Rekomendasi strategi pengelolaan kawasan konservasi mangrove dan rawa pesisir ini sejalan dengan Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah NSAP maupun
Strategi Keanekaragaman Hayati IBSAP. Hal ini ditunjukkan oleh karena NSAP dan IBSAP telah menetapkan isu moratorium eksploitasi sumberdaya alam dan no net loss
kawasan lahan basah sebagai isu penting dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi yang senantiasa menjadi prioritas.
Hasil RAPPAM di negara lain yaitu Kamboja juga menunjukkan bahwa pembalakan liar dan kegiatan eksploitatif sumberdaya alam menjadi tekanan dan
ancaman utama. Hanya saja rekomendasi kebijakannya justru diarahkan pada peningkatan kerjasama antar kementerian kehutanan MoF dan lingkungan hidup
MAFF dengan kementerian pertahanan. Hal ini disebabkan oleh karena terdapat indikasi kuat bahwa pembalakan liar di Kamboja terjadi terkait erat dengan adanya
pos-pos militer didalam atau diluar kawasan konservasi Lacerda et. Al. 2005. Berbeda dengan hasil RAPPAM di Indonesia, Kamboja, dan kondisi umum
dinegara berkembang lainnya, hasil RAPPAM di Brazil dan Kwazulu Natal tidak merekomendasikan pembalakan dan perambahan sebagai tekanan dan ancaman utama
yang harus dihadapi Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; Goodman, 2003. Meski berbagai temuan menunjukkan bahwa pembalakan dan
perambahan juga berlangsung sangat cepat di Amazon Brasil tapi pembalakan tersebut tidak terjadi karena isu kemiskinan tapi terjadi oleh perusahaan besar, kegiatan
pemerintah yang tidak terarah, dan proyek-proyek Bank Dunia yang salah kaprah Butler, 2007. Sedangkan di Kwazulu Natal perambahan maupun pembalakan sama
sekali tidak menjadi isu pengelolaan karena wilayah lahan basah pesisirnya didominasi pantai berbatu dan padang serta memiliki jumlah staff pengawas yang berlebih
Goodman, 2003.
6.4.2 Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang
Kawasan konservasi terumbu karang umumnya ditemui di kawasan tengah dan timur Indonesia. Dibandingkan kawasan konservasi lahan basah pesisir lainnya,
kawasan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai lembaga internasional terutama the BiNGOs WWF, CI, TNC, WCS yaitu Bali Barat, Bunaken dan Ujung
Kulon oleh WWF, Wakatobi oleh TNC dan WWF, Karimun Jawa oleh WCS, dan Komodo oleh TNC.
Keterlibatan lembaga-lembaga non profit internasional tidak selamanya berjalan mulus seperti pada kasus kemarahan Nelayan Sape terhadap Balai Taman Nasional
Komodo dan TNC akibat penembakan nelayan, dan pengusiran masyarakat lokal dari lokasi kegiatan WWFTNC di Taman Nasional Wakatobi. Terlepas dari persoalan
tersebut, lembaga-lembaga internasional ini telah memberikan investasi yang cukup besar dalam penguatan kapasitas pengelola kawasan konservasi. Investasi tersebut
dalam penelitian ini masuk dalam kategori pengelolaan kondisi internal. Tabel 14. Kategori pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang
Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri-
cirinya S-B tinggi,
T-A tinggi S-B rendah-
sedang
T-A tinggi S-B rendah
T-A Rendah- Sedang
S-B sedang, tinggi
T-A Rendah 1 Efektivitas
Tinggi Komodo KM
- Bunaken BN
Kepulauan Seribu KS
Wakatobi WT Bali Barat BB
2 Efektivitas Sedang
Ujung Kulon UK
- Taka Bonerate
TB
-
3 Efektivitas Rendah
Karimun Jawa KJ
Teluk Cendrawasih
TC - -
Keterangan: Huruf miring menunjukkan bahwa kawasan konservasi tersebut juga bisa ditemukan dalam kelompok mangrove.
Investasi besar dalam penguatan kapasitas internal pengelola menyebabkan kawasan konservasi yang didominasi terumbu karang mengelompok pada kolom
sebelah atas dalam Tabel 15. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan kondisi internal yang sudah berjalan saat ini tidak membutuhkan intervensi khusus kecuali pada Taman
Nasional Karimun Jawa dan Teluk Cenderawasih. Lokasi kawasan konservasi prioritas untuk kelompok terumbu karang ditunjukkan dalam gambar pada Lampiran 9.
Pembenahan yang mendesak untuk dilakukan adalah adaptasi yang lebih baik terhadap tekanan dan ancaman utama yaitu: pembangunan pemukiman di Taman
Nasional Kepulauan Seribu, Komodo dan Karimun Jawa; penangkapan berlebih, penggunaan alat tangkap yang berbahaya, dan penambangan karang dan pasir dan
budidaya perikanan di semua kawasan konservasi, pengelolaan kontradiktif yang mengakibatkan konflik akibat pariwisata di Wakatobi, dan polusi di Kepulauan Seribu.
Strategi pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang dapat disarikan seperti berikut:
1. Peningkatan kapasitas internal pengelola untuk mengakomodasi keikutsertaan pemangku kepentingan lokal dalam pengambilan keputusan terutama pada isu
yang akan berdampak pada kehidupan pemangku kepentingan tersebut. Prioritas utama kegiatan ditujukan pada Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan
selanjutnya ditujukan pada Taman Nasional Taka Bonerate. 2. Memberdayakan masyarakat sekitar kawasan dalam pengembangan mata
pencaharian yang ramah lingkungan sesuai dengan karakteristik kawasan dan kebutuhan pasar seperti budidaya ikan konsumsi dan ikan hias, dan pariwisata
bawah. Melalui komunikasi yang baik, kegiatan ini akan meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar kawasan untuk secara aktif membantu melindungi kelestarian
kawasan sebagai bagian dari penghidupan mereka. Tekanan dan ancaman seperti penambangan pasir dan karang, penangkapan ikan berlebih, dan penggunaan alat
tangkap destruktif dapat dikurangi melalui pendekatan ini seperti yang ditunjukkan dalam model percobaan pengelolaan Taman Nasional Bunaken.
Prioritas utama kegiatan ditujukan pada seluruh Taman Nasional kecuali Bali Barat dan Kepulauan Seribu.
3. Mengurangi laju kerusakan akibat penambangan karang, penangkapan ikan yang berlebih, dan penggunaan alat tangkap yang merusak melalui komunikasi yang
efektif dengan para pemangku kepentingan agar dicapai kesepakatan mengenai batasan jenis dan jumlah komoditas yang diperdagangkan ditingkat pedagang, dan
batasan jumlah tangkapan dan jenis alat yang dibolehkan ditingkat nelayan.
4. Menjalin kolaborasi pengelolaan yang lebih erat dengan pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan nasional. Hal ini ditujukan untuk mengurangi laju kerusakan
akibat polusi dari wilayah lain, pengembangan pemukiman dan infrastruktur yang mengancam keutuhan kawasan, dan pengelolaan yang kontradiktif oleh pemerintah
maupun swasta. Prioritas kegiatan ditujukan pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Karimun
Jawa, Komodo, dan Teluk Cenderawasih. Seperti halnya kelompok kawasan konservasi mangrove, kelompok terumbu
karang juga menghadapi tekanan dan ancaman yang besar. Tekanan dan ancaman utama yang teridentifikasi melalui RAPPAM adalah pembangunan pemukiman,
penangkapan berlebih, penggunaan alat tangkap yang berbahaya, penambangan karang dan pasir, budidaya perikanan, dan polusi. Oleh sebab itu, pilihan intervensi berupa
peningkatan kegiatan kolaborasi dengan masyarakat merupakan pilihan prioritas sebab cara ini dapat langsung memiliki dampak yang lebih baik. Pilihan pendekatan ini tetap
sejalan dengan strategi NSAP, IBSAP dan secara khusus sejalan dengan Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia dimana
paling tidak 5 dari 9 strategi memastikan bahwa masyarakat lokal harus jadi pelaku utama pengelolaan PKSPL 2000.
Hasil temuan RAPPAM pada isu tekanan dan ancaman di kawasan konservasi terumbu karang di Indonesia jauh lebih kompleks dibandingkan dengan hasil temuan
RAPPAM di Brazil, Kwazulu Natal, maupun Kamboja. Isu yang mengemuka di ketiga negara tropis hanya terbatas pada isu illegal fishing dan pariwisata sehingga
rekomendasi penyelesaiannya pun sederhana seperti penataan tata batas di Kamboja, penataan tata batas dan peningkatan patroli di Brazil, dan pemantauan secara rutin di
Kwazulu Natal. Kondisi yang relatif mirip dengan Indonesia adalah hasil RAPPAM di New Guinea
yang juga menghadapi persoalan kompleks dalam pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang. Isu yang dihadapi relatif sama yaitu tekanan dan ancaman illegal
fishing, over exploitation, pencemaran, pertambangan, dan perambahan kawasan
WWF, 2006. Kesamaan tersebut menyebabkan pendekatan yang relatif sama yaitu dengan membenahi mekanisme pengelolaan bersama dengan masyarakat.
6.4.3 Strategi Pengelolaan Hutan Pantai