Hakikat Berbicara Landasan Teori

Dari beberapa tujuan berbicara yang telah penulis jelaskan di atas, yang berkaitan dengan penelitian adalah tujuan yang bersifat menjamu dan menghibur. Sebab di sini siswa hanya diminta untuk memerankan tokoh dongeng yang dibacanya, dengan tujuan agar siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang diperankan. e. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Kemampuan berbicara adalah kemampuan untuk mengungkapkan gagasan kepada pihak lain secara lisan. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara ini terdapat empat hal yang perlu menjadi perhatian bagi seorang guru sebelum mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran, yaitu: 1 Pemberian feedback dalam pembelajaran berbicara. Feedback umpan balik merupakan hal yang penting dan harus terjadi dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini dilakukan, karena feedback seorang guru terhadap siswa memiliki tiga fungsi, yakni “sebagai pemberi reinforcement penguatan, information informasi, dan motivation motivasi. ” 13 2 Materi pembelajaran berbicara. Cakupan kegiatan aspek berbicara cukup luas, yaitu berbicara secara formal dan informal. Adapun cakupan materi berbicara dalam kurikulum meliputi kegiatan sebagai berikut: 1 berceramah, 2 berdebat, 3 bercakap-cakap, 4 berkhotbah, 5 bertelepon, 6 bercerita, 7 berpidato, 8 bertukar pikiran, 9 bertanya, 10 bermain peran, 11 berwawancara, 12 berdiskusi, 13 berkampanye, 14 menyampaikan sambutan, selamat, pesan, 15 melaporkan, 16 menanggapi, 17 menyanggah pendapat, 18 menolak permintaan, tawaran, ajakan, 19 menjawab pertanyaan, 20 menyatakan sikap, 21 menginformasikan, 22 membahas, 23 melisankan isi drama, cerpen, puisi, bacaan, 24 menguraikan cara membuat sesuatu, 25 menawarkan sesuatu, 26 meminta maaf, 27 memberi petunjuk, 28 memperkenalkan diri, 29 menyapa, 30 mengajak, 31 mengundang, 32 memperingatkan, 33 mengoreksi, dan 34 tanya-jawab. 14 13 Ibid. 14 Ibid., h. 59. 3 Penilaian dalam pembelajaran berbicara. Penilaian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan sebuah pengajaran. Penilaian dalam keterampilan berbicara bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Memerlukan tingkat pemahaman yang cukup tinggi bagi guru untuk dapat menetapkan kriteria-kriteria dalam penilaian berbicara. Menurut Sri Wahyuni dan Abd. Syukur dalam bukunya yang berjudul Asesmen Pembelajaran Bahasa, “dalam tes keterampilan berbicara, pembedaan atau tingkatan kognitif tidak perlu dipaksakan. Dalam kegiatan berbicara, berbagai tingkat daya kognitif itu membentuk satu kebulatan. Wujudnya adalah ketepatan dan kelancaran berbahasa dengan kualitas gagasan yang memadai.” 15 Lee dalam Saddhono dan Slamet mengungkapkan “bahwa alat penilaian tes harus dapat menilai kemampuan mengomunikasikan gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan dalam menggunakan kata, kalimat, dan wacana, yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik. Kemampuan berbicara tidak hanya mencakup intonasi saja, tetapi juga unsur berbahasa lainnya.” 16 Di bawah ini merupakan teknik-teknik penilaian yang dapat digunakan dalam mengukur keterampilan berbicara siswa, yaitu: a Tes bercerita, dilakukan dengan cara meminta siswa untuk mengungkapkan atau menceritakan kembali, baik pengalaman ataupun cerita yang dibacanya. “Sasaran utamanya berupa unsur linguistik penggunaan bahasa dan cara bercerita, serta hal yang diceritakan, ketepatan, kelancaran, dan kejelasannya. b Tes diskusi, dilakukan dengan cara disajikan suatu topik dan pembicara diminta untuk mendiskusikannya. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dalam menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta menanggapi ide dan pikiran yang disampaikan oleh peserta lain secara kritis. Aspek-aspek yang dinilai yaitu ketepatan penggunaan struktur bahasa, ketepatan penggunaan kosa kata, kefasihan dan 15 Sri Wahyuni, Abd. Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012, cet. 1, h. 32. 16 Kundharu Saddhono, St. Y. Slamet, loc.cit. kelancaran menyampaikan gagasan dan mempertahankannya, kekritisan menanggapi pikiran yang disampaikan oleh peserta diskusi lainnya. 17 Bentuk penilaian keterampilan berbicara yang terdapat pada buku yang berjudul Asesmen Pembelajaran Bahasa yang ditulis oleh Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim adalah sebagai berikut: a Berbicara singkat berdasarkan gambar. Bentuk tagihan pada asesmen ini adalah siswa dapat mengungkapkan keadaan atau peristiwa yang terjadi seperti yang tertera pada suatu gambar. Tes ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang dimaksud, atau dapat juga dilakukan dengan meminta siswa menceritakan secara langsung gambar yang dilihatnya. b Wawancara, merupakan asesmen yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan kepada siswa. bentuk pertanyaan disesuaikan dengan tingkatan siswa. c Menceritakan kembali. Asesmen ini dilakukan dengan cara memberikan sebuah teks cerita kepada siswa, kemudian siswa diminta untuk menceritakan kembali teks cerita yang dibacanya atau didengarnya dengan menggunakan bahasanya sendiri. d Pidato berbicara bebas. Pada asesmen ini, guru mempersilahkan kepada siswa untuk memilih salah satu topik yang ditawarkan, kemudian siswa membuat pokok pikiran dari topik yang dipilihnya, selanjutnya siswa diminta untuk berbicara dengan bebas atau berpidato berdasarkan pokok pikiran yang telah disusunnya. e Percakapan terpimpin. Pada asesmen ini, guru dapat melakukannya dengan cara menceritakan suatu situasi percakapan dengan topik tertentu terlebih dahulu, kemudian meminta dua orang siswa untuk melakukan percakapan tersebut. f Diskusi, yaitu asesmen yang dilakukan dengan cara membentuk siswa menjadi beberapa kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan topik diskusi yang berbeda-beda, selanjutnya guru mengadakan 17 Ibid., h. 60. evaluasi pada masing-masing kelompok untuk mengukur kemampuan berbicara siswa, mengungkapkan gagasan, menanggapi gagasan, mempertahankan gagasan, memberi saran, bertanya, dan sebagainya. Dari beberapa teknik penilaian berbicara yang dijelaskan di atas, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik penilaian dengan cara menceritakan kembali. Penilaian ini merupakan penilaian secara individu. 4 Model-model pembelajaran berbicara. Ada beberapa model pembelajaran berbicara yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia, di antaranya yaitu berbicara estetik, berbicara tujuan, dan aktivitas drama. “Berbicara estetik dapat berupa percakapan tentang sastra, bercerita, dan teater pembaca.” 