UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI.

(1)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 i

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

UPAYA MENGATASI

PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

Oleh:

Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati

Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si Drh. Nata Kusuma, MMA

Nyoman Budiana, SPt I Gst. Made Widianta, SP

BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah

1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan

pertanian daerah

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

BALI


(2)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ii

UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

NAMA PENELITI UTAMA : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

NIP : 19590907 198603 1 002

NAMA BPTP : BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

(BPTP) BALI

INSTITUSI YANG TERLIBAT:

1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor 2. Balai Besar Pengembangan Pengkajian Tekonologi Pertanian, Bogor 3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

4. Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, Bali 5. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

BIDANG PRIORITAS: Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah E.1.1


(3)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iii

UPAYA MENGATASI

PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

1. Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

2. NIP : 19590907 198603 1 002

3. Nama BPTP : BPTP Bali

4. Nama Pemda/Stakeholder

yang terlibat : Dinas Peternakan Provinsi Bali 5. Nama Pusat/Puslit/BB/Balit

yang terlibat : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

6. Bidang Prioritas : Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah E.1.1


(4)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iv Lembar Pengesahan

KERANGKA ACUAN

7. Judul Kegiatan : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali

8. BPTP Pengusul : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 9. Alamat : Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Bali 10. Diusulkan Melalui : Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 11. Sifat Usulan Kegiatan : Baru 12. Peneliti Utama/

Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna 13. Personalia:

a. Peneliti/Penyuluh : 4 orang b. Pembantu Peneliti : 2 orang c. Teknisi : 1 orang d. Adminitrasi : 1 orang 14. Tahun dimulai kegiatan : 2015

15. Biaya Kegiatan Th. 2015 : Rp.131.575.000,- 16. Jangka Waktu Pelaksanaan: 2 (dua) tahun

a. Mulai dilaksanakan : 2015

b. Berakhir : 2016

Disetujui Kepala BPTP Penanggung jawab Kegiatan

Ir. A.A.N.B. Kamandalu, M.Si Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna NIP: 19591013 198703 1 002 19590907 198603 1 002


(5)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 v

RINGKASAN

1. Judul : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.

2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali 3. Lokasi : 8 kabupaten, satu kota di Provinsi Bali

4. Tujuan :

a. Tujuan Antara adalah untuk mengetahui:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

b. Tujuan jangka panjang: Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani melalui swasembada daging sapi.

5. Deskripsi Penelitian:

Penelitian tentang, Upaya mengatasi pemotongan sapi betina produktif untuk mendukung swasembada daging sapi berkelanjutan di Bali, dilakukan selama dua tahun (2015-2016). Penelitian dilakukan di 8 kabupaten dan satu kota di Bali. Tujuan penelitian, adalah untuk menghindari terjadinya pemotongan sapi betina produktif melalui implementasi yang tepat dari kebijakan pemerintah. Sedangkan tujuan akhir dari penelitian adalah peningkatan pendapatan petani, dengan mempercepat pencapaian berkelanjutan swasembada sapi potong.

6. Metode Penelitian:

Metode penelitian adalah melalui observasi lapangan, survey, Focus Group Discussion (FGD), interview mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif, tabulasi silang (Cross Tabulation), Regresi berganda metode Enter dan Stepwise. 7. Keluaran yang diharapkan dari Tahun berjalan: Data dan informasi, tentang jumlah

sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun, tingkat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap pemotongan sapi betina produktif di Bali.


(6)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vi 9. Biaya penelitian tahun 2015: Rp.131.575,000 (Seratus Tiga Puluh Satu Juta Lima

Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah). 10. Hasil Penelitian:

Hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih

dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor. 2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. a. Faktor Peternak:

i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli (saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali.

ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif. b. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan

pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina


(7)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vii afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.

3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, belum efektif.


(8)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 viii

SUMMARY

1. Title : The Effort to Overcome, Slaughtering of Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Catle Self-Sufficiency in Bali.

2. Implementing Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT) Bali

3. Location : 8 Regencies and 1 city at Bali Province 4. Objectives :

a. Immediate Objectives:

1) Knowing the amount of productive bali cows slaughtered each year in Bali.

2) Knowing, Factors that cause the slaughtered productive bali cows in Bali. 3) Determine the effectiveness of government policies to overcome the

slaughtered productive bali cows in Bali.

b. Long Term Objectives: Increased income and welfare of farmers, as well as the achievement of sustainable beef self-sufficiency.

5. Description of Project:

Research on, The Effort to Overcome, Slaughtering Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, conducted for two year (2015-2016). The study located in 8 regencies and one city in Bali. The purpose of research, is to avoid the occurrence of productive bali cow slaughtered, through a proper implementation of government policy. While the ultimate goal of research is the increasing income of the farmers, by accelerating the achievement of sustainable self-sufficiency in beef cattle.

6. Methodology:

The research method is through observation, survey, Focus Group Discussion (FGD), in-depth interview. The data were analyzed descriptively, cross tabulation (Cross Tabulation), Multiple Regression with Enter and Stepwise method.

7. Expected Output of Year: Data and information, about the number of productive cows slaughtered each year, the level of effectiveness of government policy on cow slaughtered in Bali.


(9)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ix 9. Proposed Budget in 2015: IDR.131.575,000 (One hundred and Thirty One Million

Five Hundrade and Seventy Five Thousand Indonesian Rupiah).

10. The results research of the efforts to avoid slugter of productive cows in Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, among others:

1) The number of productive cows slaughtered each year in Bali, reaching more than 80% of cows slaughtered in the abattoir and TPH. While the number of cows slaughtered in Bali the period from January to August 2015 to reach 11,287 head.

2) Factors that cause the slaughter productive cows in Bali, among others: a. Breeders factors:

i. External factors breeders include: (1) bovine growth slow; (2) the opportunities cattle prices are expensive; (3) impulse buyer (merchant or slaughterhouse); (4) trust in the productive cows with a specific indicator, which is believed less profitable for farmers and their families (local wisdom), (5) the cow is considered majir (can not be pregnant), because it is not pregnant after breeding a couple of times.

ii. Internal factors of farmers, among others: (1) economic factors: (a) the money for their children in school (b) religious ceremonies; (c) building a house; (d) finance for sick family; (e) pay the debt, (f) maintain more profitable cows. (2) technical factors: (a) it is hard to get a place for breeding; (b) farmers who are old; (c) the difficulty of feed, (d) labor replaceable cow with a tractor. (3) factor of knowledge: (a) lack of knowledge of farmers on productive cows; (b) is not aware of any prohibition of slaughter productive cows.

b. Factors slaughterhouse or officer: (1) Lack of government commitment and firmness in applying the applicable law; (b) It is difficult to get cows that are not productive; (c) the price of the bulls is much more expensive than the price of a cow; (d) cut veal cows especially more profitable than cows culled a lot of fat; (e) the lack of understanding about the butchers and merchants criteria productive cows.

3) The government policy to overcome the cutting productive cows in Bali, not yet effective


(10)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 x

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ……… iv

RINGKASAN ………. v

SUMMARY……….. viii

DAFTAR ISI ………... x

DAFTAR TABEL ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 3

1.3 Tujuan Penelitian ………..…….. 3

1.4 Keluaran yang Diharapkan ……….. 4

1.5 Manfaat dan Dampak ……… 4

1.5.1 Manfaat …….……… 4

1.5.2 Dampak ………...……… 4

1.6 Lingkup Kegiatan ……… 5

II TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

2.1 Karakteristik Sapi Bali ………. 6

2.2 Keunggulan Sapi Bali ……….. 8

2.3 Kelemahan Sapi Bali ………...……… 10

2.4 Pengertian Sapi Betina Produktif ….………... 11

2.5 Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif ……… 13

2.6 Kebijakan pemerintah Pemerintah Tentang Penyelamatan Sapi Betina Produktive ……… 13

2.7 Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif ………. 14

2.8 Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif … 16 2.9 Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif ………. 17

2.9.1 Dampak Non Ekonomi ……… ….……… 18


(11)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xi

III METODELOGI PENELITIAN ………. 26

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ……….. 26

3.1.1 Waktu Penelitian ………. 26

3.1.2 Lokasi Penelitian ……… 26

3.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……… 26

3.2.1 Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun ………..………….……… 26

3.2.2 Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 26

3.2.3 Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali 27 IV HASIL PENELITIAN ………. 31

4.1 Karakteristik Peternak Sapi Bibit ………. 31

4.1.1 Umur Peternak dan pengalaman beternak …………..………… 31

4.1.2 Pendidikan Peternak ………..……… 31

4.1.3 Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina ……… 32

4.1.4 Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit ……… 33

4.1.5 Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit ………. 35

4.2 Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit ………. 36

4.3 Harapan Peternak Sapi Bibit ……… 37

4.4 Sikap Peternak ………. 38

4.5 Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 40

4.6 Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali………. 42

4.7 Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali …… 44

4.8 Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……….. 51

4.8.1 Di tingkat peternak sapi ………..…... 51

4.8.2 Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan ……… 55

4.9 Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 61


(12)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xii

V SIMPULAN DAN SARAN ……… 65

5.1 Simpulan ………. 65

5.2 Saran ……… 66


(13)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiii DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman

1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk

dalam 16 tahun ……… 21

1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat

pemotongan sapi betina produktif di Indonesia ……… 23 1.3 Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi

Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam

Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali. 28 4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit ……… 31 4.2 Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali ……… 32 4.3 Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina …………. 33 4.4 Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi ……… 33 4.5 Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive ……… 34 4.6 Penting tidaknya memelihara sapi bibit ………... 35 4.7 Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit ………. 36 4.8 Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam

Pengembangan Sapi Bibit ………. 38 4.9 Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif ... 40 4.10 Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 ……… 44 4.11 Penyebaran Jagal di Bali ……….. 50 4.12 Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015

(Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali,


(14)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiv

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman

2.1 Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa

kelamin …. ……… 7

2.2 Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin …… 7 2.3 Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata ……… 8 2.4 Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata … 8 2.5 Dampak pemotongan sapi betina produktif ……… 18 2.6 Analisis impor sapi dan daging sapi ………. 24 4.1 Lokasi RPH dan TPH di Bali ……… 41 4.2 Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan

peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya 45 4.3 Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya

dalam empat tahun berikutnya ……… 46 4.4 Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal,

Badung ……… 48

4.5 Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten

Karangasem ……… ……….. 50

4.6 Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran

(Denpasar) ……… ……… 49

4.7 Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani ……. 51 4.8 Alasan eksternal peternak menjual sapi betina ……… 52 4.9 Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina ………….. 53 4.10 Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif … 53 4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi

pemerintah ……… 54

4.12 Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina

produktif ……… 54

4.13 Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri

dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali ……… 55 4.14 Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke


(15)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suwono (2011) menyatakan, bahwa 70% kebutuhan daging nasional yang mencapai sebesar 100 ribu ton per tahun, dipenuhi dari daging impor, hanya 30% yang dipasok dari industri dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, adalah tingginya jumlah pemotongan sapi betina produktif yang mencapai 200 ribu ekor per tahun. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai salah satu penyabab tidak tercapainya swasembada daging yang telah diprogramkan sejak 2005.

Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencatat bahwa 40% dari 1,7 juta ternak yang dipotong adalah betina. Dari 40% tersebut, sebanyak 25% di antaranya adalah betina produktif. Hal tersebut berarti sekitar 10% dari jumlah sapi yang dipotong adalah sapi betina produktif, atau setara dengan 170 ribu ekor setiap tahun. Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung maka populasi sapi dalam negeri semakin menurun.

Badan Pusat Statistik Bali (2013) menunjukkan bahwa populasi sapi bali pada tahun 2006 adalah sebanyak 257.551 ekor jantan dan 355.690 ekor betina. Pepulasi tersebut menjadi 267.032 ekor jantan dan 384.184 ekor betina pada tahun 2012. Hal tersebut berarti bahwa terjadi peningkatan populasi sapi jantan sebesar 3,68% dan sapi betina 8,01% dalam kurun waktu 5 tahun. Namun dalam waktu setahun (2012-2013) populasi sapi jantan menjadi 185.489 ekor atau menurun sebesar 30,54%. Sedangkan sapi betina menjadi 292.657 ekor atau menurun sebesar 23,82%. Belum ada data yang pasti tentang populasi sapi bali di Bali pada tahun 2014, namun beberapa media telah memberitakan bahwa populasi sapi bali menurun cukup dratis. Penurunan populasi sapi bali di Bali dapat berpengaruh terhadap meningkatnya impor sapi, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara. Karena Bali merupakan salah satu provinsi penting sebagai penghasil daging nasional.

Sesungguhnya upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif telah dimulai sejak zaman Belanda. Terbukti dari adanya peraturan perundang-undangan pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang tertuang dalam Staatblad No. 614 Pasal 2 Tahun 1936. Kemudian dipertegas dengan Instruksi Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 1979 tentang Pencegahan dan


(16)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 2 Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936 dijelaskan juga bahwa dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan kerbau) yang betina. Bahkan menurut UU No 18 tahun 2009, yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan bahwa pemotongan sapi betina produktif merupakan tindakan yang salah dan pelakunya dapat diancam 6 bulan kurungan. Artinya bahwa yang memotong dan yang menyuruh sama-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi dan kerbau, menjamin kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi ternak sapi dan kerbau.

Secara nasional upaya tersebut hampir tidak memberikan hasil apapun, terbukti masih tingginya indikasi pemotongan sapi betina produktif yang mencpai sekitar 10% dari sapi yang dipotong dan tidak adanya “jagal” atau tukang potong sapi yang dihukum. Di Sumatra Barat, pemotongan sapi betina produktif mencapai 10.000 ekor tahun 2009. Kondisi di Bali tidak jauh berbeda, karena pemotongan sapi betina produktif nampaknya tetap dan terus berlangsung setiap hari.

Suci Emilia Fitri (2010), menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia, tidak lebih dari 10% jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan populasi sapi di Selandia Baru yang mencapai 12 juta ekor atau empat kali jumlah penduduknya yang kurang dari 4 juta orang. Kondisi tersebut menyebabkan hingga saat ini, Indonesia masih kekurangan daging sapi, sehingga harus mengimpor sapi hidup maupun daging sapi, untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Gita Wirjawan pada tahun 2011 yang mengatakan bahwa 3-4 tahun mendatang Indonesia akan kehabisan stok sapi jika tidak menggenjot produksi dalam negeri atau impor. Gita memperkirakan stok sapi nasional saat itu hanya berada di angka sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 3-4 juta ekor per tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah ternak sapi Indonesia telah berkurang sebanyak 2,4 juta ekor dalam dua tahun terakhir. Penurunan drastis jumlah ternak sapi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya pemotongan sapi betina produktif.


(17)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 3 Suardana, dkk. (2013) menyatakan bahwa persentase sapi bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di RPH Mambal, bahwa persentase sapi bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49%. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka populasi sapi bali akan cenderung terus berkurang dan suatu ketika, bukan tidak mungkin plasma nuftah sapi bali akan hilang. Padahal sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia, yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sapi lainnya.

Secara umum diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya pemotongan sapi betina produktif, adalah motif ekonomi. Namun belum ada data yang pasti tentang hal tersebut, termasuk solusi untuk mencegah terjadinya pemotongan sapi betina produktif, sehingga pemotongan sapi betina produktif terus berlanjut. Terkait dengan kondisi itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali”. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat serta akademisi, untuk mencapai program PSDS di Indonesia, yang telah diwacanakan sejak 2005 namun hingga kini belum pernah tercapai.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk menetapkan langkah atau upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka perlu diketahui dengan baik dan benar tentang penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Terkait dengan hal tersebut, maka setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, antara lain:

1)

Berapa jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali?

2)

Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali?

3)

Bagaimana tingkat efektivitas kebijakan pemerintah selama ini untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, bertujuan untuk mengetahui:


(18)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 4 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali.

1.4. Luaran yang Diharapkan

Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain data dan informasi tentang:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

1.5. Manfaat dan Dampak

Perkiraan manfaat dan dampak dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:

1.5.1. Manfaat

a) Manfaat untuk pemerintah: (1) sebagai dasar pertimbangn dalam mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi pemotongan sapi betina productive di masa mendatang; (2) mempercepat tercapainya program PSDS.

b) Manfaat untuk akademinisi: sebagai bahan kajian ilmiah atau penelitian dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina productive.

c) Manfaat untuk peternak: meningkatkan pengetahuan tentang dampak pemotongan sapi betina productive.

1.5.2. Dampak

Dampak yang berpeluang akan terjadi dari implementasi hasil penelitian ini antara lain:

1. Berkurangnya pemotongan sapi betina productive; 2. Meningkatnya populasi sapi bali di Bali;


(19)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 5 4. Tercapainya Bali sebagai sumber atau pusat penyedia bibit sapi bali

berkualitas baik, secara nasional;

5. Mengurangi penggunaan devisa negara untuk import daging sapi.

1.6. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, meliputi: (1) Perencanaan penelitian; (2) pelaksanaan penelitian, meliputi: (a) Pengambilan data penelitian, (b) Analisis data penelitian, (c) Pelaporan, (d) Seminar hasil penelitian, dan (e ) Publikasi ilmiah.


(20)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 6

III.

T)NJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26 Provinsi (Gunawan, dkk., 2014). Merupakan domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syndicus Bos sondaikus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Karakteristik sapi bali hampir sama dengan banteng (Bos sondaikus). Perbedaannya hanya pada bentuk badan sapi bali yang lebih kecil dibandingkan dengan banteng. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari proses penjinakan, yang menyebabkan bentuk tubuh sapi bali, menjadi lebih kecil, dibandingkan banteng yang asli, yang kini masih banyak hidup liar di Taman Nasional Ujung Kulon, Baluran, dan Alas Purwo. Berat dan tinggi gumba sapi bali menjadi lebih rendah dibandingkan dengan banteng. Semula yang beratnya mencapai 900 kg per ekor menjadi hanya 700 kg per ekor. Demikian pula tinggi gumba yang semula 170 cm, menjadi hanya 145 cm pada sapi bali (Prefer & Sinaga, 1964; Oka, 1991 dalam Gunawan, dkk., 2004). Taksonomi sapi bali termasuk Ordo:

Artiodactyla, Kelas: Ruminansia, Family: Bovidae, Genus: Bos dan Species:

Javanicus (Berata, 2008).

Sapi Bali, yang sering disebut “Balinese Cow”, memiliki berbagai keunggulan, sangat menarik dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006). Secara umum ciri sapi bali adalah: warna bulu kuning kemerah-merahan atau merah bata, pendek, halus dan licin sejak lahir. Memiliki bulu berwarna hitam pada pungung yang membentuk garis dari punggung hingga ke pangkal ekor, sehingga sering disebut garis punggung. Ciri yang paling khas adalah cermin atau mirror yaitu bulu berwarna putih pada pantat dan di bawah lutut. Warna putih pada lutut ke bawah, menyebabkan sapi bali sering disebut sapi yang selalu menggunakan “kaos kaki”.

Ciri lainnya adalah warna bulu telinga putih, bulu ekor hitam, moncong kehitam-hitaman, tidak berpunuk. Warna bulu sapi bali yang jantan, akan berubah dari merah bata sebelum dewasa (Gambar 2.1) menjadi hitam, ketika sudah mulai dewasa kelamin, sekitar umur 12-18 bulan (Gambar 2.2). Perubahan warna bulu tersebut terjadi secara perlahan, mulai dari kepala menuju ke pangkal ekor sampai pada


(21)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 7 akhirnya seluruh bulu berwarna hitam pekat, kecuali warna bulu bagian pantat, lutut ke bawah dan telinga.

Gambar 2.1. Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa kelamin

Gambar 2.2. Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin

Warna hitam pada sapi jantan akan berubah kembali menjadi merah, secara perlahan mulai dari pangkal ekor menuju ke arah kepala, apabila sapi tersebut di kastrasi. Namun sekarang sangat jarang peternak melakukan kastrasi, karena nampaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Hal tersebut dapat dimengerti karena setelah dikastrasi, kemungkinan besar akan mengalami stress, sehingga mempengaruhi nafsu makan ternak, yang pada akhirnya akan berdampak pada laju pertumbuhan ternak. Dengan demikian nampak jelas bahwa perubahan warna bulu pada sapi bali jantan memiliki hubungan yang erat dengan sistem hormonal sapi bali, khususnya karena tidak diproduksinya hormon testosteron, hormon yang berhubungan dengan reproduksi ternak, yang dihasilkan oleh testis (Haryana, 1989). Sedangkan warna merah bata sapi bali betina tidak mengalami perubahan (warna konstan) selama hidupnya.

Warna tersebut merupakan warna standar sapi bali (Oka, 2006), yang tidak akan pernah berubah sejak lahir sampai mati (Gambar 2.3 & 2.4). Selanjutnya pemerintah dalam rangka pelestarian kemurnian sapi bali, menetapkan warna standar sapi bali antara lain (Gunawan, dkk., 2004): (1) Warna putih pada kedua paha belakang; (2) Warna putih pada persendian loncat dari keempat kaki; (3) Garis hitam pada jalur garis punggung dan (4) Warna hitam di bagian ujung ekor. Pada kasus tertentu juga terdapat warna sapi bali yang tidak standar, antara lain: (1) Sapi Injin

yaitu sapi baik jantan maupun betina sejak lahir, hingga dewasa berwarna hitam, dan sifat tersebut menurun secara dominan; (2) Sapi poleng, yaitu sapi yang lahir ada


(22)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 8 kelainan pada ekor dengan warna, bercak-bercak putih, juga menurun secara dominan; (3) Sapi cundang, yaitu sapi yang sejak lahir memiliki gugusan warna putih pada bagian muka, yang bersifat dominan; (4) Sapi putih (albino) sering disebut sapi bule, yaitu sapi yang lahir hingga dewasa berwarna putih (albino), bersifat resesif; (5) Sapi

gading, yaitu sapi yang sejak lahir hingga dewasa memiliki warna bulu dan kulit yang putih pada bagian moncongnya. Sifat-sifat sapi gading menurun secara resesif; (6) Sapi panjut, yaitu sapi yang sejak lahir, ujung bulu ekornya berwarna putih, namun sifat tersebut tidak menurun; dan (7) Sapi tul-tul yaitu sapi yang sejak lahir berwarna tul-tul atau abu-abu, dan sifat inipun juga tidak menurun.

Gambar 2.3. Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata

Gambar 2.4. Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata

2.2. Keunggulan Sapi Bali

Sapi Bali lebih unggul dibandingkan dengan sapi lainnya, dalam berbagai hal seperti:

1. Angka kelahiran antara (40-85)%, yang ditunjang dengan calving interval yang relative cepat (379 hari), serta kemampuan menghasilkan embrio (super ovulasi) antara 7-14 buah, sehingga melalui embryo transfer seekor sapi jantan dapat menghasilkan keturunan sebanyak 30 ekor per tahun, sehingga populasi sapi Bali dapat berkembang dengan cepat (Gunawan, dkk., 2004).

2. Induk Sapi Bali memiliki kesuburan yang tinggi antara (82-86)%, terbukti bahwa sapi Bali yang dikirim puluhan tahun lalu ke NTT, NTB dan Sulawesi Selatan dapat berkembang pesat, bahkan populasinya di daerah tersebut melebihi populasi sapi Bali di Bali.


(23)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 9 3. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkunggan (heat tolerance) yang besar karena memiliki tata lintas air yang kecil dengan daya simpan air yang besar, sehingga daya tahan tubuh menjadi sangat tinggi, tahan terhadap cekaman cuaca panas. 4. Daya cerna unsur N (nitrogen) yang tinggi terutama dalam hijauan bergizi rendah,

karena memiliki kadar urea darah yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Sapi Bali juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam mencerna pakan berserat kasar tinggi.

5. Memiliki persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan rasa daging yang lembut dan gurih, karena kadungan lemak dalam dagingnya relative rendah antara 2-6,9%.

Sapi Bali mampu menghasilkan daging dengan kualitas “Prime Karkas” yaitu

karkas yang berkualitas prima (Gunawan, 2004).

6. Sebagai ternak kerja, khususnya di bidang pertanian, yang digunakan untuk mengolah lahan sawah maupun lahan kering. Penggunaan sapi Bali sebagai tenagan kerja mengolah lahan umumnya digunakan secara berpasangan dan untuk satu ha lahan tegalan diperlukan waktu sekitar 4 hari. Penggunaan sapi Bali sebagai tenaga pengolah lahan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembalian tenaga kerja, sehingga menjadi lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan tenaga kerja manusia. Selain digunakan mengolah lahan pertanian, di beberapa tempat sapi bali juga sering digunakan untuk menarik gerobak untuk mengangkut hasil pertanian ataupun barang lainnya. Namun dengan perkembangan alat transportasi masa kini, maka penggunaann sapi Bali sebagai tenaga kerja pengangkut barang mulai berkurang.

7. Sebagai “Pabrik Hidup” atau “Bio-Factory” untuk menghasilkan pupuk organik (Wiguna & Inggriati, 2007). Tidak ada duanya di dunia, bahwa ternak termasuk ternak sapi merupakan pabrik hidup dari pupuk organik, karena mampu memproses bahan organik dalam waktu yang ralatif singkat, kurang dari 24 jam menjadi pupuk organik atau setidaknya menjadi bahan pupuk organik yang berkualitas tinggi. Selain itu ternak sebagai penghasil pupuk organik, juga tidak mengenal hari libur apapun, untuk tetap selalu berproduksi. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lainnya sebagai penghasil pupuk organik, adalah karena kemampuannya mengolah bahan organik berkualitas rendah menjadi sumber pakan sekaligus sebagai sumber bahan baku pupuk organik. Keunggulan lainnya


(24)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 10 dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan, terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10% dari bobot badannya per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup lengkap (Wiguna, dkk., 2007). Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan petani mengandung N-NO3 berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH3 antara 68,38

dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K+ berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea. Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl.

2.3. Kelemahan Sapi Bali

Perkembangan ambing sapi betina relatif kurang baik. Mungkin hal tersebut yang menyebabkan sapi Bali bukan sebagai sapi tipe perah atau sapi penghasil susu yang baik. Produksi susu sapi Bali berkisar antara 0,9-2,8 kg per hari, sehingga dapat menyebabkan pedet akan kekurangan air susu, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, terutama kelahiran pada musim kering (Soehaji, 1991), atau setidaknya akan dapat mengganggu pertumbuhan pedet. Kelemahan lain sapi Bali adalah sifat atau prilaku agresif dari sapi jantan, yang dapat membahayakan. Karena prilaku tersebut terkadang dapat menyebabkan kecelakaan bagi peternak, maupun orang lain, seperti ditanduk, ditendang, yang terkadang dapat menyebabkan kematian. Agresifitas sapi Bali, berkaitan dengan hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig testis sapi jantan dewasa, karena semakin tinggi hormon testosteron yang dihasilkan maka keagresifan sapi Bali akan semakin tinggi (Sayang Yupardi, 2009).


(25)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 11 Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah.

Serangan penyakit cacing hati (Faciola gigantica) merupakan salah satu kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan (Sweta, 1982). Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin, akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi (Hartiningsih, 2006). Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan baik jika berdampingan dengan domba.

2.4. Pengertian Sapi Betina Produktif

Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, bahwa yang dimaksud dengan sapi betina produktif adalah ternak sapi yang melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah delapan tahun. Undang Undang tersebut juga mengatur mengenai pelarangan terhadap pemotongan sapi betina produktif. Apabila hal tersebut dilanggar, maka ada sangsi dari yang paling ringan yaitu peringatan tertulis, sampai yang terberat yaitu paling sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan paling banyak 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Ketentuan pelarangan tersebut tidak berlaku apabila ternak betina memiliki kondisi seperti berikut: 1) Berumur lebih dari delapan tahun atau sudah beranak lebih dari lima kali; 2) Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten control teknik reproduksi di bawah penyeliaan dokter hewan; 3) Mengalami kecelakaan yang berat; 4) Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis dan dapat menurun pada keturunannya, sehingga tidak baik untuk ternak bibit; 5) Menderita penyakit menular yang menurut dokter hewan pemerintah harus dibunuh atau dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran penyakitnya,


(26)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 12 atau menderita penyakit yang dapat mengancam jiwa ternak sapi tersebut; 6) Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali).

Pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya untuk mencegah menurunnya populasi ternak sapi, yang dapat mengancam kelestarian sumber bibit sapi. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang dihandalkan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, sehingga pelarangan terhadap pemotongan sapi betina produktif merupakan hal yang sangat penting. Terkait dengan hal tersebut maka pengetahuan pelaku tentang dampak pemotongan sapi betina produktif sangat dibutuhkan agar dapat mentaati pelarangan tersebut.

Secara teoritis Bestable dalam Muchlisin (2013) menyatakan, bahwa pengetahuan adalah hasil dari ranah yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa. Sebagian besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengertian lainnya tentang pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Ahli lain mengatakan pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang karena adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan tersebut meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, kaidah, dan pikiran (Adlany, 2014). Lebih jauh Adlany (2014) juga mengemukakan bahwa dalam pengetahuan terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain: (1) Aspek yang diperoleh, yaitu pengetahuan yang mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemikiran, dan kaidah-kaidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi kehidupan; (2) Aspek realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah, dan perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus fenomena yang beragam, kemudian ia membandingkan fenomena tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atas fenomena tersebut, selanjutnya menyiapkan diri untuk mendapatkan pengetahuan baru yang lebih global.


(27)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 13 Wikipedea (2014), secara lebih rinci dikemukakan tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, seperti pendidikan, media dan informasi. Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang karena pendidikan mampu mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, serta pendidikan juga mampu mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selanjutnya peran media dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang terletak pada jangkauan media seperti televisi, radio, surat kabar yang demikian luas, serta peran media dalam mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa. Selanjutnya peran informasi dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang, terletak pada peran informasi sebagai sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Mengacu pada berbagai definisi tentang pengetahuan, maka pengetahuan pelaku pemotongan sapi betina produktif adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran atau jiwa seorang petenak sapi, yang berkaitan dengan adanya pemotongan sapi betina produktif sebagai bentuk interaksi seorang peternak dengan lingkungan sekitarnya.

2.5. Dampak Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif.

Kondisi ekonomi peternak dalam penelitian ini adalah bagaimana cara peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi keluarga seperti kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, dan untuk anak sekolah, dapat mendorong peternak untuk menjual komuditi yang dimilikinya, termasuk ternak sapi. Kebutuhan yang mendesak dapat menyebabkab peternak harus menjual tenak sapinya, walaupun kondisi sapi tersebut sedang bunting atau masih produktif. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Inggriati (2014) bahwa, faktor ekonomi keluarga berhubungan positif dengan perilaku peternak dalam menerapkan teknis dan manajemen produksi sapi bali perbibitan. Hal tersebut berarti bahwa semakin banyak kebutuhan ekonomi keluarga, maka peternak akan beternak sapi semakin banyak dengan tujuan untuk sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

2.6. Kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktive

Kebijakan pemerintah yang mendukung keberhasilan usaha ternak sapi bali perbibitan, seperti penyediaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan


(28)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 14 penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan Ditjen Peternakan (2010). Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak (Herzberg dalam Sudrajat, 2008).

Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS).

Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi.

2.7. Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif

Kebutuhan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, serta meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai breed juga semakin meningkat. Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa selama Juli-Agustus 2013, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi yang dipotong di 20 buah RPH di Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat beberapa jenis sapi lokal yang dipotong di RPH antara lain: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Jawa/Peranakan Ongole (PO), Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan


(29)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 15 Lokal dengan Brahman dan Angus (Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental (SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC (Australia Commercial Cross).

Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. (2013) juga mendapatkan bahwa sapi yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas 73,59% sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41% sapi impor (2.874 ekor). Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08% dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Sapi betina yang dipotong tersebut sebanyak 65,29% (1.623 ekor) memiliki bobot antara 117 kg–354 kg dengan umur kurang dari 4 tahun.

Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), bahwa angka pemotongan sapi betina produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65% atau lebih tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28%. Lebih jauh ditegaskan bahwa dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif.

Suardana, dkk. (2013) juga menyatakan hal yang senada bahwa persentase sapi Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif yakni dengan rincian: umur 0-1 tahun (9,45%), umur 1,5-2 tahun (16,92%), umur 2-2,5 tahun (26,87%), umur 3-3,5 tahun (10,91%), umur 3,5-4 tahun (26,87%) dan umur > 4 tahun (1%). Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh Suardana, dkk. (2013) di RPH Mambal, bahwa persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49% dengan rincian: umur 0-1 tahun (13,3%), umur 1,5-2 tahun (15,27%), umur 2-2,5 tahun (11,33%), umur 3-3,5 tahun (8,87%) dan umur 3,5-4 tahun (18,72 %). Dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%) berjenis kelamin jantan.


(30)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 16 Wiji Nurhayat (2012) dalam detik.com (12 Nopember 2012) juga mengemukakan bahwa sebanyak 30% sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI) alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina produktif. Sebanyak 30% dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta. Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur, karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60%. Sebelumnya Menurut Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor.

Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia.

2.8. Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif

Puskeswan Padang Panjang (2011) yang menyatakan bahwa adalah sebuah fakta, pemotongan sapi betina produktif paling sering terjadi pada pelaksanaan Qurban setiap tahunnya. Pada tahun 2010 tercatat pemotongan hewan qurban di Kota Padang Panjang berjumlah 632 ekor dan 80% di antarnya adalah sapi betina produktif.

Sedangkan faktor eksternal peternak antara lain: (a) pertumbuhan sapi yang lambat; (b) sapi majir (tidak mau birahi/bunting); (c) sapi sering sakit; (d) sapi cacat fisik; (e) kesempatan karena harga sapi sedang mahal; dan (f) adanya dorongan pedagang sapi (broker). Dua alasan eksternal terakhir (kesempatan karena harga sapi sedang mahal dan adanya dorongan pedagang sapi (broker), nampaknya sangat berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan daging sapi di pasaran. Sejalan dengan pernyataan Abud selaku ketua APPHI dalam detik.com (2012), bahwa meningkatnya kelangkaan daging sapi, untuk memenuhi kuota kebutuhan daging, mau tidak mau pihak penyedia daging memotong sapi betina sebagai alternatif.


(31)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 17 Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian (2011) yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian (2011) menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang

skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat

dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar dalam pemotongan sapi betina produktif.

Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2010) juga mengemukakan hal yang senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak. Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan.

2.9. Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemotongan sapi betina produktif di Indonesia akan menyebabkan berbagai kerugian. Sebagai ilustrasi dampak akhir dari pomotongan sapi betina produktif adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Namun apabila diteruskan maka tidak tertutup kemungkinannya akan menyebabkan rendahnya prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional (Gambar2.5). Dari Gambar 2.5 nampak bahwa setidaknya terdapat dua dampak utama


(32)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 18 sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: (1) Dampak Non Ekonomi dan (2) Dampak Ekonomi.

Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik, 2015)

2.10. Dampak Non Ekonomi.

Berdasarkan Gambar 2.5 dapat diketahui bahwa dampak non ekonomi yang terjadi sebagai akibat pemotongan betina produktif adalah berkurangnya angka kelahiran ternak sapi. Dapat dipahami dengan baik bahwa setiap ekor sapi setidaknya akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor pada umur produktif 8 tahun. Berkurangnya kelahiran pedet, akan menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Buyung Syahyuti (2012) menyatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi kenyataan pengurasan ternak sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong yakni NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di Sumatera. Data BPS (2007) dalam Buyung Syahyuti (2012) memperlihatkan bahwa dalam periode 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal dengan laju 1,1 persen per tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari pengurasan yang terjadi pada wilayah sentra produksi Jatim, NTB dan Lampung dengan laju penurunan populasi masing-masing 2,8%; 0,3% dan 0,8%. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi antara


(33)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 19 tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004%; 2% dan 0,25% dan Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1% per tahun termasuk kematian dan pemotongan.

Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi, sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara (2010) menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun 2020 (Bagus Fitriansyah, 2011).

Rendahnya konsumsi daging di Indonesia menyebabkan rendahnya konsumsi protein hewani. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Antara (2012) menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi protein masyarakat Indonesia menyebabkan banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan negara Asia lain. Minarto dalam Kompas (2012) mengatakan, angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100 persen. Gambar 2.5 juga menunjukan bahwa rendahnya konsumsi protein penduduk Indonesia, menyebabkan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia juga rendah. Hal tersebut ditandai dengan rendahnya Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat Indonesia, yang berada pada posisi ke 137 dari 223 negara di dunia (berdasarkan kesatuan) atau pada urutan ke 108 dari 191 negara di dunia (berdasarkan urutan PBB), dengan tingkat UHH 70,76 tahun (World Factbook, 2011). Posisi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapore, Philipina dan lainnya.


(34)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 20 Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali. Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh pendek dan gizi kurang menjadi tinggi (Minarto, 2012). Data Unicef tahun 2009, menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen), Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen). Minarto (2012) mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun 2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi.

Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap kematian sapi produktif umur 3 tahun (saat dikawinkan pertama kali). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya (8 tahun) juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali (umur 8 tahun), maka anak pertama dari seekor induk juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke-3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun (ilustrasi Tabel 1.1).

Berdasarkan peluang kelahiran, maka akan terdapat 50% sapi yang lahir adalah betina dan 50% lainnya adalah jantan. Melalui asumsi sederhana dari 62 ekor sapi yang lahir akan terdapat 31 ekor sapi jantan dan 31 ekor sapi betina. Dengan tingkat mortalitas sebesar 4%, maka sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor (masing-masing 30 ekor jantan dan 30 ekor betina). Apabila seekor sapi jantan dipotong dengan berat


(35)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 21 badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali mampu menghasilkan 53% karkas (Maria, dkk., 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan 4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi betina yang telah berusia tidak produktif (lebih dari 8 tahun) juga dapat menyediakan daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong.

Tabel 1.1

Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun

Apabila seekor sapi induk yang telah tidak produktif di potong akan menghasilkan daging atau karkas yang jumlahnya juga sama dengan sapi jantan yaitu 4.770 kg. Dengan demikian pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan kehilangan sebanyak 9.740 kg karkas. Apabila konsumsi daging sapin masyarakat Indonesia yang diprediksi sebesar 3,72 kg/kapita/tahun (Bagus Fitriansyah, 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi betina produktif akan menghilangkan peluang atau kesempatan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging sapi sebanyak 2.565 orang selama 16 tahun atau 160 orang setiap tahun. Padahal kenyataan yang ada saat ini konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia hanya 2,72 kg per kapita per tahun, sehingga akan lebih banyak lagi hilangnya peluang masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi daging sapi, sebagai akibat pemotongan seekor sapi betina produktif. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas suberdaya manusia Indonesia.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 JML. SAPI 30 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4 Lahir Tumbuh Kawin I II III 3 JML. SAPI 22 Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4 Lahir Tumbuh Kawin I II III 3 Lahir Tumbuh Kawin I II 2 Lahir Tumbuh Kawin I 1 Lahir Tumbuh Kawin -JML. SAPI 10 TOTAL SAPI 62 Jml. Sapi Lahir (Ekor) Fase TAHUN KE Melahirkan ke


(36)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 22

2.11. Kerugian Ekonomi

Pemotongan sapi betina produktif diyakini akan menurunkan populasi sapi, yang pada akhirnya akan menurunkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa. Melalui perhitungan sederhana yang ditunjukan dalam Tabel 2, bahwa setiap pemotongan sapi betina produktif akan menghilangkan peluang kelahiran sebanyak 62 ekor sapi. Dengan tingkat mortalitas (kematian) sebesar 4% maka peluang sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor. Secara genetik peluang kelahiran berdasarkan jenis kelamin adalah 50% jantan dan 50% betina. Sejalan dengan Berry dan Cromie, (2007) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010) bahwa jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat fertilisasi hanya ada kombinasi antara satu gamet maternal dan dua gamet paternal yang menghasilkan kemungkinan 50% jantan dan 50% betina (Krzyzaniak dan Hafez, 1987) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010). Sedangkan hasil penelitian Gatot Prasojo, dkk. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan jumlah kelahiran sebanyak 799 ekor, ternyata pedet jantan sejumlah 445 (55,69%) ekor lebih banyak dibandingkan dengan pedet betina yaitu 354 (44,30%).

Mengacu pada peluang tersebut maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menghilangkan peluang lahirnya 30 ekor sapi betina dan 30 ekor sapi jantan dalam kurun waktu 16 tahun. Berdasarkan perhitungan sederhana seperti Tabel 1.2, maka diketahui bahwa setiap pemotongan seekor sapi betina produksi akan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp.461.280.000,- dalam kurun waktu 16 tahun atau sebesar Rp.28.830.000,- setiap tahun.

Mengacu pada laporan Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013) bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor, maka tingkat kerugian yang ditimbulkan akan mencapai antara 4,3 – 5,7 Trilyun Rupiah lebih. Suatu tingkat kerugian secara langsung yang sangat tinggi. Di Provinsi Bali, data pemotongan sapi betina produktif dilaporkan oleh Suardana, dkk. (2013) dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terdapat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%)


(37)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 23 berjenis kelamin jantan. Selanjutnya dari 201 ekor sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran terdapat 200 ekor (99,0%) masih produktif. Sedangkan di RPH Mambal sebanyak 157 ekor (67,49%) adalah betina produktif yang berumur kurang dari 4 tahun.

Tabel 1.2

Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina produktif di Indonesia

Peluang kelahiran Ekor Harga (Rp)

Per ekor Total Harga

1 50% Jantan 30 5.000.000 148.800.000

2 50% Betina 30 10.500.000 312.480.000

Kerugian dalam 16 tahun dari serkor Induk 461.280.000 Kerugian per tahun sari seekor induk 28.830.000 Secara Nasional Pemotongan per tahun (ekor)

150.000 4.324.500.000.000 200.000 5.766.000.000.000

Keterangan: *) dalam waktu 16 tahun setelah seekor sapi betina produktif dipotong

Mengacu pada data pemotongan sapi tersebut maka rataan pemotongan sapi betina produktif di Bali mencapai 83,25% dari total sapi betina yang dipotong. Selanjutnya data pemotongan sapi di Bali pada tahun 2014 menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2015) adalah sebanyak 18.004 ekor. Berdasarkan angka tersebut maka tingkat pemotongan betina produktif adalah sebanyak 83,25% dari 18.004 ekor atau 14.987 ekor pada tahun 2014. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 432 Milayard Rupiah pada tahun 2014. Sejumlah kerugian yang tidak kecil, yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.

Kerugian ekonomi lainnya sebagai dampak pemotongan sapi betina produktif adalah meningkatnya import sapi hidup maupun daging sapi, yang sudah pasti memerlukan sejumlah devisa negara. Buyung Syahyudi (2011) menganalis impor sapi dan daging sapi seperti ditunjukan dalam Gambar 2.6. Dari Gambar 2.6 tersebut nampak bahwa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 ada kecenderungan meningkatnya import sapi dan daging sapi.


(38)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 24 Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011)

Selanjutnya Rofi Munawar kepada merdeka.com di Jakarta, Sabtu (29 Nopember 2014), mengemukakan bahwa impor sapi yang mencapai 700.000 ekor pada tahun 2014 akan menguras devisa negara sebesar Rp 4,8 triliun hingga Rp 5 triliun. Dana tersebut, apabila dialihkan untuk pengembangan sapi lokal akan sangat bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional. Selain itu penggunaan devisa negara untuk mengimpor sapi dan atau daging sapi, dapat menyebabkan meningkatnya hutang negara dan terganggunya pembiayaan sektor lainnya. Dampak lain yang tegolong dalam dampak ekonomi adalah menurunnya harga sapi lokal karena kalah bersaing dengan sapi import, serta berkurangnya pendapatan peternak, yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah pasti akan membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil. Sangat ironis karena di lain pihak pendapatan negara akan berkurang sebagai dampak kerugian karena pemotongan betina produktif.

Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pemotongan yang setiap tahun mencapai 200 ribu ekor diperlukan dana sekitar Rp1,4 triliun. Namun, kemampuan dana pemerintah saat itu hanya sekitar Rp.350 miliar sehingga masih jauh kebutuhan . Apabila harga seekor sapi betina rata-rata Rp.7 juta, meka pemerintah hanya mampu menyelamatkan 50.000 ekor sehingga masih jauh dari target 200 ribu ekor. Danny Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), Untuk menanggulangi hal ini, butuh kerja sama semua pihak terutama


(39)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 25 pemangku kepentingan yang berhubungan dengan peternakan, sehingga tidak saling menunggu bahkan melempar tanggung jawab. Peluang kerugian lainnya adalah terjadinya penularaan penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat petani peternak mencapai nilai 5,5 persen dari produktivitas ternak yang ekuivalen dengan Rp 100 miliar, setiap tahun (Bisnis Bali, 2015).


(40)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 26

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1. Waktu Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember 2015.

3.1.2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem dan Kota Denpasar.

3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun.

Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang dipotong, setiap hari di setiap lokasi (RPH dan TPH). Jumlah sapi yang dipotong akan dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder (Laporan pemotongan sapi) oleh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota maka akan diketahui jumlah sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap kabupaten/kota di Bali.

3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Untuk menganalisis dan mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, akan dilakukan pengumpulan data melalui


(41)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 27 survey dan Focus Group Discussion (FGD), terhadap: (1) peternak yang terindikasi pernah menjual sapi bentina productif; (2) tukang potong (jagal) baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktor-faktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif.

3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual sapi betina produktif dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda (Rumus 1) akan diketahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan.

Y = a + b1X1 + b2X2+ …….bnXn ………. Rumus 1

Y = variabel terikat (dependent variable) adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi bali betina productive.

a = konstanta b1, b2 = koefisien regresi

X1…X4 = variabel bebas (independent variable), antara lain: (1) pendidikan

peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan

beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam

memelihara sapi bibit (X4).

Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang dipengaruhi oleh berbagai factor bebas (independent variable). Variable terikat (Y) dalam penelitian ini adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan variable bebas (X1….. X4), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman

beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah

dalam memelihara sapi bibit (X4). Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang


(42)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 28 di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak responden dilakukan secara kuota teracak (quota random sampling). Selanjutnya data peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah disiapkan sebelumnya.

Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari

“jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat Kabupaten/Kota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dikumpulkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut antara lain meliputi: (1) jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh jagal; (2) factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina produktif; (3) upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi betina produktif; dan (4) pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41 tahun 2014.

Tabel 1.3.

Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali

No Kabupaten/Kota Peternak Jagal atau RPH

Resmi*) Tidak Resmi*)

1 Buleleng 10 Sensus Sensus

2 Jembrana 10 Sensus Sensus

3 Tabanan 10 Sensus Sensus

4 Badung 10 Sensus Sensus

5 Gianyar 10 Sensus Sensus

6 Bangli 10 Sensus Sensus

7 Klungkung 10 Sensus Sensus

8 Karangasem 10 Sensus Sensus

9 Denpasar 10 Sensus Sensus

Total 90

Keterangan:

*) Seluruh lokasi pemotongan sapi akan di survai (sensus) dan diwakili oleh seorang responden


(1)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 65 V. SIMPULAN dan SARAN

5.1. Simpulan

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Balil, menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor. 2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. a. Faktor Peternak:

i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli (saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali.

ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif.

iii. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.


(2)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 66 3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali, belum efektif. 5.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian antara lain:

1) Merevisi Undang-Undang No 41 tahun 2014, dengan memasukan sapi bali betina usia produktif, namun dipercaya peternak kurang mengguntungkan (local wisdom), karena adanya kelainan tertentu. 2) Mengembangkan sebuah model kelembagaan yang dikaitkan dengan

usaha peternakan sapi bibit, sehingga mampu secara langsung mengatasi masalah ekonomi peternak.

3) Mengembalikan budaya pengolahan lahan sawah dengan sapi.

4) Mengembangkan sebuah model peternakan sapi bibit yang mampu menarik minat generasi muda untuk beternak sapi bibit.

5) Memberlakukan Undang-Undang dan peraturan tentang penyelamatan sapi betina produktif secara tegas.

6) Sosilisasi kepada peternak, jagal dan saudagar tentang penyelamatan sapi betina produkif, sesuai dengan UU dan Peraturan yang berlaku.

7) Mengembangkan teknologi untuk memacu pertumbuhan sapi betina, teknologi untuk mengatasi sapi majir, teknologi mengurangi prosentase lemak sapi betina afkir.


(3)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 67 VI. DAFTAR PUSTAKA

Adlany. 2014. Definisi Pengetahuan. http://www.alhassanain.com/indonesian/ articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/definisi_pengetahuan/001 .html. Diunduh 15 Peb 2014

Alton. 1823 dalam Berata, JK. 2008. “Sapi Bali: palsma Nutfah yang Terancam”. Wahana No. 62 Tahun XXIV-Agustus 2008.

Anon. 2013. Pentingnya Dukungan Infrastruktur dalam Program Swasembada Daging http://beritadaerah.co.id/2013/11/18/pentingnya-dukungan-infrastruktur-dalam-program-swasembada-daging/

Anon. 2015. Gubernur Pastika Berang Dikibuli Simantri. http://bali.bisnis.com/read/ 20150423/15/51162/gubernur-pastika-berang-dikibuli-simantri

Asosiasi Peternak Sapi Kerbau Indonesia (APSKI) mengkhawatirkan. 2015. http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/13/ 08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-kembali-resah Buyung Syahyudi. 2015. Populasi Sapi di Indonesia. https://plus.google.com/

115419385625597755980/posts

Badan Litbang Pertanian (2011) Edisi 30 Maret - 5 April 2011 No.3399 Tahun XLI Agroinovasi

Bambang Soejosopoetro (2011) Studi Tentang Pemotongan Sapi Betina Produktif Di RPH Malang. Jurnal Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011

Bagus Fitriansyah. 2011. Statistik Produksi dan Konsumsi Daging di Indonesia Serta Peluang Usaha. Http://BeEf.Blogspot.Com/2011/02/StatistikProduksi -Dan-Konsumsi-Daging.Html

Bisnis Bali, 2015. Pemotongan Sapi Produktif NTT Lebih Nasional http://bali.bisnis.com/read/20150503/15/51390/pemotongan-sapi-produktif-ntt-lebih-nasional

Dedet Zelth. 2013. Pengertian, Tujuan Dan Fungsi Perencanaan http://dedetzelth. blogspot.co.id/2013/02/pengertian-tujuan-dan-fungsi-perencanaan.html Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi

Betina Produktif Tahun 2010. Kementerian Pertanian RI. Http:// Ednadisnak.Blogspot.Com/2011/05/Pedoman-Pelaksanaan-Penyelamatan-Sapi.Html (Unduh 13 Agust 2015)

Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian


(4)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 68 Gerungan, W, A. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco

Gunawan, Dicky Pamungkas dan Lukma Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi dan Nilai Eknomi. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cet. 6.

Gatot Prasojo, Iis Arifiantini dan Kusdiantoro Mohamad. 2011. Korelasi Antara Lama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 41-45. ISSN : 1411 – 8327.4.

Herdaru Purnomo. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar. http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/ 2517461 /4/negara-dengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar

Haryana, R. 1989. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Sapi Bali Jantan Muda. Disertasi. Program Doktor, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 1989 Hartiningsih, N. 2006. Pengembangan Penelitian Penyakit Jembrana. Vaksin

Rekombinan sebagai kandidat Vaksin untuk Pencegahan Penyakit Jembrana pada sapi Bali’. Lab. Bioteknologi. BPPV Regional VI

Inggriati, T, NW. 2014. “Perilaku Peternak Sapi Bali Perbibitan dalam Sistem Penyuluhan di Bali” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Masudana, IW. 1990. Perkembangan Sapi Bali dalam Sepuluh Tahun Terakhir (1980-1990). Seminar Nasional Sapi Bali, FAPET UNUD, Denpasar, Bali.

Oka, IGL. 2006. “Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Sebagai Asset Tenak Nasional”. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV., Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Maria Yosita, Undang Santosa, Endang Yuni Setyowati. 2011. Persentase Karkas, Tebal Lemak Punggung dan Indeks Perdagingan, Sapi Bali, Peranakan Ongole dan Australian Commercial Cross. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Sumedang

Muchlisin, R. 2013. Pengertian, Tingkatan dan Cara Memperoleh Pengetahuan. http://www.kajianpustaka.com/2013/05/pengertian-tingkatan-dan-cara.html. Diunduh 15 Peb 2014.

Nugraha Setiawan. (“tt”). Perkembangan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia: Analisis Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional 2002-2005. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran


(5)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 69 Puskeswan Padang Panjang. 2011. Pemotongan Sapi Betina Produktif pada saat Qurban. http://www.puskeswanpadangpanjang.com/2011/10/pemotongan -sapi-betina-produktif-pada.html

Republika. 2013. Populasi Ternak \Merosot, Peternak Indonesia Kembali Resah.

http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia- network/13/08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-kembali-resah

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah. 2013. Pemotongan Sapi Betina Umur Produktif dan Kondisi RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Workshop Nasional: Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal Fakultas Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013

Rofi Munawar. 2014. Impor Sapi Australia Bakalan Rusak Swasembada Pangan Jokowi. Merdeka.com (29 November 2014. http://www.merdeka.

com/uang/impor-sapi-bakalan-australia-rusak-swasembada-pangan-jokowi.html

Soehaji, H. 1991. “Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia”. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali, 2-3 September 1991. Fak. Peternakan, UNHAS, Ujung Pandang. Pp.1-32.

Sayang Yupardi. 2009. Sapi Bali: Mutiara dari Bali. Udayana Universty Press. Kampus Universitas Udayana, Sudirman, Denpasar, Bali.

Sweta, IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh cacing hati pada sapi Bali sebagai implikasi dan lingkungan hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali. Disertasi Univ. Pajajaran, Bandung

Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina Aksara

Suharto. 2006. Manajemen Agribisnis dan Teknmologi Pengolahan Limbah Ternak Sapi Bali. Limbah Hijau M Sehari Multifarm-Research Station, Solo, Indonesia. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV., Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.

Sudrajat, A. 2008.Teori-Teori Motivasi.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/06/teori-teori-motivasi/ (diunduh 8 Oktober 2012)

Suwono. 2011. http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php? module= detailberita&kid=10&id=31865

Syahyuti. 2010. Pupulasi Sapi Nasional. Data dan Fakta Daging. https://plus. google. com/115419385625597755980/posts


(6)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 70 Suardana, I Made Sukada1, I Ketut Suada1, Dyah Ayu Widiasih2. 2013. Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah. Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. Jurnal Sain Veteriner. ISSN : 0126 – 0421. JSV 31 (1), Juli 2013

Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009. Tentang: Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Wiguna A.A. & Tatik Inggriati. 2007. Pengembangan Agribisnis Pengolahan Pakan & Limbah Peternakan di Kabupaten Tabanan. Laporan Akhir

Wiguna A.A dkk. 2007. Trasformasi Inovasi Teknologi Pertanian pada Ekosistem Subak di Bali. Laporan Hasil Pengkajian, Kasus Subak Wangaya Betan, Mengesta, Penebel Tabanan, Bali.

Wikipedia the free encyclopedia ”t.t”. Agricultural Extension.http://en.

wikipedia.org/wiki/Agricultural extention.Diunduh tanggal 14 Pebruari 2012.

World Factbook, 2011. Wikipedia. Daftar Negara Menurut Angka Harapan Hidup https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_angka_harapan_hidup