bekerja di proyek maka kegiatan melaut hanya dilakukan oleh istri dan anak. Biasanya setelah suami mendapat cuti dari proyek barulah mereka melaut pada
saat musim udang. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya subtitusi pendapatan tunai yang cukup besar dari proyek untuk kegiatan perikanan,
sehingga alokasi kerja mereka untuk kegiatan perikanan juga mengalami penurunan.
6.1.3. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Berburu
Kegiatan berburu yang dilakukan oleh penduduk setempat merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada saat bukan musim udang. Aktivitas berburu
ini dilakukan di hutan yang ada di sekitar pemukiman penduduk. Hanya saja setelah pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak LNG Tangguh serta
keputusan bekerja di proyek tersebut, maka wilayah berburu masyarakat setempat dan alokasi kerja pada kegiatan tersebut juga berkurang sehingga mempengaruhi
hasil tangkapan yang diperoleh. Umumnya setiap kali berburu mereka terdiri dari dua hingga enam orang dari keluarga yang sama ataupun berbeda. Hasil buruan
yang mereka peroleh umumnya adalah babi hutan, lao-lao kangguru, kasuari dan rusa. Hasil yang mereka peroleh dibagi merata pada setiap orang yang ikut
berburu. Tabel 18 menunjukkan bahwa alokasi kerja rumahtangga responden untuk
kegiatan berburu lebih tinggi pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Sekalipun demikian aktivitas berburu juga tetap dilakukan oleh keluarga yang
bekerja di LNG Tangguh ketika mereka cuti bekerja, tetapi frekuensinya tidaklah
sebanyak frekuensi berburu di rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Frekuensi berburu rumahtangga yang bekerja di LNG adalah rata-rata 4.50
pertahun, sedangkan yang tidak bekerja di LNG frekuensi berburunya bisa mencapai 8.12 pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan bekerja di proyek
mengakibatkan alokasi kerja pada kegiatan berburu mengalami penurunan karena tenaga kerja potensial untuk kegiatan tersebut dialihkan ke proyek.
Tabel 18. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Berburu dalam Satu Tahun
HOK No
Anggota Rumahtangga
LNG Non LNG
Curahan Kerja Rata-rata
Curahan Kerja Rata-rata
1 Suami 2.82
8.24 2. Istri
0.00 0.00
3. Anak laki-laki
1.15 2.64
Total 3.97
10.88 Sumber : Data Penelitian diolah
6.1.4. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Menokok Sagu
Kegiatan menokok sagu umumnya dilakukan oleh kepala keluarga dan istrinya di dusun sagu yang merupakan dusun sagu yang dimiliki secara komunal
pada tingkat marga. Para anggota marga tidak mempunyai pemilikan pribadi atas dusun sagu, walaupun ada semacam pembagian daerah untuk kegiatan menokok
sagu. Sekalipun demikian, marga yang satu dapat menokok sagu di dusun sagu marga lain. Setelah adanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak proyek,
maka dusun sagu tempat masyarakat menokok sagu juga berkurang. Kegiatan ini mempunyai beberapa tahapan yang umumnya masing-masing
tahapan tersebut dilakukan oleh suami dan istri secara bergantian. Ketika mereka
ke hutan, biasanya suami yang mencari pohon sagu yang telah tua dan siap untuk ditokok. Setelah menemukan pohon sagu, mereka membuat sumur dan goti untuk
memeras sagu. Pohon sagu yang telah ditebang lalu dibuka dan dipangkur. Kegiatan pangkur ini umumnya dilakukan oleh suami tetapi istri juga sering
melakukannya ketika suami tidak turut serta dalam kegiatan tersebut. Setelah selesai dipangkur, istri menyiram hasil pangkuran sagu tersebut dan memerasnya
dengan menggunakan kain atau goti yang telah dibuat. Hasil perasan tersebut lalu diendapkan dan menjadi sagu yang siap dimasukkan ke dalam tumang yang telah
dibuat. Tabel 19. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan
Menokok Sagu dalam Satu Tahun HOK
No Anggota Rumahtangga
LNG Non LNG
Curahan Kerja Rata-rata
Curahan Kerja Rata-rata
1 Suami 12.08
12.31 2. Istri
13.47 34.76
3. Anakanggota keluarga lain
0.45 4.00
Total 26.00
51.07 Sumber : Data Penelitian diolah
Tabel 19 menunjukkan bahwa curahan kerja rumahtangga responden untuk kegiatan menokok sagu lebih tinggi pada rumahtangga yang tidak bekerja di
LNG. Hal ini disebabkan curahan kerja yang tersedia untuk menokok sagu lebih banyak pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG dan juga karena harga sagu
pertumangnya setelah adanya proyek LNG cukup tinggi sehingga mendorong mereka untuk terus menokok sagu, sekalipun hutan sagu sangat terbatas di
wilayah mereka setelah pembangunan proyek LNG Tangguh. Sebaliknya rumahtangga yang bekerja di LNG cenderung mengurangi aktivitas menokok sagu
karena mereka mempunyai uang tunai dari proyek yang dapat dialokasikan untuk membeli beras maupun sagu. Sagu yang dihasilkan oleh masyarakat setempat
umumnya dalam bentuk tumang dan mempunyai diameter kurang lebih 30 cm dan tinggi 50 cm. Harga sagu pertumangnya dengan diameter tersebut adalah
Rp 100 000.
6.1.5. Alokasi Kerja pada Kegiatan Produktif di Rumahtangga yang