113
kewajiban pelaku usaha, dan konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar jelas dan jujur. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha dan konsumen
harus saling terbuka. Apabila konsumen tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh pelaku usaha, maka konsumen harus menanyakan kembali agar
tidak terjadi salah paham. Apabila pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya untuk memberikan
informas yang benar jelas dan jujur, maka pelaku usaha harus bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus siap menerima sanksi yang diberikan.
Pelaku usaha yang tidak memenuhi hak atas informasi, berarti telah melanggar ketentuan dalam Pasal 7 huruf b UUPK mengenai kewajiban pelaku
usaha yaitu “memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta member penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan.”
3. Sanksi Atas Tidak Terpenuhinya Hak Informasi Terhadap Konsumen
Apabila pelaku usaha tidak dapat memenuhi kewajibannya, melanggar perbuatan yang telah diatur UUPK, dan akibat perbuatannya merugikan konsumen
maka pelaku usaha mendapatkan sanksi. Bentuk sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak memenuhi penerapan
informasi secara benar jelas dan jujur dapat berupa sanksi adminsitratif dan sanksi pidana.
114
Sanksi-sanksi tersebut diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
165
Sanksi-sanksi tersebut dapat diberikan mulai dari peringatan, pemberhentian izin edar, penutupan tempat produksi sampai dengan
judicia.
166
UUPK mengatur sanksi administratif, yaitu sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha karena menimbulkan kerugian dan dapat dituntut dengan
pembayaran ganti kerugian. Padal Pasal 60 Ayat 1 UUPK disebutkan bahwa “Badan penyelesaian
sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi adminstratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 Ayat 2 dan Ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan
Pasal 26.” Selanjutnya dalam Pasal 60 Ayat 2 disebutkan “sanksi adminstratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta
rupiah .”
Sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha apabila tidak mencantumkan label secara tidak lengkap, tidak menggunakan bahasa Indonesia, dan memuat
informasi yang tidak benar danatau menyesatkan konsumen maka pelaku usaha wajib menarik barang tersebut dari peredaran dan dilarang memperdagangkan
barang tersebut.
167
Apabila pelaku usaha mecantumkan penandaan yang tidak sesuai dengan kenyataan, palsu, dan menyesatkan serta tidak sesuai dengan ketentuan penandaan
165
Yulius Secramento Tarigan, Loc.Cit.
166
Ibid.
167
Pasal 16 PerMenPerd tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang
115
pada Pasal 6 Ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 96 tahun 1977 tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan Serta Periklanan
Kosmetik dan Alat Kesehatan maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan nomor pendaftaran, pencabutan izin produksi dan tindakan lain sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
168
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, Pelanggaran karena tidak terpenuhinya
pemberian informasi secara benar dan jelas pada produk kecantikan impor dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara;
c. penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
manfaat, mutu dan penandaan dari peredaran; d.
pemusnahan kosmetika; e.
penghentian sementara kegiatan produksi dan importasi; f.
pembatalan notifikasi; atau g.
penutupan sementara akses online pengajuan permohonan notifikasi.
Terhadap pelaku usaha produk kecantikan impor yang telah memiliki izin edar produk kosmetika serta izin industri kosmetika tersebut, BPOM sebagai
lembaga yang berwenang dalam melakukan penilaian, pengujian serta memberikan izin edar serta izin industri kosmetika, apabila terbukti bahwa dalam
melakukan kegiatan usahanya tersebut pelaku usaha tidak beritikad baik dengan tidak memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur maka BPOM dapat
mencabut kembali izin edar kosmetika serta izin industri yang telah diberikannya kepada pelaku usaha tersebut.
168
Pasal 40 PerMenKes tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan Serta Periklanan Kosmetik dan Alat Kesehatan
116
Proses pencabutan terhadap izin edar dan izin industri kosmetika tersebut tidak serta merta dilakukan melainkan dengan memberikan surat peringatan
terlebih dahulu pada pelaku usaha tersebut untuk menghentikan proses produksinya serta melakukan penarikan terhadap produk kosmetika yang
diedarkannya di pasaran, proses pemberian peringatan dilakukan sebanyak tiga kali dengan bentuk peringatan tertulis.
C. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Kerugian Konsumen Atas Kelalaian Pelaku Usaha Dalam Penerapan Hak Informasi
Sengketa konsumen berawal dari transaksi konsumen dengan pelaku usaha yang timbul karena salah satu pihak tidak mendapatkan haknya ataupun salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Seseorang yang dirugikan karena tidak terpenuhinya hak informasi yang mengakibatkan produk tersebut menjadi cacat,
hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan tuntutan atas kerugian tersebut. Tidak akan ada penggantian kerugian selain
karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.
