Laporan Akhir KKP3SL-2015
26
III. METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
3.1.1. Waktu Penelitian
Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan
dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember 2015.
3.1.2. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli,
Karangasem dan Kota Denpasar.
3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap
tahun.
Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang
dipotong, setiap hari di setiap lokasi RPH dan TPH. Jumlah sapi yang dipotong akan dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam
tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan
form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak
productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina
productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder Laporan pemotongan sapi oleh Dinas Peternakan KabupatenKota maka akan diketahui jumlah
sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap kabupatenkota di Bali.
3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali.
Untuk menganalisis dan mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, akan dilakukan pengumpulan data melalui
Laporan Akhir KKP3SL-2015
27 survey dan
Focus Group Discussion
FGD, terhadap: 1 peternak yang terindikasi pernah menjual sapi bentina productif; 2 tukang potong jagal baik yang resmi
maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktor- faktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina
produktif.
3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual sapi betina produktif
dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda Rumus 1 akan diketahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina
productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan
kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan. Y = a + b
1
X
1
+ b
2
X
2
+ …….b
n
X
n
……………. Rumus 1 Y
= variabel terikat dependent variable adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi bali betina productive.
a = konstanta
b
1
, b
2
= koefisien regresi X
1
…X
4
= variabel bebas independent variable, antara lain: 1 pendidikan peternak X
1
, 2 pengalaman beternak sapi bibit X
2
, 3 tujuan beternak sapi bibit X
3
, 4 dukungan pemerintah dalam memelihara sapi bibit X
4
. Variabel terikat dependent variable adalah variable yang dipengaruhi oleh
berbagai factor bebas independent variable. Variable terikat Y dalam penelitian ini adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan
variable bebas X
1
….. X
4
, antara lain: 1 pendidikan peternak X
1
, 2 pengalaman beternak sapi bibit X
2
, 3 tujuan beternak sapi bibit X
3
, 4 dukungan pemerintah dalam memelihara sapi bibit X
4
. Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang peternak sapi yang pernah menjual sapi betina produktif. Responden tersebut tersebar
Laporan Akhir KKP3SL-2015
28 di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak
responden dilakukan secara kuota teracak quota random sampling. Selanjutnya data peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur
yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari “jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat
KabupatenKota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan
petugas Dinas Peternakan KabupatenKota dikumpulkan melalui Focus Group Discussion FGD. Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut antara lain meliputi: 1 jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh
jagal; 2 factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina produktif; 3 upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi
betina produktif; dan 4 pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan KabupatenKota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41
tahun 2014. Tabel 1.3.
Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali
No KabupatenKota Peternak
Jagal atau RPH Resmi
Tidak Resmi 1
Buleleng 10
Sensus Sensus
2 Jembrana
10 Sensus
Sensus 3
Tabanan 10
Sensus Sensus
4 Badung
10 Sensus
Sensus 5
Gianyar 10
Sensus Sensus
6 Bangli
10 Sensus
Sensus 7
Klungkung 10
Sensus Sensus
8 Karangasem
10 Sensus
Sensus 9
Denpasar 10
Sensus Sensus
Total 90
Keterangan: Seluruh lokasi pemotongan sapi akan di survai sensus dan diwakili oleh seorang
responden
Laporan Akhir KKP3SL-2015
29 Dalam penelitian ini, khususnya untuk mengetahui tingkat efektivitas
kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
5 H
= kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali belum atau tidak efektif
6 H
1
= kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali telah efektif
Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka analisis dilanjutkan dengan menghitung Koefisien Korelasi Berganda R melalui Rumus 2 dan Koefisien
Determinasi R
2
. Nilai R berkisar antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R maka hubungan antara variable terikat dengan variable tak bebas adalah semakin kuat.
Sedangkan koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan diterima, atau apakah hubungan antara dependent variable dan independent
variable tersebut nyata atau tidak nyata. Hal tersebut dapat diketahui melalui uji F, dengan Rumus 3.
b
1
∑X
1
Y + b
2
∑X
2
Y ∑Y
2
R =
Koefisien Korelasi Berganda Y
= variabel terikat dependent variable adalah jumlah sapi bali betina produktif yang dipotong
b
1
, b
2
= koefisien regresi X
1
, X
2
= variabel bebas independent variable R
2
N-k-1 k 1-R
2
R
2
= Koefisien korelasi berganda
N = Jumlah sample responden
k = Jumlah variable bebas
Selanjutnya F hitung dibandingkan dengan F Tabel, apabila: F Hitung ≥ F Tabel, maka H
diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.
R = ………………… Rumus 2
F Hitung = ………………… Rumus 3
Laporan Akhir KKP3SL-2015
30 F Hitung F Tabel, maka H
ditolak dan H
1
diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.
Hasil FGD dengan jagal dan petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan KabupatenKota akan mempertegas hasil analisis data yang berasal atau dikoleksi
dari peternak sapi bibit.
Laporan Akhir KKP3SL-2015
31
IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Karakteristik Peternak Sapi Bibit
4.1.1.
Umur Peternak dan pengalaman beternak
Hasil penelitian menunjukan bahwa umur peternak berkisar antara 32-83 tahun, dengan rataan 52,48 tahun Tabel 4.1 dan Gambar 4.1. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peternak tergolong dalam usia produktif, sesuai dengan Undang- Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan penduduk usia produktif
adalah antara umur 15 – 64 tahun. Peternak yang masih dalam usia produktif pada
umumnya memiliki semangat untuk bekerja, sehingga memungkinkan untuk diberikan inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.
Tabel 4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit
Uraian N
Minimum Maximum
Mean Std. Deviation
Umur tahun 90
32 83
52,48 11,108
Pengalaman Beternak Sapi Th
90 4
60 28,92
14,561 Pengalaman beternak sapi
bibit tahun 90
3 60
21,23 14,407
Tabel 4.1 juga menunjukan tentang pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit yaitu berkisar antara tiga sampai 60 tahun, dengan rataan 28,92 tahun Tabel 4.1.
Pengalaman dapat menyebabkan peternak memiliki pandangan persepsi tertentu terhadap usaha ternak sapi bibit, yang diikuti oleh keinginan motivasi untuk
melanjutkan atau menghentikan usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gerungan 1996 yang menyatakan bahwa, pengalaman pada dasarnya melalui proses
yang diawali oleh rangsangan-rangsangan dari luar, melalui alat-alat pengamatan, kemudian diteruskan kepada pusat-pusat tertentu di dalam otak, lalu menafsirkan
pengamatan tersebut.
4.1.2. Pendidikan Peternak
Pendidikan formal peternak cukup beragam yaitu dari tidak pernah sekolah sampai perguruan tinggi. Peternak yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya
sebagian kecil yaitu sebanyak 3,3, sedangkan pendidikan yang paling banyak yaitu 33,3 adalah pendidikan SLTA Tabel 4.2. Pendidikan formal dapat meningkatkan
kemampuan peternak untuk berpikir lebih maju. Hal tersebut sesuai dengan hasil