Strategi Masukan vs Tekanan - Ancaman

yaitu Taman Nasional Komodo seperti disajikan pada Gambar 24. Kebutuhan perlindungan terhadap nilai ekologi maupun sosial ekonomi yang tinggi akibat adanya tekanan dan ancaman pada empat kawasan konservasi lainnya yaitu Taman Nasional Karimun Jawa, Wasur, dan Ujung Kulon belum direspon sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu diperlukan perhatian yang lebih lagi terhadap ke 3 kawasan konservasi yang perencanaannya masih lemah tersebut.

6.2 Strategi Masukan vs Tekanan - Ancaman

Secara umum kesesuaian masukan-masukan dalam pengelolaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan masih belum memadai nilai2 seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 19. Salah satu masukan yang relatif lebih baik dibandingkan komponen masukan lain adalah dalam bidang kepegawaian. Lebih baik dalam pengertian ini tidak berarti kebutuhan akan pegawai telah terpenuhi tetapi secara relatif lebih baik dibanding masukan lainnya. Seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa setiap pegawai harus mengawasi Taman Nasional dengan luasan kurang lebih 5.000 ha Departemen Kehutanan, 2004. Masukan lain yang secara umum juga belum memadai yaitu aspek pendanaan. Anggaran pemerintah secara keseluruhan untuk pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan sebesar USD 2.35 per hektar. Anggaran tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN seperti Thailand, Philippines dan Malaysia. Anggaran pengelolaan kawasan konservasi di Thailand adalah sebesar USD 20.65 per hektar, sementara untuk Amerika Serikat adalah USD 76.12 per hektar Kementerian Lingkungan Hidup, 2006. Jika menggunakan angka Thailand, berarti terdapat kekurangan anggaran sekitar USD 170 juta. Direktorat Jenderal PHKA yang secara langsung bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi pada tahun 2003 hanya memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 304 miliar. Pemerintah Malaysia Semenanjung mengalokasikan anggaran untuk Dirjen PHKA-nya pada tahun 2003 sebesar RM 31 juta atau sekitar 80 miliar Perhilitan, 2003. Padahal wilayah yang dikelola oleh Perhilitan kurang lebih separuh dari kawasan konservasi Indonesia di Sumatra. Keluhan mengenai minimnya anggaran ini telah menjadi pembicaraan umum yang terjadi dari tahun ke tahun dan belum ada jalan keluar yang signifikan seperti yang disampaikan oleh Abdul Halim dari The Nature Conservancy Tempo Interaktif, 2006. SR BK SL WK UK KS KJ BL AP MB BB KM MT TP KT GP TB WT RA BN TC WS LZ anggaran luas ancaman -2 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 2 2.5 3 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 Sumbu 1 48 S u m b u 2 34 Gambar 27. Grafik sebaran 23 kawasan konservasi dibandingkan dengan masukan anggaran, luasan dan ancaman masing-masing kawasan konservasi. Hasil PCA pada Gambar 27 memperlihatkan bahwa alokasi anggaran tidak dilakukan berdasarkan tingkat ancaman maupun luas kawasan. Korelasi diantara kedua komponen tersebut sangat rendah bahkan negatif yang berarti bahwa semakin luas kawasan konservasi alokasi anggarannya justru cenderung semakin rendah. Idealnya, anggaran akan dialokasikan berdasarkan kondisi obyektif yang paling mudah diukur yaitu berdasarkan luas, tekanan, dan ancaman yang dihadapi. Letak yang “relatif” ideal tersebut dilingkari merah yang menunjukkan bahwa semakin tinggi ancaman dan luas kawasan konservasi, semakin besar alokasi anggaran yang dibutuhkan seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 27. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik luas, tekanan dan ancaman, dan anggaran yang dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol Anggaran Tinggi Ancam an T inggi menghasilkan 3 kelompok kawasan konservasi. Pengujian lanjutan terhadap 3 kelompok tersebut dengan analisis diskriminan seperti yang disajikan dalam Lampiran 7. menunjukkan bahwa pengelompokan sudah cukup baik dengan proporsi pengelompokan yang benar sekitar 96. Hasil analisis gerombol tersebut disajikan pada Gambar 28 berikut. Dendrogram -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Si m il a ri ty Gambar 28. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tekanan dan ancaman, luas kawasan, dan besaran anggaran pengelolaan. Hasil analisis gerombol menunjukkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tekanan dan ancaman yang dibandingkan dengan luas dan anggaran. Kelompok pertama adalah Taman Nasional Komodo KM, Ujung Kulon UK, Gunung Palung GP, Alas Purwo AP, Meru Betiri MB, Way Kambas WK, Kepulauan Seribu KS, Baluran BL, dan Bali Barat BB. Kawasan konservasi pada kelompok ini menyebar di paruh kiri bawah grafik PCA yang berarti bahwa kelompok ini dicirikan oleh penerimaan anggaran yang relatif besar padahal tingkat ancamannya dan luas kawasannya relatif lebih kecil. Hal unik yang ditunjukkan oleh kelompok ini adalah karena hampir semua kawasan konservasi yang letaknya di Jawa dan Bali kecuali Karimun Jawa KJ berada dalam kelompok ini. Paduan antara alokasi anggaran dengan luas kawasan dan tingkat ancaman pada kawasan konservasi yang cenderung lebih baik di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan perlunya pemerintah me- reorientasi juga pengelolaan kawasan konservasi di luar Jawa menjadi lebih berorientasi pada kondisi obyektif seperti tekananancaman yang dialami oleh kawasan konservasi. Tabel 10. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap luas, masukan, tekanan dan ancaman. Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri- cirinya Rawa Pesisir dan Mangrove Mangrove dan Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai 1 Anggaran Tinggi Wilayah kecil Ancaman Rendah - Sedang Gunung Palung GP Way Kambas WK Ujung Kulon UK Bali Barat BB Komodo KM Kepulauan Seribu KS Alas Purwo AP Meru Betiri MB Baluran BL 2 Wilayah Luas Anggaran Rendah Ancaman Rendah – Sedang Sembilang SL Lorentz LZ - Taka Bonerate TB Wakatobi WT Manupeu Tanadaru MT Siberut SR 3 Ancaman Tinggi Anggaran Rendah – Tinggi Wilayah Kecil- Luas Tanjung Puting TP Wasur WS Berbak BK Rawa Aopa RA Kutai KT Teluk Cendrawasih TC Karimun Jawa KJ- Bunaken BN - Kelompok kawasan konservasi kedua memiliki ciri berkebalikan dengan dengan kelompok pertama dimana kawasan kelompok ini memperoleh anggaran yang rendah meski memiliki wilayah yang luas. Kawasan konservasi kelompok ini adalah Sembilang SL, Lorentz LZ, Taka Bonerate TB, Wakatobi WT, Manupeu Tanadaru MT, dan Siberut SR. Kebalikan dari kelompok 1 yang umumnya adalah kawasan konservasi yang berada di Jawa dan Bali, kelompok ini justru semuanya berada diluar Jawa dan Bali. Ketidaktepatan alokasi komponen anggaran untuk luar Jawa sebagai bagian dari “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi bisa jadi merupakan cerminan komponen-komponen masukan lainnya. Sebagai ilustrasi, hingga tahun 2001 perbandingan antara luas kawasan dan jumlah staf di Jawa adalah 158 hastaf sedangkan diluar Jawa perbandingannya adalah 3.500 hastaf di luar Jawa Wiratno dkk. 2001. Perbandingan jumlah staf ini semakin timpang pada tahun-tahun selanjutnya karena adanya pembentukan Taman Nasional baru di luar Jawa yang tidak diikuti oleh pembentukan unit-unit kerja balai yang baru. Padahal keberadaan staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai adalah salah satu komponen masukan yang penting dalam pengelolaan kawasan konservasi. Tingkat ketidakmemadaian masukan sebagai modal dalam pengelolaan dan kelemahan dalam proses pengelolaan tidak terjadi secara merata di semua kawasan konservasi. Oleh sebab itu adaptasi terhadap permasalahan dimasing-masing kawasan konservasi pun akan berbeda-beda. Hasil analsis komponen utama dan analisis gerombol pada komponen masukan, luas, tekanan dan ancaman yang disajikan dalam Gambar 27 dapat memandu kita dalam mengembangkan adaptasi kebijakan yang lebih sesuai. Hasil PCA dan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 10 belum memberi kita gambaran yang lebih spesifik kawasan konservasi mana yang membutuhkan prioritas peningkatan “masukan” dalam pengelolaan yang berorientasi pada tekanan ancaman. Hal ini disebabkan oleh karena pengelompokan tidak berhasil memisahkan dengan jelas kawasan yang ancamannya tinggi, sedang, atau rendah. Berdasarkan penelusuran pada informasi detail masing-masing kawasan bisa diketahui bahwa beberapa kawasan konservasi yang terletak pada kelompok 2 dan 3 dengan wilayah luas sekaligus ancaman tinggi sehingga membutuhkan prioritas adalah adalah: Wakatobi WT; Tanjung Puting TP dan Teluk Cendrawasih TC. 6.3 Strategi Efektivitas vs Tujuan Akhir Pengelolaan Kesesuaian antara keluaran pengelolaan dengan “tujuan” kawasan konservasi tersebut diatas dilakukan dengan mengamati konsistensi 10 komponen keluaran selama dua tahun terakhir terhadap tujuan-tujuan umum kawasan konservasi, rencana tahunan pengelolaan kawasan konservasi dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman. Secara umum keluaran yang diperoleh dari pengelolaan 23 kawasan konservasi belum sesuai harapan nilai 3 yaitu cenderung tidak konsisten dengan tujuan-tujuan pengelolaan, rencana pengelolaan tahunan, dan tekanan dan ancaman yang dihadapi. Kondisi ini bisa dikatakan wajar oleh karena pada tahapan kegiatan pengelolaan sebelumnya yaitu “masukan” dan “proses” juga memiliki nilai yang rendah yang berarti bahwa masukan dan proses pengelolaan tersebut tidak memenuhi kondisi yang dibutuhkan untuk mengelola kawasan konservasi dengan efektif. LZ WS TC BN RA WT TB GP KT TP MT KM BB MB AP BL KJ KS UK WK SL BK SR keluaran proses masukan rencana -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 2 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 Sumbu 1 kontribusi 73 S um bu 2 k on tr ibu s i 1 5 I II III IV Gambar 29. Grafik hasil PCA terhadap efektivitas pengelolaan 23 Kawasan konservasi. MPK = masukan, proses, dan keluaran; Renc = rencana Penggunaan PCA terhadap nilai 4 siklus pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa “keluaran” paling berkorelasi dengan “proses”, kemudian “masukan”, dan terakhir “rencana”. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pengelolaan sebetulnya sangat ditentukan pada fase ”proses” terhadap masukan yang diperoleh dalam siklus pengelolaan. Oleh sebab itu adalah penting untuk memprioritaskan upaya pembenahan komponen ”proses” dan kemudian “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga “keluaran” yang diperoleh bisa lebih baik dan menjamin arah yang benar menuju pencapaian tujuan-tujuan pembentukan kawasan konservasi. “Keluaran” yang lebih berkorelasi dengan “proses” dan “masukan” jika dibandingkan dengan “rencana” juga berarti bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi selama ini, rencana yang dibuat belum memadai atau tidak diikuti dengan masukan dan proses pengelolaan yang sesuai. Pengelompokan kawasan yang dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol memperlihatkan adanya 4 kelompok kawasan berdasarkan efektivitas pengelolaan. Hasil pengujian dengan menggunakan analisis diskriminan menunjukkan bahwa proporsi pengelompokan yang benar adalah 100 Lampiran 7. Hasil analisis gerombol disajikan dalam Gambar 30 berikut. Gambar 30. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik efektivitas pengelolaan. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang disajikan pada Gambar 30 dan digabungkan dengan hasil PCA pada Gambar 29 bisa diperoleh gambaran ciri-ciri masing-masing kelompok kawasan konservasi seperti disajikan pada Tabel 11. Kelompok kawasan konservasi yang memiliki efektivitas pengelolaan paling tinggi adalah kelompok 1 yaitu Taman Nasional Komodo dan Bali Barat. Sedangkan Dendrogram 1 2 3 4 5 6 7 8 D issim il a ri ty kawasan yang paling rendah efektivitas pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz. Tabel 11. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap masukan, proses, keluaran dan perencanaan. Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri- cirinya Rawa Pesisir dan Mangrove Mangrove dan Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai 1 Efektivitas Tinggi Bali Barat BB Komodo KM 2 Efektivitas Sedang Wasur WS Way Kambas WK Ujung Kulon UK Taka Bonerate TB Bunaken BN Kepulauan Seribu KS Wakatobi WT Alas Purwo AP 3 Efektivitas Rendah Sembilang SL Berbak BK Gunung Palung GP Kutai KT Rawa Aopa RA Tanjung Puting TP Teluk Cendrawasih TC Karimun Jawa KJ - Meru Betiri MB Baluran BL Manupeu Tanadaru MT Siberut SR 4 Efektivitas Sangat Rendah Lorentz - - - Tabel … memperlihatkan bahwa hampir semua kawasan konservasi terumbu karang dikelola dengan efektif. Sebaliknya hampir semua kawasan konservasi hutan pantai dan mangrove dikelola dengan efektivitas yang rendah. Gambaran ini sebetulnya merupakan hal yang sudah diketahui secara umum dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.. Faktor-faktor yang Dominan dalam Efektivitas Pengelolaan Salah satu informasi penting yang diperoleh dari hasil PCA yang disajikan dalam Gambar 29 adalah bahwa masing-masing kelompok siklus pengelolaan yaitu ”rencana”, ”masukan”, dan ”proses” mempunyai korelasi terhadap pencapaian tujuan. Meski demikian, kelompok yang korelasinya paling tinggi dengan pencapaian tujuan adalah kelompok ”proses”. Sedangkan kelompok yang korelasinya paling rendah adalah kelompok ”rencana” yang terdiri dari komponen penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Dengan menggunakan statistik sederhana diketahui bahwa korelasi antara proses dan keluaran adalah sekitar 82 sedangkan korelasi antara rencana atau masukan dengan keluaran masing-masing sekitar 63. Informasi tersebut menjukkan bahwa perbaikan dalam ”proses” pengelolaan dapat sangat membantu dalam memperoleh keluaran yang baik. Penelitian ini mengukur tiga kelompok proses pengelolaan kawasan konservasi yaitu: 1 perencanaan detail pengelolaan; 2 pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; 3 penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan. Dari ketiga kelompok tersebut yang paling lemah adalah perencanaan detail dan monitoring evaluasi seperti disajikan dalam Gambar 20 dan 27. Penemuan ini memberikan implikasi bahwa perbaikan proses pengelolaan menjadi prioritas untuk mencapai pengelolaan kawasan konservasi yang lebih efektif. Hasil RAPPAM Brazil, Kamboja, Kwazulu Natal tidak dilanjutkan dengan analisis multivariabel yang memadai sehingga tidak diperoleh gambaran pada tahapan mana dalam siklus pengelolaan yang paling krusial mempengaruhi keluaran. Secara umum terdapat kesimpulan yang terus-menerus ditekankan dalam hasil RAPPAM ketiga negara tersebut yaitu untuk memperbaiki komponen masukan. Hal ini sangat berbeda dengan hasil RAPPAM Indonesia yang justru menemukan bahwa tahapan proses justru paling menentukan baik tidaknya keluaran hasil pengelolaan.

6.4 Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Efektif