Karakteristik Biologi KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

Pengelompokan ini juga menjadi hal yang penting dalam menyusun strategi pengelolan berdasarkan hasil-hasil RAPPAM karena RAPPAM sendiri tidak secara khusus melakukan pembedaan tipe ekosistem dalam questionernya. Berdasarkan karakteristik masing-masing kawasan konservasi pada Tabel 2 maka secara kualitatif pengelompokan dapat dilakukan lebih detail berdasarkan tipe ekosistem yang mendominasi suatau kawasan konservasi seperti berikut: Tabel 5. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan. Kriteria pengelompokan Kawasan konservasi Dominan mangrove, rawa pesisir Berbak, Sembilang, Way Kambas, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Wasur, Lorentz Dominan terumbu karang Kepulauan Seribu, Komodo, Bunaken, Taka Bonerate, Wakatobi. Dominan hutan pantai, pantai berpasir, dan tebing pantai berbatu Siberut, Baluran, Meru Betiri, Alas Purwo, Manupeu Tanadaru. Gabungan mangrove, terumbu karang Ujung Kulon, Karimun Jawa, Bali Barat, Teluk Cenderawasih. Sumber data: Departemen Kehutanan 2007, Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia Tabel 5 menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian ini dapat dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe ekosistem yang dominan. Setiap kelompok memiliki kebutuhan tersendiri dalam pengelolaan kawasannya sehingga pengelompokan ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengidentifikasi isu pengelolaan yang penting beserta alternatif pengelolaannya.

4.2 Karakteristik Biologi

Salah satu dasar penetapan sebuah kawasan konservasi adalah berdasarkan karakteristik-karakteristik biologisnya yang penting seperti kekayaan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, dan fungsi perlindungannya terhadap spesies-spesies terancam punah, bernilai penting, dan khas. Secara tradisional karakteristik ini mendominasi dasar penetapan hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia. Karakteristik biologi yang menjadi perhatian dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini dibedakan menjadi 10 macam seperti yang terlihat pada Gambar 6. Secara umum terlihat bahwa karakteristik biologi yang paling menonjol pada kawasan konservasi adalah kandungan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, populasi minimum spesies, dan keterwakilan skala keanekaragaman hayati. Karakteristik biologi yang paling rendah nilai pentingnya adalah tipe ekosistem yang tersisa. - 1 2 3 4 5 K andu ngan k e hat i K et er w ak ilan ek o s is tem P opul as i mi n imu m s pes ies S k al a k e hat i Sp e s ie s ter anc am F u n g s i k rit is S pes ies ende m ik K e se su a ia n se ja ra h P em el ihar a an pr os e s a lam i Ti p e ek o s is te m y ang t e rs is a Karakteristik Ekologi N ila i P e n tin g Gambar 6 Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di Indonesia. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan konservasi menempatkan kandungan keanekaragaman hayati sebagai bagian yang paling penting untuk menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kandungan keanekaragaman hayati dianggap lebih penting dibandingkan keberadaan spesies endemik atau spesies yang terancam punah. Hal ini masih wajar karena kawasan konservasi yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah taman nasional yang peruntukannya sebagai kawasan pelestarian alam, bukan kawasan suaka alam seperti cagar alam dan suaka margasatwa yang lebih ditujukan untuk perlindungan floran dan fauna yang terancam punah. Nilai biologis yang tinggi yang disajikan pada Gambar 6 sebetulnya sejalan dengan hasil survey-survey inventarisasi keanekaragaman hayati yang menunjukkan bahwa kandungan keanekaragaman hayati lahan basah Indonesia adalah salah satu yang terkaya di dunia. Sekitar 8.500 spesies ikan dari 19.000 spesies yang ada di seluruh dunia bisa ditemukan di Indonesia. Sedangkan untuk amphibi, dari 4.200 spesies yang ada di seluruh dunia, sekitar 1.000 spesies bisa ditemukan di Indonesia Bappenas, 1993. Ikan, amphibi, dan terumbu karang adalah flora dan fauna yang khas hidup di lahan basah. 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 Be rb a k S em bi lang W ay K a m bas T a nj ung Pu tin g Ku ta i G un ung P a lung Ra wa A o p a W at um o hai Wa s u r Lo ren tz U jun g K u lon Ka ri m u n Ja w a B a li B a ra t Te lu k C e ndr aw a s ih K epu laua n Se ri b u K o m odo B una k en Ta k a Bo n e ra te Wa k a to b i Si b e ru t Ba lu ra n Al a s Pu rw o M e ru B e tiri M an upe u T a nad ar u N il a i Pe nt ing Ek ol o g is Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 7 Grafik nilai penting karakteristik biologis di 23 kawasan konservasi Nilai penting biologis setiap kawasan konservasi cukup bervariasi seperti yang disajikan dalam Gambar 7. Taman nasional yang memiliki nilai penting karakteristik biologi yang tinggi adalah Taman Nasional Sembilang, Ujung Kulon, Karimun Jawa, Meru Betiri, Wasur, Rawa Aopa dan Lorentz. Sedangkan kawasan konservasi yang memiliki nilai yang rendah antara lain Taman Nasional Kepulauan Seribu, Tanjung Puting, Taka Bonerate, Wakatobi, dan Bunaken. Secara umum terlihat bahwa kawasan konservasi laut terumbu karang dianggap memiliki nilai penting karakteristik biologi yang lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi tipe ekosistem lainnya. Nilai Penting Biologis Berdasarkan Hasil Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Penelitian ini juga menyusun skala proritas pengelolaan yang didasarkan pada data obyektif yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber seperti disajikan dalam Tabel 6 berikut. Tabel 6. Karakteristik keanekaragaman hayati flora dan fauna 23 kawasan konservasi di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. No NP Fish Birds Plants Corals Mammals Reptile Amphibi Wetlands Migratory Endemic Endan- gered 1 SR 10 134 896 10 31 21 3 nd 36 9 2 BK 116 337 261 28 51 4 22 nd 22 3 SL 51 300 20 35 19 4 nd nd 36 4 WK 10 406 35 50 3 3 nd nd 15 5 UK 142 242 700 33 40 81 4 nd nd 6 6 KS 211 17 32 257 1 5 2 nd nd 2 7 KJ 290 54 173 90 6 18 3 nd nd 3 8 BL 10 155 444 10 26 4 3 nd nd 3 9 AP 33 236 190 10 27 20 3 16 nd 4 10 MB 10 184 518 10 29 11 3 nd nd 4 11 BB 226 105 175 110 200 4 3 nd nd 4 12 KM 1000 111 200 260 34 37 3 nd nd 4 13 MT nd 87 118 nd nd nd nd 14 nd 14 TP 10 221 20 38 7 3 nd 7 5 15 KT 10 215 20 74 4 3 nd nd 5 16 GP 10 248 20 140 5 3 nd nd 5 17 TB 350 2 7 261 3 6 2 nd nd 3 18 WT 430 11 25 125 9 9 1 nd nd 1 19 RA 11 163 323 18 10 2 nd 37 6 20 BN 1000 81 55 380 15 13 2 nd nd 5 21 TC 1223 37 46 600 64 4 2 nd nd 7 22 WS 39 403 20 80 21 3 nd 32 2 23 LZ 1000 650 200 141 150 3 nd 45 1 Keterangan: 1. Kolom yang menunjukkan diberi warna gelap menunjukkan angka estimasi untuk memudahkan perhitungan. 2. nd = tidak terdapat data Secara umum Tabel 6. sulit untuk memberi kita gambaran kawasan konservasi mana yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang relatif tinggi. Tabel 6 justru menunjukkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati setiap kawasan konservasi memiliki kekhasan jumlah spesies tertentu dan tidak ada yang keanekaragaman hayatinya mendominasi semua kategori spesies. Teluk Cendrawasih TC memiliki spesies karang dan ikan paling tinggi, Lorentz LZ paling banyak memiliki spesies burung, reptile dan mamalia, Ujung Kulon UK untuk spesies tumbuhan, Bali Barat BB untuk mamalia, dan Sembilang SL memiliki jumlah spesies terancam paling tinggi. Menyikapi kesulitan yang ditemukan dalam memahami sebaran data tersebut maka dilakukan penentuan skor atau pembobotan nilai dalam Tabel 6. Penentuan