169
Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal yaitu:
170
1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana telah
diatur oleh undang-undang. 2.
Pelaku usaha dan konsumen tidak menaati isi perjanjian.
169
Janus Sidabalok, Op.Cit, hal. 145
170
Ibid, hal. 143
117
Hal ini berarti sengketa konsumen timbul karena adanya wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum. Sengketa konsumen harus diselesaikan
secara damai oleh pelaku usaha dan konsumen. Penyelesaian sengketa bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak
kedua belah pihak yang bersengketa, dengan begitu rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan dengan sebagaimana mestinya.
171
UUPK mengatur penyelesaian sengketa melalui dua cara, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif.
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan Sengketa konsumen melalui pengadilan dibatasi pada sengketa perdata.
Masuknya suatu sengketa ke pengadilan bukan karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat
baik itu pelaku usaha maupun konsumen.
172
Menurut Pasal 46 UUPK melakukan gugatan kepada pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga pelindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepetingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
171
Ibid.
172
Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal. 175
118
d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
Adapun tata cara dalam mengajukan gugatan ke pengadilan diawali dengan:
a. Pengajuan Gugatan
Dalam pengajuan gugatan, konsumen maupun pelaku usaha yang merasa dirugikan harus berinisiatif karena hakim dalam hal ini bersifat pasif. Penggugat
harus dapat membuktikan gugatannya. Sebelum lanjut ke proses gugatan, hal yang paling penting adalah membuat surat gugatan. Surat gugatan harus memenuhi
beberapa persyaratan yaitu:
173
1 Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan;
2 Pembubuhan materai;
3 Tanda tangan penggugat sendiri atau kuasa hukumnya;
4 Identitas penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para
tergugat; 5
Dalil-dalil atau alasan-alasan yang menunjukkan perikatan berdasarkan perjanjian atau perbuatan melawan hukum guna
mengajukan tuntutan; 6
Hal-hal yang dimohonkan penggugat atau para penggugat untuk diputuskan oleh hakim.
b. Pemeriksaan dan pembuktian
Jika gugatan atas ganti kerugian di dasarkan pada peristiwa wanprestasi, konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan beberapa hal yaitu:
174
1 Adanya hubungan perikatan atau kontrak, perjanjian;
2 Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen;
3 Timbulnya kerugian bagi konsumen
173
Ibid, hal. 179-180
174
Janus Sidabalok, Op.Cit, hal. 151
119
Jika gugatan atas ganti kerugian di dasarkan pada peristiwa perbuatan melanggar hukum, konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan bebarapa hal
yaitu:
175
1 Adanya perbuatan melanggar hukum, baik berupa pelanggaran hak
konsumen, pelanggaran
terhadap kewajiban
berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma
kepatutan; 2
Adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian;
3 Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen;
4 Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian. Pada saat pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan, penggugat dapat
mengajukan alat-alat bukti yang diatur pada Pasal 1866 KUHPerdata. Adapun alat-alat yang dapat diajukan sebagai alat bukti adalah:
1 Surat
Merupakan alat bukti tertulis yang paling kuat dan paling penting. Surat dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan
surat yang bukan akta.
2 Saksi
Pembuktian dengan saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan
cara pemberitahuan secara lisan oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
3 Persangkaan
Persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung yang merupakan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
telah dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti.
4 Pengakuan
Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan oleh salah satu pihak lain dalam proses pemeriksaan.
5 Sumpah
Suatu keterangan yang dikuatkan atas nama Tuhan yang bertujuan agar seseorang tersebut benar-benar memberikan keterangan.
175
Ibid, hal. 152
120
Pada gugatan yang didasarkan pada wanprestasi, penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesalahan tergugat sehingga ia wanprestasi. Cukup dengan
menunjukkan bukti-bukti bahwa tergugat telah tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
Pada gugatan penggantian kerugian berdasarlan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan bahwa tergugat melakukan sesuatu yang
merugikan diri si penggugat. Dalam Pasal 28 UUPK disebutkan bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini merupakan cara baru dalam menuntut
pertanggungjawaban pelaku usaha.
2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Pada Pasal 19 Ayat 1 dan Ayat 3 UUPK, konsumen yang merasa
dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku usaha, dan pelaku usaha harus memberi tanggapan danatau penyelesaian dalam
waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung.
