Strategi Pengelolaan Hutan Pantai

WWF, 2006. Kesamaan tersebut menyebabkan pendekatan yang relatif sama yaitu dengan membenahi mekanisme pengelolaan bersama dengan masyarakat.

6.4.3 Strategi Pengelolaan Hutan Pantai

Kawasan konservasi lahan basah pesisir yang didominasi oleh ekosistem hutan pantai umumnya berada di daerah yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hal tersebut menyebabkan lahan basah pesisir kawasan ini memiliki pemandangan tebing dan pantai berpasir yang indah. Gelombangnya yang tinggi juga menarik banyak pengunjung untuk berselancar. Tabel 15. Kategori pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri- cirinya S-B tinggi, T-A tinggi S-B rendah- sedang T-A tinggi S-B rendah T-A Rendah- Sedang S-B sedang, tinggi T-A Rendah 1 Efektivitas Tinggi - - - - 2 Efektivitas Sedang - - - Alas Purwo AP 3 Efektivitas Rendah - - Manupeu Tanadaru MT Siberut SR Baluran BL Meru Betiri MB Secara umum di beberapa tempat kawasan konservasi ini juga memiliki ekosistem lahan basah tipe lain yaitu mangrove dan terumbu karang. Meski demikian jenis substratnya yang dominan berpasir dan kondisi fisik pantai yang dinamis menyebabkan kedua ekosistem tersebut tidak berkembang dengan baik. Kawasan konservasi hutan pantai memiliki tekanan dan ancaman yang relatif rendah dibandingkan dengan kawasan konservasi tipe ekosistem lainnya. Meski demikian nilai perencanaan terutama penetapan tata batas, zonasi, dan keterkaitan dengan kawasan lain; nilai masukan terutama kondisi kerja dan stabilitas pendanaan, dan nilai proses meliputi rencana detail dan pemantauan kawasan semuanya bernilai rendah rendah. Hal tersebut menyebabkan secara vertikal hampir semua kawasan terkumpul di bagian bawah dalam tabel yaitu kategori efektivitas rendah. Tekanan dan ancaman yang dihadapi kawasan konservasi hutan pantai relatif bervariasi yaitu perambahan dan pembalakan di Siberut, Meru Betiri, dan Manupeu Tanadaru, Perburuan satwa seperti banteng jawa, penyu, rusa sambar, dan berbagai jenis burung di Baluran dan Manupeu Tanadaru; dan ancaman spesies invasif akasia berduri yang justru merusak ekosistem savana di Baluran. Jika dibandingkan dengan nilai tekanan dan ancaman yang dihadapi kelompok kawasan lainnya maka tekanan ancaman yang dihadapi oleh hutan pantai masih relatif kecil. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 16 dimana secara horisontal sebagian besar kawasan konservasi mengelompok di sebelah kanan, kecuali Taman Nasional Alas Purwo. Oleh sebab itu upaya adaptasi kondisi eksternal yang telah berjalan saat ini sudah cukup memadai dan tidak memerlukan intervensi tambahan secara khusus. Strategi pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai perlu lebih ditingkatkan pada perbaikan kondisi internal dan peningkatan kapasitas sedangkan kegiatan kolaboratif yang telah dijalankan saat ini tetap dilanjutkan seperti biasa. Dengan demikian strategi pengelolaannya dapat dirumuskan seperti berikut: 1. Pemutakhiran data ekologi dan sosial ekonomi melalui pemantauan rutin, termasuk menganalisis tekanan dan ancaman akibat kegiatan perambahan untuk pemukiman, kebun, maupun infrastruktur jalan, pembalakan hutan pantai, perburuan satwa endemik pulau dan satwa bermigrasi seperti penyu, dan kebakaran hutan dan savana. Informasi tersebut selanjutnya dikomunikasikan secara rutin kepada para pemangku kepentingan. Strategi pemutakhiran data ini diprioritaskan pada Taman Nasional Siberut dan Manupeu Tanadaru. 2. Penyusunan rencana kerja detail berdasarkan hasil pemutakhiran data terutama untuk mengendalikan tekanan dan ancaman terhadap kawasan akibat perambahan, pembalakan, perburuan satwa, spesies invasif, dan pemanenan hasil hutan non kayu. Prioritas pelaksanaan strategi ini ditujukan pada Taman Nasional Siberut, Baluran dan Manupeu Tanadaru. 3. Peningkatan upaya-upaya pendanaan pengelolaan kawasan konservasi melalui pengembangan kegiatan ekowisata, lintas alam, susur gua, pemanfaatan kekayaan hutan pesisir non kayu dalam jumlah yang ditetapkan secara ilmiah, dan meningkatkan partisipasi Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana pendukung terutama sekali karena kawasan konservasi hutan pantai adalah penyedia jasa lingkungan berupa ketersediaan air bagi masyarakat sekitarnya. 4. Mempertahankan upaya-upaya kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain baik masyarakat sekitar kawasan, pemerintah, maupun kalangan swasta untuk mengendalikan tingkat perambahan, pembalakan liar, dan pengambilan hasil hutan pantai non kayu terutama di Taman Nasional Siberut. Tekanan dan ancaman yang relatif rendah dialami oleh kawasan konservasi kelompok hutan pantai menyebabkan kebutuhan akan intervensi pengelolaan pada keompok ini menjadi tidak terlalu prioritas. Pengelolaan yang telah dilaksanakan saat ini sudah cukup memadai terutama pada kawasan-kawasan konservasi yang terletak di Pulau Jawa. Dengan kata lain, prioritas pengelolaan kawasan konservasi kelompok hutan pantai adalah dengan melakukan intervensi untuk memenuhi kebutuhan kawasan konservasi di luar Pulau Jawa. Hal tersebut diperlihatkan dalam strategi yang direkomendasikan selalu diprioprioritaskan pada Taman Nasional Manupeu Tanadaru dan Siberut. Letak kawasan konservasi prioritas untuk kelompok hutan pantai ditunjukkan dalam gambar pada Lampiran 10. Secara umum, rekomendasi strategi yang dihasilkan dari RAPPAM tetap sejalan dengan strategi umum yang terdapat dalam NSAP maupun strategi regional IBSAP terutama pada region Sumatera dan Region Nusa Tenggara dan Maluku. Strategi regional IBSAP dengan jelas menekankan pentingnya menjaga keutuhan kawasan konservasi pesisir dan laut melalui pemberdayaan masyarakat sekitar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian ini umumnya memiliki nilai penting biologis dan sosial ekonomis yang tinggi. Beberapa diantara kawasan tersebut juga mengalamai tekanan dan ancaman yang tinggi meski dalam intensitas yang berbeda-beda. Tekanan dan ancaman yang paling besar dihadapi kawasan konservasi adalah perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar. 2. Sebagian besar kawasan konservasi belum efektif dalam melakukan pengelolaan yang ditandai oleh kondisi perencanaan terutama landasan hukum dan desain tapak kawasan yang masih lemah, kekurangan masukan terutama infrastruktur dan keuangan khususnya di kawasan konservasi luar Jawa dan Bali, kelemahan proses pelaksanaan rencana terutama pada komponen monitoring evaluasi khususnya penelitian isu sosial ekonomi. 3. Tahapan dalam siklus pengelolaan yang paling mempengaruhi efektivitas dan keberhasilan pengelola adalah tahapan ”proses”. Tahapan tersebut meliputi: 1 perencanaan detail; 2 mekanisme pengambilan keputusan dan praktek-praktek pelaksanaannya; 3 penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan. 4. Pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan dua strategi prioritas pengelolaan yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pengelola dan strategi kondisi eksternal yaitu pengembangan kegiatan kolaboratif untuk menurunkan tekanan dan ancaman. Strategi ini masih cenderung berupa strategi makro yang merupakan ciri rekomendasi RAPPAM. Penyusunan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat meso yaitu untuk kelompok kawasan konservasi dengan tipe ekosistem tertentu harus disesuaikan dengan kondisi khusus masing-masing ekosistem. 5. Dengan menggabungkan rekomendasi makro RAPPAM dengan kondisi kelompok kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove diketahui bahwa kelompok ini membutuhkan kombinasi peningkatan kapasitas dan penguatan kegiatan kolaboratif yang seimbang agar berhasil disusundirevisi rencana pengelolaan yang lebih baik, meningkatnya sumber pendanaan melalui berbagai sumber, dan kerjasama pengelolaan kawasan dengan masyarakat melalui rehabilitasi yang dikombinasi dengan perbaikan mata pencaharian. Kawasan konservasi yang membutuhkan prioritas adalah Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur. 6. Kelompok terumbu karang membutuhkan prioritas strategi eksternal melalui penciptaan terobosan dalam kegiatan kolaboratif dengan masyarakat untuk meredam tekanan dan ancaman yang tinggi. Kegiatan prioritas tersebut adalah berupa penyediaan ruang partisipasi yang lebih luas bagi semua stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaan kawasan dan pengembangan matapencaharian yang ramah lingkungan. Kawasan konservasi yang membutuhkan prioritas pengelolaan adalah Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa. 7. Kelompok hutan pantai memiliki ciri kebalikan dengan kondisi kelompok terumbu karang dimana yang justru membutuhkan intervensi peningkatan kapasitas yang besar sedangkan kegiatan kolaboratif seperti pengembangan mata pencaharian alternatif bisa dijalankan dalam intensitas yang telah berjalan saat ini. Prioritas kegiatan adalah penyusunanrevisi rencana pengelolaan kawasan dan peningkatan upaya-upaya pendanaan melalui kegiatan ekowisata pantai, susur gua, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. Kawasan yang membutuhkan prioritas pengelolaan adalah Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran. Saran 1. Perlu senantiasa dilakukan pemutakhiran data ekologi, sosial ekonomi, dan hasil analisisnya untuk mengetahui status terkini kawasan konservasi di Indonesia, peluang pemanfaatan secara bijaksana dan berkelanjutan agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih efektif. 