2 Pomeroy et. al 2004 dari MPA Management Effectivennes Initiative WCPA-
IUCN MPA-MEI mengembangkan metodologi untuk kawasan konservasi laut. Dibandingkan RAPPAM, pendekatan yang digunakan oleh MPA MEI lebih luas
dan menyeluruh sehingga cenderung sulit untuk diaplikasikan secara utuh. Studi menggunakan metoda dari MPA-MEI ini pernah dilakukan sebelumnya oleh
Abbot 2003, tapi hanya mengaplikasikan indikator tata laksana yang baik bagi pengelolaan kawasan konservasi laut untuk daerah perlindungan burung di
Northern Mariana Island, Pasifik 3
Staub dan Hatziolos 2004 dari World Bank mengembangkan metodologi yang lebih praktis dibandingkan metodologi MPA-MEI IUCN dan RAPPAM.
4 Belfiore et. al 2003, dari UNESCO mengembangkan metodologi untuk menilai
efektivitas pengelolaan pesisir. Aplikasi dan efektivitas metode ini tidak diketahui secara luas karena tidak ada lembaga khusus yang ”mengawal” studi
tersebut hingga tahap ujicoba. Berbagai pilihan pendekatan tersebut diatas memiliki kelemahan dan kekuatan
masing-masing sehingga penggunaannya pun tergantung pada kondisi yang ditemui dilapangan. Penelitian ini memilih untuk menggunakan RAPPAM karena dianggap
lebih mudah diaplikasikan untuk kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki karakteristik sangat bervariasi.
2.4.3 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management
Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management RAPPAM dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh
Komisi Kawasan Konservasi Dunia WCPA mengenai kerangka kerja umum dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja
umum yang dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 sebelumnya. RAPPAM adalah salah satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang
telah dikembangkan WCPA tersebut. Kuesioner RAPPAM dapaat dilihat pada Lampiran 4.
Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam di sekitar 7 negara Ervin 2003, Goodman, 2003. Sampai saat ini lebih
dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, Russia, Kwazulu-Natal.
Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan
dengan situasi masing-masing. Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil mengidentifikasi 3 kebijakan umum yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan
konservasi yaitu: 1 dalam bidang pengelolaankelembagaan yang merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan kompetensi masing-masing
staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; 2 dalam bidang konservasi direkomendasikan
pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan 3 dalam bidang keuangan
direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004.
Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan
11 rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan antar wilayah yang sinergi satu sama lain Lacerda et al. 2004.
Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa
tingkatan kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah
kawasan konservasi. Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No P. 03Menhut-II2007 dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan operasional terendah
dikeluarkan oleh Kepala BagianSeksi Konservasi Balai Taman Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1. 2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional
dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3. 3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional
dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4. Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di
level makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya Ervin, 2003.
Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut;
kawasan konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya.
Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro. RAPPAM bisa
digunakan untuk mengetahui nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian RAPPAM tidak memadai untuk memberikan
rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya. Oleh sebab itu maka rekomendasi kebijakan makro yang dihasilkan
RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi kebutuhan detail masing- masing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya training pengelolaan
modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.
Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi
Dasar Evaluasi Konteks
Perencanaan Masukan
Proses Keluaran
Hasil Penjelasan
Dimana kita saat ini?
Menilai tingkat kepentingan,
ancaman dan kebijakan
lingkungan Dimana seharusnya
kita berada? Penilaian
Rancangan dan Rencana Kawasan
konservasi. Apa yang
dibutuhkan? Penilaian
sumberdaya yang dibutuhkan untuk
melakukan pengelolaan.
Bagaiman kita mencapai tujuan?
Menilai cara pengelolaan
dilakukan. Apa saja keluaran?
Penilaian pelaksanaan
program dan aksi pengelolaan; hasil
produk dan jasa. Apa saja yang telah
dicapai? Penilaian hasil dan
sejauh mana tujuan- tujuan yang
ditetapkan dapat di capai.
Kriteria yang Dinilai
Nilai penting Ancaman
Kerentanan Konteks Nasional
Peraturan perundang-
undangan dan kebijakan.
Rancangan sistem kawasan konservasi
Penyediaan sumberdaya
lembaga Penyediaan
sumberdaya lokasi Mitra-mitra
Kesesuaian proses- proses pengelolaan
Hasil-hasil aksi pengelolaan
Jasa dan produk Dampak: Pengaruh
pengelolaan dalam kaitannya dengan
tujuan.
Fokus Evaluasi Status
Kesesuaian Sumberdaya Kesesuaian –
Efisiensi Efektivitas Kesesuaian
- Efektivitas
3. METODOLOGI PENELITIAN