18 Percakapan tentang sastra dapat dilakukan dengan cara; siswa disuguhkan sebuah karya sastra, dapat dilakukan dengan cara mendengarkan atau membacanya. Setelah itu siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan komentar mereka tentang karya sastra tersebut. Bercerita atau mendongeng dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; cara memilih cerita, mempersiapkan diri untuk bercerita, menambah peraga, dan menyampaikan cerita. “Teater pembaca adalah presentasi pembacaan naskah drama oleh sekelompok siswa. Langkah-langkahnya yaitu memilih naskah, latihan, dan presentasi. 19 Berbicara tujuan dapat berupa laporan lisan, wawancara, dan debat. Laporan lisan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; menentukan suatu topik, lalu siswa diminta untuk menuliskan informasi-informasi penting dari topik yang dibacanya, kemudian mempresentasikannya. Wawancara dapat juga dilakukan oleh siswa sekolah dasar. Langkah-langkahnya yaitu membuat perencanaan yakni membuat pertanyaan-pertanyaan yang akan disampaikan dalam mewawancarai seseorang, melakukan wawancara, dan melaporkan hasil wawancara. Debat dapat dilakukan jika ada isu-isu kontradiktif yang menarik. Langkah-langkahnya yaitu menentukan isu yang akan diperdebatkan, 18 Ibid. 19 Ibid. mengelompokkan siswa yang setuju dan yang tidak setuju, dan melakukan debat antar kelompok. Aktivitas drama dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di antaranya yaitu teknik bermain peran, bermain boneka, dan pementasan drama. Teknik bermain peran dapat dilakukan dengan cara berkelompok. Agar siswa yang menonton tidak jenuh, sebaiknya tema tiap-tiap kelompok berbeda. Naskah dapat dibuat sendiri oleh siswa atau guru, dapat juga menggunakan naskah yang sudah ada. Bermain boneka yaitu bercerita dengan menggunakan media boneka. Boneka yang digunakan biasanya boneka tangan. Dengan menggunakan boneka, siswa akan lebih tertarik untuk mendengarkan sebuah cerita. Untuk lebih menarik lagi dapat digunakan panggung boneka. Sementara itu, pementasan drama dapat juga dilakukan di dalam kelas, disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut, tidak harus memaksakan dengan sarana yang lengkap. Agar drama terlihat lebih menarik, sebaiknya kostum yang digunakan disesuaikan dengan peranan masing-masing. Dengan kostum yang sesuai dengan peranannya, siswa dapat lebih menghayati peran yang dimainkannya. Dari beberapa model pembelajaran berbicara yang telah diuraikan di atas, penulis memilih teknik bermain peran yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dengan harapan, penerapan teknik bermain peran ini dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. f. Kriteria Keterampilan Berbicara Hurlock 1978:176 mengemukakan kriteria untuk mengukur tingkat kemampuan berbicara secara benar atau hanya sekedar “membeo´sebagai berikut: 1 Anak mengetahui arti kata yang digunakan dan mampu menghubungkannya dengan objek yang diwakilinya. Jadi, anak tidak hanya mengucapkan tetapi juga mengetahui arti kata yang diucapkannya. 2 Anak mampu melafalkan kata-kata yang dapat dipahami orang lain dengan mudah. Hal tersebut berarti bahwa anak melafalkan dengan jelas kata-kata yang diucapkannya dengan bahasa yang mudah dimengerti orang lain, sehingga orang lain dapat memahami apa maksud yang diucapkannya. 3 Anak memahami kata-kata tersebut bukan karena telah sering mendengar atau menduga-duga. Berdasaarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur kemampuan bebicara siswa adalah siswa mengetahui arti kata yang diucapkannya, siswa dapat melafalkan kata-kata yang dapat dipahami orang lain dan memahami kata-kata yang diucapkannya. 20

2. Teknik Bermain Peran

Untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa, penulis memilih teknik bermain peran dengan memperhatikan beberapa hal, di antaran ya adalah “1 anak usia kelas awal sudah meningkat perbendaharaan katanya dan senang berbicara, 2 dapat memahami sebab akibat, 3 berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.” 21 Usia kelas awal menurut Piaget berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, sebaiknya pembelajaran yang disajikan berangkat dari hal-hal yang bersifat konkrit. Konkrit yang dimaksud adalah “dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan dipraktekkan, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan.” 22 Cara belajar anak usia awal SDMI masih bersifat konkret, maka proses pembelajaran sebaiknya melalui pengalaman langsung. Tepat sekali kiranya, jika penulis memilih teknik bermain peran untuk pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek keterampilan berbicara. Dengan pembelajaran yang dirancang seperti ini, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa pun tidak merasa jenuh selama proses pembelajaran. a. Pengertian Teknik Bermain Peran M.Subana dan Sunarti menjelaskan, “teknik mengandung pengertian berbagai cara d an alat yang digunakan guru dalam kelas.” 23 Dengan pengertian ini, dapat 20 http:www.academia.edu4489394keterampilan berbicara. 21 Masitoh, Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, Jakarta: Dir. Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, 2009, cet. 1, h. 17 22 Ibid., h. 18 23 M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet. 3, h. 20. dipahami bahwa teknik pembelajaran merupakan langkah-langkah yang digunakan guru pada saat pembelajaran untuk mencapai sasaran. Teknik merupakan bagian dari metode. Teknik bermain peran merupakan salah satu teknik yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran drama. Bermain peran juga dapat digunakan untuk merangsang kreativitas siswa untuk berekspresi, percaya diri, dan belajar berkomunikasi di depan umum, sehingga dapat mendorong proses belajar- mengajar. Dengan bermain peran diharapkan dapat membangkitkan kreativitas siswa dan diperoleh pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa. Teknik Bermain Peran atau Sosiodrama, yang dikenal juga dengan istilah Role Playing adalah “teknik dimana siswa bisa berperan atau memainkan peranan dramatisasi masalah sosialpsikologis.” 24 Teknik ini merupakan cara belajar dengan mendemonstrasikan setiap peran dalam bentuk drama. Teknik ini dilakukan apabila guru “ingin menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, sehingga lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan karena akan lebih jelas, guru ingin melatih siswa agar mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial, dan akan melatih siswa agar dapat bergaul dan memberi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. ” 25 Dengan penyajian pembelajaran seperti ini siswa akan sangat memahami masalah-masalah sosial yang ada dalam cerita dan dapat mencari solusi dalam setiap permasalahan yang ditemukan dalam cerita yang diperankan. b. Tahapan Teknik Bermain Peran Agar penggunaan teknik bermain peran ini berhasil dalam pembelajaran, sebaiknya guru memperhatikan langkah-langkah di bawah ini, yaitu: 1 Guru memperkenalkan teknik bermain peran ini kepada siswa, bahwa dengan teknik ini diharapkan siswa dapat memecahkan masalah sosial 24 Roestiyah NK., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, cet. 7, h. 90. 25 Iskandarwassid, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011, cet. 3, h. 65 yang aktual di masyarakat, kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan. 2 Guru harus memilih masalah yang sesuai dengan dunia anak, sehingga menarik minat anak. 3 Agar siswa memahami jalan ceritanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan. 4 Bila ada kesediaan dari siswa untuk berperan, sebaiknya guru menanggapi, tetapi harus dipertimbangkan kesesuaian untuk perannya. Bila tidak ada siswa yang bersedia, guru menunjuk saja siswa yang sesuai dengan karakter yang akan diperankannya. 5 Jelaskan pada siswa yang mendapatkan peran, sehingga mereka tahu tugas peranannya, menguasai masalahnya, pandai bermimik dan berdialog. 6 Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog. 7 Setelah drama tersebut dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan, agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. 8 Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara. 26 c. Kelebihan dan Kekurangan Teknik Bermain Peran Setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk meminimalisasi kekurangan-kekurangan yang ada, guru dapat menggunakan lebih dari satu teknik. Adapun kelebihan teknik bermain peran, di antaranya yaitu: 1 Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian. 2 Teknik ini akan menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi hidup. 26 Roestiyah NK , op.cit., h. 9192. 3 Anak-anak dapat menghayati suatu peristiwa sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatan sendiri. 4 Anak dilatih untuk menyusun pikirannya dengan teratur. 27 Adapun kekurangan dari teknik bermain peran, di antaranya yaitu: 1 Teknik ini memerlukan waktu yang cukup banyak. 2 Memerlukan persiapan yang teliti dan matang. 3 Kadang-kadang anak tidak mau mendramatisasikan suatu adegan karena malu. 4 Kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa apabila pelaksanaan dramatisasi itu gagal. 28 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan termasuk teknik bermain peran. Dengan mengetahui terlebih dahulu kekurangan-kekurangan yang ada, maka pelaksana akan dapat mengantisipasi kekurangan tersebut dengan cara mendiskusikannya dengan guru lain dan siswa. Hasil diskusi tersebut diharapkan dapat meminimalisasi kekurangan yang ada.

