Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif

Laporan Akhir KKP3SL-2015 14 penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan Ditjen Peternakan 2010. Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak Herzberg dalam Sudrajat, 2008. Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi PSDS. Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur dalam UU No. 182009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi.

2.7. Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif

Kebutuhan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, serta meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai breed juga semakin meningkat. Rochadi Tawaf, dkk 2013 melaporkan bahwa selama Juli-Agustus 2013, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi yang dipotong di 20 buah RPH di Jawa dan Nusa Tenggara Timur NTT. Terdapat beberapa jenis sapi lokal yang dipotong di RPH antara lain: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi JawaPeranakan Ongole PO, Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan Laporan Akhir KKP3SL-2015 15 Lokal dengan Brahman dan Angus Brangus, Sapi silangan Lokal dengan Simmental SIMPO, Sapi silangan Lokal dengan Limmousin LIMPO, dan Peranakan Friesian Holsten PFH, sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC Australia Commercial Cross. Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. 2013 juga mendapatkan bahwa sapi yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan RPH yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas 73,59 sapi lokal 8.008 ekor dan 26,41 sapi impor 2.874 ekor. Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08 dari jumlah sapi lokal yang dipotong 8.008 ekor. Sapi betina yang dipotong tersebut sebanyak 65,29 1.623 ekor memiliki bobot antara 117 kg –354 kg dengan umur kurang dari 4 tahun. Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny Suhadi di Kupang Antara, 3 Mei 2015, bahwa angka pemotongan sapi betina produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65 atau lebih tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28. Lebih jauh ditegaskan bahwa dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif. Suardana, dkk. 2013 juga menyatakan hal yang senada bahwa persentase sapi Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99 masih produktif yakni dengan rincian: umur 0-1 tahun 9,45, umur 1,5-2 tahun 16,92, umur 2-2,5 tahun 26,87, umur 3-3,5 tahun 10,91, umur 3,5-4 tahun 26,87 dan umur 4 tahun 1. Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh Suardana, dkk. 2013 di RPH Mambal, bahwa persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49 dengan rincian: umur 0-1 tahun 13,3, umur 1,5-2 tahun 15,27, umur 2-2,5 tahun 11,33, umur 3-3,5 tahun 8,87 dan umur 3,5-4 tahun 18,72 . Dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor 81,71 berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor 18,29 berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor 87,5 berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor 12,5 berjenis kelamin jantan. Laporan Akhir KKP3SL-2015 16 Wiji Nurhayat 2012 dalam detik.com 12 Nopember 2012 juga mengemukakan bahwa sebanyak 30 sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia APPHI alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina produktif. Sebanyak 30 dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta. Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur, karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60. Sebelumnya Menurut Puslitbangnak 2011 dalam Rochadi Tawaf, dkk 2013 melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan mencapai 150.000 –200.000 ekor. Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia.

2.8. Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif