Karakteristik Kerapuhan KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

pantai yaitu Alas Purwo, Meru Betiri, dan Lorentz, hingga yang paling besar Kutai, Karimun Jawa, Teluk Cendrawasih, Wasur, dan Rawa Aopa. Secara umum, kelompok hutan pantai mengalami tekanan dan ancaman yang lebih kecil dibanding kelompok tipe ekosistem lainnya. Pembalakan hutan, cenderung dominan di kawasan konservasi yang memiliki wilayah upland seperti Teluk Cendrawasih dan Kutai. Meski pembalakan terjadi jauh ke wilayah upland, akibatnya dapat berdampak langsung terhadap kualitas lahan basah pesisir. Terbukanya tutupan hutan akan menyebabkan mudahnya terjadi erosi pada musim hujan yang menyebabkan wilayah pesisir mengalami penurunan kualitas air. Tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi yang didominasi oleh ekosistem laut seperti Taman Nasional Karimuan Jawa adalah perburuan satwa dan pengelolaan yang tidak terkoordinasi. Tekanan dan ancaman lain yang lazim muncul adalah pemukiman dan penggunaan alat tangkap yang destruktif.

4.5 Karakteristik Kerapuhan

Mempertahankan integritas kawasan konservasi bukanlah hal mudah untuk dilakukan di negara-negara berkembang. Hal yang sama dialami di Indonesia dimana masyarakat masih sangat mengandalkan pendapatannya pada penjualan bahan baku yang dipanen langsung dari sumberdaya alam. Indonesia juga tergolong lemah dalam upaya penegakan hukum dan masih mengalami ketidakstabilan politik. Beberapa karakteristik utama yang merupakan indikator kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi disajikan dalam Gambar 14 yang sekaligus menunjukkan tingkat kerapuhan setiap indikator tersebut. Terdapat 3 karakteristrik yang dianggap paling rapuh dalam pengelolaan Kawasan konservasi yaitu: nilai pasar yang tinggi, penyerobotan lahan, dan kesulitan mencari pegawai. Sedangkan karakteristik kerapuhan yang nilainya relatif rendah adalah: suap dan korupsi, ketidakstabilan politik, dan konflik budaya. - 1 2 3 4 5 N ila i p a s a r tinggi Mu d a h di s er obo t Ke s u lit a n m enc a ri p egaw ai Pe rm in ta a n s u m b er da y a ka w a sa n Lem ah p enega k an huk u m K e gi a tan il eg al K on fli k bud ay a T ek an an pada penge lol a S ua p dan ko ru p si K et ida k s tabi lan p o lit ik Karakteristik Kerapuhan Ti n gk a t K e ra puh a n Gambar 14 Grafik nilai beberapa karakteristik kerapuhan utama dalam pengelolaan kawasan konservasi. Nilai pasar yang tinggi berbagai produk kawasan konservasi seperti spesies langka, obat-obatan maupun material berkualitas tinggi sudah sejak lama menjadi tantangan pengelolaan kawasan konservasi. Nilai pasar yang tinggi tersebut merupakan awal dari berbagai kegiatan ilegal, antara lain banyaknya pihak yang melakukan kegiatan pengumpulan berbagai spesies atau material dari dalam wilayah kawasan konservasi. Kegiatan ini sangat marak di berbagai kawasan konservasi sehingga dapat dimengerti mengapa nilai pasar tinggi menjadi salah satu karakteristik kerapuhan paling tinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Karakteristik kerapuhan yang tinggi lainnya adalah kondisi kawasan konservasi yang mudah diserobot sehingga memicu kegiatan merusak lainnya seperti perambahan dan perburuan liar. Hal yang unik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa salah satu karakteristik penting dari rapuhnya pengelolaan kawasan konservasi disebabkan oleh faktor kesulitan mencari pegawai. Luas Kawasan konservasi dalam penelitian ini yang berkisar antara 19 ribu ha TN Bali Barat hingga 2,5 juta ha TN Lorentz menunjukkan adanya kebutuhan pegawai profesional yang sangat besar sesuai kondisi spesifik wilayah masing-masing. Hal ini cukup sulit untuk dipenuhi terutama sekali karena adanya keterbatasan biaya pengelolaan kawasan konservasi dan minimnya minat pegawai pemerintah untuk tinggal dan bekerja di tempat terpencil dalam jangka waktu lama. Isu perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar hampir tidak mungkin diatasi jika hanya mengandalkan sumberdaya pegawai Departemen Kehutanan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan pegawai dan peningkatan kapasitasnya merupakan bagian yang sangat rapuh dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 14. Data statistik Dephut 2004 menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2004, jumlah total pegawai yang bekerja di unit-unit taman nasional adalah 3.269 orang yang jika dibandingkan dengan luasan taman nasional yang mencapai 16,4 juta ha berarti setiap pegawai harus mengawasi wilayah sekitar 5000 ha. Kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi tersebut di atas merupakan gambaran umum pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang hingga kini belum ditangani secara signifikan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jumlah pegawai dan hal-hal lain yang masih rapuh dalam pengelolaan kawasan konservasi. Ilustrasi lain yang menggambarkan kerugian tersebut disampaikan oleh Jampidsus Agung Prasetyo yaitu bahwa dalam kurun 2003 - 2005 nilai aset yang dijarah dari kawasan hutan Indonesia mencapai 83 trilyun rupiah Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 B er bak S em bi lang W ay K am bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G unung P al ung R aw a A opa W at um ohai Wa s u r Lor ent z U jung K ul on Ka ri m u n Ja w a Ba li B a ra t Te lu k C endr aw as ih K epul auan Se ri b u K om odo B unak en Ta k a B oner at e W ak at obi S iber ut Ba lu ra n Al a s Pu rw o M e ru B e tir i M anupeu T anadar u Rawa Pantai dan Mangrove Ti ngk a t K e ra p uha n Mangrove- Terumbu karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 15 Tingkat kerapuhan rata-rata di 23 kawasan konservasi di Indonesia Gambar 15 memperlihatkan bahwa semua kelompok tipe ekosistem kawasan konservasi memiliki tingkat kerapuhan bervariasi, tidak ada yang menonjol antara satu dengan yang lain. Kawasan konservasi yang paling rapuh dalam penelitian ini adalah TN Siberut, Karimun Jawa, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Teluk Cendrawasih, dan Wasur. Tingkat kerapuhan TN Siberut paling menonjol dibanding kawasan konservasi lainnya. Letaknya di perairan paling barat Indonesia dimana akses transportasi masih terbatas sehingga pemantauan terhadap aktifitas illegal maupun penegakan hukum menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Oleh sebab itu, hampir semua karakteristik kerapuhan yang menjadi acuan dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam skala yang tinggi di TN Siberut. Tingkat kerapuhan kawasan konservasi lain yang tergolong sedang dan yang paling rendah adalah TN Way Kambas dan Manupeu Tanadaru. Way Kambas letaknya relatif dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan sehingga dukungan infrastruktur untuk melakukan pemantauan lebih mudah. Sebaliknya dengan Manupeu Tanadaru, persepsi terhadap rendahnya nilai ekonomis kawasan konservasi ini menyebabkan minat masyarakat untuk mengaksesnya menjadi relatif rendah.

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN