Laporan Akhir KKP3SL-2015
10 dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan,
terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10 dari bobot badannya per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk
organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu
sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas
prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup
lengkap Wiguna, dkk., 2007. Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan petani mengandung N-NO
3
berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH
3
antara 68,38 dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K
+
berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N
bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea. Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan
pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan
pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl.
2.3. Kelemahan Sapi Bali
Perkembangan ambing sapi betina relatif kurang baik. Mungkin hal tersebut yang menyebabkan sapi Bali bukan sebagai sapi tipe perah atau sapi penghasil susu
yang baik. Produksi susu sapi Bali berkisar antara 0,9-2,8 kg per hari, sehingga dapat menyebabkan pedet akan kekurangan air susu, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian, terutama kelahiran pada musim kering Soehaji, 1991, atau setidaknya akan dapat mengganggu pertumbuhan pedet. Kelemahan lain sapi Bali
adalah sifat atau prilaku agresif dari sapi jantan, yang dapat membahayakan. Karena prilaku tersebut terkadang dapat menyebabkan kecelakaan bagi peternak, maupun
orang lain, seperti ditanduk, ditendang, yang terkadang dapat menyebabkan kematian. Agresifitas sapi Bali, berkaitan dengan hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel
Leydig testis sapi jantan dewasa, karena semakin tinggi hormon testosteron yang dihasilkan maka keagresifan sapi Bali akan semakin tinggi Sayang Yupardi, 2009.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
11 Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan
tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah.
Serangan penyakit cacing hati
Faciola gigantica
merupakan salah satu kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat
menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan Sweta, 1982. Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan
lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit
tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin, akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi Hartiningsih,
2006. Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga
merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan baik jika berdampingan dengan domba.
2.4. Pengertian Sapi Betina Produktif