Dampak Penyerapan Tenaga Kerja Lokal Pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Terhadap Ekonomi Rumahtangga Penduduk Desa Di Kawasan Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat

(1)

Oleh:

DEASI MAYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Province (NUNUNG KUSNADI as Chairman and HARIANTO as Member of the Advisory Committee).

One commitment of Tangguh LNG project is to increase employment opportunity for local workers who live in directly affected villages and the Bird’s Head Region in the short, middle and long run. The objectives of this study were to analyze the impact of Tangguh LNG project on the allocation of time of households, income structure, and household consumption; to analyze factors influencing production and consumption of households who working in Tangguh LNG project; and to find out the impact of cash income on the production and consumption activities of households. This study used descriptive analysis and the form simultaneous equation household models. Result showed that the allocation of time in agriculture, fishing, and timbers of household working in Tangguh LNG project is less then household do not belong to. Household working in Tangguh LNG project gain more cash income and higher consumption on market goods than those do not. Farm income was significantly influenced by the distance of land area and intensity of agricultural extention. Fishing income was significantly influenced by number of trammel net and fuel. Income of timbers was significantly influenced by the allocation of time and timbers frequency. Household consumption was significantly influenced by income and size of family. When the cash income gaining from the project increased, consumption of market goods increased but working hours allocated to agriculture, fishing and timbers decreased.


(3)

migas. Hampir seluruh kawasan ini mengandung gas alam cair (liqufied natural gas) dengan jumlah cadangan mencapai 23.7 trilyun kaki kubik dan kandungan minyak bumi kurang lebih 45 juta ton (BAPPEDA, 2005). Berdasarkan potensi tersebut, pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No.04/DKPP/1998 tertanggal 13 Januari 1998 telah dibangun proyek Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni (PERTAMINA & BP, 2002). Proyek ini dikelola oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) dan British Petrolium (BP) yang memegang hak guna usaha selama 30-50 tahun.

Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar proyek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber mata pencaharian yang bergantung sepenuhnya kepada potensi sumberdaya alam seperti kegiatan bertani, menangkap ikan, berburu dan menokok sagu dan sumber mata pencaharian dari keterlibatan mereka pada berbagai industri yang ada di wilayah tersebut. Salah satu komitmen yang diberikan kepada masyarakat setempat oleh proyek LNG Tangguh adalah adanya peyerapan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja di sekitar wilayah kepala burung pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis keadaan ekonomi rumahtangga masyarakat yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: (1) menganalisis dampak penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh terhadap alokasi kerja rumahtangga, struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, dan (3) menganalisis pengaruh peningkatan proporsi cash income karena adanya penyerapan tenaga kerja lokal terhadap aktivitas produksi dan konsumsi yang selama ini telah dilakukan oleh penduduk setempat. Tujuan penelitian pertama dianalisis secara deskriptif melalui tabulasi data. Tujuan kedua dan ketiga dianalisis dengan menggunakan model ekonometrika berupa persamaan simultan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara deskriptif diketahui bahwa keputusan bekerja di Proyek LNG Tangguh merubah alokasi kerja rumahtangga pada kegiatan pertanian, perikanan dan mengambil hasil hutan, dimana alokasi kerja rumahtangga untuk kegiatan-kegiatan tersebut mengalami penurunan setelah mereka bekerja di proyek. Keputusan bekerja di proyek LNG Tangguh mengakibatkan adanya peningkatan pendapatan tunai rumahtangga, sehingga merubah struktur pendapatan rumahtangga. Pada rumahtangga yang bekerja di proyek, pendapatan tunai terbesar berasal dari proyek sedangkan rumahtangga yang tidak bekerja di proyek pendapatan tunai terbesar berasal dari kegiatan perikanan. Hal ini mengakibatkan daya beli pada rumahtangga yang bekerja di proyek lebih tinggi sehingga konsumsi barang pasar, baik berupa bahan pangan


(4)

mengakibatkan jarak lahan menjadi faktor yang sangat mempengaruhi penerimaan dari kegiatan tersebut, karena lahan kelapa sawit penduduk setempat berada di desa tetangga dan membutuhkan jarak tempuh yang cukup lama. Selain itu peran penyuluh pertanian juga sangat mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan pertanian. Jumlah jaring dan biaya variabel merupakan faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan rumahtangga pada kegiatan perikanan. Alokasi kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan serta frekuensinya sangat menentukan besar kecilnya penerimaan dari kegiatan tersebut. Produk total yang dihasilkan rumahtangga sangat menentukan besar kecilnya konsumsi rumahtangga dari produk-produk tersebut. Besar kecilnya konsumsi bahan pangan maupun non pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga yang ada.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya kesempatan bekerja di Proyek LNG Tangguh akan meningkatkan pendapatan tunai rumahtangga sehingga berdampak terhadap penurunan curahan kerja pada kegiatan pertanian, perikanan dan mengambil hasil hutan. Hal ini secara langsung mengakibatkan menurunnya penerimaan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebaliknya peningkatan pendapatan tunai karena bekerja di proyek mengakibatkan daya beli rumahtangga meningkat sehingga konsumsi barang pasar mereka juga meningkat.


(5)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

DAMPAK PENYERAPAN TENAGA KERJA LOKAL PADA PROYEK LIQUIFIED NATURAL GAS TANGGUH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PENDUDUK DESA DI KAWASAN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2009

DEASI MAYAWATI NRP. H351060081


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

DEASI MAYAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Nama Mahasiswa : Deasi Mayawati

Nomor Pokok : H351060081

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Nunung Kusnadi,MS Ketua

Dr. Ir. Harianto, MS Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

pertama dari tiga bersaudara pasangan Andi Rustam Sinjai dan Sumarthina. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1989 di SDN Yossudarso Manokwari. Penulis melanjutkan studi di SMPN 01 Manokwari hingga kelas dua tahun 1990, lalu pindah ke SMPN 02 Rantepao Tanah Toraja dan menyelesaikan studi di sana pada tahun 1992. Penulis kemudian melanjutkan studi di SMAN 02 Manokwari pada tahun yang sama dan lulus tahun 1995. Tahun 1995 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari dan meraih gelar sarjana pada tahun 2001.

Tahun 2002 penulis diterima bekerja sebagai staff pengajar tidak tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan menjadi staff pada Pusat Penelitian Pemberdayaan Fiskal dan Ekonomi Daerah (P3FED) UNIPA. Per Desember Tahun 2003, penulis diangkat menjadi staff pengajar tetap di Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UNIPA. Pada tahun 2006 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi S-2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor BPPS dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Tahun 2007 penulis menikah dengan Tommy Ferdinand Undap, staff Dinas Kesehatan Teluk Wandama Provinsi Papua Barat.


(11)

memberikan hikmat dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul ” Dampak Penyerapan Tenaga Kerja Lokal pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Terhadap Ekonomi Rumahtangga Penduduk Desa di Kawasan Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku penguji luar komisi pembimbing atas kritik dan sarannya. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan Dekan Fakultas Pertanian

UNIPA, serta Bapak Ir. Achmad Rochani, MS yang telah memberikan rekomendasi dan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi di IPB. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian dan pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Ekonomi yang telah memberikan banyak saran dan dorongan selama perkuliahan. 3. Seluruh dosen dan staff yang telah memberikan arahan selama penulis kuliah


(12)

selama penelitian ini dilakukan.

5. Teman-teman EPN angkatan 2006 (Sayekti Handayani, Dewi Haryani, Indra Rochmadi, Ismi Jazila, Husen Bahasoan, I Gusti Ayu P. Mahendri, Risyuwono, Femmi Nor Fahmi, Dahya, Andi Thamrin, Piter Sinaga dan I Wayan Sukanata) atas kebersamaan di dalam suka dan duka selama perkuliahan dan penulisan tesis ini serta semua pihak yang turut memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada suami terkasih Tommy Ferdinand Undap yang telah berdoa dan mendukung penulis selama kuliah di IPB. Penghargaan dan trimakasih yang tulus, juga di sampaikan kepada Ayahanda tercinta Andi Rustam Sinjai dan Ibunda tercinta Sumarthina, adikku Nikson Firmansyah dan Zulfikar Mardiyadi yang telah memberikan dukungan materil dan doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2009


(13)

1.1. Latar Belakang

Provinsi Papua Barat merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Papua yang sebelumnya lebih dikenal dengan Provinsi Irian Jaya. Provinsi ini dimekarkan berdasarkan Undang-Undang nomor 45 tahun 1999 yaitu pada masa pemerintahan Presiden Bachruddin Jusuf Habibie berdasarkan aspirasi masyarakat dan pertimbangan terhadap kemajuan dan perkembangan Provinsi Irian Jaya. Undang-Undang tersebut dipertegas oleh Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan tujuan tersebut semua komponen Departemen Pusat dan Kepala Pemerintahan di daerah diinstruksikan untuk melaksanakan percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (BAPPEDA, 2005).

Provinsi Papua Barat terdiri dari sembilan wilayah pemerintahan kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Raja Ampat dan Kota Sorong dengan luas keseluruhan wilayah tersebut adalah 133 724 km2. Kesembilan wilayah ini mempunyai potensi sumberdaya alam yang melimpah baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable). Sebelum dan sesudah Provinsi Papua Barat dimekarkan, sektor


(14)

primer tetap menjadi sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar kepada PDRB provinsi seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003

(%)

Sektor 1999 2000 2001 2002 2003

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Pertanian 16.39 16.11 16.21 20.11 18.81

2. Pertambangan dan Penggalian 63.24 63.10 63.66 53.60 56.73

3. Industri Pengolahan 4.09 3.37 3.07 3.81 3.66

4. Listrik dan Air Bersih 0.21 0.22 0.22 0.35 0.38

5. Bangunan 2.71 2.58 2.48 3.49 3.22

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 4.20 4.38 4.45 5.75 5.70

7. Angkutan dan Komunikasi 1.00 1.90 0.97 1.16 1.04

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 5.68 5.71 6.17 8.11 6.97

Sumber: BPS Provinsi Papua, 2003

Tabel 2. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007

(%)

Sektor 2007

(1) (2)

1. Pertanian 26.64

2. Pertambangan dan Penggalian 15.98

3. Industri Pengolahan 20.10

4. Listrik dan Air Bersih 0.56

5. Bangunan 8.61

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 10.58

7. Angkutan dan Komunikasi 7.44

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 2.07

9. Jasa-jasa 8.03

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, 2008

Melihat sumbangan sektor pertambangan dan galian terlihat bahwa potensi migas dan non migas di wilayah Papua cukup besar, namun saat ini yang memegang peranan penting terhadap PDRB adalah sektor pertambangan non


(15)

migas. Sekalipun demikian, bukan berarti potensi migas di wilayah ini terbatas. Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi Papua Barat yang memiliki potensi tambang yang cukup besar, termasuk migas. Hampir seluruh kawasan ini mengandung gas alam cair (liquified natural gas) dengan jumlah cadangan mencapai 23.7 trilyun kaki kubik dan kandungan minyak bumi kurang lebih 45 juta ton (BAPPEDA, 2005).

