Laporan Akhir KKP3SL-2015
17 Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah
harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian 2011
yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian 2011
menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat
dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat
pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar dalam pemotongan sapi betina produktif.
Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan 2010 juga mengemukakan hal yang senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah
terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi
potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak. Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi
jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah
sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat
memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan.
2.9. Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemotongan sapi betina produktif di Indonesia akan menyebabkan berbagai kerugian. Sebagai ilustrasi dampak akhir
dari pomotongan sapi betina produktif adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Namun apabila diteruskan maka tidak tertutup kemungkinannya akan
menyebabkan rendahnya prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional Gambar2.5. Dari Gambar 2.5 nampak bahwa setidaknya terdapat dua dampak utama
Laporan Akhir KKP3SL-2015
18 sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: 1 Dampak Non Ekonomi dan 2
Dampak Ekonomi.
Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif Sumber: Wiguna dan Tatik, 2015
2.10. Dampak Non Ekonomi.
Berdasarkan Gambar 2.5 dapat diketahui bahwa dampak non ekonomi yang terjadi sebagai akibat pemotongan betina produktif adalah berkurangnya angka
kelahiran ternak sapi. Dapat dipahami dengan baik bahwa setiap ekor sapi setidaknya akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor pada umur produktif 8 tahun. Berkurangnya
kelahiran pedet, akan menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Buyung Syahyuti 2012 menyatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi
kenyataan pengurasan ternak sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong yakni NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di
Sumatera. Data BPS 2007 dalam Buyung Syahyuti 2012 memperlihatkan bahwa dalam periode 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal dengan laju 1,1 persen per
tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari pengurasan yang terjadi pada wilayah sentra produksi Jatim, NTB dan Lampung dengan laju penurunan populasi
masing-masing 2,8; 0,3 dan 0,8. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi antara
Laporan Akhir KKP3SL-2015
19 tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian
untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004; 2 dan 0,25 dan Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai
tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1 per tahun termasuk kematian dan pemotongan.
Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi, sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut
menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara 2010 menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih
sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan
Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kgkapitatahun dan
diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun 2020 Bagus Fitriansyah, 2011.
Rendahnya konsumsi daging di Indonesia menyebabkan rendahnya konsumsi protein hewani. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas hidup masyarakat
Indonesia. Antara 2012 menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi protein masyarakat Indonesia menyebabkan banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan
rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan
negara Asia lain. Minarto dalam Kompas 2012 mengatakan, angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh
tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100 persen. Gambar 2.5 juga menunjukan bahwa rendahnya konsumsi protein penduduk
Indonesia, menyebabkan kualitas Sumberdaya Manusia SDM Indonesia juga rendah. Hal tersebut ditandai dengan rendahnya Usia Harapan Hidup UHH masyarakat
Indonesia, yang berada pada posisi ke 137 dari 223 negara di dunia berdasarkan kesatuan atau pada urutan ke 108 dari 191 negara di dunia berdasarkan urutan PBB,
dengan tingkat UHH 70,76 tahun World Factbook, 2011. Posisi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand,
Singapore, Philipina dan lainnya.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
20 Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali.
Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh pendek dan gizi kurang menjadi tinggi Minarto, 2012. Data Unicef tahun 2009,
menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia
kalah dibandingkan China 15 persen dan 6 persen, Thailand 16 persen dan 7 persen, Filipina 34 persen dan 21 persen, serta Vietnam 36 persen dan 20 persen. Minarto
2012 mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun
2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di
bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.
Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi.
Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap
kematian sapi produktif umur 3 tahun saat dikawinkan pertama kali. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun
dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang
lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya 8 tahun juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang
ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali umur 8 tahun, maka anak pertama dari seekor induk juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke-
3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun ilustrasi Tabel 1.1.
Berdasarkan peluang kelahiran, maka akan terdapat 50 sapi yang lahir adalah betina dan 50 lainnya adalah jantan. Melalui asumsi sederhana dari 62 ekor sapi yang
lahir akan terdapat 31 ekor sapi jantan dan 31 ekor sapi betina. Dengan tingkat mortalitas sebesar 4, maka sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor masing-masing
30 ekor jantan dan 30 ekor betina. Apabila seekor sapi jantan dipotong dengan berat
Laporan Akhir KKP3SL-2015
21 badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan
menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali mampu menghasilkan 53 karkas Maria, dkk., 2011, maka setiap pemotongan
seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan 4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi
betina yang telah berusia tidak produktif lebih dari 8 tahun juga dapat menyediakan daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong.
Tabel 1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun
Apabila seekor sapi induk yang telah tidak produktif di potong akan menghasilkan daging atau karkas yang jumlahnya juga sama dengan sapi jantan yaitu
4.770 kg. Dengan demikian pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan kehilangan sebanyak 9.740 kg karkas. Apabila konsumsi daging sapin
masyarakat Indonesia yang diprediksi sebesar 3,72 kgkapitatahun Bagus Fitriansyah, 2011, maka setiap pemotongan seekor sapi betina produktif akan
menghilangkan peluang atau kesempatan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging sapi sebanyak 2.565 orang selama 16 tahun atau 160 orang setiap tahun. Padahal
kenyataan yang ada saat ini konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia hanya 2,72 kg per kapita per tahun, sehingga akan lebih banyak lagi hilangnya peluang masyarakat
Indonesia untuk mengkonsumsi daging sapi, sebagai akibat pemotongan seekor sapi betina produktif. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
suberdaya manusia Indonesia.
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
Lahir Tumbuh Kawin I
II III
IV V
5 5
Lahir Tumbuh Kawin
I II
III IV
V 5
5 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III IV
V 5
5 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III IV
V 5
5 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III IV
V 5
5 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III IV
V 5
5
JML. SAPI 30
Lahir Tumbuh
Kawin I
II III
IV V
5 5
Lahir Tumbuh
Kawin I
II III
IV V
5 5
Lahir Tumbuh
Kawin I
II III
IV V
5 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III IV
4 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
III 3
JML. SAPI 22
Lahir Tumbuh
Kawin I
II III
IV 4
Lahir Tumbuh
Kawin I
II III
3 Lahir
Tumbuh Kawin
I II
2 Lahir
Tumbuh Kawin
I 1
Lahir Tumbuh
Kawin -
JML. SAPI 10
TOTAL SAPI 62
Jml. Sapi Lahir
Ekor Fase
TAHUN KE Melahirkan ke
Laporan Akhir KKP3SL-2015
22
2.11. Kerugian Ekonomi