Proses Pengelolaan EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi kawasan upland. Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada. Meski demikian terdapat kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS. Pemenuhan kebutuhan akan “masukan” memiliki isu yang relatif sama di Kamboja Asia, Brazil Amerika, Kwazulu Natal Afrika Selatan yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17 akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50 terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005. Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan staf, infrastruktur, keuangan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai “mengalami kekurangan yang kronis” disetiap level pengelola Lacerda et. Al. 2005. Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan Goodman, 2003

5.3 Proses Pengelolaan

Proses pengelolaan adalah tahapan dalam siklus pengelolaan yang merupakan tindak lanjut perencanaan dan desain kawasan konservasi berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Penilaian proses pengelolaan ditujukan untuk mengetahui apakah proses tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan kawasan konservasi. Terdapat tiga kelompok yang menjadi penilaian terhadap proses pengelolaan yaitu: 1 perencanaan pengelolaan; 2 pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; 3 penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan. - 1 2 3 4 5 R enc ana peng el ol a an A n a lis is a n c a m a n P en dat a an R en c ana k er ja de tai l P em a nt au an Ke te rb u k a a n Or gani s a s i i n te rnal K o labo ras i dgn m as y ar a k at P a rt is ipas i m as y ar a k at K o m un ik as i ef ek tif P e nel iti an e k ol o gi s P en c at a tan d am p ak P em anf aat a n m o ni tor ing A k s es has il pe nel iti an P e n e lit ia n is u s o s e k N il ai P ro s es P en g el o laa n perencanaan pengelolaan praktek-praktek pelaksanaan monitoring evaluasi Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi Rendahnya nilai pada komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 18 menyebabkan kita sulit untuk berharap bahwa dalam tahapan siklus pengelolaan selanjutnya yaitu “proses pengelolaan” akan diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 15 komponen proses yang diamati, ternyata hanya ada 3 komponen yang dinilai cukup memadai yaitu struktur organisasi internal, keterbukaan dalam pengelolaan, dan kolaborasi dengan masyarakat seperti ditunjukkan dalam Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, komponen-komponen proses pengelolaan memiliki nilai capaian yang sangat rendah dengan nilai dibawah 2 yang berarti bahwa sebagian besar kondisi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Proses pengelolaan yang relatif lebih baik adalah pada kelompok praktek- praktek pelaksanaan, terutama pada komponen organisasi internal pengelola, keterbukaan dalam pengelolaan, dan upaya-upaya kolaborasi dengan masyarakat. Secara umum, bagian paling lemah dalam kegiatan proses pengelolaan adalah monitoring dan evaluasi terutama pada penelitian-penelitian isu sosial ekonomi. Dua dari tiga kelompok komponen dalam proses pengelolaan yang memiliki nilai yang sangat rendah yaitu kelompok perencanaan dan kelompok monitoring dan evaluasi. Lemahnya proses perencanaan biasanya disebabkan oleh hambatan teknis seperti ketiadaan data dan informasi, pendekatan proyek yang dilakukan oleh konsultan, dan terbatasnya waktu pelaksanaan. Akibatnya banyak kawasan konservasi yang tidak menyelesaikan rencana pengelolaannya, kalaupun ada karena difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya hanya berupa dokumen yang tersimpan sebagai arsip tanpa adanya upaya implementasi. Bagian lain dari proses pengelolaan yang lemah adalah pada kelompok monitoring dan evaluasi. Saat ini sistem monitoring dan evaluasi yang dikembangkan masih belum memadai. Akibatnya, informasi yang diperoleh dari kegiatan monitoring sulit untuk diakses pihak lain yang berkepentingan dan sering tidak dimanfaarkan untuk menjadi masukan bagi siklus pengelolaan selanjutya. Gambaran ketidakmemadaian ini bisa dilihat pada produk informasi Taman Nasional yang dipublikasikan Pusat Informasi Konservasi Alam PIKA Departemen Kehutanan melalui websitenya http:li.defined.netcgi-binpika.exe. Hingga saat penulisan hasil penelitian ini dilakukan Desember 2006, informasi mengenai taman nasional yang ditampilkan dalam website tersebut praktis masih berupa tabel-tabel yang sebagian besar dalam keadaan kosong. 3 6 9 12 15 Be rb a k S e mb ila n g Wa y K a m b a s T a nj un g Pu tin g Ku ta i G u nu ng P a lung Ra wa A o p a W a tum o hai Wa s u r Lor e nt z U jung K ul o n Ka ri m u n Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k Cend ra w a s ih K e pu la ua n Se ri b u Ko m o d o Bu n a k e n Ta k a Bo n e ra te Wa k a to b i Si b e ru t Ba lu ra n Ala s P u rw o M e ru B e tir i M a nu pe u T a na da ru m p e N il ai P ro ses Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove - Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi. Hurup “m” pada keterangan gambar menunjukkan rencana pengelolaan, “p” untuk praktek pelaksanaan, dan “e” untuk evaluasi. Seperti halnya dalam siklus-siklus pengelolaan sebelumnya, Taman Nasional Bali Barat, Komodo, Wakatobi, dan Bunaken tetap merupakan kawasan konservasi yang relatif lebih baik dalam proses pengelolaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 21. Sedangkan kawasan konservasi yang proses pengelolaannya masih lemah antara lain Taman Nasional Lorentz, Gunung Palung, Kutai, Baluran, dan Sembilang. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki nilai proses pengelolaan yang lebih baik dibandingkan kelompok kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan konservasi kelompok rawamangrove memiliki nilai proses yang lebih lemah dibanding kelompok lainnya. Hasil RAPPAM di tiga negara tropis yang sedang berkembang menunjukkan kesamaan yang dialami di Indonesia. Kamboja, Brazil, maupun Kwazulu Natal memiliki kelemahan dalam penyusunan rencana detail pengelolaan, penelitian, monitoring dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan praktek-praktek pelaksanaan telah dijalankan dengan baik seperti keterbukaan, kolaborasi dengan masyarakat, dan komunikasi yang efektif.

5.4 Keluaran