Potensi sumberdaya alam yang cukup besar tersebut mendorong investor berinvestasi di kawasan tersebut. Pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No.04/DKPP/1998 tertanggal 13 Januari 1998 telah dibangun proyek Liquified Natural Gas (LNG) Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni (PERTAMINA & BP, 2002). Proyek ini dikelola oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) dan British Petrolleum

(BP) yang memegang hak guna usaha selama 30-50 tahun. Penemuan gas dengan cadangan yang sangat besar di wilayah ini mencapai 14.4 trilyun kaki kubik yang terletak di lapangan Weriagar dan Vorwata (PERTAMINA & BP, 2002).

Tujuan utama dari rencana pengembangan proyek ini adalah untuk menghasilkan gas alam dan sekaligus mengolahnya menjadi gas alam cair atau LNG, dan mengangkut serta memasarkannya ke pasar LNG tradisional maupun pasar yang baru berkembang. Penemuan cadangan migas di kawasan ini mendukung Indonesia kedepannya sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Bila proyek ini beroperasi maka ada sejumlah keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh Indonesia secara umum dan Provinsi Papua Barat secara khusus.


(16)

Eksploitasi sumberdaya gas alam yang dilakukan oleh BP-Migas dan BP di Kawasan Teluk Bintuni diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan ekonomi daerah melalui lapangan kerja baru yang terbentuk, peluang tumbuhnya berbagai kegiatan bisnis baru, pembelian produk-produk lokal hasil usaha masyarakat Papua, dan pembayaran berbagai jenis pajak dan non-pajak kepada pemerintah (UNIPA, 2004). Berdasarkan riset untuk

Ethical Corporation tahun 2004 diperkirakan pemerintah Indonesia akan memperoleh pendapatan kurang lebih sebesar 12 milyar dollar Amerika Serikat yang bersumber dari produksi bersama dan pajak selama proyek tersebut beroperasi, dimana pemerintah pusat akan memperoleh 8.7 milyar dollar sedangkan pemerintah daerah Papua akan memperoleh sekitar 3.6 milyar dollar Amerika Serikat. Aliran pendapatan ini baru bisa dinikmati oleh masyarakat Papua pada tahun 2012 karena perolehan pendapatan pada tahun-tahun sebelumnya diprioritaskan untuk membayar para penanam modal yang telah menanamkan sahamnya (PPI India, 2006).

Laporan mengenai pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat Papua secara terpisah yang dilaporkan oleh Tangguh Independent Advisory Panel

(TIAP) dalam DTE 60 (2004) yaitu jumlah pendapatan yang akan diterima oleh pemerintah Papua mencapai antara 100 juta dollar pertahun pada tahun 2016 hingga 225 juta dolar pertahun pada tingkat produksi puncak. Pendapatan ini sangat tergantung pada seberapa banyak terminal LNG dibangun. Selain itu dalam laporan keduanya tim TIAP menunjukkan adanya ketidakpastian berkaitan dengan


(17)

masalah pembagian pendapatan di masa datang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah di tingkat lokal dan provinsi.

Sebaliknya dari pihak BP-Migas sendiri melalui Pudyantoro (2007) mengemukakan bahwa bagi hasil migas setelah adanya undang-undang otonomi khusus lebih banyak yang diterima pemerintah daerah setempat, yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa sebagian besar dana yang masuk ke pemerintah Indonesia, sebagian besarnya dialokasikan untuk pemerintah daerah baik pada bahan tambang minyak maupun gas setelah dikurangi dengan berbagai potongan yang berkaitan dengan pembangunan proyek tersebut.

Keterangan: Keterangan:

PSC: Production Sharing Contract

Gambar 1. Mekanisme Bagi Hasil Migas Era Otonomi Khusus

Mekanisme PSC

Bahan

tambang US$ 50.00

> 12 mil 4-12 mil <4 mil Minyak Pemerintah

pusat 100 %

1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 65 % 3. Kabupaten non

penghasil 5 %

1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 58 % 3. Kabupaten penghasil 6% 4. Kabupaten non penghasil 6 % Gas Pemerintah pusat 100 %

1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 60 % 3. Kabupaten non

penghasil 10 %

1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 46 % 3. Kabupaten penghasil 12 % 4. Kabupaten non penghasil 12 % Bagian kontraktor US$ 36.750 Bagian pe merintah U$ 63.250 Potongan:

PDRD, PBB, PPN Reimbursment, FeeKegiatan Hulu Misal : US$ 13.250

Lifting US$ 100.00


(18)

Proyek Tangguh diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2008, pada kuartal keempat. Pada bulan Mei 2007 sudah dilakukan pengeboran eksplorasi pada dua sumur di anjungan lepas pantai B yang merupakan salah satu target dari 15 sumur yang direncanakan akan dieksplorasi hingga tahun 2009. Gas alam cair ini telah mempunyai pembeli yang berkomitmen untuk memasok yaitu Fujian (Cina) sebesar 2.6 juta ton per tahun, K-Power dan Posco (Korea) sebesar 1.1 juta ton pertahun, Sempra Energy LNG Marketing Corp (Meksiko) sebesar 3.6 juta ton per tahun (DOT, 2007).

Terlepas dari semua keuntungan ekonomi yang akan dinikmati, pembangunan proyek LNG Tangguh ini juga mempunyai kemungkinan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian maupun lingkungan fisik dan sosial di wilayah tersebut. Beberapa dampak yang mungkin ditimbulkan oleh adanya pembangunan proyek ini seperti yang tercatat dalam PERTAMINA & BP (2002), antara lain :

1. Dampak sosial ekonomi pekerja konstruksi diperkirakan mencapai 5 800 dan 500 pekerja lapangan.

2. Pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah yang pemukimannya merupakan lokasi pembangunan proyek tersebut.

3. Hilangnya hak ulayat masyarakat lokal atas tanah dan daerah perairan dekat pantai.

4. Gangguan terhadap lahan, hilangnya kayu, dan hilangnya habitat satwa liar karena pembukaan lahan.


(19)

5. Dampak terhadap daerah hutan mangrove dari perpipaan dan fasilitas dermaga khusus.

6. Dampak terhadap kualitas air akibat pembuangan air terproduksi (produced water), air limbah domestik, air buangan lainnya, dan dari sedimen selama konstruksi dan saat pengerukan di dekat pantai dan lepas pantai.

7. Dampak terhadap perikanan lepas pantai dan dekat pantai serta jalur penangkapan ikan (right of way).

8. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri dan kegiatan masyarakat. 9. Dampak kualitas udara selama konstruksi dan operasi dari sumber bergerak

dan tidak bergerak, dan dari debu halus lepasan (fugitive dust). 10.Dampak kebisingan dan penyinaran (lampu).

11.Dampak dari keterbatasan akses untuk daerah penangkapan ikan dekat pantai. 12.Daerah pertanian dan perburuan tradisional, dan penggunaan lahan yang lain. 13.Dampak-dampak lain yang berhubungan dengan kegiatan proyek seperti ini.

Dalam pembangunan proyek ini tentu saja pemerintah harus memperhatikan dampak yang ditimbulkan olehnya. Desa-desa yang terletak dekat lokasi proyek baik lokasi tempat kegiatan eksploitasi gas, kegiatan transmisi gas, kegiatan kilang LNG, pembangunan pelabuhan dan bandara diduga akan merasakan dampak negatif akibat kegiatan konstruksi selama proses konstruksi berlangsung, seperti berkurangnya wilayah penangkapan ikan dan daerah perburuan tradisional, kebisingan dan lain sebagainya. Sedangkan desa-desa yang terletak jauh dari proyek kemungkinan tidak akan merasakan dampak tersebut. Dengan adanya proyek tersebut terbuka kesempatan untuk bekerja langsung di


(20)

proyek dan juga kesempatan untuk menjual hasil-hasil pertanian dan perikanan serta hasil produksi rumahtangga lainnya, baik bagi penduduk yang berada di desa yang terletak di dekat proyek maupun yang jauh dari proyek, meskipun demikian peluang lebih besar terdapat di desa-desa yang lebih dekat dengan lokasi proyek. Beberapa desa yang terletak dekat dengan lokasi proyek ini adalah Desa Tanah Merah, Desa Simuri, Desa Weriagar, Desa Toweri, Desa Tofoi, Desa Tomu dan Desa Taroy. Ketujuh desa tersebut tersebar pada empat kecamatan atau distrik di kawasan Teluk Bintuni, yaitu Distrik Babo, Distrik Aranday, Distrik Kokas dan Distrik Simuri. Sedangkan desa-desa yang terletak jauh dari proyek antara lain Desa Sidomakmur, Desa Irarutu III, Desa Aroba, Desa Yaru, Transmigrasi SP I, Transmigrasi SP II dan Desa Kalitami.

1.2. Perumusan Masalah

Wilayah Papua merupakan wilayah dimana terdapat sumberdaya alam yang potensial di berbagai sektor, baik itu pertanian, perikanan, kehutanan serta pertambangan. Investasi juga terus dilakukan di wilayah ini, hal ini terlihat dari adanya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di berbagai sektor di wilayah tersebut. BPS Provinsi Papua (2003) mencatat bahwa hingga tahun 2003, total investasi di Papua adalah sebesar Rp. 27 456 752 037 000 dan jumlah industri yang ada 4 387 yang menyerap tenaga kerja sebesar 49 689 pekerja pada berbagai level pendidikan. Jumlah tersebut sangat rendah dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang sebenarnya tersedia yaitu sebesar 1 169 796 jiwa.