skor masing-masing kawasan konservasi dilakukan dengan membuat pembobotan pada masing-masing kelompok kriteria keanekaragaman hayati seperti yang disajikan dalam Tabel 7. Lima kawasan konservasi pertama yang memiliki nilai penting biologis yang tinggi adalah: Berbak, Ujung Kulon, Komodo, Sembilang, dan Lorentz. Berbak dan Sembilang terletak di pesisir timur Sumatera merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh hutan rawa tawar, mangrove, dan gambut. Kedua kawasan tersebut sudah sejak lama teridentifikasi sebagai kawasan rawa gambut dan rawa mangrove terbaik di Indonesia. Sedangkan Ujung Kulon terletak di Pulau Jawa dan merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh adanya spesies badak. Ujung Kulon memiliki nilai strategis karena merupakan salah satu dari sedikit kawasan konservasi yang relatif terjaga kondisi keanekaragaman hayatinya di Pulau Jawa. Tabel 7. Nilai skor kekayaan keanekaragaman hayati 23 kawasan konservasi di Indonesia Rawa Pesisir dan Mangrove Mangrove - Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Taman Nasional BK SL WK TP KT GP RA WS LZ UK KJ BB TC KS KM TB WT BN SR BL AP MB Fish 7 4 4 4 4 4 4 4 18 7 11 11 18 11 18 11 15 18 4 4 4 4 Birds 18 18 18 15 15 15 15 18 18 15 7 11 4 4 11 4 4 7 11 15 15 15 Plants 3 1 1 1 1 1 5 1 2 6 2 2 1 1 2 1 1 1 1 6 2 6 Corals 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 4 6 12 10 10 10 6 12 2 2 2 2 Mammals 2 2 2 2 3 5 1 3 5 2 6 6 3 1 2 1 1 1 2 2 2 2 Reptile - Amphibi 6 2 2 2 2 2 2 4 12 10 2 2 2 2 4 2 2 2 4 2 2 2 Wetlands 18 18 12 12 12 12 8 12 12 18 12 12 8 8 12 8 4 8 12 12 12 12 Endan-gered 10 10 10 3 3 3 3 3 3 3 3 3 5 3 3 3 3 3 5 3 3 3 Jumlah 64 55 49 39 40 42 38 45 70 65 47 53 53 40 62 40 36 52 41 46 42 46 Ranking 3 5 9 20 17 14 21 13 1 2 10 6 7 18 4 19 22 8 16 11 15 12 Rata-rata 49.11 54.50 40.00 43.75 Keterangan: 1. Data asli jumlah spesies per kawasan konservasi dikompilasi dari berbagai sumber yaitu: a. Wetlands Data Base, Wetlands International Indonesia Programme b. Important Bird Area IBA, Birdlife International. www.birdlife.org; www.burung .or.id c. Pusat Informasi Konservasi Alam, PIKA Departemen Kehutanan d. Park of Indonesia, ASEAN sub-regional economic growth area, www.eaga.org.bn e. Operation Wallacea TN. Wakatobi. www.opwall.com f. Coremap TN. Takabonerate. www.coremap.or.id g. Komodo National Park www.komodonationalpark.org h. 41 Taman Nasional di Indonesia, PHKA-TNC. i. Lumba-lumba Diving, www.lumbalumbadiving.com 2. Penentuan ranking menggunakan metode skoring yang diadopsi dari UNEP SCS Wetlands Sub Component, 2004. 3. Data yang ditebalkan dan diberi bayangan adalah data yang merupakan nilai maksimal. 4.Taman Nasional Manupeu Tanadaru tidak dimasukkan dalam perhitungan karena datanya sangat minim. 45 Hasil pembobotan nilai data keanekaragaman hayati kawasan konservasi menunjukkan bahwa terdapat variasi nilai keanekaragaman hayati yang sangat besar antara satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya. Hal ini bisa terlihat pada data skor nilai yang terkecil yaitu TN Wakatobi yang hanya memiliki skor 36 dan TN Lorentz yang memiliki skor 70. Variasi yang besar ini memudahkan kita untuk mengurutkan prioritas pengelolaan 23 kawasan konservasi. Nilai ranking kawasan konservasi yang dilakukan berdasarkan data hasil inventarisasi seperti yang disajikan pada Tabel 7 memiliki kecenderungan kesamaan pada 10 kawasan konservasi prioritas pertama menurut kriteria RAPPAM. Meski demikian, penghitungan korelasi hasil analisis data keanekaragaman hayati dan hasil RAPPAM memberikan angka korelasi yang sangat kecil 60. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menjadi dasar penentuan prioritas pengelolaan yang didasarkan pada nilai penting biologis. Terdapat dugaan kuat ketidakkonsistenan ini berasal dari ketidakmemadaian data yang tersedia. Data yang berasal dari kawasan konservasi yang menjadi wilayah kerja sebuah proyek khusus –biasanya dilakukan oleh LSM Internasional- akan melimpah sehingga menghasilkan jumlah spesies yang besar. Hal ini dengan mudah terlihat pada data spesies ikan dan karang yang lengkap dari TN Teluk Cendrawasih sebab sebuah proyek yang difasilitasi Conservation International tengah bekerja di sana menginventarisasi ikan dan karang. Kelengkapan data TN Teluk Cenderawasih hanya terjadi pada ikan dan karang, tapi tidak pada spesies burung dan tumbuhan. Ketiadaan data ini tidak berarti TN Teluk Cenderawasih tidak memiliki burung, tapi lebih disebabkan oleh tidak adanya proyek khusus menginventarisasi hal tersebut. Hal sebaliknya terjadi pada TN Manupeu Tanadaru, dimana Birdlife International bekerja dengan spesialisasi burung dan preferensi habitatnya. Kondisi ini menyebabkan TN Manupeu Tanadaru memiliki kelengkapan informasi mengenai data burung dan tanaman. Data-data hasil inventarisasi kekayaan sumberdaya hayati kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 belum memadai untuk menjadi referensi tunggal penentuan prioritas nilai penting biologis kawasan konservasi. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus berbagai pihak untuk melengkapi data tersebut diatas yang kemudian digabungkan dengan informasi-informasi persepsi para pemangku kepentingan yang antara lain bisa diperoleh dari kuesioner RAPPAM. Gabungan informasi tersebut akan memandu kita untuk memperoleh urutan ranking yang mendekati kebenaran mengenai nilai penting biologis setiap kawasan konservasi. Informasi yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 juga memberikan kita peluang untuk melakukan pengelompokan kawasan konservasi dengan menggunakan analisis gerombol terhadap data keanekaragaman hayati masing-masing kawasan. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Gambar 8 yang memperlihatkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi yaitu kelompok dominant terumbu karang, kelompok kombinasi hutan pantai dan mangrove, dan kelompok dominan rawa dan mangrove. Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan tersebut menunjukkan bahwa pembagian menjadi 3 kelompok sudah tepat berdasarkan data yang tersedia. Gambar 8 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman hayatinya. Hasil pendekatan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 8 disarikan dari Gambar 8 yang memberikan gambaran yang sekilas terlihat berbeda dengan pengelompokan pada Tabel 5 sebelumnya. Meski demikian jika diamati lebih dekat terlihat bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dimana Dendrogram 5 10 15 20 25 30 35 D issim ilar it y analisis gerombol memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang sedang pengelompokan dalam Tabel 8 memperjelas pengelompokan kawasan yang dominan mangrove. Tabel 8. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan Kelompok Kawasan Konservasi Jenis Ekosistem I Karimun Jawa, Bali Barat, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Taka Bonerate, Komodo, Bunaken, Teluk Cenderawasih. Dominan terumbu karang II Lorentz, Sembilang Kombinasi rawa pesisir dan mangrove III Ujung Kulon, Berbak, Siberut, Gunung Palung, Wakatobi, Wasur, Alas Purwo, Meru Betiri, Tanjung Puting, Kutai, Baluran, Rawa Aopa subgrup 1; Kombinasi hutan pantai dan mangrove Pengelompokan pada Tabel 5 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok hutan pantai, kelompok terumbu karang, dan kelompok campuran terumbu karang dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang umumnya ditujukan pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove, hutan pantai, terumbu karang, dan kombinasi beberapa type ekosistem.

4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi