Masukan EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil.

5.2 Masukan

Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuan- tujuan pengelolaan. Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan. Nilai masing-masing kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut. - 1 2 3 P eni lai an k iner ja P el a tihan K e te ra m p ila n Ju m la h sta ff K ondi s i k er ja K om uni k a s i k e m as y ar ak at P e ra la ta n ko m u n ika si D at a bi o, s os ek P er al at an s u rv ey A n a lis is d a ta T rans p or tas i P e ral at an l apa ngan F a s ilit a s s ta f F a s ilit a s pengu nj ung P er a w at an per a lat an A lok as i P enge lol aan k eu angan D ana 5 t ahun k e depan D ana 5 t ahun t e rak hi r S ta b ilit a s jangk a pa nj ang N ila i M a s u k a n staff komunikasi infrastruktur keuangan Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai nilai3 untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Kelompok komponen yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai. Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai “modal” suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan perawatan terhadap peralatan. Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat. Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi. Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi seluruh Indonesia. 2 4 6 8 10 12 B er bak S em bi lang Wa y K am bas T anj ung Pu ti n g Ku ta i G unung P al ung R aw a A opa W at um ohai Wa s u r Lor ent z U jung K ul on Ka ri m u n Ja w a Ba li B a ra t Te lu k C e ndr aw as ih K epu lauan Se ri b u K om odo B unak en Ta k a B oner at e W ak at obi S iber ut Ba lu ra n Al a s P u rw o M e ru B e ti ri M anupeu T an adar u f i k u Ni la i M asuka n Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hurup “f” menunjukkan pegawai, “i” untuk infrastruktur, “k” untuk komunikasi, dan “u” anggaran. Gambar 19 menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang nilai masukannya sudah relatif lebih baik dibandingkan kawasan konservasi lainnya adalah dari kelompok terumbu karang. Secara individual Taman Nasional Bunaken, Kepulauan Seribu, Bali Barat, Wakatobi, Alas Purwo, Way Kambas dan Wasur adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai masukan yang lebih baik. Kawasan konservasi yang nilai masukannya paling rendah adalah Taman Nasional Lorentz dan Manupeu Tanadaru. Kelima kawasan konservasi pertama yang memiliki masukan relatif baik tersebut umumnya memiliki potensi wisata laut yang terkenal sedangkan dua kawasan konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi kawasan upland. Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada. Meski demikian terdapat kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS. Pemenuhan kebutuhan akan “masukan” memiliki isu yang relatif sama di Kamboja Asia, Brazil Amerika, Kwazulu Natal Afrika Selatan yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17 akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50 terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005. Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan staf, infrastruktur, keuangan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai “mengalami kekurangan yang kronis” disetiap level pengelola Lacerda et. Al. 2005. Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan Goodman, 2003

5.3 Proses Pengelolaan