kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang- undang no 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan
yaitu 1 Kawasan lindung; 2 Kawasan budidaya; dan 3 Kawasan dengan peruntukan khusus.
Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis
yaitu: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya
2. Kawasan perlindungan setempat 3. Kawasan rawan bencana alam
4. Kawasan suaka alam dan cagar budaya. Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala
tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa
upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat
terjadi kompromi.
2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Lahan Basah Pesisir
Pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir nasional, yang dalam tulisan ini disingkat ”kawasan konservasi”, berada dalam tanggung jawab
pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan. Meski demikian, baik-buruknya kondisi dan pengelolaan kawasan konservasi juga sangat tergantung pada kondisi
diluar kawasan konservasi yang pengelolaannya berada dibawah pemerintah daerah, departemen-departemen sektor lainnya dalam pemerintahan, kalangan swasta, dan
masyarakat umum. Dengan demikian tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi mempertimbangkan kepentingan di daerah-daerah sekeliling
kawasan konservasi. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi
kawasan yang terdapat dalam Undang-undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai
pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah
Nitibaskara, 2005: 1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian. 2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran
masyarakat di dalam dan di sekitarnya, 3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan proses-
proses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi. 4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan
lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang
terdapat di dalam kawasan konservasi. Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam paradigma
pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini antara lain dipicu oleh munculnya issu pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah berkaitan dengan sifat
biosfisik seperti perubahan iklim. Perubahan tersebut terjadi di semua tingkat pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah Komite Nasional
Pengelolaan Lahan Basah, 2004. Perubahan signifikan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terjadi
dalam 5 tahun terakhir yaitu melalui proses desentralisasi pemerintahan. Proses ini dengan sendirinya menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang
menandatangani berbagai konvensi internasional. Hal ini antara lain tercermin dalam salah satu semboyan terkenal yang dihasilkan dari Konverensi Rio 1992 adalah
”think globally, act locally”. Artinya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus bisa melakukan harmonisasi kegiatan dalam memasukkan issue global
dalam pengelolaan di tingkat daerah Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah,
2004. Secara umum keterkaitan berbagai isu dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi lahan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1 Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia
.
Sumber: Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi
Gambar 1 menunjukkan bagaimana isu pengelolaan di tingkat nasional dan internasional dirangkum untuk menjadi kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya
hayati Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi. Kebijakan tersebut selanjutnya diadopsi dan dikembangkan menjadi kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi oleh Departemen Kehutanan. Kebijakan
Nasional Isu
Nasional dan Lokal
Isu Regional dan
Internasional
Departemen Kehutanan
Kawasan konservasi Lahan
Basah Pesisir Pemerintah
Pusat Departemen
Sektor
Masyarakat AdatLokal
Akademisi dan
Peneliti Sektor
Swasta Pemerintah
Daerah
Kawasan Penyangga
Gambar 1. juga memperlihatkan bahwa disekeliling kawasan konservasi terdapat berbagai pemangku kepentingan lain yang juga melakukan kegiatan
pengelolaan misalnya: masyarakat lokal yang memungut hasil hutan, pemerintah daerah yang membangun pasar, dan departemen sektor dari pemerintah pusat yang
membangun instalasi pengairan. Keseluruhan kegiatan tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak ke dalam kawasan konservasi. Oleh sebab itu,
pengelolaan terpadu menjadi hal yang mutlak untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan oleh semua pemangku kepentingan.
Kompleksnya persoalan konservasi disikapi pemerintah dengan mengembangkan berbagai kebijakan termasuk pengelolaan lahan basah nasional yang melibatkan
banyak pihak. Penelitian ini akan memfokuskan pada kebijakan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lahan basah yang menempatkan Departemen
Kehutanan menjadi pemangku kepentingan utama. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian ini difokuskan pada ”kawasan konservasi” yang pengelolaannya
didominasi oleh pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan. Kebijakan nasional yang dimaksud terdiri atas dasar-dasar hukum yaitu paling tidak 10 Undang-
undang, 12 Peraturan Pemerintah, 4 Keputusan Presiden, 5 kebijakan nasional berupa Strategi dan Rencana Aksi Nasional seperti yang disajikan dalam Lampiran 1 dan 2.
Secara struktural organisasi pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No P.03Menhut-II 2007.
Posisi tertinggi dalam pengelolaan adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dirjen dengan dibantu oleh beberapa Direktur yang mengeluarkan
kebijakan-kebijakan makro pengelolaan kawasan konservasi. Posisi menengah adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang mengeluarkan kebijakan-
kebijakan meso bagi taman nasional masing-masing. Posisi selanjutnya adalah Kepala Bidang Balai Besar atau Kepala Seksi yang mengeluarkan kebijakan skala
mikro mengenai wilayah atau topik kerjanya masing-masing.
2.4 Efektivitas Pengelolaan 2.4.1 Pengertian dan Tujuan