176
Menyimak dari Pasal 19 Ayat 3, pastilah cara penyelesaian yang dimaksud bukan melalui suatu badan dengan cara pemeriksaan tertentu. Maka
penyelesaian sengketa disini bukanlah penyelesaian sengketa yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih dahulu, melainkan bentuk penyelesaian
sengketa secara sederhana, dan praktis yang ditempuh dengan jalan damai, namun
176
Ibid, hal. 146
121
bukan berarti dengan penyelesaian sengketa secara damai, konsumen tidak dimungkinkan untuk menuntut pelaku usaha secara pidana, konsumen tentu saja
dapat menuntut pelaku usaha secara pidana.
177
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih dikenal dengan sebutan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Arbitrase. Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengatur berbagai peraturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan “Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.” Pasal 1 Ayat 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli.” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat unsur-unsur yang sama antara
Arbitrase dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa secara damai, baik sebelum timbul
sengeta maupun setelah timbul sengketa, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.
177
Ibid.
122
Adapun prosedur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan sesuai dengan Pasal 1 Ayat 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah: a.
Penyelesaian sengketa dengan Konsultasi Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu
pihak tertentu, yang disebut client dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada client tersebut untuk memenuhi
dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan.
178
Dalam konsultasi, para pihak bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia
ambil untuk kepentingan sendiri. b.
Penyelesaian sengketa dengan Negoisasi Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan, maupun yang berwenang
mengambil keputusan.
179
Melalui negoisasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan
kewajiban para pihak.
180
c. Penyelesaian sengketa dengan Mediasi
Menurut Pasal 1 Angka 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kese pakatan para pihak dengan dibantu mediator.” Apabila mediasi
178
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 86
179
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 34
180
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 89
123
menghasilkan kesepakatan, maka para pihak wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dengan dibantu oleh mediator dan ditandatangani oleh para pihak
setelah kesepakatan tersebut diperiksa oleh mediator untuk menghindari terjadinya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum. Dalam kesepakatan ini,
wajib dicantumkan klausula-klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
181
d. Penyelesaian sengketa dengan Konsiliasi
Penyelesaian sengketa secara konsiliasi merupakan suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pegadilan. Dalam hal konsiliasi, pihak
ketiga mengupayakan pertemuan antara pihak yang bersengketa untuk mengupayakan perdamaian. Hasil dari kesepakatan para pihak harus dibuat secara
tertulis dan ditanda tangani bersama oleh para pihak yang bersengketa dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan dari konsiliasi ini bersifat final dan
mengikat para pihak.
182
e. Penyelesaian sengketa dengan Penilaian Ahli
Penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase tidak hanya bertugas untuk menyelesaian perbedaan atau prselisihan
pendapat maupun sengketa, melainkan juga memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang bersengketa.
183
Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut, atau diantara para pihak tidak terjadi penyelesaian, maka konsumen dapat
181
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hal. 267
182
Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal. 187-188
183
Ibid.
124
mengajukan sengketanya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Menurut Pasal 23 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dapat
ditempuh apabila penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan tidak berhasil, baik karena pelaku usaha menolak atau tidak memberi tanggapan
maupun karena tidak tercapainya kesepakatan, dan jika penyelesaian sengketa di BPSK tidak berhasil, maka dapat diserahkan ke Pengadilan.
Permohonan untuk penyelesaian melalui BPSK hanya dapat diajukan oleh oleh konsumen atau ahli warisnya, sedangkan pihak lain yang dimungkinkan
menggugat hanya dapat mengajukan ke Peradilan Umum
184
. Permohonan itu dapat diajukan dengan cara tertulis maupun tidak tertulis mengenai peristiwa yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen itu sendiri. Dalam Pasal 45 Ayat 2 UUPK menyebutkan bahwa “penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.” Hal ini berarti dalam
mengajukan gugatan tidak harus disetujui dahulu oleh para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian
sengketanya.
185
Adapun tugas dan kewenangan BPSK menurut Pasal 52 UUPK adalah: a.
Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; b.
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; c.
Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK;
184
Pasal 46 UUPK
185
Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4cc7facb76176kompetensi-badan-penyelesaian-
sengketa-konsumen diakses pada tanggal 20 April 2014
125
d. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen; f.
Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran- pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
g. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK; h.
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi
panggilan BPSK; i.
Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, sokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan;
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen; k.
Memberitahu putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
l. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan UUPK. Menurut Pasal 52 Ayat 2 UUPK BPSK berwenang untuk melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian sengketa melalui BPSK dengan cara mediasi,
arbitrase atau konsiliasi dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan paa pihak yang bersengketa.
186
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh
Majelis yang bertindak aktif sebagai Mediator.
187
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara arbitrase dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai
186
Ibid.
187
Pasal 5 Ayat 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350MPPKep122001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
126
Arbiter.
188
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh
Majelis yang bertindak pasif sebagai Konsiliator.
189
Permohonan penyelesaian sengketa dapat diajukan secara tertulis atau lisan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK melalui Sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal konsumen:
190
a. Meninggal dunia;
b. Sakit atau telah usia lanjut manula;
c. Belum dewasa;
d. Orang asing Warga Negara Asing, maka permohonan diajukan
ahli waris atau kuasanya. Isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen memuat secara benar
dan lengkap yang berisi:
191
a. Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;
b. Nama dan alamat pelaku usaha;
c. Barang atau jasa yang diadukan;
d. Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan
barang atau jasa yang diadukan; e.
Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksaan jasa, bila ada.
Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen berupa:
192
a. Barang danatau jasa;
188
Ibid, Pasal 5 Ayat 3
189
Ibid, Padal 5 Ayat 1
190
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlidungan Konsumen Teori Praktek Penegakan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2003, hal. 30
191
Ibid, hal. 30-31
192
Pasal 21 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350MPPKep122001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
127
b. Keterangan para pihak yang bersengketa;
c. Ketetangan saksi danatau saksi ahli;
d. Surat danatau dokumen;
e. Bukti-bukti lain yang mendukung
Permohonan penyelesaian sengketa dapat ditolak oleh BPSK apabila:
193
a. Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan
penyelesaian sengketa konsumen tersebut; b.
Permohonan gugatan bukan kewenangan BPSK. Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan Konsiliasi,
mempunyai tugas:
194
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa; d.
menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundangundangan di bidang perlindungan konsumen.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah:
195
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa
kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha
dan mengeluarkan keputusan. Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Mediasi,
mempunyai tugas :
196
193
Ibid, Pasal 17
194
Ibid, Pasal 28
195
Ibid, Pasal 29
128
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa; d.
secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
e. secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa
konsumen f.
sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah:
197
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa
kepada b.
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun
c. jumlah ganti rugi;
d. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan
nasehat, petunjuk, e.
saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; f.
Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan ketentuan.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota Majelis. Arbitor yang dipilih oleh para pihak memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintah sebagai
Ketua Majelis. Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang
digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Pada hari persidangan I pertama Ketua Majelis wajib mendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat
196
Ibid, Pasal 30
197
Ibid, Pasal 31
129
jawaban pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang
dipersengketakan. Pada persidangan pertama sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya
konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan dan Majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut. Apabila dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan
perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan
pertama Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan kedua dengan membawa alat bukti
yang diperlukan. Persidangan ke kedua diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 lima hari kerja terhitung sejak hari persidangan pertama dan
diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretariat BPSK.
Bilamana pada persidangan kedua konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang
tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
Putusan BPSK dijatuhkan paling lambat dalam waktu 21 dua puluh satu hari kerja sejak gugatan diterima di Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
130
Konsumen.
198
Pemberitahuan putusan dilakukan secara tertulis dan disampaikan ke alamat pelaku usaha dengan bukti penerimaan atau bukti pengirimann
selambat-lambatnya dalam waktu 5 lima hari kerja terhitung sejak putusan ditetapkan. Putusan BPSK bersifat final dan mengikat. Kata final menunjukkan
bahwa tidak ada upaya hukum banding dan kasasi atas putusan Majelis BPSK.
199
Putusan majelis BPSK kemudian diberikan ke Pengadilan Negeri supaya dapat dilaksanakan. Namun jika para pihak yang bersengketa tidak puas dengan
hasil putusan BPSK, maka mereka dapat mengajukan keberatannya ke Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lambat 14 empat belas hari sejak putusan
diterima. Artinya, kekuatan putusan BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar bersifat final.
200
Tidak semua konsumen merasa puas dengan penyelesaian di luar pengadilan seperti BPSK. Dalam beberapa kasus, konsumen membawa perkara ke
pengadilan terutama jika mekanisme komplain pada pelaku usaha tidak memuaskan atau tidak mendapat tanggapan. Contoh kasus yang sering terjadi
diselesaikan melalui pengadilan adalah kasus kehilangan mobil di lokasi parkir klausula baku, kenaikan tarif parkir, asuransi, dan perbankan.
201
198
Yusuf Shofie, 2003, Op.Cit hal. 44
199
Ibid, hal. 45
200
Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas http:m.hukumonline.comberitabacahol20267alternatif-penyelesaian-sengketa-konsumen-
butuh-progresivitas diakses pada tanggal 21 April 2015
201
Perkara Konsumen Sebaiknya Diselesaikan di Luar Pengadilan http:m.hukumonline.comberitabacalt4f4dec97a6186perkara-konsumen-sebaiknya-
diselesaikan-di-luar-pengadilan diakses pada tanggal 21 April 2015
131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan