Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

Laporan Akhir KKP3SL-2015 61 13 Diharapkan dari pihak petani peternak untuk tidak menjual sapinya yang masih produktif ke penjagal atau kesaudagar sapi, tetapi diusahakan terlebih dulu pada petani ternak. 14 Diharapkan pemerintah membuat Asosiasi Jagal se Bali agar standar harga daging sapi stabil.

4.9. Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali. Mekanisme terjadinya pemotongan ternak sapi di RPH, ditunjukan dalam Gambar 4.14. Dari Gambar 4.14 nampak bahwa setidaknya terdapat tiga jalur agar ternak sampai di tangan jagal, antara lain: 1 peternak langsung menjual sapi kepada jagal; 2 peternak menjual sapi kepada saudagar, kemudian saudagar menjual kepada jagal; dan 3 peternak menjual sapi ke pasar hewan, kemudian bisa langsung dibeli oleh jagal atau dibeli oleh saudagar, kemudian saudagar menjualnya ke jagal. Selanjutnya jagal akan menempatkan ternak sapi yang mau dipotong di kandang yang disediakan oleh RPH. Petugas atau penangguangjawab RPH akan memeriksa sapi secara ante mortem. Terdapat dua rekomedasi hasil pemeriksaan yaitu: 1 Sapi layak dipotong atau 2 sapi ditolak untuk dipotong, dengan beberapa alas an, antara lain: sapi betina produktif, sapi bunting, sapi sakit menular. Berdasarkan pengakuan petugas RPH di seluruh kabupaten, bahwa pemeriksaan ante mortem selalu dilakukan, namun tidak pernah ada sapi yang ditolak untuk dipotong, kecuali untuk RPH Mambal di Kabupaten Badung. Sekalipun direkomendasikan untuk tidak dipotong, namun jika tetap dipotong oleh jagal, maka petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti yang terjadi di RPH Mambal dari 193 sapi betina produktif yang ditolak untuk dipotong, ternyata 10 ekor di antaranya tetap dipotong. Berdasarkan UU No 18 tahun 2009 yang direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014, sapi betina produktif yang ditolak dipotong hendaknya dibeli oleh pemerintah dan dipelihara oleh pemerintah. Kenyataan di lapangan hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali, belum pernah menyediakan dana talangan untuk membeli sapi betina productive hasil pemeriksaan petugas RPH. Kondisi tersebut juga menyebabkan kurang taatnya para jagal terhadap UU dan atau pertauran tentang penyelamatan sapi betina productive. Sapi yang telah dipotong, juga dilakukan pemeriksaan post mortem, untuk mengetahui kondisi bagian dalam dari seluruh ternak yang dipotong. Hasil Laporan Akhir KKP3SL-2015 62 pemeriksaan merekomendasikan daging yang layak dikonsumsi dan daging yang tidak layak dikonsumsi. Daging yang tidak layak akan dimusnahkan, sedangkan yang layak dikonsumsi akan dijual ke konsumen, melalui dua jalur yaitu: 1 langsung ke konsumen dan 2 melalui pasar umum. Keterangan: Gambar 4.14. Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke konsusmen Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, dilihat dari dua aspek, yaitu aspek peternak dan jagal termasuk petugas pemerintah. Untuk aspek petani, indicator yang digunakan adalah pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif dan sikap peternak tentang pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan peternak sapi bibit tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah sebanyak 62,2; rendah 25,6 dan sedang hanya 12,2. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif, dapat menyebabkan peternak kurang atau bahkan tidak memperhatikan kondisi sapi yang dijual, apakah masuk dalam katagori sapi produktif atau tidak. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengatasi pemotongan sapi betina produktif di Bali tidak efektif. Padahal Undang-Undang tentang penyelamatan sapi betina produktif telah lahir sejak Laporan Akhir KKP3SL-2015 63 tahun 2009, melalaui UU No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014. Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukan bahwa sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif Y, berkaitan dengan empat factor, antara lain: 1 pendidikan peternak X 1 , 2 pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit X 2 , 3 tujuan peternak beternak sapi bibit X 3 dan 4 dukungan pemerintah terhadap peternak untuk beternak sapi bibit X 4 . Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara bersama-sama keempat factor tersebut menunjukan pengaruh yang nyata. Akan tetapi berdasarkan analisis regresi berganda dengan metode Stepwise, ternyata hanya factor dukungan pemerintah berpengaruh nyata terhadap sikap peternak sapi bibit, terkait dengan pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa apabila ada dukungan pemerintah maka sikap peternak semakin tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal menyelamatkan sapi betina produktif akan dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Seperti: 1 sosialisasi tentang UU No 41 tahun 2014, secara optimal sehingga mampu meningkatkan pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; 2 melakukan tindakan nyata terhadap pelanggaran UU No 41 tahun 2014; 3 mengoptimalkan peran pemerintah, terkait dengan palaksanaan UU tersebut, seperti penyediaan dana talangan untuk membeli sapi betina produktif yang mau dipotong oleh jagal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah terkait dengan penyelamatan sapi betina produktif, juga dilihat dari aspek jagal dan pemerintah. Indicator yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina produktif; 2 tingkat pemotongan sapi betina produktif; dan 3 alasan jagal untuk melakukan pemotongan sapi betina produktif. Data yang dikoleksi melalui FGD menujukan bahwa tingkat pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina produktif cukup memperihatinkan, karena hanya sebagian kecil jagal dan petugas pemerintah yang mampu menyebutkan dengan benar tentang indicator sapi betina produktif. Salain itu pemotongan sapi betina produktif di seluruh RPH, relative cukup tinggi, mencapai rata-rata lebih dari 60. Terdapat bebagai alasan jagal untuk Laporan Akhir KKP3SL-2015 64 melakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif, antara lain: 1 kurang tegasnya pemerintah untuk melaksanakan UU tentang penyelamatan sapi betina produktif; 2 kadar lemak sapi betina afkir telah melahirkan dan berumur labih dari 9 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dara maupun sapi jantan; 3 harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan sapi betina produktif maupun tidak produktif, sedangkan harga daging sapi di pasaran sama, sehingga secara ekonomis pemotongan sapi betina produktif lebih menguntungkan; 4 jagal lebih mudah mendapatkan sapi betina dibandingkan dengan sapi jantan, karena sapi jantan banyak yang dijual ke luar Bali, khususnya Jakarta. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktif cenderung belum efektif.

4.10. Rencana Tindak Lanjut