2. Pemerintah Departemen Kehutanan perlu segera memfasilitasi disusunnya peta jalan untuk menjawab kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar kawasan konservasi belum efektif dalam pengelolaannya dengan mengembangkan dua strategi prioritas yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pengelola dan strategi kondisi eksternal yaitu pengembangan kegiatan kolaboratif untuk mengurangi tekanan dan ancaman. 3. Kelompok kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove terutama Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur perlu meningkatkan pendanaan untuk menambah jumlah dan meningkatkan kualitas dan fasilitas staff. Kelompok ini juga perlu untuk melakukan rehabilitasi ekosistem yang dikombinasi dengan perbaikan mata pencaharian masyarakat. 4. Kelompok kawasan terumbu karang terutama Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa perlu menyediakan ruang yang lebih luas lagi bagi semua stakeholder untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat disekiling kawasan perlu difasilitasi pengembangan kondisi sosial ekonominya melalui pengembangan mata pencaharian yang ramah lingkungan. 5. Kelompok kawasan hutan pantai terutama Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran perlu untuk menyusunmerevisi rencana pengelolaan kawasan agar lebih efektif dalam upaya-upaya mengembangkan pendanaan melalui pengembangan kegiatan ekowisata pantai, susur gua, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. 6. Rekomendasi strategi yang dihasilkan dari analisis RAPPAM sebaiknya dilanjutkan dengan analisis kondisi masing-masing kawasan sehingga dapat diperoleh strategi pengelolaan yang menjawab dengan tepat kebutuhan di tingkat kawasan konservasi dengan tetap berada dalam kerangka kebijakan nasional. DAFTAR PUSTAKA Abbot TE, 2003. An Assesment of 16 Governance Indicator for the Bird Island Sanctuary, Commonwealth of the Northen Mariana Island. Marine Protected Area Management Initiative. IUCNWCPA. WWF. NOAA. Belfiore S, et al. 2003. A Reference Guide on the Use of Indicator for Integrated Coastal Management. ICAM Dossier 1. IOC Manual Guides and Reference No 45. UNESCO 2003. Bappenas. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPI. Bappenas. Jakarta. Bappenas. 2004. Indonesia Biodiveristy Strategy and Action Plan, IBSAP. Bappenas. Jakarta. Butler RA. 2007. Deforestation in Amazon. Rainforest Information. MONGABAY.COM. http:www.mongabay.combrazil.html. [20 Juli 2007] Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Departemen Kehutanan 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Publikasi Bersama Departemen Kehutanan, Lestari Hutan Indonesia, Japan International Cooperation Agency. Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. http:www.dephut.go.idinformasistatistik2005PHKA. [1 Des 2006] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. http:www.dephut.go.idinformasistatistik2004PHKA. [6 Juni 2006] Departemen Kehutanan. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Publikasi Bersama Departmenen Kehutanan, UNESCO, dan CIFOR. Ervin J. 2003. Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management RAPPAM Methodology . World Wild Fund for Nature. Gland, Switzerland. Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005. Implementation of Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management by the Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. World Wild Fund for Nature. Brazil. Furukawa H. 1994. Coastal Wetlands of Indonesia: Environment, Subsistence, and Exploitation. Kyoto University Press. Japan. Göenner C, Wibowo P, 2002. Outline of a Valuation Model of Sembilang National Park. Technical Report No 39. The Greater Berbak-Sembilang Integrated Coastal Wetland Conservation Project – GEF MSP. WI-IP. Bogor. Goodman PS. 2003. Assessing Management Effectivenes and Setting Priorities in Protected Areas in KwaZulu-Natal. American Institute of Biological Science. WWF. Gland Switzerland. Hehanussa PE, Haryani GS. 2001. Kamus Limnologi Perairan Darat. IHP, UNESCO, LIPI Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness: A Framework for Assessing Management Effectivenes of Protected Area 2 nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Harahap MK. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Studi Kasus Desa Karangsong Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Tesis Master Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Jawatan Perlindungan Hidupan Liar dan Taman Negara Perhilitan Semenanjung Malaysia. 2003. Laporan Tahunan 2003. Perhilitan. Malaysia. Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Pendanaan Kawasan Perlindungan di http:www.menlh.go.idbknews_item.php?NewsID=34. [6 Juni 2006] Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004. Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Lacerda L, Schmitt K, Cutter P, Meas S. 2004. Management Effectivenes Assessment of the System of Protected Areas in Cambodia using WWF’s RAPPAM Methodology. Ministry of Environment, Biodiversity and Protected Area Management Project, Phnom Penh. Cambodia. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. John Wiley Sons. New York. National Wetlands Committe NWC for SCS Project. 2004. Final Report Coastal Wetlands Subcomponent of Indonesia. South China Sea Project. WI–IP. Bogor. UNEP-GEF SCS Project. Nitibaskara TU. 2005. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Prosiding Seminar Nasional Membangun Kabupaten Bintuni Berbasis Sumberdaya. Universitas Trisakti Jakarta. The Nature Conservancy SEA CMPA Bali. Universitas Negeri Papua. Pomeroy RS, Parks JE, Watson LM, 2004. How is Your MPA Doing. A Guide Book of Natural and Social Indicators for Evaluating Marine Protected Area Management Effectivenes. IUCN, Gland, Swizterland and Cambridge, UK. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2000. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Ramsar Convention. 2006. www.ramsar.org [27 April 2007] Rahmiyati. 2006. Social Forestry di Hutan Lindung. http:www.indomedia.com bpost1120069opini opini2.htm. [27 April 2007] Staub F, Hatziolos ME, 2004. Score Card to Assess Progress in Achieving Management Effectivennes Goals for Marine Protected Areas. The World Bank. Tempo Interaktif. 2006. Pemerintah diminta naikkan anggaran konservasi. http:www.tempointeraktif.comhgnasional20060217brk,20060217- 74079,id.html. [6 Juni 2006] Tempo Interaktif. 2006. Omzet Perdagangan Satwa Liar Ilegal Rp 9 Trilyuntahun. http:www.tempointeraktif.comhgnasional20060119brk,20060119- 72553,id.html. [6 Juni 2006] United States Environmental Protection Agency EPA. 2002. Electronic Clean water Act “Snapshot”. http:www.epa.govregion5watercwa.htm. [10 April 2005] United Nations Environment Programme UNEP. 2004. Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand. Report of the Fourth Meeting of the Regional Working Group for the Wetlands Sub Compoent. UNEPGEF Bangkok. Warner BG, Rubec CDA, ed. 1997. The Canadian Wetland Classification System. Wetlands Research Centre, University of Waterloo. Waterloo. Wiratno D, Indriyo A, Syarifuddin A, Kartikasari. 2002. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia. PILI-NGO Movement. Jakarta. WWF. 2006. Evaluating Protected Area Management in New Guinea. http:www.panda.orgabout_wwfwhere_we_workasia_pacificour_solutions new_guinea_forestsconservation_new_guinea_forestsprotection_forests_new _guineaprotected_areas_new_guinea_forestsprotected_areas_establishmentpr otected_area_evaluation_new_guinea.cfm. [10 April 2007] LAMPIRAN Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah nasional No. Landasan Hukum Keterangan Sumber Hukum 1. UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 Ayat 3 menekankan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ayat 4 menekankan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan antara lain berdasarkan atas prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Undang-Undang 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan resapan air, pembentukan wilayah pengelolaan, wilayah perlindungan dan konservasi berdasarkan keberadaan lahan basah di kawasan hutan. 2 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Antara lain menyebutkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam hal pendayagunaan sumber daya alam dan upaya-upaya konservasi. Mengatur distribusi wewenang pengelolaan lahan basah lintas kabupaten, kota, provinsi. 3 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Antara lain berisi tentang asas, tujuan dan sasaran; hak, kewajiban, dan peran masyarakat; wewenang pemerintah; upaya pelestarian fungsi; serta tata-cara penyeselesaian sengketa dan penyidikan kasus- kasus mengenai pengelolaan lingkungan hidup. 4 UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim United Nation Framewok Convention on Climate Change Konvensi ini merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumahkaca gabungan mereka paling sedikit 5 dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Secara tidak langsung Undang-undang ini dapat mendorong perlindungan lahan basah untuk tujuan pengendalian perubahan iklim. 5 UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati United Nation Convention on Biological DiversityCBD Mengesahkan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati yang antara lain berisi tentang tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan; identifikasi dan pemantauan keanekaragaman hayati; serta pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang merugikan. 6 UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang termasuk pemanfaatan ruang kawasan lindung; yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan. 104 7 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan usaha perlindungan seperti perlindungan sistem penyangga, pengawetan keanekaragaman jenis, aktivitas apa saja yang dilarang, dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya, 8 UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut United Nation Convention on The Law of The Sea Mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut. Konvensi ini antara lain menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. 9 UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dalam proses revisi, September 2003 Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumber daya ikan termasuk habitatnya. 10 UU No. 7 Tahun 2004 Antara lain berisi tentang hak dan wewenang negara dalam pengelolaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; tata pengaturan air; tata cara pembinaan pengairan; pengusahaan air dan sumber-sumber air; eksploitasi dan pemeliharaan bangunan perairan; perlindungan air, sumber-sumber air, dan bangunan-bangunan perairan; pembiayaan kegiatan pembangunan air; serta ketentuan pidana. Peraturan Pemerintah 1 PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah ini antara lain membahas tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 2 PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Antara lain berisi tentang wewenang pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air; rencana pendayagunaan air; klasifikasi dan kriteria mutu air; kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan retribusi pembuangan air limbah; tata cara melaporkan pelanggaran; hak dan kewajiban masyarakat; persyaratan pemanfaatan dan pembuangan air limbah; serta sanksi-sanksi. 3 PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Antara lain berisi tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan; baku mutu pencemaran; tata laksana pengendalian; wewenang pengendalian kerusakan; pengawasan; pelaporan; peningkatan kesadaran masyarakat; keterbukaan informasi dan peran masyarakat; pembiayaan; sanksi administrasi; ganti rugi; serta ketentuan pidana. Pada peraturan ini telah diatur batas-batas kewenangan pemerintah pusat dan daerah. 105 4 PP No 252000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Menerangkan secara rinci kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Kewenangan tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bidang, antara lain yaitu: bidang pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, penataan ruang, pertanahan, dan lingkungan hidup. 5 PP No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL Antara lain berisi tentang kewajiban melakukan AMDAL bagi setiap jenis usahakegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besarpenting terhadap lingkungan hidup; cara kerja komisi penilai AMDAL; tata cara pembuatan AMDAL, pembinaan, dan pengawasan; serta keterbukaan informasi dan peran masyararakat. 6 PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran danatau Perusakan Laut Antara lain berisi tentang baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut, dan status mutu laut; pencegahan pencemaran laut; pencegahan kerusakan laut; penanggulangan pencemaran danatau perusakan laut; pemulihan mutu laut; pengawasan; serta pembiayaan. 7 PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Mengatur masalah pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, yang antara lain meliputi: pengkajian, penelitian, pengembangan, penangkapan, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan, pengiriman dan pengangkutan, serta sanksi. 8 PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Antara lain berisi tentang definisi, asas, tujuan, serta kriteria Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kecuali pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa serta kegiatan kepariwisataaan di zona pemanfaatan. 9 PP No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai Antara lain berisi tentang penguasaan sungai; fungsi sungai; wewenang dan tanggung jawab pembinaan; perencanaan sungai, pembangunan bangunan sungai; eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai; pembangunan, pengelolaan, dan pengamanan waduk; pengamanan sungai dan bangunan sungai; kewajiban dan larangan; pembiayaan; serta ketentuan pidana. 10 PP No. 27 Tahun 1991 Tentang Rawa Lingkup pengaturan rawa dalam Peraturan Pemerintah ini adalah penyelenggaraan konservasi rawa yang meliputi perlindungan, pengawetan secara lestari dan pemanfaatan rawa sebagai ekosistem sumber air. 11 PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan Mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan kawasan hutan, perlindungan tanah hutan, perlindungan terhadap kerusakan hutan, perlindungan hasil hutan, pelaksanaan perlindungan hutan, dan ketentuan pidana. 12 PP No. 2 Tahun 1982 Tentang Pengaturan Tata Air Antara lain berisi tentang asas dan landasan hak atas air; pola tata pengaturan air; koordinasi tata pengaturan air; penggunaan air danatau sumber air; perlindungan air; eksploitasi dan pemeliharaan bangunan pengairan; pengawasan; serta ketentuan pidana. 106 Keputusan Presiden 1 Keppres No.48 Tahun 1991 Mengenai Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat Konvensi ini berisi tentang ketentuan konservasi lahan basah dan situs-situs lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional. Pada pengesahan tersebut Pemerintah RI telah mengajukan Taman Nasional Berbak di Jambi sebagai lahan basah yang memiliki nilai penting secara internasional untuk dilindungi. 2 Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Menerangkan tentang ruang lingkup kawasan lindung; pokok kebijaksanaan kawasan lindung meliputi kriteria jenis-jenis kawasan lindung dan tujuan perlindungannya; tata cara penetapan kawasan lindung; serta upaya pengendalian kawasan lindung. 3 Keppres No. 26 Tahun 1989 Mengenai Pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia. Konvensi ini antara lain berisi tentang definisi warisan budaya dan alam, upaya-upaya perlindungan di tingkat nasional dan internasional, pembentukan komite antar negara untuk upaya perlindungan, pendanaan bagi kegiatan perlindungan, tata cara memperoleh bantuan internasional untuk upaya perlindungan, serta kewajiban bagi negara-negara peserta konvensi untuk melakukan program- program pendidikan dan penyebaran informasi mengenai pentingnya warisan budaya dan alam kepada masyarakat. 4 Keppres No. 43 Tahun 1978 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah Convention on International Trade of Endangered Species of wild Plants and Animals CITES Berisi tentang pembatasan, pelarangan, dan pemantauan terhadap jenis flora dan fauna terutama yang terancam punah. Konvensi ini terdiri dari tiga lampiran; Lampiran 1 berisi tentang kategori spesies yang terancam punah yang kemungkinan besar disebabkan karena adanya perdagangan spesies tersebut; Lampiran II berisi tentang daftar semua spesies yang masuk dalam kategori tidak benar-benar terancam punah, namun akan menjadi terancam jika perdagangan spesiesnya tidak dikontrol dengan ketat; dan Lampiran III berisi tentang kategori spesies di mana suatu negara menganggapnya perlu untuk diatur dalam yurisdiksinya dengan tujuan mencegah atau membatasi eksploitasi. 107 Lampiran 2. Beberapa strategi nasional pengelolaan lahan basah yang menjadi acuan dalam penelitian ini. No Nama Strategi Keterangan 1. Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah NSAP 1996 yang kemudian direvisi pada tahun 2004 Strategi ini dikeluarkan oleh Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil institusi pemerintah, peneliti dan akademisi, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Penyusunannya sendiri difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan sehingga meski tidak memiliki baju hukum, Strategi Nasional ini dapat menjiwai kebijakan operasional yang dikembangkan oleh paling tidak dua kementerian sektor tersebut. 2. Strategi dan Rencana Tindak untuk Keanekaragaman Hayati tahun 1993 BAPI yang kemudian direvisi tahun 2003 IBSAP . Strategi ini diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui konsultasi publik yang diikuti oleh berbagai perwakilan pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan peneliti. Seperti halnya NSAP 2004, IBSAP 2003 juga tidak memiliki baju hukum. Pelaksanaan Strategi Nasional ini didukung oleh sumberdaya Bappenas yang besar sehingga diperkirakan program-program nasional yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berada dibawah koordinasi Bappenas akan mengacu pada IBSAP 2004. 3. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia tahun 2005 saat ini dalam proses revisi. Penyusunan Strategi Nasional Mangrove difasilitasi oleh Departemen Kehutanan dan LSM Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Strategi Nasional ini direncanakan akan memiliki baju hukum agar pelaksanannya menjadi bersifat wajib bagi instansi pemerintah terkait. Tanpa baju hukum Strategi Nasional ini akan tetap dapat menjadi acuan berbagai pemangku kepentingan, minimal bagi Departemen Kehutanan. 4. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia tahun 2000. Strategi ini merupakan dokumen ilmiah yang dapat digunakan sebgai acuan bagi para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam mengelola sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Penyusunan strategi ini merupakan hasil kerjasama antara Pusat Kajian dan Seumberdaya Pesisir dan Lautan PKSPL – Institut Pertanian Bogor dengan COREMAP – LIPI. 5. Nasional Forest Program National Forest Program NFP ini merupakan kerangka kerja yang sedang disusun oleh Departemen Kehutanan sebagai acuan bagi pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, dan pembangunan seluruh tipe hutan. Pelaksanaan National Forest Program akan berjalan lebih efektif di Departemen Kehutanan dibandingkan jika Strategi Nasional lainnya tidak dilengkapi baju hukum. Hal ini disebabkan oleh karena NFP adalah produk internal Dephut yang mengikat ke dalam. 108 Lampiran 3. Daftar istilah Achievement Pencapaian, istilah dalam siklus pengelolaan. Assesment Penilaian, istilah dalam siklus pengelolaan. Awareness Kepedulian, sering juga diterjemahkan “peningkatan kepedulian”. Tidak menggunakan terjemahan “penyadaran” karena dianggap melecehkan masyarakat oleh beberapa kalangan penggiat pemberdayaan masyarakat. Coastal wetlands Lahan basah pesisir Conservation area Kawasan konservasi Context Konteks, istilah dalam siklus pengelolaan Effect Pengaruh, istilah dalam siklus pengelolaan. Effectivenes Efektivitas Endangered Genting, istilah IUCN Good governance Tata Laksana yang baik, terjemahan ini dipakai di Kementerian Lingkungan Hidup. Impact Dampak, diambil dari terjemahan EIA menjadi AMDAL Indigenous people Masyarakat adat Management Pengelolaan Objective Tujuan, istilah dalam siklus pengelolaan. Outcome Hasil, istilah dalam siklus pengelolaan. Terjemahan ini digunakan dalam Laporan Akuntabilitas Dirjen PHKA Output Keluaran, istilah dalam siklus pengelolaan. Terjemahan ini digunakan dalam Laporan Akuntabilitas Dirjen PHKA Planning Perencanaan, istilah dalam siklus pengelolaan Policy Kebijakan Protected area Kawasan konservasi, kecuali jika kalimat aslinya merujuk pada kawasan yang ditujukan semata-mata sebagai kawasan yang dilindungi, terjemahannya menjadi ”kawasan lindung”. Rare Jarang, istilah IUCN Result Hasil, istilah dalam siklus pengelolaan Sanctuary Daerah perlindungan Score card Kartu nilai, istilah penilaian efektivitas pengelolaan Stakeholder Pemangku kepentingan, terjemahan ini banyak digunakan di Kementerian Lingkungan Hidup Vulnerable Rentan, istilah IUCN Lampiran 4. Kuesioner RAPPAM KUESIONER PENILAIAN CEPAT DAN PENENTUAN PRIORITAS PENGELOLAN KAWASAN KONSERVASI RAPPAM

1. Latar Belakang Informasi