Lahan Basah Pesisir TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Basah Pesisir

Terdapat banyak definisi yang dikembangkan untuk menyatakan lahan basah sebagai sebuah kesatuan ekosistem. Definisi tersebut bisa dibuat oleh pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan. Hampir setiap negara maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing. Beberapa definisi yang dibuat oleh para penyusun kebijakan adalah: 1. Amerika Serikat, Clean Water Act no 404 diamandemen 1977: “Wetlands are areas that are inundated or saturated by surface or ground water at a frequency and duration sufficient to support, and that under normal circumstances do support, a prevalence of vegetation typically adapted for life in saturated soil conditions. Wetlands generally include swamps, marshes, bogs, and similar areas”. EPA, 2002. 2. Kanada, National Wetlands Working Group 1988: “Wetland in the land that saturated with water long enough to promote wetland or aquatic process as indicated by poorly drained soil, hydrophytic, vegetation and various kinds of biological activity which are adapted to a wet environment.”. Warner dan Rubec, 1997. Sedangkan definisi lain yang dibuat oleh individu ahli lahan basah antara lain: Hehanussa dan Haryani 2001: ”Daerah tanah basah sepanjang tahun atau lembab yang jenuh air dalam kondisi normal, mampu mendukung kehidupan tanaman hidrofilik” Beranekaragamnya definisi tersebut menunjukkan bahwa lahan basah sangat kompleks dan dapat memiliki nilai dan fungsi yang sangat berbeda tergantung pada sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Dengan sendirinya model pengelolaan lahan basah pun bisa menjadi sangat beragam. Istilah ”lahan basah” sebagai terjemahan dari bahasa Inggris ”wetlands” baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk atau nama fisik masing-masing tipe lahan basah seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sungai. Istilah standar yang digunakan untuk berkomunikasi secara internasional diperkenalkan oleh sebuah lembaga internasional yaitu Biro Ramsar. Biro ini mengorganisasi pelaksanaan Konvensi Lahan Basah yaitu sebuah perjanjian antar pemerintah yang di adopsi pada tanggal 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran. Konvensi ini biasa ditulis sebagai ”The Convention on Wetlands Ramsar, Iran, 1971”, tapi lebih dikenal sebagai Konvensi Ramsar. Konvensi ini adalah perjanjian moderen pertama antar pemerintah dalam bidang konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap sumberdaya alam. Nama resmi konvensi ini adalah – The Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat – yang menunjukkan bahwa awalnya konvensi ini ditujukan untuk melindungi lahan basah yang menjadi habitat burung air. Selama bertahun-tahun konvensi ini kemudian berkembang dan meluaskan cakupan perhatiannya ke seluruh aspek lahan basah setelah disadari bahwa lahan basah sebagai kumpulan ekosistem yang sangat penting bagi konservasi keanekaragaman hayati secara umum, sekaligus penting untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, penyingkatan nama resmi tersebut menjadi hanya “Konvensi Lahan Basah” atau ”Konvensi Ramsar” menjadi lebih relevan karena burung air hanyalah bagian kecil dari isu yang diusung oleh Konvensi Lahan Basah. Dewasa ini terdapat sejumlah 144 negara yang telah menandatangani Konvensi Ramsar Ramsar Convention, 2006. Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.” Lahan basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan basah, dan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah Keppres No 48, 1991. Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak dalam isu lahan basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan istilahdefinisi lahan basah sebagai mana mestinya. Meski demikian definisi yang paling luas digunakan terutama jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi Konvensi Ramsar Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004. Salah satu bagian dari lahan basah menurut definisi Konvensi Ramsar adalah lahan basah pesisir dan laut marinecoastal wetlands yang terdiri dari 12 jenis. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran lumpur atau pasir, terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan laguna. Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir NWC for SCS, 2004. Istilah lahan basah pesisir juga digunakan dalam menjelaskan rawa gambut dan rawa air tawar disepanjang pesisir timur Sumatera dan Pesisir Kalimantan oleh Hisao Furukawa yang menulis buku mengenai “Coastal Wetlands of Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1994.

2.2 Kawasan konservasi dan Fungsinya