an Negara-negara lain mulai

membentuk Undang-undang Perlindungan Konsumen. Di Amerika Serikat banyak

peraturan yang telah berhasil diundangkan dan putusan-putusan hakim yang

dijadikan acuan dalam memperkuat perlindungan konsumen.25

Pada tahun 1962 Presiden AS John F Kennedy menyampaikan consumer message yang terkenal dengan empat hak konsumen yaitu:26

a. Hak untuk mendapatkan keamanan

b. Hak untuk mendapatkan informasi

c. Hak untuk memilih

d. Hak untuk didengar

23

Ibid, hal. 12 24

N.H.T Siahaan, Pelindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Pantai Rei, 2005), hal. 292

25

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal.29

26


(30)

Di Indonesia sendiri, masalah perlindungan konsumen baru mulai

terdengar pada tahun 1970-an yang ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini lahir karena pesatnya investasi di

Indonesia, baik dilakukan secara joint venture maupun melalui investasi dalam negeri.27 YLKI pada awalnya hanya memperhatikan promosi untuk memperlancar

barang-barang dalam negeri, sampai akhirnya YLKI mengimbangi dengan

langkah-langkah pengawasan agar masyarakat tidak merasa dirugikan oleh pelaku

usaha dan produk yang dibeli kualitasnya terjamin.

Setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1999, undang-undang di

Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen. Namun beberapa

peraturan perundang-undangan di Indonesia telah berusaha untuk memenuhi

unsur-unsur perlindungan konsumen namun tetap saja peraturan tersebut belum

memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.28

YLKI bersama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun

Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab

pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Setelah dua puluh tahun diperjuangkan, DPR akhirnya melalui sidang

paripurna pada tanggal 30 Maret 1999 menyepakati Rancangan Undang-Undang

27

Ibid, hal. 301 28

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2013), hal. 33


(31)

(RUU) tentang perlindungan konsumen. Atas keaktifan YLKI dalam melindungi

konsumen baik secara nasional maupun internasional dan desakan masyarakat

Indonesia akhirnya dapat menghasilkan sebuah Undang-undang mengenai

perlindungan konsumen yaitu Undang-undang Nomor.8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUPK “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang

secara materil maupun formil semakin terasa sangat penting.”

Mengingat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

merupakan bagian terpenting untuk kemajuan kehidupan manusia. Semakin

berkembangnya produktifitas jual beli semakin banyak pula permasalahan yang

menyangkut perlindungan konsumen. Mengingat konsumen sering berada diposisi

yang lemah. Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

merupakan suatu hal penting yang harus segera dicari solusinya. Untuk itu

pemerintah tentu harus memberikan perhatian dan perlindungan besar kepada

konsumen berupa peraturan perundang-undangan.

Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang

perlindungan konsumen justru mendorong iklim usaha yang sehat serta

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan


(32)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

adalah payung hukum (Umbrella Act) bagi perlindungan konsumen. UUPK sendiri di dalam penjelasannya menyebutkan sejumlah Undang-undang yang

dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral.

Peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan keamanan, keselamatan, dan kesehatan kepada masyarakat

Indonesia saat ini dapat dijumpai dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, dan berbagai Peraturan atau Keputusan Menteri dari berbagai

departemen, antara lain seperti:29

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203, 204, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 dsb.

Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatan perbuatan:

1) Memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum umum

2) Menjual, menawarkan, menerimakan atau membagikan barang yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan orang

3) Memalsukan surat

4) Melakukan persaingan curang

5) Melaukan penipuan terhadap pembeli

6) Menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan, minuman dan obat-obat palsu.

b. Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1473-1512 dan Pasal 1320-1338.

Pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian.

c. Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya Tahun 1949

Ordonansi yang menetukan larangan untuk setiap pemasukan, pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan manusia.

29

Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 8-10


(33)

d. Undang-undang tentang Obat Keras Tahun 1949

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pememrintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang akan diproduksi atau diedarkan. e. Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi obat, pendaftaran makanan, minuman, dan obat, penandaan, cara berproduksi yang baik dan lain sebagainya. Undang-undang ini sebagai pengganti berbagai undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia.

f. Undang-undang No. 10 Tahun 1961 Tentang Barang

Undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan standar barang. Salah satu pelaksanaan undang-undang ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Indonesia (SNI).

g. Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengelola standar-standar satuan, pelaksanaan tera dan tera ualng terhadap setiap alat ukur, takar, timbangan, dan perlengkapannya, termasuk kegiatan pengawasan, penyidikan serta pengenaan sanksi terhadap pihak-pihak yang di dalam melakukan setiap transaksi menggunakan satuan alat ukur yang tidak benar. h. Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian

Undang-undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dank arena bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji pengelola peserta undian.

Untuk memberikan gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen

secara komprehensif dalam hukum positif Indonesia, maka peraturan tersebut

dikelompokkan menjadi aspek hukum keperdataan, hukum pidana, Hukum

Administrasi Negara dan Hukum Internasional.30


(34)

a. Hukum Keperdataan

Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat yaitu segala

hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.31 Dalam

arti yang lebih sempit dikatakan hukum perdata sebagai lawan hukum dagang.32

Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum

antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan

konsumennya masing-masing termuat di dalam:33

1) KUHPerdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga dan keempat 2) KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua

3) Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Hak-hak dan kewajiban konsumen berkaitan dengan aspek keperdataan,

salah satunya adalah hal-hal yang berkaitan dengan perikatan. Hubungan hukum

antara konsumen dengan pelaku usaha umumnya dimulai melalui suatu

perikatan.34 Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk

mengikatkan diri dan melaksanakan kewajiban masing-masing. Perjanjian itu pun

biasanya diisi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Biasanya

dalam bentuk syarat baku atau tidak baku yang dibuat secara tertulis maupun tidak

tertulis. Dalam perjanjian tersebut dimuat pula ketentuan ganti rugi apabila salah

31

R. Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta : Intermasa, 2001), hal.9 32

Ibid. 33

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.69

34

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Diadit Media, 2002), hal.72


(35)

satu pihak melakukan wanprestasi. Sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat

menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut.

Kata konsumen tidak ada diatur dalam KUHPerdata, namun kata-kata

seperti pembeli, penyewa dan siberutang digunakan di dalam KUHPerdata.

Berikut beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang menyangkut dengan hukum

konsumen:35

1) Pasal 1235 (Jo. Pasal-pasal 1033, 1157, 1236, 1365, 1444, 1445, 1473, 1474, 1550, 1560, 1706, 1744)

Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan.

2) Pasal 1236 (Jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480)

Siberutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berpiutang, jika ia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya.

3) Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 s.d 1511)

Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan itu, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.

Dengan adanya Undang-undang perlindungan konsumen, maka

kelemahan-kelemahan yang dulu ada pada hukum perdata sudah dapat diatasi.

Diantaranya perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha seperti

35


(36)

pemberian informasi yang benar dan jujur, memproduksi dan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tertentu yang rusak atau cacat.36

b. Hukum Pidana

Hukum pidana termasuk ranah hukum publik. Dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana tidak ada disebut kata konsumen. Namun secara implisit

ada bebarapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen,

yaitu:37

1) Pasal 204: Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

2) Pasal 359: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, dianvam dengan pidana penjara palinng lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

3) Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali

ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan

pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen

36

AZ. Nasution, Op.Cit, hal.108 37


(37)

terdapat pada bidang kesehatan dan pengaturan hak-hak atas kekayaan

intelektual.38

c. Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara merupakan instrumen hukum publik yang

penting dalam perlindungan konsumen. Karena, sanksi-sanksi hukum perdata dan

pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif. Sanksi

administratif ditujukan kepada pelaku usaha, baik produsen maupun pelaku usaha

lain yang mendistribusikan produknya.39

Didalam UUPK penerapan sanksi adminstratif berupa penetapan ganti rugi

cenderung menonjol, mengingat dengan adanya Pasal 60 UUPK yang mengatur

tentang kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang nota

bene bukan Pemerintah yang telah menerbitkan izin tersebut.40 Pencabutan izin

hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Dengan

demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen dan

mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan administratif Negara

harus dilatarbelakangi iktikad baik untuk melindungi masyarakat dari bahaya41

38

Celina Tri Siwi, Op.Cit, hal. 82 39

Shidarta, Op.Cit, hal.117 40

Ibid, hal. 118 41


(38)

Sanksi administratif dianggap lebih efektif dibanding dengan sanksi

pidana atau perdata. Hal ini didukung dengan bebarapa alasan yaitu:42

1) Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak, dengan demikian para penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan.

2) Sanksi perdata atau pidana seringkali tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Ganti rugi yang dijatuhkan mungkin tidak sebarapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi dengan mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama.

2. Pengertian konsumen dan pelaku usaha

a. Konsumen

Suatu transaksi jual beli barang maupun jasa, selalu ada konsumen dan

pelaku usaha yang terlibat di dalamnya, baik perorangan, perkelompok, maupun

dalam bentuk perusahaan.

Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Konsumen merupakan definisi yuridis yang banyak dipakai oleh masyarakat. Di dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK, konsumen

adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

42


(39)

Dari pengertian di Pasal 1 Angka 2 UUPK dapat ditarik unsur-unsur

konsumen yaitu:43

1) Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang”

sebetulnya menimbulkan keraguan-keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person).

2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK kata

“pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumerI). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.

3) Barang dan/atau jasa

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atas prestasi yang disediakan bagi masyarakat

untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, pihak yang ditawarkan lebih dari satu orang. 4) Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia dipasaran. Sesuai dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf e UUPK. Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perumahan pengembangan perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

Unsur ini diletakkan dalam definisi untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan untuk orang lain bahkan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Karena dari sisi teori kepentingan,

43


(40)

setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingan makhluk hidup lain.

6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. Secara teoritis hal ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Menurut A.S Hornby, Gen.Ed istilah konsumen sendiri berasal dari kata

consumer (Inggris) yang artinya “setiap orang yang menggunakan barang.”44 Menurut Inosentius Samsul, konsumen adalah “pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti

pemberian, hadiah, dan undangan.”45

Batasan mengenai konsumen menurut AZ. Nasution adalah “setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk

semua kegunaan tertentu.” Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada konsumen akhir dan bukan konsumen pemakai akhir. Sehingga

menurut AZ. Nasution konsumen dapat dibedakan menjadi tiga batasan, yaitu:46

1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan; 3) Konsumen akhir (ultimate consumer/end user), adalah setiap orang

yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali;

44

Zulham, Op.Cit, hal.15 45

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004) hal.34

46


(41)

Untuk konsumen antara barang dan/atau jasa itu adalah barang dan jasa

kapital, berupa bahan baku, bahan penolong ataupun komponen produk lainnya

yang pada akhirnya akan diproduksi oleh produsen. Sedangkan distributor atau

pedagang merupakan penjual yang menjual produk setengah jadi atau produk jadi

yang dijadikan sebagai dagangannya. Konsumen antara ini memperoleh barang

atau jasa tersebut di pasar industri ataupun pasar produsen.47

Barang dan/atau jasa bagi konsumen akhir adalah barang dan/atau jasa

yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau

rumah tangga. Barang dan/atau jasa konsumen akhir ini biasanya diperoleh di

pasar-pasar konsumen seperti pasar tradisional, supermarket, dan terdiri dari

barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga.48

Berdasarkan konsep dan pandangan Islam, Muhammad dan Alimin

mendefinisikan konsumen sebagai “setiap orang, kelompok atau badan hukum pemakai suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia dipakai

untuk pemakai akhir ataupun untuk proses produksi selanjutnya.”49

Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa konsumen merupakan setiap

orang, kelompok, atau badan hukum atau perusahaan. Hal ini tentu saja

bertentangan dengan definsi konsumen menurut UUPK yang menyebutkan bahwa

konsumen hanyalah setiap orang dan tidak mencakup badan hukum atau

perusahaan.

47

Ibid, hal.14 48

Ibid. 49


(42)

Di dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK juga menyebutkan bahwa

definisi konsumen di dalam UUPK hanya untuk konsumen akhir saja. Yang

artinya, definisi konsumen di dalam UUPK tidak memuat mengenai badan hukum

atau perusahaan yang dapat menjadi konsumen antara, yaitu konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya.50

Pada Pasal 1 Ayat (2) UUPK ada istilah pemakai, yang menunjukkan

bahwa barang dan/atau jasa tidak harus sebagai hasil dari transaksi jual beli.51

Misalnya pelaku usaha memberikan parsel berisi produk makanan sebagai hadiah

lebaran kepada sipembeli karena sudah menjadi langganan ditokonya. Hal ini

bukan berarti bahwa sipembeli adalah pembeli, tetapi hanya sekedar pemakai dari

produk tersebut.

Meskipun ia tidak sebagai pembeli ataupun tidak ada hubungan kontrak

jual beli dengan pelaku usaha dari produk, apabila terjadi hal yang dapat

merugikan sipembeli atas produk tersebut makan pembeli dapat melakukan klaim.

Dengan demikian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas

hanya karena transaksi jual beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut

seseorang dapat disebut sebagai konsumen.52

50 Ibid. 51

N.H.T Siahaan, Op.Cit, hal.24 52


(43)

b. Pelaku Usaha

Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen biasanya selalu

dikaitkan dengan produk berupa barang dan/atau jasa yang diperjual belikan, baik

dari hasil teknologi maupun dari hasil pembuatan tangan (Hand made) seperti batik, lukisan, dan karya seni lainnya.

Pelaku usaha adalah “setiap orang perseorangan atau badan usuaha, bak yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”53 Pelaku usaha yang dimaksud didalam UUPK tidak hanya sebatas pabrikan

saja, tetapi juga mencakup para distributor, importir, dan pelaku usaha

periklanan.54

Disebutkan pelaku usaha karena pengertian konsumen dalam UUPK

sangat erat kaitannya dengan masalah ganti kerugian dari konsumen. Mengenai

pengertian pelaku usaha cukup luas, dijelaskan di dalam penjelasan Pasal 1 Angka

3 UUPK bahwa “pelaku usaha meliputi perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.”

Dengan demikian, produsen atau pelaku usaha tidak hanya diartikan

sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga

dikaitkan dengan peredaran atau penyampaian produk hingga sampai ketangan

konsumen. Sehingga produsen atau pelaku dapat diartikan secara luas.

53

Pasal 1 angka 3 UUPK 54


(44)

Menurut Janus Sidabalok, produsen adalah “mereka yang terkait dengan proses pengadaan hasil industri hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka

adalah pabrik (pembuat), distributor, eksportir, atau importer, dan pengecer, baik

yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.”55

Pelaku usaha sebagai penyelenggara usaha adalah pihak yang harus

bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan

oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang

produsen.56

3. Asas-asas hukum konsumen

Dalam setiap peraturan perundang-undangan, selalu ada asas-asas atau

prinsip-prinsip yang mendasari diterbitkannya peraturan perundang-undangan

tersebut. Asas-asas hukum tersebut merupakan sebuah fondasi suatu

undang-undang dan peraturan pelaksananya. Apabila asas-asas dikesampingkan, maka

runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaanya.57

Undang-undang perlindungan konsumen memiliki batasan yang terdiri

dari asas-asas dan tujuan agar bisa memberikan arahan dalam implementasinya

untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 2

55

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal.16

56

Ibid, hal.17 57

Yusuf Shofie, Pelaku usaha, Konsumen, dan Tindak Korporasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal.25


(45)

UUPK disebutkan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” a. Asas Manfaat

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan.

b. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar pertisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya

secara adil.

c. Asas Keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan

keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan

pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini

menghendaki adanya jaminin hukum bahwa konsumen akan memperoleh

manfaat dari produk yang akan dikonsumsi, dan sebaliknya bahwa produk

itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta


(46)

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggraan perlindungan

kosnumen, serta Negara menjamin Kepastian Hukum.

Asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efiensi karena hukum

yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang

dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya

tanpa penyimpangan.58

Perlindungan konsumen bagaikan sekeping uang logam yang memiliki dua

sisi yang berbeda. Satu sisi merupakan sisi konsumen dan sisi yang satunya

merupakan sisi pelaku usaha, dan kedua sisi tersebut saling berhubungan satu

sama lain.59

Pada asas keempat dalam Pasal 2 UUPK tidak disebutkannya kepentingan

pelaku usaha pada asas yang keempat yaitu asas keamanan, dan keselamatan

konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan kepentingan ini tidak boleh

semata-mata dimanipulasi oleh motif “prinsip ekonomi pelaku usaha” yaitu mendapatkan keuntungan yang besar dengan modal yang kecil. Yaitu dengan

mengabaikan keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengonsumsi produk

barang dan/atau jasa.60

58

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 33

59

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2008), hal.154

60 Ibid.


(47)

4. Hak dan kewajiban konsumen

Perlindungan konsumen erat kaitannya dengan perlindungan hukum.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar perlindungan

fisik melainkan yang melakukan hak-haknya yang bersifat abstrak.61

a. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui

internasional, yaitu:

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety) 2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3) Hak untuk memilih (the right to choose)

4) Hak untuk didengar (the right to he heard)

b. Hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 UUPK, hak-hak konsumen itu

sebagai berikut:62

1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secar patut;

6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8) hak untuk mendapatkan kompensasi, gantu rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

61

Shidarta, Op.Cit, hal.19 62


(48)

9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan.atau jasa mengandung arti bahwa barang dan/atau jasa yang digunakan

oleh konsumen telah mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan secara

jasmani dan rohani. UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin keamanan

dan keselamatan barang dan/atau jasa diberikan. Dan mewajibkan kepada

konsumen untuk meningkatkan kepedulian atas informasi suatu produk yang

aman. Dengan demikian, pelaku dan konsumen harus saling perduli dan

mendukung keamanan dan keselamatan konsumen sehingga dapat

menguntungkan semua pihak.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,

bagi konsumen golongan menengah ke atas mungkin tidak mempunyai masalah

dalam menentukan pilihan, namun masalah ini terjadi pada masyarakat golongan

menengah kebawah yang kemampuan daya belinya relatif rendah, dan

pengetahuan yang kurang tentang suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat

menyebabkan konsumen akan memilih produk apasaja yang mampu ia beli tanpa

mengetahui mutu dari produk tersebut.

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa. Informasi yang benar, lengkap, dan jujur

merupakan suatu kewajiban pelaku usaha yang harus disertakan atau dijelaskan

dalam suatu produk. Hal ini sangat penting, agar menghindarkan kekeliruan


(49)

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan. Hal-hal yang dapat merugikan konsumen dapat disampaikan

kepada pelaku usaha. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya harus

dimanfaatkan agar konsumen tidak dirugikan. Sebaliknya, pelaku usaha harus

bersedia mendengar, dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh

konsumen.

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secar patut. Apabila ada permasalahan yang

dirasakan oleh konsumen tidak mendapatkan tanggapan yang layak, maka

konsumen dapat melakukan penyelesaian hukum termasuk advokasi. Dengan kata

lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang

merugikannya.

Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Mendapatkan

pembinaan merupakan salah satu hal penting. Mengingat kurangnya kesadaran,

pengetahuan, kepedulian dan kemampuan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar

konsumen lebih mandiri dan lebih peduli terhadap barang dan/jasa yang

dikonsumsi atau digunakan. Sehingga tidak menimbulkan kerugian dikemudian

hari bagi konsumen itu sendiri.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif. Hak ini dimaksudkan, agar tidak ada pembedaan atau diskriminasi

berdasarkan agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, kaya atau miskin seseorang

dalam memperlakukan konsumen. Sehingga semua lapisan masyarakat Indonesia


(50)

Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya. Hak ini dimaksudkan untuk pemulihan keadaan

apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen. Termasuk di dalamnya

kerugian materi, maupun kerugian fisik.

Selain hak-hak yang disebutkan diatas, ada juga hak-hak untuk dilindungi

dan akibat negatif persaingan curang dan hak untuk mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat. Sebenarnya persaingan curang diperuntukkan untuk

pelaku usaha, namun kompetisi yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam jangka

waktu yang panjang dapat memberikan dampak negatif bagi konsumen karena

yang menjadi sasaran pelaku usaha adalah konsumen itu sendiri.63

Membahas tentang hak, tentu harus juga membahas tentang kewajiban.

Adanya kewajiban konsumen dimaksudkan untuk mengimbangi hak konsumen.

Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu:64

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan.atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Hal ini

dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan atau pemanfaatan

63

Shidarta, Op.Cit, hal. 22 64


(1)

3. Baik konsumen maupun pelaku usaha apabila terjadi sengketa harus segera diselesaikan agar tercipta rasa persaudaraan yang erat. Namun alangkah lebih baik apabila penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan secara dalam dan di luar Pengadilan, mengingat penyelesaian sengketa di Pengadilan membutuhkan proses waktu yang lama dan bertele-tele. Jika konsumen merasa dirugikan, jangan ragu untuk mengadu ke lembaga konsumen yang ada, dan jika pelaku usaha merasa benar bahwa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan maka pelaku usaha juga berhak membuktikan kebenaran yang ada.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Harahap, Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta Harianto, Dedi, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang

Menyesatkan , Ghalia Indonesia, Bogor

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009 Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta

Marogono, Suyud, 2004, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Bogor

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Nair, Gopalan, 1984, A Guide To Consumer Law & Sale Of Goods, UINS PTE LTD, Singapore

Nasution, Az, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta

Rajagukguk, Erman dkk, 2000 Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju

Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta Siahaan, N.H.T, 2005, Pelindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,

Pantai Rei, Jakarta

Sidabalok, Janus, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Shofie, Yusuf, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung


(3)

---2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlidungan Konsumen Teori & Praktek Penegakan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

--- 2002, Pelaku usaha, Konsumen, dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta

Subekti, R, 2001, Pokok-pokok hukum perdata, Intermasa, Jakarta

Sugono, Bambang, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta Sutedi, Adrian, 2006 Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta

Syawali, Husni dan Neni Imaniyanti, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung

Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Widjaja, Gunawan, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 atas perubahan Keputusan Presiden

Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2013 tentang


(4)

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1176/MenKes/Per/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 96 tahun 1977 tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan Serta Periklanan Kosmetik dan Alat Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/2003/ dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Dan Makanan Minuman

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.10.12123 tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen Informasi produk

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.12.10.11983 tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.10.12459 tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetik Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2995 tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik

Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 tahun 2003tentang Kosmetik


(5)

C. Jurnal

Hardiyanti, Siti Penerapan Hak Atas Informasi Bagi Konsumen Terhadap Produk-produk Kosmetik Natasha Skin Care Samarinda, Vol.2, No. 9 tahun 2013, ISSN 2337-4608

Sri, Hartini, Perilaku Pembelian Smartphone Analisis Brand Equity dan Brand Attachment, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.3, No. 1, April 2012, 25-33 ISSN 2087-1090

Damanik, Bidan Tringani, dkk, Persepsi Remaja Putri di Kota Ambon tentang Resiko Terpapar Kosmetik Berbahaya dan Perilakunya dalam Memilih dan Menggunakan Kosmetik, Jurnal Berita Kedokteran masyarakat, vol. 27, no. 1 Tahun 2011

D. Internet

http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-penyelesaian-sengketa-konsumen-butuh-progresivitas (diakses pada tanggal 21 April 2015)

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4dec97a6186/perkara-konsumen-sebaiknya-diselesaikan-di-luar-pengadilan (diakses pada tanggal 21 April 2015)

http://www.akademiasuransi.org/2012/09/prinsip-subrogasi_18.html?m=1 (diakses pada tanggal 21 April 2015)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc7facb76176/kompetensi-badan-penyelesaian-sengketa-konsumen (diakses pada tanggal 20 April 2014)

https://diklatbpom/files.wordpress.com/2014/05/modul-udupkp-bpom_organisasi-dan-tata-kerja-bpom.pdf diakses pada tanggal 17 April 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Brosur diakses pada tanggal 2 April 2015

http://industri.bisnis.com/read/20140108/12/196285/bpom-masih-8-produk-beredar-tanpa-label diakses pada tanggal 2 April 2015

http://www.beritasatu.com/kesehatan/116988-waspadai-kosmetik-tanpa-izin-bpom.html diakses pada tanggal 2 April 2015

http://www.jpnn.com/berita.detail-14261 diakes pada tanggal 2 April 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan diakses pada tanggal 23 Januari 2015


(6)

http://www.pom.go.id/pom diakses pada tanggal 23 Januari 2015

http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/general-articles/1906-hampir-50-kasus-penyakit-kulit-disebabkan-produk-kosmetik.html diakses pada

tanggal 25 Desember 2014

http://stihpada.ac.id/aspek-hukum-pemakaian-kosmetik-yang-mengandung-zat- aditif-berdasarkan-undang-undang-nomor-8-tahun-1999-tentang-perlindungan-konsumen.html diakses pada tanggal 20 Oktober 2014 http://kemenperin.go.id/artikel/5897/Indonesia-Lahan-Subur-Industri-Kosmetik

diakses pada tanggal 20 Oktober 2014

http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/ diakses pada tanggal 1 september 2014

http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif diakses pada tanggal 1 september 2014

E. Wawancara

Wawancara dengan Abu Bakar Sidiq, Kepala Lembaga Konsumen Indonesia Medan Sumatera Utara, Medan, Kamis 19 Maret 2015

Wawancara dengan Yulius Secramento Tarigan, Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan Medan, Jumat, 13 Maret 2015

Wawancara dengan Jendakita Barus, Ka Sie Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan Medan, Jumat, 13 Maret 2015

Wawancara dengan Reyno Apriliant, Store Manager Innovation Store Sun Plaza Medan, Rabu, 4 Maret 2015


Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Atas Lelang Terhadap Barang Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Leasing (Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan)

11 159 147

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

5 129 137

Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Bancassurance / Produk Kerjasama antara Bank dan Perusahaan Asuransi (Studi Kasus PT. Sun Life Financial Medan).

2 73 128

Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Bancassurance / Produk Kerjasama antara Bank dan Perusahaan Asuransi (Studi Kasus PT. Sun Life Financial Medan).

6 67 128

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

Tinjauan Yuridis Tentang Perlindungan Konsumen Oleh Pt Pos Indonesia Berkaitan Dengan Pengiriman Barang Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Di Pt Pos Indonesia Cabang Kabanjahe)

10 145 95

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

0 0 36

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

0 0 17

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

0 0 9

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen - Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

0 9 44