Karakteristik Sosial Ekonomi KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

analisis gerombol memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang sedang pengelompokan dalam Tabel 8 memperjelas pengelompokan kawasan yang dominan mangrove. Tabel 8. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan Kelompok Kawasan Konservasi Jenis Ekosistem I Karimun Jawa, Bali Barat, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Taka Bonerate, Komodo, Bunaken, Teluk Cenderawasih. Dominan terumbu karang II Lorentz, Sembilang Kombinasi rawa pesisir dan mangrove III Ujung Kulon, Berbak, Siberut, Gunung Palung, Wakatobi, Wasur, Alas Purwo, Meru Betiri, Tanjung Puting, Kutai, Baluran, Rawa Aopa subgrup 1; Kombinasi hutan pantai dan mangrove Pengelompokan pada Tabel 5 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok hutan pantai, kelompok terumbu karang, dan kelompok campuran terumbu karang dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang umumnya ditujukan pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove, hutan pantai, terumbu karang, dan kombinasi beberapa type ekosistem.

4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik lain yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah nilai penting sosial ekonomi. Karakteristik ini baru disadari nilai pentingnya dalam 20-30 tahun terakhir sebab secara tradisional penetapan suatu kawasan konservasi awalnya lebih didasarkan pada nilai penting biologis. Munculnya berbagai persoalan yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi yang ternyata bermuara pada isu sosial ekonomi membuat karakteristik sosial ekonomi menjadi salah satu bagian penting dalam perencanaan pengelolaan kawasan konservasi. - 1 2 3 4 5 N ila i il m ia h da n pen di di k an M anf aat dan ja s a ek o s is tem Sa tw a pe nt ing P em anf aat an le s ta ri P en y edi a s um b er day a al am P ano ra m a R e k reas i T um buha n pent in g P eny ed ia pek e rj aan N ila i s p ir itu a l Karakteristik Sosial Ekonomi N ila i P e n tin g Gambar 9 Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi. Karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi adalah karakteristik yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Hasil penilaian yang disajikan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi tidaklah begitu tinggi yaitu umumnya di bawah nilai 4. Karakteristik yang relatif tinggi adalah nilai ilmiah dan pendidikan, jasa ekosistem, satwa penting, dan pemanfaatan lestari. Meski demikian, saat ini para pengelola Kawasan konservasi mulai melihat kawasannya sebagai sesuatu yang dapat memberikan keuntungan ekonomis terutama dari jasa ekosistem atau pemanfaatan secara lestari. Beberapa kawasan konservasi bahkan secara serius mengkomersilkan daya tarik khasnya seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Bunaken, dan Bali Barat. Karakteristik sosial ekonomi yang nilainya kecil adalah sebagai penyedia pekerjaan. Lokasi kawasan konservasi yang umumnya jauh dari pemukiman serta adanya batasan untuk merambah kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab minimnya aktifitas untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara ekonomis. Kondisi ini tidak terjadi pada beberapa kawasan konservasi seperti yang tersaji dalam Gambar 10. Taman Nasional Komodo adalah salah satu pengecualian antara lain disebabkan adanya LSM Internasional yang mengembangkan usaha pariwisata sehingga memungkinkan tersedianya lapangan pekerjaan. Hal yang sama terjadi pada Taman Nasional Pulau Seribu yang keberadaannya memiliki nilai penting sebagai penyedia pekerjaan karena letaknya tumpang tindih dengan wilayah pemukiman daerah penangkapan ikan dan budidaya laut marikultur masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu. Karakteristik sosial ekonomi lain yang memiliki nilai relatif kecil adalah nilai spiritual kawasan. Tujuan awal pembentukan taman nasional lebih didominasi oleh isu keanekearagaman hayati yang dikelola melalui Departemen Kehutanan. Oleh sebab itu isu nilai spiritual yang melekat pada suatu kawasan cenderung tidak menjadi perhatian khusus bagi Departemen Kehutanan untuk menjadi dasar pembentukan kawasan konservasi. Perlindungan suatu kawasan yang bernilai spritual umumnya dilakukan melalui otoritas pemerintah yang bergerak dalam isu kebudayaan atau pariwisata. 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 B e rbak S em b ilang W a y K a m bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G u nung P al ung Ra wa A o p a Wa tu m o h a i Wa s u r Lor ent z U jung K ul on Ka ri m u n Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k C endr aw as ih K epul auan Se ri b u K o m odo Bu n a k e n Ta k a B oner at e W a k at obi S iber ut Ba lu ra n Al a s Pu rw o M e ru B e tiri M anupeu T a nadar u N il a i P e nt ing S o s ial Ekonom is Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 10 Grafik nilai penting sosial ekonomi 23 kawasan konservasi di Indonesia. Setiap kawasan konservasi memiliki nilai penting sosial ekonomi dan biologi yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 10. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan letak geografis maupun interaksi antara kawasan konservasi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekelilingnya. Kawasan konservasi yang dinilai memiliki karakteristik sosial ekonomi paling menonjol adalah Taman Nasional Sembilang, Wasur dan Lorentz, Ujung Kuloan, Karimun Jawa dan Bali Barat, Komodo dan Bunaken, Alas Purwo dan Meru Betiri. Karakteristik sosial ekonomi yang menonjol dari keempat kawasan konservasi ini adalah karena memiliki tumbuhan dan satwa penting, panorama yang indah, dan jasa-jasa ekosistem. Kawasan yang memiliki nilai penting ekonomi yang rendah adalah Taman Nasional Kutai. Ditinjau secara kelompok, kawasan konservasi yang didominasi oleh tipe ekosistem hutan pantai cenderung memiliki nilai penting ekonomi yang rendah seperti Siberut, Baluran, Manupeu Tanadaru. Letaknya yang cukup jauh dari aktifitas perekonomian nasional Siberut dan Manupeu Tanadaru atau terdapat aktifitas ekonomi yang lebih menarik ketimbang memanfaatkan kawasan konservasi seperti yang terjadi di Baluran dan Kutai yang berada dekat pertumbuhan ekonomi maupun dekat wilayah kaya akan sumberdaya mineral menyebabkan kawasan-kawasan tersebut dipandang sebagai kawasan yang memiliki nilai ekonomi relatif rendah. Anggapan bahwa Taman Nasional Kutai memiliki nilai ekonomi yang rendah mungkin juga menjadi penyebab semakin menyusutnya luasan kawasan konservasi Taman Nasional Kutai. Suaka Margasatwa Kutai ketika ditetapkan pada tahun 1934 luasnya dua juta hektare kemudian berkurang menjadi 306.000 hektare pada tahun 1957, menyusut lagi menjadi 200.000 hektar pada tahun 1971 dan tersisa 198.604 hektare pada tahun 1991 sejak ditetapkan menjadi Taman Nasional Kutai Rahmiyati, 2006. Secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9, masih lebih rendah dibandingkan karakteristik biologisnya yang ditunjukkan dalam Gambar 6. Penilaian yang lebih tinggi terhadap nilai biologis dibanding nilai ekonomis ini berkaitan erat dengan tujuan awal pembentukan kawasan konservasi yang lebih memfokuskan pada perlindungan ekosistem seperti yang disepakati dalam kriteria IUCN 1969 Wiratno et al. 2001. Oleh sebab itu secara tradisional pemangku kepentingan akan menilai kawasan konservasi sebagai tempat yang memiliki nilai biologis yang lebih tinggi dibandingkan nilai ekonomis. Informasi mengenai kekayaan spesies ini memerlukan perhatian sebab kekayaan sumberdaya hayati justru merupakan kekayaan yang bernilai ekonomis yang jika dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Indikasi mengenai hal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 15 dimana karakteristik ekonomi yang dinilai tinggi dalam penelitian ini adalah satwa penting dan pemanfaatannya secara lestari. Hal ini ditunjang oleh statistik resmi Departemen Kehutanan 2004 yang memperkirakan perolehan devisa dari ekspor fauna lahan basah pesisir yaitu buaya dan koral lebih dari US 550 ribu pada tahun 2004. Sedangkan total devisa negara dari ekspor flora dan fauna adalah US 15 juta Rp 135 miliar. Jumlah ini, walaupun relatif kecil, mengalami peningkatan drastis dari tahun ke tahun yang jika dikelola secara profesional bisa menunjang pengelolaan kawasan konservasi secara mandiri. Sebagai ilustrasi pembanding, realisasi pengeluaran anggaran konservasi alam oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan pada tahun 2003 adalah sekitar Rp 253 miliar. 5000 10000 15000 20000 25000 30000 2000 2001 2002 2003 2004 Jum lah Tur is A s in g Tahun Gambar 11 Jumlah pengunjung turis asing ke 23 kawasan konservasi. Sumber: Dephut 2004 Kegiatan lain yang menjadi komponen penilaian karakteristik sosial ekonomi adalah pariwisata. Kegiatan ini sebetulnya salah satu cara paling populer dalam pemanfaatan secara lestari Kawasan konservasi. Meski demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap nilai penting karakteristik pariwisata masih belum setinggi penilaian karakteristik sosial ekonomi yang lain. Kecenderungan jumlah wisatawan asing ke kawasan konservasi yang semakin meningkat menunjukkan adanya peluang pengembangan pariwisata di kawasan konservasi. Gambar 11 memperlihatkan bahwa jumlah wisatawan asing meningkat drastis dari tahun 2000 ke tahun 2001 kemudian menurun drastis pada tahun 2002 - 2003. Jumlah ini kemudian meningkat kembali pada tahun 2004 Dephut, 2004. Penurunan drastis dari tahun 2001 ke tahun 2003 berimbas dari kondisi keamanan dalam negeri akibat bom Bali tahun 2002 dan situasi dunia yang sedang berperang melawan terorisme. Meski demikian masyarakat dunia saat ini sudah semakin beradaptasi terhadap situasi keamanan global dan geliat kebangkitan pariwisata semakin terasa. Oleh sebab itu pengembangan pariwisata di Kawasan konservasi ditahun-tahun mendatang dapat menjadi pilihan pemanfaatan lestari.

4.4 Karakteristik Tekanan dan Ancaman