3. Dongeng

a. Pengertian Dongeng Dongeng termasuk salah satu bentuk prosa lama . “Prosa lama merupakan karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat.” 29 “Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. ” 30 Pendapat lain 27 Iskandarwassid, loc.cit., h. 65 28 Ibid. 29 Retno Purwandari, Qoni’ah, Buku Pintar Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Familia, 2012, cet. 1, h. 136. 30 http:id.wikipedia.org. mengatakan, bahwa “dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal.” 31 Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dongeng merupakan cerita yang tidak benar- benar terjadi, karena sifatnya hayalan dan imajinasi dari si pembuatnya. Meskipun sifatnya fiktif, tetapi dongeng berisi nasihat-nasihat yang baik bagi pembaca dan pendengarnya. Sebagian dijumpai orang tua yang sering membacakan dongeng sebagai pengantar tidur bagi anak-anaknya. Hal ini mengandung nilai positif bagi perkembangan kosa kata si anak, karena akan terjadi interaksi yang baik antara orang tua dan anak. Ketika ada bagian cerita yang membuatnya tertarik, akan muncul keingintahuannya akan kelanjutan dari dongeng tersebut. Anak pun akan bertanya dengan kata apa, mengapa, dimana, kapan, dan sebagainya. Dengan adanya komunikasi tersebut akan terasah keterampilan berbicara anak, dan kosa kata yang dimiliki anak pun akan bertambah. Dongeng sangat disukai oleh anak-anak, karena masa anak-anak penuh dengan hayalan dan imajinasi. Dengan kondisi seperti ini, maka orang tua atau guru dapat menjadikan dongeng sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan bagi anak, misalnya saja dongeng yang cukup terkenal berjudul Malin Kundang. Cerita tersebut mengisahkan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Dongeng ini dapat digunakan jika ingin menyampaikan nasihat agar anak senantiasa berbuat baik kepada orang tua. Jadi, mendongeng kepada anak merupakan kegiatan yang bernilai positif. Daya khayal dan imajinasi anak akan berkembang, kosa kata yang dimiliki anak akan bertambah, dan anak mendapatkan nilai-nilai yang baik bagi kehidupannya kelak. a. Jenis-Jenis Dongeng Terdapat beberapa jenis dongeng, yaitu fabel, mite mitos, legenda, sage, parabel, dan dongeng jenaka. Berikut penjelasan dari masing-masing jenis dongeng yang telah disebutkan, yaitu: 1 Fabel adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambing pengajaran moral biasa pula disebut sebagai cerita binatang, contoh: Kancil dengan Buaya, Kancil dan Kura-Kura, dan sebagainya. 31 Retno Purwandari, Qoni’ah, op.cit., h. 137.

Dokumen yang terkait

Peningkatan kemampuan menyimak melalui penerapan metode permainan bisik berantai pada siswa kelas III MI Ath-Thoyyibiyyah Kalideres Jakarta Barat Tahun pelajaran 2013/2014

0 14 172

Penerapan metode snowball throwing dalam peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas III MI Pembangunan UIN Jakarta

2 10 164

Upaya meningkatkan keterampilan menyimak metode bermain peran pada siswa kelas III MI Muhammadiyah 02 Depok

1 6 93

Penggunaan media audio visual untuk meningkatkan motivasi belajar PKN pada siswa kelas III di MI Dakwah Islamiyah Cawang Jakarta Timur Tahun pelajaran 2013/2014

0 8 103

Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Paragraf Bahasa Indonesia dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture and Picture pada MI Ziyadatul Huda Jakarta Timur

1 6 128

Peningkatan keterampilan membaca melalui penerapan metode SQ3R pada mata pelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas V MI Al-Khairiyah Mampang Prapatan Jakarta Selatan Tahun pelajaran 2013-2014

0 18 111

Peningkatan kemampuan berbicara melalui penerapan teknik bermain peran pada siswa Kelas V MI Ath-Thoyyibiyyah Kalideres Jakarta Barat Tahun pelajaran 2013/2014

0 4 170

Peningkatan keterampilan menulis paragraph deskripsi dengan media gambar pada siswa kelas V MI Al-Khoeriyah, Leuwisadeng, Bogor Tahun Pelajaran 2013/2014

0 7 91

Peningkatan motivasi belajar siswa melalui media audio visual pada mata pelajaran PKN siswa kelas II MI Al-Husna Ciledug Tahun pelajaran 2013/2014

3 12 126

Peningkatan kemampuan berbicara melalui penerapan teknik bermain peran. penelitian tindakan kelas pada siswa kelas V MI. Ath-Thoyyibiyyah Kalideres Jakarta Barat

0 10 170