(21)

Pembangunan di wilayah ini terkesan lamban dibandingkan pembangunan di wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Barat. Hal ini dipicu karena lambatnya perkembangan infrastruktur di wilayah tersebut yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pemanfataan sumberdaya yang ada dan didukung oleh infrastruktur yang memadai, perkembangan wilayah ini seharusnya tidak berbeda jauh dengan perkembangan pembangunan di wilayah Indonesia barat, tetapi ternyata hal tersebut jauh dari yang diharapkan. Sekalipun terkesan lamban, pembangunan di wilayah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari PDRB yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Kelompok Sektor Tahun 2002-2003

Kelompok sektor

Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 1993

(Juta Rp) Pertumb

uhan (%) (Juta Rp)

Pertumb uhan (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Primer 17 025 837.53 21 700 209.55 27.45 6 266 240.29 6 740 100.09 1.13

Sekunder 1 769 270.32 2 083 308.09 17.82 627 731.49 688 291.22 8.53

Tersier 4 302 413.53 4 941 277.07 14.85 1 347 664.39 1 488 367.60 8.67

PDRB 23 096 521.38 28 742 794.71 24.37 8 201 636.17 8 916 758.92 8.67

Sumber: BPS Provinsi Papua, 2003

Tabel 3 menunjukkan bahwa sektor primer merupakan sektor penyumbang terbesar pada PDRB Papua sekalipun pertumbuhannya lebih rendah dibanding sektor sekunder dan tersier. Sektor primer adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, sedangkan sektor sekunder adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik dan air minum serta sektor konstruksi. Sektor sisanya adalah sektor tersier.

Dibangunnya proyek LNG Tangguh yang baru di Papua tentu saja akan meningkatkan PDRB Provinsi Papua Barat di masa yang akan datang. Saat ini


(22)

proyek ini dianggap sebagai mesin pembangunan ekonomi di Papua setelah Freeport yang berlokasi di Timika Papua. Salah satu komitmen yang diberikan kepada masyarakat oleh proyek LNG Tangguh adalah adanya penyerapan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja di sekitar wilayah kepala burung seperti yang terlihat pada Tabel 4 .

Tabel 4. Target Tenaga Kerja Konstruksi Proyek Liquified Natural Gas

Tangguh

(%

jam-orang

) Semua pekerja yang

mewakili persentase jam kerja selama masa konstruksi Desa yang terkena dampak langsung Kepala burung Daerah lainnya di Papua Orang Indonesia lainnya atau orang asing Tenaga kerja tidak

terampil 20 25 55 0

Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah

10 20 63 7

Tenaga kerja dengan

ketrampilan tinggi 0 2

10 88

Manajer/supervisor 0 1 5 94

Sumber: UNIPA, 2004

Dari Tabel 4 terlihat bahwa sebagian besar dari tenaga kerja yang terserap di wilayah Papua untuk tahapan konstruksi proyek LNG Tangguh merupakan pekerja dengan tingkat ketrampilan menengah ke bawah. Hal ini tidak mengherankan karena hingga tahun 2003 persentase jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja yang mempunyai pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat pertama adalah sebesar 80.38 persen dan sisanya adalah pendidikan diploma dan strata satu (BPS Provinsi Papua, 2003). Target proyek LNG Tangguh adalah menyerap 42.75 persen angkatan kerja orang Papua selama masa konstruksi dari keseluruhan target rekrutmen, baik melalui rekrutmen oleh BP-Migas secara langsung maupun melalui kontraktor BP-Migas.


(23)

Di daerah yang masuk kategori daerah yang terkena dampak langsung, pada tahap konstruksi, kontraktor akan menawarkan satu jenis pekerjaan kepada setiap rumah tangga di kampung-kampung tersebut dengan memperhatikan kemampuan masing-masing rumah tangga. Tenaga kerja yang direkrut merupakan tenaga kerja kontraktor. Artinya tenaga kerja tersebut akan bekerja untuk mendapatkan upah dari kontraktor dan menerima perintah kerja dan bekerja di bawah pengawasan kontraktor. Pekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan yang bersifat jangka pendek. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pencari kerja adalah KTP atau kartu keluarga (UNIPA, 2006).

Proses rekrutmen tenaga kerja di desa yang terletak dekat dengan proyek seperti yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UNIPA (2006) adalah sebagai berikut : 1. Kontraktor memberikan informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja dan

meminta bantuan kepada BP.

2. BP meneruskan informasi tersebut kepada kepala kampung dan kepala distrik yang bersangkutan.

3. Kepala kampung diharapkan merekomendasikan kepada BP nama-nama calon tenaga kerja.

4. BP menyampaikan nama-nama calon yang direkomendasikan oleh kepala kampung kepada kontraktor.

5. Kontraktor mengadakan proses seleksi. Pada tahap ini, dimungkinkan ada sebagian calon akan lulus seleksi dan ada yang tidak lulus seleksi.


(24)

6. Calon yang lulus seleksi diharuskan mengikuti tes kesehatan yang dapat dilakukan di kampung tempat calon berasal atau di tempat lain yang ditunjuk oleh kontraktor.

7. Setelah calon dinyatakan lulus tes kesehatan, kontraktor/BP akan memberitahu kepada calon tenaga kerja tersebut, kapan ia harus mulai bekerja.

Proses rekrutmen tenaga kerja di kampung yang dekat dengan proyek dapat dilihat pada Gambar 2.Proses rekrutmen akan dilakukan di luar kampung dekat proyek jika masih terdapat kekurangan tenaga kerja melalui pusat-pusat penerimaan atau

Hiring Points yang didirikan oleh kontraktor di empat kota, yaitu : Bintuni, Fakfak, Sorong dan Manokwari.

4 3 1 2 5

6

Gambar 2. Proses Rekrutmen Tenaga Kerja

Kontraktor tidak akan melakukan penerimaan tenaga kerja di lokasi proyek. Informasi mengenai rekrutmen tenaga kerja tersebut dapat diperoleh di kantor-kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Teluk Bintuni, Fakfak, Sorong dan Manokwari. Bila ada kebutuhan tenaga kerja, Proyek Tangguh/kontraktor mengumumkan hal tersebut melalui media massa dan berkoordinasi dengan kantor Dinas Tenaga Kerja di Bintuni, Manokwari, Fak-fak dan Sorong.

Pada tahap konstruksi proyek, tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang memiliki ketrampilan yang rendah dan menengah. Posisi tenaga kerja

Kontraktor BP Ka. Kampung / Ka.

Distrik

Test Penerimaan


(25)

dengan ketrampilan menengah oleh pemrakarsa proyek diberikan pelatihan agar penduduk di dekat proyek tersebut dapat memenuhi kualifikasi pekerjaan tersebut. Posisi pekerjaan dengan tingkat ketrampilan menengah tersebut antara lain: tukang cat, tukang kayu, supir dan pembantu tukang las sedangkan posisi pekerjaan dengan ketrampilan yang rendah seperti cleaning service. Pada tahap operasional, tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja terampil karena baik untuk operasionalisasi peralatan maupun pemeliharaannya membutuhkan ketrampilan yang tinggi. Oleh karena itu oleh pihak pemrakarsa proyek ditetapkan target kesempatan kerja pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang agar penduduk di sekitar proyek dapat memenuhi berbagai kualifikasi yang dibutuhkan dalam setiap posisi pekerjaan (PERTAMINA & BP, 2002). Hingga bulan Januari 2007, jumlah pekerja lokal yang direkrut adalah sebanyak 635 pekerja dari 868 angkatan kerja dari seluruh desa-desa yang terkena dampak langsung pembangunan proyek tersebut atau sekitar 73.16 persen. Keseluruhan pekerja lokal yang direkrut tersebut berasal dari 502 rumahtangga dari total 870 rumahtangga yang ada di desa-desa yang terkena dampak langsung (UNIPA, 2007).

Dengan adanya pembangunan proyek tersebut termasuk rekrutmen tenaga kerja yang dilakukan dalam tahapan konstruksi tersebut secara langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi para pekerja lokal di wilayah Papua, terutama masyarakat yang berdomisili di desa yang terdekat dengan proyek. Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar proyek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber mata pencaharian yang bergantung sepenuhnya kepada potensi


(26)

sumberdaya alam seperti kegiatan bertani, menangkap ikan, berburu dan menokok sagu yang merupakan sektor non formal dan sumber mata pencaharian dari keterlibatan mereka pada berbagai industri yang ada di wilayah tersebut yang merupakan sektor formal.

Perekrutan tenaga kerja lokal di sekitar wilayah proyek LNG Tangguh membuka peluang berpindahnya tenaga kerja potensial yang selama ini bekerja di sektor informal ke sektor formal. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan di dalam setiap rumahtangga yang salah satu anggota keluarganya bekerja di proyek tersebut. Pilihan untuk bekerja di proyek LNG Tangguh dapat disebabkan oleh respon positif terhadap pendapatan tunai yang dapat mereka terima ataupun karena tekanan demografi akibat jumlah tanggungan keluarga yang besar sehingga mendorong rumahtangga untuk menetapkan pilihan-pilihan rasional didalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Berkurangnya tenaga kerja potensial yang selama ini mengalokasikan kerjanya pada sektor informal akibat keputusan bekerja di proyek mengakibatkan alokasi kerja pada sektor tersebut juga menurun pada setiap rumahtangga. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga penduduk yang bekerja di proyek tersebut, baik dalam pengambilan keputusan produksi, alokasi kerja anggota rumahtangga dan konsumsi mereka.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka hal-hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :


(27)

1. Apakah penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh mengakibatkan adanya perubahan alokasi kerja pada berbagai aktivitas produksi yang bergantung kepada potensi sumber daya alam? Bagaimana dampaknya terhadap struktur pendapatan rumahtangga dan konsumsi rumahtangga?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi produksi dan konsumsi dari rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh?

3. Apakah dengan adanya peningkatan cash income karena adanya penyerapan tenaga kerja pada proyek pembangunan LNG Tangguh tersebut mempengaruhi alokasi kerja dan konsumsi rumah tangga?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis keadaan ekonomi rumahtangga masyarakat yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, sedangkan tujuan spesifiknya adalah:

1. Menganalisis dampak adanya penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh terhadap alokasi kerja rumahtangga, struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh.

3. Menganalisis pengaruh peningkatan proporsi cash income karena adanya penyerapan tenaga kerja lokal terhadap aktivitas produksi dan konsumsi yang selama ini telah dilakukan oleh penduduk setempat.


(28)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi management proyek LNG Tangguh dan pemerintah daerah setempat dalam rangka mengembangkan masyarakat di desa yang berada di sekitar wilayah pembangunan proyek tersebut. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan informasi yang aktual mengenai perkembangan desa di sekitar lokasi proyek tersebut.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini hanya melihat dampak pembangunan proyek LNG Tangguh terhadap keadaan ekonomi rumah tangga penduduk yang bekerja pada proyek LNG Tangguh baik kegiatan produksi maupun konsumsinya. Dampak lain akibat pembangunan proyek seperti limbah proyek, kualitas air dan hak ulayat masyarakat tidak termasuk dalam penelitian ini. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer selanjutnya akan dianalisis secara simultan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonomi rumah tangga masyarakat yang terkena dampak pembangunan proyek.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi Sumberdaya Alam di Kawasan Teluk Bintuni

Kawasan Teluk Bintuni merupakan kawasan yang terletak di kepala burung pulau Papua yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Teluk Bintuni. Sebelumnya kabupaten ini adalah merupakan salah satu kecamatan di wilayah administrasi Kabupaten Manokwari yang mengalami pemekaran berdasarkan Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2002. Kabupaten ini terdiri dari sebelas kecamatan dan 96 desa dengan ibukota kabupaten di Bintuni yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten tersebut. Luas kabupaten ini adalah 18 637 km2 atau 13.02 persen dari keseluruhan wilayah Provinsi Papua Barat ( BPS, 2008).

Kawasan ini merupakan kawasan yang kaya potensi sumberdaya alam seperti kehutanan, perikanan, perkebunan dan pertambangan, sehingga sektor primer merupakan sektor unggulan di kawasan ini. Potensi hutan di kawasan ini mencapai 1.1 juta hektar yang terdiri dari hutan produksi 3.74 persen, hutan produksi konversi 30.4 persen, hutan produksi terbatas 11.2 persen, kawasan konservasi 15.2 persen dan hutan lindung sebesar 5.8 persen. Sektor perkebunan yang dikembangkan di wilayah ini adalah kelapa sawit, kakao dan kelapa, dimana luas lahan yang tersedia untuk digarap adalah 250 000 hektar. Sektor perikanan di wilayah ini didominasi oleh perikanan laut terutama ikan dan udang dengan kepadatan masing-masingnya 1 059 ton per km2 dan 0.041 ton per km2. Selain itu potensi kepiting bakau merupakan salah satu produk perikanan yang potensial di


(30)

wilayah ini karena wilayah ini dipenuhi bakau sepanjang sungai-sungai yang ada. Sektor unggulan lainnya adalah sektor pertambangan. Jumlah cadangan gas alam cair (LNG) di kawasan ini mencapai 23.7 triliun kaki kubik yang berada pada hampir semua kawasan Teluk Bintuni. Selain itu kandungan minyak bumi diperkirakan mencapai 45 juta ton yang terletak di Kecamatan Muskona Selatan. Kawasan ini juga mempunyai potensi batu bara dan mika dengan cadangan masing-masing mencapai 14.3 juta ton batu bara dan 150 juta metrik ton mika (BAPPEDA, 2005).

Dengan adanya potensi sumberdaya alam yang cukup banyak tersebut, maka tidaklah mengherankan bila Kawasan Teluk Bintuni merupakan kawasan yang menjadi target para investor didalam menanamkan sahamnya terutama di sektor primer. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perusahaan skala besar yang berinvestasi di wilayah tersebut. Adapun perusahaan-perusahaan yang bergerak di sub sektor kehutanan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Jenis Perusahaan Sektor Kehutanan di Wilayah Provinsi Irian Jaya Barat Sesuai Perijinan Tahun 2004

No. Kabupaten

Jumlah Perusahaan Yang memiliki Ijin Sah

HPH Kopermas ISL IPH

HK

Σ Luas (Ha) Σ Luas (Ha) Σ Σ 1. Kabupaten Fakfak 2 309 300 10 10 000 2 *) 2. Kabupaten Teluk Wondama 2 311 800 12 12 000 *) *) 3. Kabupaten Sorong 4 691 450 27 27 000 3 3 4. Kabupaten Raja Ampat 1 51 600 5 5 000 *) *) 5. Kabupaten Kaimana 7 1 319 010 7 7 000 9 4 6. Kabupaten Teluk Bintuni 8 1 396 140 33 33 000 6 5 7. Kabupaten Sorong Selatan 3 609 500 5 5 000 *) *) 8. Manokwari 1 85 000 10 10 000 27 7 Total 28 4 773 800 109 109 000 47 19

Sumber: Tokede et al, 2006

Keterangan : *) Kabupaten pemekaran, belum tersedia data dan kemungkinan terpaut dalam data Kabupaten induk.


(31)

Lebih lanjut PERTAMINA dan BP (2002) dalam laporan AMDAL mencatat bahwa di Kecamatan Babo, pemerintah daerah telah melaporkan bahwa terdapat rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut:

1. PT Varita Maju Utama (Kelapa Sawit) – 60 000 atau 90 000 ha untuk perkebunan dan100 ha untuk pabrik.

2. PT Yapen Mitra Agricultura (Kelapa Sawit) – 36 000 ha. 3. PT Kasuari Aria Kencana (Kelapa Sawit) – 36 000 ha. 4. PT Intsia Palembanica Lestari (Kelapa Sawit) – 3000 ha.

Selain itu jumlah perusahaan yang bergerak di sub sektor perikanan pada tahun 2002 di kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perusahaan Penangkapan Ikan yang Bermarkas di Wimbro Tahun 2002

Nama Perusahaan Kegiatan Wilayah Operasi

PT Mina Raya Wimro – Babo dan ke sembilan anak perusahaannya: a. PT Irian Marine Product Development (IPMD)

b. PT West Irian Fishing Industry (WIFI)

c. PT Alfa Kurnia d. PT Dwi Bina Utama e. PT Nusantara Fishing f. PT Mina Indo Kencana g. PT Timika Jaya Nusantara h. PT Tunggal Jaya Utama i. PT Daya Guna Samudera

Eksploitasi Udang Wilayah operasinya adalah seluruh Teluk Berau/Bintuni pada 3 Distrik: 1. Distrik Babo

2. Distrik Bintuni 3. Distrik Aranday

Sumber: PERTAMINA & BP, 2002.

2.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Teluk Bintuni

Penduduk asli Kawasan Teluk Bintuni terdiri dari tujuh suku, yaitu suku Sough, Wamesa, Irarutu, Sebyar, Kuri, Simuri dan Moskona. Sebaran populasi penduduk asli di Kecamatan Babo terdiri dari lima buah suku yang besar, yaitu


(32)

Suku Kuri, Wamesa, Irarutu, Simuri, dan Sough. Di Distrik Aranday populasi suku yang terbanyak adalah suku Sebyar sedangkan di Distrik Bintuni pemilik hak ulayat adalah suku Wamesa dan Sough. Masing-masing suku ini dipimpin oleh kepala suku yang disebut ondoafi yang tergabung dalam Pilar Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni (LMATB). Bila timbul masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum disampaikan dalam forum ini yang merupakan sarana penyambung lidah kepada pemerintah setempat.

Mata pencaharian utama penduduk di kawasan ini adalah petani dan nelayan, kegiatan sampingan mereka umumnya adalah menokok sagu dan berburu. Menurut PERTAMINA dan BP (2002), rata-rata jumlah pendapatan penduduk yang terkena dampak langsung pembangunan proyek LNG Tangguh adalah berkisar antara Rp. 504 000 hingga Rp. 1 305 000 per bulan, sedangkan desa yang terkena dampak tidak langsung yang terletak dekat proyek berkisar Rp. 324 000 hingga Rp. 2 881 000. Di desa yang terkena dampak tidak langsung yang terletak jauh dari proyek rata-rata pendapatan penduduknya Rp. 549 000 hingga Rp. 1 554 000 per bulannya. Pendapatan tersebut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sebagai akibat adanya peningkatan harga. Sebagai contoh, berdasarkan survei yang dilakukan di 6 desa pada bulan Maret 1991 diperkirakan bahwa penghasilan total rata-rata dari barang yang diperdagangkan adalah Rp. 1 400 000 per tahun per KK. Bila hasil produksi rumahtangga tidak dijual juga dimasukkan dalam komponen pendapatan, maka nilai total penghasilan rata-rata menjadi Rp. 9 000 000 per KK per tahun. Survei pada bulan April 2001 yang dilakukan oleh tim survei AMDAL memperkirakan


(33)

bahwa di Simuri (Saengga) penghasilan rata-rata adalah Rp. 840 000 per bulan per KK dengan kisaran antara Rp. 550 000 per bulan hingga Rp. 1 817 000 per bulan. Dimana sumber penghasilan utama penduduk adalah dari penjualan udang sebesar 56 persen atau sekitar Rp. 473 000 per bulan. Kemudian pada bulan Maret 2002 sensus yang dilakukan oleh PERTAMINA dan BP memperkirakan penghasilan rumahtangga di Simuri (Saengga) adalah Rp. 18 311 000 per tahun per KK, dimana 41 persen dari penghasilan tersebut merupakan hasil dari penangkapan udang.

2.3. Tugas dan Wewenang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau yang lebih dikenal dengan BP- Migas merupakan organisasi yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pembina dan Pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berdasarkan UU No.22/2001 tanggal 23 Nopember 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No.42/2002 tanggal 16 Juli 2002 guna menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas di Indonesia. Dengan adanya lembaga ini maka segala kegiatan pengawasan dan pembinaan kegiatan kontrak kerja sama yang sebelumnya ditangani langsung oleh PERTAMINA dialihkan ke lembaga ini sebagai wakil dari pemerintah Indonesia.

Adapun wewenang yang dimiliki oleh BP-Migas dalam menjalankan tugasnya antara lain:


(34)

a. Membina kerjasama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS.

b. Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS. c. Mengawasi kegiatan utama operasional KKKS.

d. Membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara.

e. Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu.

Kontraktor kontrak kerja sama ini meliputi perusahaan dalam dan luar negeri, perusahaaan joint-venture antara perusahaan dalam dan luar negeri berdasarkan tender konsesi yang dilakukan oleh BP-Migas setiap tahunnya. Dengan demikian BP-Migas secara langsung merupakan pengawas dan pembina kontrak kerjasama Proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni.

2.4. Manfaat Pembangunan Proyek Liquified Natural GasTangguh

Tujuan pembangunan Proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni adalah memproduksi gas alam, memproses gas alam menjadi LNG, serta mengangkut LNG dan hidrokarbon cair (kondensat) ke pasaran. Proyek ini dilengkapi dengan Fasilitas Produksi Gas (Gas Production Facility, disingkat GPF) dan Fasilitas Kilang LNG (termasuk fasilitas pelabuhan laut khusus dan Bandar Udara Khusus) yang dibangun di daerah Teluk Berau/Bintuni, Provinsi Papua Barat (PERTAMINA & BP, 2002). Total investasi untuk pelaksanaan proyek LNG Tangguh ini adalah sebesar 5 miliar dollar Amerika Serikat. Dari keseluruhan investasi tersebut, 37.16 persen saham proyek tersebut dimiliki oleh


(35)

BP Migas Indonesia. Untuk tahap awal operasi, telah dibangun Kilang I dan Kilang II yang akan beroperasi secara penuh pada tahun 2009. Pembangunan Kilang III dan IV akan dipastikan setelah pada bulan November 2007 telah diperoleh gambaran cadangan gas yang ada (DOT, 2007). Enam kegiatan utama yang dilakukan didalam pembangunan proyek LNG Tangguh ini antara lain: pembangunan fasilitas eksploitasi gas, pembangunan pipa transmisi gas, pembangunan kilang LNG, pembangunan pelabuhan laut khusus, pembangunan bandar udara khusus dan pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah. Tenaga kerja yang diharapkan dapat terserap dengan adanya proyek ini sebesar 5 800 tenaga kerja lepas (tidak permanen) selama 3 tahun tahap konstruksi dan kurang lebih 500 orang pekerja tetap (350 orang akan berada di lokasi pada satu waktu) untuk tahap operasi.

Secara umum pembangunan Proyek LNG Tangguh diharapkan bermanfaat bagi kepentingan lokal, regional, dan nasional. Dengan adanya pembangunan proyek ini diharapkan perekonomian kawasan Teluk Bintuni mengalami kemajuan yang pesat di masa yang akan datang yang ditandai dengan peningkatan pendapatan maupun kesejahteraan penduduk di sekitar kawasan tersebut karena tujuan pemrakarsa proyek adalah memaksimumkan peluang penduduk lokal dan tenaga kerja Papua untuk berperan serta dalam pekerjaan konstruksi dan operasi kilang LNG. Selain itu proyek ini berperan penting dalam mempertahankan dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia (PERTAMINA & BP, 2002).


(36)

2.5. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Sektor Formal

Pembangunan proyek LNG Tangguh pada masa konstruksi membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar, sekalipun pada masa operasional proyek jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Pemrakarsa proyek berusaha memaksimalkan jumlah pekerja asal Papua di lokasi konstruksi. Berbagai pelatihan dilakukan oleh pihak proyek untuk meningkatkan ketrampilan para pekerja di sekitar lokasi proyek. Selain itu pemrakarsa proyek mempunyai target rekrutmen jangka pendek, menengah dan jangka panjang seperti yang terlihat pada Tabel 7 yang memungkinkan pada tahap operasional tenaga kerja di sekitar proyek tetap digunakan.

Tabel 7. Target Penerimaan Tenaga Kerja Pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Tahun 2005-2026

Tingkat ketrampilan Total

pekerja

2005 2007 2015 2026 L P L P L P L P

Unskilled worker 42 42 - 42 - 42 - 42 -

Low skilled worker 50 25 25 35 15 45 5 50 -

Semi skilled worker 184 3 50 15 75 20 125 46 138

Skilled worker 183 - 15 - 25 2 75 18 125

Manager/supervisor 60 - 2 - 4 - 10 - 20

Sumber : UNIPA, 2004

Keterangan: L = local area

P = other Papua region

Dengan adanya rekrutmen tenaga kerja pada proyek LNG Tangguh serta insentif upah yang tinggi di sektor tersebut dibandingkan upah di sektor pertanian maka rumahtangga di sekitar proyek cenderung akan memilih bekerja dan meluangkan waktu bekerjanya di proyek dibandingkan bekerja pada sumber matapencaharian mereka sebelumnya yaitu bertani, menangkap ikan/udang, berburu dan meramu. Salah satu model dualisme pembangunan pertanian yang


(37)

dikemukakan oleh Arthur Lewis dalam Ghatak dan Ingersent (1984) dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Dalam modelnya, Lewis mengemukakan bahwa ada perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Adapun asumsi yang mendasari model ini adalah:

1. Dalam pembangunan ekonomi ada dua sektor yaitu sektor subsisten yang cenderung miskin dan tertinggal yang umumnya berada di pedesaan dan sektor kapitalis yang cenderung lebih maju dan mempunyai mekanisme pasar yang telah berjalan dengan baik.

2. Sektor subsisten cenderung menggunakan modal yang tidak produktif dibandingkan yang digunakan oleh sektor kapitalis. Dimana sektor kapitalis menggunakan modal yang mampu melipatgandakan produksi yang mereka hasilkan.

3. Elastisitas penawaran tenaga kerja pada sektor subsisten di negara-negara yang sedang berkembang adalah tak terhingga. Hal ini disebabkan karena di negara berkembang jumlah tenaga kerja yang dominan umumnya adalah tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah sehingga mereka cenderung bersedia untuk bekerja dengan bayaran berapapun. Artinya bahwa produktivitas marginal dari tenaga kerja melebihi penawaran tenaga kerja yang ada dan cenderung mendekati nol.

4. Teknologi produksi pada sektor kapitalis lebih tinggi dari teknologi pada sektor subsisten sehingga output perkapita pada sektor kapitalis lebih tinggi. 5. Upah pada sektor subsisten tidak dipengaruhi oleh produktivitas marginal


(38)

kapitalis dipengaruhi oleh produktivitas marginalnya, sehingga sangat dipengaruhi oleh ketrampilan dari tenaga kerja yang ada. Hal ini menurut Lewis dapat diatasi melalui pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja yang merupakan suatu investasi sumberdaya manusia.

Menurut Lewis, transfer tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis akan bermanfaat atau menguntungkan kedua sektor tersebut, dimana setelah adanya transfer tenaga kerja sektor subsisten akan melakukan perbaikan, sedangkan sektor kapitalis memperoleh input tenaga kerja murah yang dibutuhkan untuk meningkatkan outputnya. Besar kecilnya tenaga kerja yang berpindah dari sektor subsisten ke sektor kapitalis sangat tergantung kepada seberapa besar stok modal yang dimiliki oleh sektor kapitalis melalui investasi yang mereka lakukan dan surplus tenaga kerja yang ada pada sektor subsisten.

Fenomena yang terjadi pada pembangunan proyek LNG Tangguh di lokasi yang berada dekat dengan proyek dapat dilihat pada Gambar 3. Sumbu horisontal pada kuadran I dan III menunjukkan sejumlah tenaga kerja pada sektor informal sedangkan kuadran II dan IV menunjukkan sejumlah tenaga kerja pada proyek LNG Tangguh (sektor formal). Sumbu vertikal pada kuadran I dan II menunjukkan produk total pada sektor informal dan proyek LNG Tangguh sedangkan pada kuadran III dan IV menunjukkan produktivitas marginal dan tingkat upah yang berlaku di sektor informal dan pada proyek LNG Tangguh. Upah yang cenderung konstan sebesar 0W pada sektor informal dapat dilihat pada kuadran III. Pada kuadran ini terlihat bahwa sekalipun produktivitas marginal tenaga kerja mendekati atau sama dengan 0, upah yang diterima pekerja di sektor


(39)

ini tetap sama. Hal ini menunjukkan bahwa upah di sektor informal tidak dipengaruhi oleh produktivitas marginal tenaga kerjanya. Upah pada proyek LNG Tangguh adalah 0W’ yang lebih tinggi dari upah di sektor pertanian 0W yang merangsang tenaga kerja di sektor pertanian untuk lebih memilih bekerja pada proyek. Upah yang diberikan sesuai dengan produktivitas marginal dari tenaga kerja tersebut. Profit yang diterima oleh proyek awalnya adalah sebesar daerah A. Bila diasumsikan bahwa kaum kapitalis menginvestasikan kembali semua profit yang diperoleh maka produktivitas marginal tenaga kerja semakin meningkat ke M1 dan jumlah tenaga kerja yang diserap akan lebih banyak sebesar L1 dengan tingkat upah yang sama. Hal ini mengakibatkan profit proyek meningkat sebesar luasan daerah A ditambah dengan daerah B. Proses tersebut akan terus berlanjut hingga surplus tenaga kerja di sektor informal terserap habis oleh proyek sehingga upah akan mulai meningkat yang ditunjukkan oleh garis putus-putus. Kasus pada rekrutmen tenaga kerja di proyek LNG Tangguh, pengurangan profit diakibatkan oleh upah yang cenderung meningkat karena pihak proyek menerapkan kebijakan pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kerja lokal serta strategi penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang kecenderungannya akan meningkatkan ketrampilan penduduk lokal. Pada fase ini menurut Lewis sektor informal dan formal akan bersaing untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih banyak. Implementasi teori Lewis tersebut pada rekrutmen tenaga kerja di proyek LNG Tangguh pada jangka pendek hingga jangka panjang hanyalah relevan pada penduduk yang berada di sekitar lokasi proyek, sedangkan yang berada di luar atau jauh dari lokasi proyek kurang relevan karena secara bertahap proyek


(40)

mengurangi jumlah tenaga kerja yang berasal dari luar lokasi proyek seperti yang terlihat pada Tabel 7. Pada tahap operasional, diperkirakan jumlah tenaga kerja yang digunakan hanyalah sekitar 500 tenaga kerja yang mempunyai tingkat ketrampilan yang tinggi.

L2 L1 L0 L L’

L L’

L2 L1 L0 0 L0 L1 L2 Gambar 3. Transfer Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Proyek Liquified

Natural Gas Tangguh

L’

VMP

Upah

III

W

W’ M0 M1

A B

C Q

I

TP

II

TP0

IV

0

L

pertanian Proyek LNG

Tangguh

TP1 TP2


(41)

2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Perpindahan tenaga kerja dari sektor informal ke sektor formal menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut mempunyai suatu keterkaitan. Sektor formal menyerap tenaga kerja yang merupakan salah satu input didalam proses produksi dengan upah yang relatif murah, sedangkan sektor informal menerima pendapatan tunai berupa upah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Selain itu sektor informal juga menerima berbagai pelatihan yang meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam rangka meningkatkan produktifitas marginal mereka di sektor formal.

2.6.1. Keterkaitan Antar Sektor Dalam Pembangunan

Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas Negeri Papua (2001) mengenai ”Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial Secara Terpadu di Kawasan Teluk Bintuni” menyimpulkan bahwa kontribusi eksport terbesar di Kabupaten Manokwari didominasi oleh sektor pertanian sebesar 85.64 persen. Sekalipun demikian masing-masing sektor saling menunjang didalam memberikan nilai tambah di dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan suatu sektor tidak mungkin tercapai tanpa adanya dukungan dari sektor lainnya sehingga di dalam melakukan investasi perlu dilihat suatu keterkaitan antara masing-masing sektor, baik keterkaitan ke belakang maupun ke depan. Pada Kawasan Teluk Bintuni sektor primer adalah merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB (53.87 persen), diikuti oleh sektor jasa (11.02 persen). Dengan melakukan injeksi investasi Rp. 1 000 000 pada


(42)

sektor pertanian akan meningkatkan faktor produksi berupa modal sebesar Rp. 430 990, tenaga kerja Rp. 549 490, institusi rumahtangga Rp. 367 180, perusahaan sebesar Rp. 66 000, output sektor pertanian Rp. 163 000, sektor kehutanan Rp. 32 000, sektor industri Rp. 14 000, sektor angkutan dan komunikasi Rp. 1000 dan sektor perdagangan sebesar Rp. 95 700.

Brata (2004) dengan judul penelitiannya ”Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia” mengatakan bahwa terdapat hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan kinerja ekonomi. Pembangunan manusia membutuhkan sumberdaya lain untuk pembiayaannya yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi, sedangkan salah satu determinan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia. Hal ini menunjukkan bahwa suatu pembangunan hendaknya tidak hanya menekankan pada kinerja ekonomi tetapi juga harus diimbangi dengan pembangunan manusia.

Dari kedua penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan suatu sektor sangat terkait dengan pembangunan sektor lainnya dan harus didukung oleh pembangunan sumberdaya manusia. Bila dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan maka hal utama yang dijadikan pelajaran dari kedua penelitian tersebut adalah sektor formal yang dalam hal ini adalah Proyek LNG Tangguh didukung oleh sektor informal karena tersedianya tenaga kerja murah dengan tingkat ketrampilan yang rendah di desa-desa sekitar proyek. Perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal pada jangka menengah dan jangka panjang membutuhkan sumberdaya manusia terampil sehingga


(43)

pembangunan sumberdaya manusia di sekitar lokasi proyek LNG Tangguh sangat diperlukan untuk meningkatkan produktifitas kerja di proyek.

2.6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Waktu Kerja, Produksi, Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Beberapa Daerah di Indonesia

Perpindahan tenaga kerja dari sektor informal ke sektor formal mempengaruhi alokasi kerja rumahtangga pada berbagai kegiatan produktif yang selama ini telah dilakukan rumahtangga. Oleh karena itu pendekatan ekonomi rumahtangga digunakan dalam penelitian ini untuk melihat dampak proyek terhadap alokasi kerja dan konsumsi rumahtangga Penelitian-penelitian berikut adalah penelitian yang memberikan gambaran secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi waktu kerja produksi, konsumsi dan pendapatan suatu rumahtangga.

Chuzaimah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Keragaan Ekonomi Rumahtangga Petani Peserta dan Non Peserta Rice Estate di Lahan Pasang Surut Delta Telang I Kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan” menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan dan pengeluaran petani peserta Rice Estate lebih besar dibandingkan petani non peserta, dimana luas lahan dan jumlah pestisida berpengaruh nyata terhadap produksi peserta dan non peserta. Luas lahan, upah, pendapatan dari usahatani dan usia kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap tenaga kerja keluarga pada usahatani. Alokasi tenaga kerja di luar usahatani dan pendapatan total berpengaruh nyata terhadap pendapatan di luar usahatani. Pendapatan total, jumlah tanggungan keluarga dan


(44)

pendidikan istri berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan. Produksi tahun lalu, konsumsi pangan, dan total pendapatan berpengaruh nyata terhadap stok peserta serta konsumsi pangan dan pendapatan total terhadap non peserta. Pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap rekreasi peserta dan pendapatan total, luas lahan dan dummy asal petani terhadap non peserta.

Faradesi (2004) dalam penelitiannya dengan judul ”Dampak Pasar Bebas Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Padi di Kabupaten Cianjur: Suatu Analisis Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian” menemukan bahwa dampak pasar gabah yang tanpa proteksi dan ketiadaan subsidi input memberikan dampak yang buruk bagi kinerja usahatani yang ditunjukkan oleh penurunan produksi per luas lahan, penurunan penggunaan pupuk dan benih serta penurunan investasi usahatani. Kondisi pasar bebas dimana intervensi pemerintah masih dimungkinkan ternyata mampu meningkatkan kinerja usahatani yang ditunjukkan dengan meningkatnya investasi usahatani, produksi per luas lahan, penggunaan pupuk dan benih. Adanya subsidi yang efektif serta diberlakukan tarif impor yang tinggi, namun pemerintah tidak dapat mengatasi masuknya beras ilegal mengakibatkan penurunan produksi per luas lahan, penggunaan pupuk dan benih serta investasi usahatani tetapi tidak separah bila tidak ada proteksi dan subsidi input.

Soepriati (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Peranan Produksi Usahatani dan Gender Dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah: Studi Kasus di Kabupaten Bogor” menyatakan bahwa alokasi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan usahatani padi, ubi jalar dan ubi kayu di lokasi


(45)

penelitian lebih kecil daripada alokasi waktu yang dicurahkan untuk kegiatan non usahatani. Hal ini disebabkan faktor resiko kegagalan panen dan penurunan harga serta kondisi sumberdaya yang dimiliki berupa lahan yang terbatas, sehingga sebagian besar rumahtangga petani mencari tambahan penghasilan di bidang jasa atau beternak untuk mencukupi konsumsi pangan dan non pangan. Curahan kerja untuk meningkatkan produksi dipengaruhi oleh curahan kerja luar usaha terutama untuk tanaman padi yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga. Peningkatan curahan kerja luar keluarga sangat dipengaruhi oleh besarnya upah yang diperoleh. Pola pengeluaran rata-rata rumahtangga petani lahan sawah menunjukkan bahwa konsumsi pangan lebih besar dari non pangan yang dipenuhi dari pendapatan non usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi usahatani padi, ubi jalar, dan ubi kayu adalah kepemilikan lahan, curahan kerja keluarga dan penggunaan pupuk. Curahan kerja di luar usahatani sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan yang diharapkan. Curahan kerja pada usahatani dipengaruhi oleh pendapatan dari usahatani, curahan kerja luar keluarga, jumlah anggota keluarga dan curahan kerja non usahatani. Pengeluaran konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh pendapatan total keluarga, jumlah anggota rumahtangga dan pengeluaran untuk investasi pendidikan.

Aryanto (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi waktu dan Ekonomi Rumahtangga Pekerja pada sektor Industri Formal Berdasarkan Gender” menemukan bahwa pemegang kendali kegiatan mencari nafkah masih didominasi suami, dimana faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan


(46)

ekonomi rumahtangga pada rumahtangga pekerja pria adalah umur anak terkecil, gaji pokok, jenis industri, alokasi waktu suami bekerja di luar industri, jenis pekerjaan istri, disposeable income, konsumsi pangan dan non pangan, jumlah anak yang sekolah dan tabungan rumah tangga. Pada rumah tangga pekerja wanita hal yang dominan mempengaruhi alokasi waktu kerja dan ekonomi rumahtangga adalah pendapatan istri dari luar industri, umur anak terkecil, gaji pokok, jam lembur, alokasi waktu istri di luar industri, pendidikan suami, total pendapatan rumahtangga, ukuran rumahtangga, disposeable income, tabungan rumahtangga dan konsumsi rumahtangga.

Rosalinda (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kajian Curahan Tenaga Kerja, Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi” menyimpulkan bahwa orientasi petani padi gogo mengarah pada usahatani subsisten, yang disebabkan oleh penguasaan lahan yang relatif sempit dan minimnya sumber uang tunai untuk membeli input tunai serta harga gabah yang tidak memadai. Penggunaan tenaga kerja keluarga pada lahan ini dipengaruhi oleh luas areal, total pendapatan rumahtangga dan ukuran keluarga. Kegiatan produksi dipengaruhi oleh biaya penggunaan saprotan, umur petani, dan proporsi nilai produksi padi gogo terhadap produksi total, sedangkan konsumsi pangan dipengaruhi oleh besarnya produksi, ukuran keluarga, dan konsumsi pangan dari usahatani lahan sawah. Selain itu ia juga menemukan bahwa semakin besar total pendapatan yang diterima rumahtangga petani maka semakin sedikit tenaga kerja keluarga yang dicurahkan


(47)

pada usahatani lahan gogo dan semakin besar nilai produksi usahatani, semakin besar bagian produksi yang dikonsumsi.

Sari (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi Waktu dan Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan: Studi Kasus Rumahtangga Kerajinan Tenun di Kenagarian Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat” menemukan bahwa alokasi waktu, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga dipengaruhi secara dominan oleh waktu kerja dan pendapatan yang diperoleh masing-masing anggota rumahtangga, dimana faktor upah merupakan faktor utama yang mempengaruhi alokasi waktu dan pendapatan sektor non pertanian. Disposeable income pada berbagai tingkat sensitivitas merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan, non pangan, pendidikan dan kesehatan.

Dirgantoro (2001) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi Tenaga Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Sawi” menemukan bahwa secara keseluruhan kenaikan harga sawi dan upah di luar pertanian serta kombinasi keduanya akan meningkatkan curahan tenaga kerja rumahtangga, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani sawi.

Dari semua penelitian di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa alokasi waktu kerja dari masing-masing rumahtangga berdampak kepada tinggi rendahnya pendapatan yang diterima oleh suatu rumahtangga. Dimana curahan kerja suatu rumahtangga pada suatu kegiatan produksi sangat dipengaruhi oleh tingkat upah yang diterima, jumlah anggota rumahtangga dan pendapatan di luar kegiatan tersebut. Disposeable income merupakan salah satu faktor yang sangat


(48)

mempengaruhi konsumsi pangan san non pangan dari setiap rumahtangga yang terkait dengan produksi yang dilakukan. Oleh karena itu keputusan produksi dan konsumsi suatu rumahtangga saling terkait sehingga memerlukan suatu analisis secara simultan.

2.6.3. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Papua

Rumahtangga petani di Papua relatif berbeda dengan rumahtangga pertanian yang ada di wilayah lainnya di Indonesia. Perilaku subsisten masih mendominasi rumahtangga pertanian di Papua. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan input pertanian yang cukup rendah dan tenaga kerja keluarga yang mendominasi pada berbagai aktivitas produksi. Suprapto (2001) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Irian Jaya” menyimpulkan bahwa rumahtangga petani di Irian Jaya tidak respon terhadap signal pasar yang ditandai oleh upah yang diperoleh tidak mempengaruhi alokasi tenaga kerja keluarga baik di dalam maupun di luar usahatani. Dalam berusahatani mereka sangat tergantung kepada tenaga kerja keluarga dan teknologi yang digunakan sangat sederhana, dimana usahatani yang diusahakan sangat tergantung oleh kebutuhan konsumsi rumahtangga.

Ongge (2001) dengan penelitiannya yang berjudul ”Analisis Curahan Kerja Wanita dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani di Kabupaten Jayawijaya-Irian Jaya” menemukan bahwa pria dan wanita berada dalam posisi yang tidak setara. Hal ini terlihat dari curahan kerja


(49)

wanita yang lebih besar dibanding pria pada kegiatan usahatani, tetap keputusan dalam rumahtangga tetap didominasi oleh pria.

Kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa perilaku rumahtangga di papua cukup berbeda dengan rumah tangga di wilayah lainnya di Indonesia, dimana tenaga kerja keluarga mendominasi kegiatan produksi rumahtangga dan insentif upah tidak mempengaruhi alokasi waktu kerja mereka. Keputusan dalam rumahtangga umumnya masih didominasi oleh kaum pria sehingga pendidikan suami cukup mempunyai peranan didalam meningkatkan kesejahteraan suatu rumahtangga.


(50)

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

3.1. Konsep Dasar Ekonomi Rumahtangga

Keadaan ekonomi rumahtangga dianalisis oleh Becker (1976) dalam penelitiannya menggunakan analisis simultan untuk melihat rumahtangga sebagai pengambilan keputusan dalam kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi dan hubungannya dengan alokasi waktu produktif dan non produktif serta pendapatan rumahtangga yang diperoleh. Dalam formulasinya Becker menyatakan bahwa ada dua proses dalam perilaku rumahtangga yaitu proses produksi dan konsumsi yang mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang harus dianalis secara bersama-sama. Studi yang dilakukan oleh Becker ini dilakukan dengan menerapkan fungsi kepuasan sederhana dari konsumsi barang-barang dalam ekonomi rumahtangga.

Fungsi kepuasan rumahtangga yang dikemukakan Becker antara lain: U = U (Z1, Z2, ...,Zm) ...(3.1) dimana:

Zi = produk yang dihasilkan oleh rumahtangga (i = 1,2,…….m)

Produk yang dihasilkan oleh rumah tangga ini merupakan fungsi produksi dari:

Zi = fi (xi, Ti) ………(3.2) dimana:

xi = barang dan jasa ke-i yang dibeli di pasar.


(51)

Dalam memaksimumkan kepuasannya, rumahtangga dibatasi oleh kendala anggaran dan kendala waktu yang terlihat pada persamaan (3.3) dan (3.4).

w T V I x

p i w

m

i = = +

1

...(3.3)

w c

m

i T T T

T = = −

1

...(3.4)

dimana:

pi = harga barang dan jasa ke-i yang dibeli di pasar Tw = waktu yang digunakan untuk bekerja

W = upah per unit Tw

V = pendapatan selain upah

Tc = jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengkonsumsi T = jumlah waktu yang tersedia

Strauss (1986) mengembangkan formula yang dikemukakan Becker pada rumahtangga pertanian dengan menggunakan static comparative untuk melihat secara terpisah pendapatan dan pembelanjaan suatu rumahtangga. Berdasarkan konsep yang dikemukakan Strauss tersebut, dalam penelitian ini diasumsikan rumahtangga mengkonsumsi enam komoditi yaitu leisure (Xl), barang yang dibeli di pasar (Xm) dan barang yang dihasilkan rumahtangga (Xs, Xp, Xb, Xu), sehingga fungsi utilitas rumahtangga adalah:

U = U (Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu ) ………...(3.5) dimana Xs, Xp, Xb, Xu masing-masing adalah barang yang dihasilkan oleh rumahtangga dari hasil meramu sagu, menangkap ikan, berburu dan dari usahatani tanaman pangan. Barang-barang tersebut ada yang dikonsumsi dan ada yang


(52)

dijual. Dalam memaksimumkan utilitasnya, rumahtangga dibatasi oleh kendala anggaran:

Y = i

L

i iX

p

=1

………(3.6)

dimana:

Y = full income rumahtangga pi = harga komoditi

dalam hal ini full income sama dengan nilai dari waktu yang tersedia ditambah dengan nilai produksi rumahtangga dikurangi nilai dari input variabel dan nilai dari non upah seperti yang terlihat pada persamaan berikut:

Y = p T q Q qVi pLL E

N

i i j

M

j j

L +

− +

=

=1 1

……… (3.7)

dimana:

T = waktu yang tersedia

Qj = output untuk j = 1, ………….., M

Vi = input-input variabel selain tenaga kerja, untuk i = 1, ……..,N L = permintaan tenaga kerja

qj = harga Qj qi = harga Vi

E = pendapatan yang bukan dari produksi rumahtangga

Untuk menghasilkan barang Qs dan dan semua barang yang dapat dijual di pasar, rumahtangga menggunakan tenaga kerja (L), input variabel (V) dan input tetap (K) yang merupakan fungsi produksi.


(53)

Rumahtangga dapat memaksimumkan fungsi utilitasnya dengan kendala-kendala yang ada dengan menurunkan fungsi langrange seperti pada persamaan (3.9)

₤ = U (Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu) + λ[pLT + (psQs + ppQp + pbQb + puQu – pLL - qvV) + E – pLXL – pmXm – psXs – ppXp – pbXb – puXu] + µG(Qs, Qp, Qb, Qu L, V, K) ………...(3.9) Dimana syarat pertama yang harus dipenuhi adalah turunan pertama dari fungsi tersebut harus sama dengan 0, sehingga turunan parsialnya adalah sebagai berikut:

0 £ = = ∂ ∂ L L l p U

X λ ...(3.10)

0 £ = = ∂ ∂ m m m p U

X λ ...(3.11)

0 £ = = ∂ ∂ s s s p U

X λ ...(3.12)

0 £ = = ∂ ∂ p p p p U

X λ ...(3.13)

0 £ = = ∂ ∂ b b b p U

X λ ...(3.14)

0 £ = = ∂ ∂ u u u p U

X λ ...(3.15)

0 ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( £= + + + + + = ∂ ∂ E X p V p X Q p X Q p X Q p X Q p L X T

pL l s s s p p p b b b u u u v m m

λ ...(3.16) 0 Q £ = + = ∂ ∂ s s s G p μ

λ atau ps Gs

λ μ

λ∂ = +

∂ s Q £ 1 ...(3.17)


(54)

0 Q £ = + = ∂ ∂ p p p G p μ

λ atau pp Gp

λ μ

λ∂ = +

∂ p Q £ 1 ... (3.18) 0 Q £ = + = ∂ ∂ b b b G p μ

λ atau pb Gb

λ μ

λ∂ = +

∂ b Q £ 1 ... (3.19) 0 Q £ = + = ∂ ∂ u u G p

u λ μ atau pu λGu

μ

λ∂ = +

∂ u Q £ 1 ... (3.20) 0 £ = + = ∂ ∂ L L G p

L λ μ atau pL λGL

μ

λ∂ =− +

∂ L £ 1 ... (3.21) 0 £ = + = ∂ ∂ v v G p

V λ μ atau pv λGv

μ

λ∂ =− +

∂ V £ 1 ... (3.22) 0 ) , , , , , , ( £ = = ∂ ∂ K V L Q Q Q Q

G s p b u

μ ...(3.23) Fungsi permintaan rumahtangga terhadap leisure dan barang diperoleh dari persamaan (3.10) hingga (3.16) bila persamaan-persamaan tersebut diselesaikan secara simultan. Adapun fungsi permintaan rumahtangga terhadap leisure dan barang adalah sebagai berikut:

Da = Da (ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); a = Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu ...(3.24) Fungsi penawaran tenaga kerja rumahtangga untuk kegiatan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas produksi di dalam rumahtangga maupun di luar rumahtangga merupakan fungsi dari faktor-faktor sebagai berikut:

Sb = Sb(ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); b = p ...(3.25) Fungsi penawaran produk yang dihasilkan oleh rumahtangga baik dari kegiatan usahatani maupun kegiatan-kegiatan lainnya serta fungsi permintaan inputnya diperoleh dari persamaan (3.17) hingga (3.23). Dimana fungsi


(55)

penawaran produk yang secara keseluruhan sebagian dikonsumsi oleh rumahtangga merupakan fungsi marketed surplus yang dinyatakan sebagai berikut:

MS = MS(ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y)...(3.26) Adapun fungsi permintaan input rumahtangga untuk melakukan aktivitas produksi dapat dilihat pada persamaan berikut:

Bw = Bw (ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); w = L, V ...(3.27) Dari diferensial total persamaan (3.10) hingga (3.23) diperoleh sistem persamaan dalam bentuk matriks pada persamaan (3.28) yang dapat dlihat pada lampiran 2. Persamaan (3.28) adalah persamaan dalam bentuk diagonal blok. Blok sebelah kiri atas merupakan solusi untuk permintaan komoditi dan marginal utility full income yang diperoleh sedangkan blok di sebelah kanan bawah merupakan solusi untuk penawaran output, permintaan input variabel dan multipliernya. Kedua blok persamaan tersebut dapat dicari turunan keduanya dengan memperhatikan fungsi utilitas dan fungsi produksi yang menunjukkan bahwa dua keputusan dapat dipecahkan secara rekursif dengan waktu yang bersamaan.

dimana:

Ψ = - (T - XL - L)dpL + Xmdpm – (Qs- Xs)dps – (Qp – Xp)dpp - (Qu – Xu)dpu – dE + Vdvq - μ/λGkdK ...(3.29) Persamaan (3.28) juga menunjukkan bahwa keputusan konsumsi dipengaruhi oleh teknologi usahatani, jumlah dan harga input-input variabel serta output yang dihasilkan oleh suatu rumahtangga, sedangkan preferensi, harga barang-barang yang dikonsumsi dan pendapatan tidak mempengaruhi keputusan produksi rumahtangga. Penawaran output bereaksi positif kepada harga barang


(56)

itu sendiri pada semua waktu yang tersedia berdasarkan asumsi quasi-convexity

pada suatu fungsi produksi yaitu ∂Qs/∂ps >0. Harga cash dari komoditi yang dihasilkan (ps) mempunyai hubungan dengan harga barang yang dibeli (Xm) dan perubahan pendapatan seperti yang terlihat pada persamaan berikut:

E X Q p X m s s m ∂ ∂ = ∂ ∂ ...(3.30)

Dari persamaan tersebut juga terlihat bahwa perubahan jumlah input-input tetap yang digunakan (K) akan mempengaruhi pendapatan, sehingga konsumsi Xm adalah: E X G K X m K m ∂ ∂ = ∂ ∂ λ μ ...(3.31)

Bila diasumsikan bahwa Xm adalah barang normal maka peningkatan penggunaan input tetap atau peningkatan harga komoditi yang dijual di pasar akan menyebabkan semakin tingginya konsumsi barang Xm. Selanjutnya efek dari harga barang itu sendiri pada barang yang dihasilkan oleh rumahtangga dapat dilihat pada persamaan berikut:

E X X Q p X p X s s s U s s s s ∂ ∂ − + ∂ ∂ = ∂ ∂ ) ( ...(3.32)

Sehingga perubahan harga Xs umumnya mempunyai efek subtitusi negatif dan efek pendapatannya dihitung berdasarkan surplus pasar Xs, dan tidak berdasarkan jumlah barang Xs yang dikonsumsi, dimana efek pendapatan akan mempunyai nilai positif untuk net seller dan negatif untuk net buyer. Hal ini mengakibatkan konsumsi Xs baginet seller mempunyai respon yang positif terhadap perubahan harga barang Xs sekalipun barang tersebut adalah barang normal.


(57)

Efek pendapatan pada suatu rumahtangga pertanian mempunyai suatu terminologi extra, dimana Qs(∂Xs/∂E) dibandingkan dengan konsumsi rumahtangga murni. Efek extra ini dapat dilihat ketika komponen profit dari full income meningkat sehingga dapat disebutkan sebagai efek dari profit yang terlihat pada persamaan 3.7. Dari persamaan tersebut diperoleh dY =TdpL+dπ +dE, dimana π adalah profit (nilai dari output yang dihasilkan dikurangi dengan nilai dari variabel input). Dari persamaan (3.7) diperoleh kondisi awal yang harus dipenuhi: dK G Vdq Ldp dp Q dp Q dp Q dp Q

d s s p p b b u u L v k

λ μ

π = + + + − − + ...(3.33)

sehingga ketujuh elemen pada sisi kanan persamaan (3.28) dapat ditunjukkan sebagai berikut: dE d dp X dp X dp X dp X dp X dp X

TL L+ m m+ s s+ p p+ b b+ u u− −

= π

ψ ( ) ..(3.34)

Hal tersebut memperjelas fungsi permintaan Marshallian untuk bahan pangan adalah sebagai berikut:

) , , , , , , , ,

(p p p p p p p K E

Xs L m s p b u v atau Xs(pL,pm,ps,pb,pu,π,E) ...(3.35) bila profit menggantikan posisi harga input variabel selain tenaga kerja dan input-input tetap yang digunakan, maka komparatif statiknya adalah:

Y X X p X p X s s U s s s s ∂ ∂ − ∂ ∂ = ∂ ∂ π ...(3.36)

Dimana persamaan di atas identik dengan kasus konsumen murni, yaitu:

s s s s U s s s s p Y X Y X X p X p X ∂ ∂ ∂ ∂ + ∂ ∂ − ∂ ∂ = ∂ ∂ π ...(3.37)


(58)

Bila diasumsikan∂π/∂ps =Qs, maka extra efek seluruhnya berasal dari perubahan

profit usahatani. Dimana static comparative untuk leisure juga sama seperti persamaan sebelumnya. Y X L X T p X p X L L U L L L L ∂ ∂ − − + ∂ ∂ = ∂ ∂ ) ( ...(3.38)

Efek pendapatan dihitung dengan melakukan pengurangan penawaran tenaga kerja rumahtangga terhadap permintaan tenaga kerja rumahtangga. Bila diasumsikan leisure adalah barang normal, hal ini menyebabkan terjadi backward-bending supply.

Dalam penelitiannya mengenai Marketed Surplus pada rumahtangga pertanian di Sierra Leone, Strauss (1984) memformulasikan persamaan produksi rumahtangga merupakan fungsi dari harga barang yang dihasilkan rumahtangga, karakteristik pertanian termasuk input tetap yang digunakan dan teknologi produksi yang digunakan rumahtangga.

MS = Xi - Xic ……….(3.39) Xi = Xi( p, z, k) ...(3.40) Selanjutnya Strauss memformulasikan persamaan konsumsi rumahtangga pada persamaan (3.41).

Xic = Xic( p, η, A + pNT(m) + π(p, z, k) ………..(3.41) dimana:

MS = marketed surplus


(59)

Xic = konsumsi rumahtangga p = harga produk

z = karakteristik pertanian k = teknologi produksi

η = karateristik rumahtangga yang mempengaruhi taste

A = pendapatan di luar usahatani pN = upah tenaga kerja

T = waktu yang tersedia untuk kerja dan santai

m = karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi alokasi waktu π = profit

Persamaan (3.39) hingga (3.41) menunjukkan bahwa selain harga, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran produk rumahtangga juga dipengaruhi oleh karakteristik pertanian yang ada di masing-masing daerah dan karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi taste dan alokasi waktu,

pendapatan luar usahatani, upah tenaga kerja, profit maupun alokasi kerja rumahtangga.

Bila dikaitkan dengan kondisi di Papua yang corak usahataninya masih cenderung subsisten dan pasar tenaga kerja yang cenderung terbatas di pedesaan, maka model ekonomi rumahtangga Chayanov cukup relevan digunakan untuk membantu menjelaskan fenomena yang terjadi di daerah tersebut. Model ekonomi rumahtangga Chayanov berfokus pada keputusan subjektif yang dibuat oleh rumahtangga berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja keluarga yang dialokasikan dalam usahatani yang bercorak subsisten. Keputusan subjektif


(60)

tersebut adalah tentang penentuan jumlah tenaga kerja keluarga yang harus dicurahkan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga akan mengalokasikan kerjanya pada usahatani hanya sampai pada batas pemenuhan konsumsi. Bila konsumsi rumahtangga telah terpenuhi maka rumahtangga petani cenderung memilih mengkonsumsi leisure. Perilaku tersebut dikenal dengan istilah drudgery averse atau perilaku yang menghindari kerja keras pada aktifitas usahatani. Asumsi yang menjadi dasar model ekonomi rumahtangga Chayanov adalah : 1. Tidak ada pasar tenaga kerja

2. Output usahatani dapat dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun untuk dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.

3. Akses setiap rumahtangga pertanian terhadap lahan untuk berproduksi adalah fleksibel.

4. Adanya norma sosial yang diterima sebagai pendapatan minimum perkapita. Ellis (1988) mengemukakan bahwa faktor penentu rumahtangga memilih untuk bekerja untuk memperoleh sejumlah pendapatan atau mengkonsumsi waktu luang adalah struktur demografi yang dinyatakan sebagai ratio antara jumlah tanggungan rumahtangga dan angkatan kerja produktif di dalam rumahtangga (c/w). Kebutuhan konsumsi yang meningkat akibat peningkatan jumlah anggota keluarga mengakibatkan rumahtangga akan mengalokasikan lebih banyak waktu untuk bekerja di usahatani guna memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Hal ini mengakibatkan rumahtangga mengorbankan sejumlah leisure yang selanjutnya dialokasikan untuk bekerja.


(1)

15. Rata-rata Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Tahun 2008... 88 16. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada

Kegiatan Usahatani dan Perkebunan dalam Satu Tahun... 91 17. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada

Kegiatan Perikanan dalam Satu Tahun... 95 18. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada

Kegiatan Berburu dalam Satu Tahun... 97 19. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada

Kegiatan Menokok Sagu dalam Satu Tahun... 98 20. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota

Rumahtangga pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh... 99 21. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota

Rumahtangga pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Tidak Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh... 101 22. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada

Kegiatan Rumahtangga dalam Satu Tahun... 102 23. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Tunai Rumahtangga pada

Masing-masing Kegiatan Produksi dalam Satu Tahun... 104 24. Rata-rata Konsumsi Rumahtangga dalam Satu Tahun... 105 25. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pertanian Rumahtangga

Responden... 108 26. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Perikanan Rumahtangga

Responden... 116 27. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan dari Kegiatan


(2)

vi

30. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Proyek

Rumahtangga Responden………... 132

31. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Kegiatan Rumahtangga Responden... 135 32. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Mengambil Hasil

Hutan Rumahtangga Responden... 140 33. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Non Pasar

Rumahtangga Responden... 143 34. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Pasar

Rumahtangga Responden... 145


(3)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Mekanisme Bagi Hasil Migas Era Otonomi Khusus... 5 2. Proses Rekrutmen Tenaga Kerja... 12 3. Tranfer Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Proyek Liquified

Natural Gas Tangguh... 28 4. Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov... 49 5. Efek Peningkatan Non Labor Income pada Perilaku Kerja

Rumahtangga... 54 5. Efek Upah pada Penggunaan Waktu Rumahtangga... 58


(4)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Bagan Keterkaitan Antar Peubah... 156 2. Sistem Persamaan dalam Bentuk Matriks... 157 3. Program Komputer Statistical Analysis System Version 9.1

Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two State Least Squares ……… 158 4. Hasil Dugaan Model Persamaan Simultan………. 159


(5)

(6)