Kajian Organologis Saluang Darek Minangkabau Buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago di Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan

(1)

KAJIAN

ORGANOLOGIS

SALUANG

DAREK

MINANGKABAU

BUATAN

BAPAK

AZIZ

MANDRI

CHANIAGO DI KELURAHAN MABAR, KECAMATAN

MEDAN DELI, MEDAN.

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : Jasrel Harianja NIM : 100707031

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

KAJIAN

ORGANOLOGIS

SALUANG

DAREK

MINANGKABAU

BUATAN

BAPAK

AZIZ

MANDRI

CHANIAGO DI KELURAHAN MABAR, KECAMATAN

MEDAN DELI, MEDAN.

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : Jasrel Harianja NIM : 100707031

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembibing II

Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. Drs. Bebas Sembiring, M.Si.

NIP 196308141990031004 NIP 195703131992031001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Kajian Organologis Saluang Darek Minangkabau Buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago Di Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan”.

Saluang Darek adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang, dimana orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat Saluang Darek berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai yang sudah tua. Dalam golongan alat musik ini adalah aerophone yaitu bunyi yang berasal dari udara. Saluang Darek memiliki 6 buah lubang, satu lubang hembusan, satu lubang keluaran udara, dan empat lubang nada.

Permainan Saluang Darek biasanya dalam acara keramaian seperti perkawinan, batagak rumah, batagak penghulu, dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilaksanakan setelah shalat Isya dan berakhir menjelang subuh. Dalam kesempatan lain para dara-dara cantik Minangkabau yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui struktur, proses, teknik pembuatan, teknik permainan, sejarah dan eksistensi dari Saluang Darek, serta menjadi karya tulis bagi Etnomusikologi. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan penelitian dan terlibat dalam pembuatan Saluang Darek. Lalu penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, juga melakukan rekaman yang dianggap penting untuk mempermudah mengingat hasil wawancara ke dalam tulisan tersebut. Teori yang digunakan penulis adalah Curt Sach dan Hornbostel tentang pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya, dan teori Susumu Khasima untuk mendeskripsikan alat musik

Saluang Darek yakni studi struktural dan studi fungsional.

Pembuatan Saluang Darek dilakukan oleh seseorang yang ahli, yaitu dari seruas bambu sebagai bahan utama. Alat-alat yang digunakan untuk membuat Saluang Darek antara lain parang, gergaji besi, pisau kecil, solder dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu bambu, kertas pasir, alat ukur tali meteran baju dan pensil. Nada-nada yang dihasilkan oleh Saluang Darek yaitu dari nada terendah sampai nada tertinggi dengan panjang bambu Saluang Darek 58 cm dengan diameter dalam 2,5cm dan diameter luar 9 cm, maka nada tonal yang dihasilkan oleh

Saluang Darek adalah nada F (kurang lebih 175 Hz). alat musik Saluang Darek

merupakan alat musik melodis yang menghasilkan lima nada (pentatonic), yaitu nada do – re – ri – fa – fi.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa Yesus Kristus, atas kasih dan kemurahanNya yang begitu besar untuk semua umat manusia. Penulis berterimakasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih karena Engkau selalu ada ketika saya membutuhkan sahabat untuk berbagi suka dan duka.

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologis Saluang Darek Minangkabau Buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago Di Kelurahan Mabar, Kecamatan

Medan Deli, Medan”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak hambatan yang penulis rasakan. Begitu juga dengan kejenuhan yang membuat penulis bosan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat orang-orang yang ada di sekitar penulis, membuat penulis kembali semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Beskudin Harianja (Alm) dan Ibunda Nurlina Sirait. Terimakasih juga kepada bapaktua M.Napitupulu dan mamaktua M.Sirait serta keluarganya yang sangat saya sayangi. Terimakasih buat segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga saya bisa seperti sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus


(5)

khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan sehingga saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih buat doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih kepada kakak-kakak dan abang-abang penulis yang penulis sayangi Dina Natalia Harianja (Mak Anya), Safrita Harianja (Mak Marvel), Jhon Barnes Harianja, serta lae saya Martua Judika Andreas Tambunan (Bapak Marvel). Terimakasih buat doa dan semangat yang kalian berikan kepada saya.

Terima Kasih yang spesial kepada Poswa Wahyuni br Siagian (Lielieput) beserta keluarganya, yang selalu memberi semangat, doa dan insprasi kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan ini.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi. Kepada yang terhormat Ibu Drs. Heristina Dewi, M.Pd selaku sekretaris Jurusan Etnomusikologi.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. dosen pembimbing I saya yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta pengalaman yang telah bapak berikan selama saya berkuliah. Kiranya Tuhan selalu membalas semua kebaikan yang bapak berikan.


(6)

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. dosen pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimkasih untuk perhatian, ilmu dan semua kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan bapak.

Kepada yang terhormat Bapak Mauly Purba, M.A.,Ph.D selaku dosen pembimbing akademik penulis selama perkuliahan, terimakasih atas bimbingan dan motivasi yang bapak berikan.

Kepada seluruh dosen di departemen Entomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Fadlin, MA., Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang saya dapatkan dari bapak-ibu sekalian bisa saya aplikasikan dalam kehidupan dan pendidikan selanjutnya. Biarlah Tuhan membalaskan semua jasa-jasa bapak-ibu sekalian.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Aziz Mandri Chaniago dan keluarga yang banyak memberikan informasi dalam tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan kunci, sehingga data yang diperoleh mendukung penulisan skripsi ini, dan kepada Bapak Zul Alinur (Bang Koboy) yang telah


(7)

memberikan banyak informasi dan saran yang membangun selama penulis melakukan penelitian.

Terimakasih juga penulis sampaikan teman-teman sekampung saya yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada penulis sehingga membuat penulis semakin semangat dalam pengerjaan tulisan skripsi ini, serta menjadi teman dalam suka maupun duka.

Kepada teman-teman seangkatan penulis yakni Etno ‘010, Kezia Purba, Beny Purba, Ferry Sihombing, Rendy Pradana Amri, Rony Sinaga, Khairil Amri Harahap, Rican Sianturi, Lido Hutagalung, Luhut Simarmata, Denata Rajagukguk, Samuel Aritonang, Miduk Nadeak, Jakry Tobing, Tumpak Sinaga, Tribudi Purba, Agus Tampubolon, A.M. Surung Sholin, Hendra Cipta, Indra Sihotang, Bobby Situmorang, Hosea Dolok Saribu, dan teman-teman yang lain yang tak bisa penulis jabarkan satu-satu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis. Terimakasih teman-teman.

Terimakasih juga kepada komunitas Black Canal (BC) yakni Bg Ivan, Bg Ken, Bg Boim, Zube, Aziz, Gopas, Roy Sinaga, Ranto Damanik, dan teman-teman yang lain yang tak bisa penulis jabarkan satu-satu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis. Terimakasih abang-abang, kakak-kakak, dan adek-adek sekalian.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi


(8)

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi.


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Pokok Permasalahan ... 5

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 5

1.4Konsep dan Teori yang Digunakan ... 6

1.4.1 Konsep ... 6

1.4.2 Teori ... 7

1.5Metode Penelitian ... 9

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 10

1.5.2 Kerja Lapangan ... 11

1.5.3 Wawancara ... 12

1.5.4 Kerja Laboratorium ... 13

1.6Lokasi Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK AZIZ MANDRI CHANIAGO ... 17

2.1 Wilayah Penelitian dan Keadaan Penduduk ... 17


(10)

2.1.2 Keadaan penduduk ... 18

2.2. Kebudayaan Minangkabau di Kota Medan ... 19

2.2.1 Asal-usul masyarakat Minangkabau di kota Medan ... 22

2.2.2 Pengaruh kebudayaan Minangkabau di kota Medan ... 23

2.2.3 Sistem bahasa ... 23

2.2.4 Agama dan kepercayaan ... 26

2.2.5 Sistem kesenian ... 29

2.2.5.1 Seni musik ... 29

2.2.5.2 Seni tari ... 32

2.2.6 Sistem kekerabatan ... 33

2.2.6.1 Suku-suku Minangkabau ... 35

2.3 Pengertian Biografi ... 37

2.3.1 Alasan dipilihnya Bapak Aziz Mandri Chaniago ... 40

2.3.2 Biografi Aziz Mandri Chaniago ... 41

2.3.2.1 Latar belakang keluarga ... 41

2.3.2.2 Latar belakang pendidikan ... 42

2.3.2.3 Berumah tangga ... 42

2.3.2.4 Proses dan latar belakang belajar musik ... 43

2.3.2.5 Kegiatan Aziz Mandri Chaniago sebagai pemusik Minangkabau .. 43

BAB III STRUKTUR ORGANOLOGIS DAN PROSES PEMBUATAN SALUANG DAREK MINANGKABAU ... 45

3.1 Klasifikasi Alat Musik Saluang Darek Minangkabau ... 45


(11)

3.3Teknik Pembuatan Saluang Darek Minangkabau ... 47

3.3.1 Bahan Baku yang digunakan ... 48

3.3.1.1 Bambu (Talang) ... 48

3.3.2 Peralatan yang digunakan ... 50

3.3.2.1 Meteran pakaian ... 51

3.3.2.2 Gergaji besi ... 52

3.3.2.3 Pisau kecil ... 52

3.3.2.4 Kertas pasir/penghalus ... 53

3.3.2.5 Pensil ... 54

3.3.2.6 Solder/alat ukir ... 55

3.3.3 Proses pembuatan ... 55

3.3.3.1 Memilih dan menebang bambu ... 56

3.3.3.2 Memotong bambu ... 57

3.3.3.3 Membentuk lubang tiup Saluang Darek ... 59

3.3.3.4 Pengukuran panjang bambu ... 60

3.4 Tahap Penyempurnaan ... 64

3.5 Ukuran Bagian-Bagian Saluang Darek ... 67

BAB IV SEJARAH DAN TEKNIK PERMAINAN SALUANG DAREK MINANGKABAU ... 71

4.1 Sejarah Saluang Darek ... 71

4.2 Kajian Fungsional ... 72

4.3 Proses Belajar ... 72


(12)

4.3.2 Cara memainkan Saluang Darek ... 75

4.3.3 Nada uang dihasilkan alat musik Saluang Darek ... 78

4.3.4 Teknik memainkan Saluang Darek ... 82

4.4 Sample Lagu ... 88

4.5 Nilai Ekonomi Pada Alat Musik Saluang Darek ... 90

4.6 Eksistensi Saluang Darek Minangkabau ... 91

BAB V PENUTUP ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(13)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Kajian Organologis Saluang Darek Minangkabau Buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago Di Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan”.

Saluang Darek adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang, dimana orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat Saluang Darek berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai yang sudah tua. Dalam golongan alat musik ini adalah aerophone yaitu bunyi yang berasal dari udara. Saluang Darek memiliki 6 buah lubang, satu lubang hembusan, satu lubang keluaran udara, dan empat lubang nada.

Permainan Saluang Darek biasanya dalam acara keramaian seperti perkawinan, batagak rumah, batagak penghulu, dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilaksanakan setelah shalat Isya dan berakhir menjelang subuh. Dalam kesempatan lain para dara-dara cantik Minangkabau yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui struktur, proses, teknik pembuatan, teknik permainan, sejarah dan eksistensi dari Saluang Darek, serta menjadi karya tulis bagi Etnomusikologi. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan penelitian dan terlibat dalam pembuatan Saluang Darek. Lalu penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, juga melakukan rekaman yang dianggap penting untuk mempermudah mengingat hasil wawancara ke dalam tulisan tersebut. Teori yang digunakan penulis adalah Curt Sach dan Hornbostel tentang pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya, dan teori Susumu Khasima untuk mendeskripsikan alat musik

Saluang Darek yakni studi struktural dan studi fungsional.

Pembuatan Saluang Darek dilakukan oleh seseorang yang ahli, yaitu dari seruas bambu sebagai bahan utama. Alat-alat yang digunakan untuk membuat Saluang Darek antara lain parang, gergaji besi, pisau kecil, solder dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu bambu, kertas pasir, alat ukur tali meteran baju dan pensil. Nada-nada yang dihasilkan oleh Saluang Darek yaitu dari nada terendah sampai nada tertinggi dengan panjang bambu Saluang Darek 58 cm dengan diameter dalam 2,5cm dan diameter luar 9 cm, maka nada tonal yang dihasilkan oleh

Saluang Darek adalah nada F (kurang lebih 175 Hz). alat musik Saluang Darek

merupakan alat musik melodis yang menghasilkan lima nada (pentatonic), yaitu nada do – re – ri – fa – fi.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, Bagian Utara Bengkulu, Bagian Barat Jambi, pantai Barat Sumatera Utara, Barat Daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minangkabau seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minangkabau itu sendiri. (Wikipedia.com)

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam kesenian, seperti seni tari, seni musik, seni pantun, dan seni bela diri yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari

pesambahan (persembahan) merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing yang diiringi oleh alat musik. Alat musik Minangkabau dibagi menjadi 3 bagian dalam memainkannya, yaitu alat musik pukul, alat musik gesek, dan alat musik tiup. Alat musik pukul terdiri dari Talempong, Canang, Tambur, Rabano,


(15)

Indang, Gandang, dan Adok. Alat musik gesek satu-satunya yaitu Rabab. Sedangkan alat musik tiup terdiri dari Bansi, Pupuik Batang Padi, Sarunai Minangkabau, Pupuik Tanduak, dan Saluang.

Dalam tulisan ini penulis berfokus pada alat musik tiup yaitu Saluang.

Saluang adalah alat musik yang tergolong dalam klasifikasi aerofon yang artinya alat musik yang sumber bunyi dihasilkan oleh udara. Saluang itu sendiri berasal dari kata sa-lu-ang yang berarti seruas, karena Saluang terbuat dari bambu maka berarti seruas bambu atau talang1. Ada juga Saluang itu berasal dari Sa + aluang.

Aluang (Minangkabau) artinya bunyian. Sa = awalan yang artinya “satu” Sa +

aluang berati satu bunyian. Kalau dilihat dari hakekat serta penampilan seni

Saluang itu memang biasanya ditampilkan secara tunggal (solo). Saluang di dalam masyarakat Minangkabau berfungsi sebagai hiburan, seperti dalam acara

baralek (pesta), pengangkatan pangulu (pengangkatan penghulu), khatam qur’an,

maulid nabi besar Muhammad SAW dan yang lainnya.

Peniup Saluang biasanya adalah kaum laki-laki, dan zaman dahulu para pemainnya memiliki kemampuan menghipnotis penonton dengan mantera khusus bersamaan dengan bunyi merdu yang dikeluarkannya. Nama pemain Saluang

disebut tukang Saluang. Keutamaan dari tukang Saluang ini adalah dapat memainkan alat musik ini dengan meniup dan menarik nafas secara bersamaan, sehingga peniupnya dapat memainkannya dari awal hingga akhir lagu secara terus-menerus tanpa terputus. Teknik ini dinamakan sebagai manyisiahan angok

(menyisihkan nafas).

1


(16)

Tiap nagari (daerah) di Minangkabau mengembangkan cara meniup

Saluang, sehingga masing-masing daerah memiliki ciri khas tersendiri-sendiri. Misalnya Saluang Sirompak yaitu sebutan bagi Saluang khas Payakumbuh. Diambil dari kata ‘rompak’ yang berarti memaksa, permainan Saluang ini terkenal bernuansa magis, dimana lirik magisnya mampu menjadi semacam pengantar kekuatan sihir. Ada lagi Saluang Darek, yaitu jenis Saluang yang berasal dari daerah pendalaman daerah Darek. Saluang Darek berbeda dengan Saluang Sirompak karena Saluang Darek lebih sebagai seni pertunjukan dan sering dikolaborasikan dengan musik kontemporer. Ada lagi Saluang Singgalang dan lain-lain. Dalam tulisan ini penulis berfokus pada jenis Saluang Darek.

Para seniman Saluang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk Saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai. Saluang Darek terbuat dari bambu atau talang yang mempunyai ruas yang panjang yaitu kira-kira 40-65 cm, dengan diameter dalam 2-4 cm. Dalam membuat Saluang Darek ini harus menentukan bagian atas dan bawahnya terlebih dahulu untuk menentukan pembuatan lubang. Saluang Darek

memiliki 4 lubang nada, satu lobang tiupan yang terdapat pada ujung ruas bambu dan satu lobang keluaran udara yang berada pada pangkal bambu. Untuk bentuk dan besar lubang agar menghasilkan suara yang bagus, haruslah bulat dengan garis tengah sekitar 0,5-0,8 cm.

Cara memainkan Saluang Darek yaitu ditiup dari ujung ruas bambu yang terbuka (end blown flute). Cara meniupnya yaitu posisi mulut dengan posisi ujung sisi Saluang berada pada samping bibir dan udara yang masuk dibelah lingkaran


(17)

tepinya sehingga sebagian udara masuk ke lubang tiupan dan sisanya keluar melalui lingkaran luar tiupan Saluang.

Ada beberapa ciri khas dari alat musik Saluang Darek yaitu : (1) suara yang dihasilkan selalu bergema ; (2) jumlah lubang nada tidak mengikuti aturan tangga nada yaitu 4 lubang ; (3) Teknik permainannya adalah teknik pernafasan

manyisiahkan angok (menyisihkan nafas) yaitu dimana seseorang bisa bernafas sambil meniup Saluang dari awal lagu sampai akhir lagu secara terus-menerus.

Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik Saluang Darek ini dimainkan oleh dosen praktek Minangkabau di Universitas Sumatera Utara yaitu Bapak Zul Alinur (bang Koboy) lantai 2 ruang praktek Minangkabau Etnomusikologi USU, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu Etnomusikologi adalah bagaimana konteks dan aspek-aspek musikal Saluang Darek dalam peradaban masyarakat Minangkabau. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja alat musik ini, seterusnya bagaimana fungsinya. Tetapi penulis lebih tertarik untuk mengkaji organologis alat musik Saluang Darek. Dengan demikian penulis memilih judul untuk penelitian ini yaitu:

Kajian Organologis Saluang Darek Minangkabau Buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago di Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah :


(18)

1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Saluang Darek Minangkabau buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago?

2. Bagaimana teknik memainkan Saluang Darek?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian terhadap Saluang Darek Minangkabau adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana proses dan teknik pembuatan Saluang Darek Minangkabau buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago.

2. Untuk mengetahui teknik permainan Saluang Darek.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai saluang Minangkabau di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan Saluang Darek Minangkabau.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang di peroleh penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

4. Sebagai suatu upaya untuk memelihara dan melestarikan musik tradisional daerah sebagian bagian dari budaya Nasional.


(19)

5. Untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi program S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori Yang Digunakan 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Studi disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kajian merupakan kata jadian dari kata”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian kata’kajian’ dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu. 1982:132).

Sedangkan ‘organologi’ merupakan bagian dari etnomusikologi yang meliputi semua aspek diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

Dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis Saluang Darek di Medan Deli buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago, adalah penelitian secara mendalam tentang deskripsi instrumen, juga mengenai teknik -teknik pembuatan, teknik permainan dan fungsi dari alat musik Saluang tersebut.


(20)

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskipsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif, dan variasi sosial budaya.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa studi organologis adalah suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari instrumen musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik itu sendiri dari berbagai pendekatan ilmu sosial budaya.

Saluang Darek Minangkabau adalah instrumen musik yang tergolong ke dalam klasifikasi Aerophone, memiliki enam lobang, yang terdiri dari: empat buah lobang nada, satu lobang hembusan, dan satu lobang keluaran udara. Alat musik ini dimainkan secara tunggal.

1.4.2 Teori

Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sebagai acuan berpikir dalam penelitian ini penulis mempergunakan teori-teori yang relevan, yang sesuai untuk permasalahan penelitian penulis.

Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan


(21)

menjadi keterangan-keterangan emperis yang berpencar (Moh. Nazir, 1983 : 22-25).

Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu : sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu :

- Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,

- Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,

- Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit,

- Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. Mengacu pada pengklasifikasian diatas tersebut, maka Saluang Darek

Minangkabau adalah instrumen musik Aerofon dimana penggetar utama bunyinya adalah udara yang memiliki 4 lubang pengatur nada, satu lobang tiupan dan satu lobang keluaran udara.

Untuk mendeskripsikan alat musik, penulis berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Kashima, 1978:174, yang mengatakan bahwa studi musik dapat dibagi kedalam dua sudut pandang yakni studi struktural dan studi fungsional. Studi struktural adalah studi yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran, perekaman, pencatatan bentuk, ukuran, konstruksi serta bahan bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik tersebut. Sedangkan Studi fungsional memperhatikan fungsi dari alat dan komponen yang menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik


(22)

tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada, warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan. Berdasarkan penjelasan di atas maka, penulis menggolongkan proses dan teknik pembuatan Saluang Darek Minangkabau buatan Bapak Aziz Mandri Chaniago ke dalam Studi struktural dan fungsional.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatan dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: 2005).

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat 1997 : 16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodelogi Penelitian Kualitatif, 1990 : 3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam


(23)

pembuatan Saluang Darek Minangkabau pada masyarakat Medan Deli diperlukan tahap-tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan (Maleong, 2002 : 109). Disamping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Maleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu : disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu akhir (a final study), (Meriam, 1964 : 37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni : menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires), menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984 : 25).

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan tiga tahap yaitu : (1) studi kepustakaan ; (2) kerja lapangan ; (3) kerja laboratorium.

1.5.1 Studi kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, literature, majalah, situs-situs internet, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.


(24)

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapat konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Beberapa referensi pendukung tulisan ini antara lain adalah:

1. Skripsi Etnomusikologi USU yang ditulis oleh Miduk Nadeak yang berjudul Organologis Sordam Pakpak.

Skripsi ini menulis tentang proses dan teknik pembuatan, teknik permainan, eksistensi serta fungsi Sordam pada masyarakat Pakpak.

2. Skripsi Etnomusikologi USU yang ditulis oleh Tribudi yang berjudul Organologis Saligung Simalungun.

Skripsi ini menulis tentang proses dan teknik pembuatan, teknik permainan, eksistensi serta fungsi Saligung pada masyarakat Simalungun. 3. Serta referensi dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan tulisan

ini.

1.5.2 Kerja lapangan

Dalam hal ini, penulis langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan tiga hal yang telah diketahui sebelumnya yaitu, observasi, wawancara, dan pemotretan (pengambilan gambar) dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal yang baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dianggap mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap


(25)

memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.

1.5.3 Wawancara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian wawancara adalah proses tanya-jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal.

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985 : 139), yaitu : Wawancara berfokus (Focused interview), Wawancara bebas (Free interview), Wawancara sambil lalu (Casual interview). Dalam hal ini penulis terlebihi dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik yang lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beranekaragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.

Menurut Harsja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencacat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handphone bermerk advan T1J sebagai alat rekam. Sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital bermerk samsung S5, di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan oleh informan.


(26)

1.5.4 Kerja laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya.semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85)

1.6 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Aziz Mandri Chaniago, yang bertempat tinggal di Jalan Rumah Pemotongan Hewan Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan.

Pemilihan lokasi ini bermula dari informasi pembuat Saluang Darek

Minangkabau, yaitu Pada tanggal 16 November 2014, penulis meminta kepada Bapak Zul Alinur untuk membawa penulis ke tempat pembuatan alat musik

Saluang Darek. Bapak Zul Alinur bersedia dan membawa penulis ke jalan Rumah Pemotongan Hewan, tepatnya di Kelurahan Mabar, kecamatan Medan Deli, Medan. Bapak Zul Alinur memperkenalkan penulis kepada seorang pembuat alat musik Saluang Darek Minangkabau yang bernama Bapak Aziz Mandri Chaniago yang berusia kurang lebih 45 tahun. Ketika penulis mengemukakan maksud akan mengkaji organologis Saluang Darek buatan beliau, maka ia sangat menyambut niat baik penulis.


(27)

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zul Alinur, termasuk ia sendiri, Aziz Mandri Chaniago selain mahir memainkan Saluang Darek, Sarunai Minangkabau, Bansi, serta juga tari pencak silat beliau juga bisa membuat alat musik Sarunai Minangkabau, Bansi, dan Saluang Darek. Ketertarikan beliau sama alat musik Saluang Darek ini adalah karena beliau ingin melestarikan serta kecintaannya terhadap budayanya. Hingga sampai saat ini Bapak Aziz Mandri Chaniago masih aktif di dalam dunia kesenian Minangkabau. Salah satunya ia menjadi seniman Taman Budaya Medan yang berlokasi di jalan Perintis Kemerdekaan dan gedung BM3 (Badan Musyawarah Masarakat Minangkabau) di jalan Adinegoro. Beliau juga mempunyai grup yang dinamakan Pitunang Rantau. Pitunang Rantau pernah bermain untuk penyambutan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2013.

Pada saat itu penulis banyak berbincang tentang alat musik Saluang Darek, seperti bagaimana struktur organologis Saluang Darek yang dibuat oleh Bapak Aziz Mandri Chaniago. Beliau mengatakan awal mulanya ketertarikannya dalam kesenian Minangkabau pada tahun 1980 ketika beliau masih kelas 4 Sekolah Dasar sedang menemani sang ayah untuk menampilkan tarian pencak silat di sebuah acara adat Minangkabau. Ayah beliau termasuk seorang seniman pencak silat terkenal di daerah Minangkabau. Pada tahun 1985 beliau sudah mulai belajar kesenian Minangkabau melalui ayah beliau dan di tahun 1986 beliau resmi masuk grup kesenian Kinantan di Sumatera Barat yang menampilkan tari paring pada acara adat Minangkabau saat itu.


(28)

Pada tahun 1987 beliau tertarik dan mulai belajar bermain alat musik tiup Minangkabau salah satunya Saluang Darek dan di tahun 1989 berdasarkan pengamatan dan pendengaran saja, ia tertarik untuk mencoba membuat sendiri alat musik Saluang Darek tersebut dengan apa adanya, karena menurut beliau pemain musik harus mempunyai alat musik, dari situ beliau berkeinginan untuk membuat alat musik Saluang Darek sendiri, walaupun pada saat itu hasil karyanya belum sempurna dan selalu berulang-ulang untuk membuatnya. Seiring jalannya waktu dan selalu mencoba, ternyata hasil karyanya memiliki ciri khas dari mulai bentuk dan ukuran maupun suara yang dihasilkannya.

Terdapat ukiran di badan Saluang Darek yang dihasilkannya adalah hasil idenya sendiri yang mempunyai arti simbol yang menandakan hasil karyanya, penuh dengan makna-makna dalam budaya Minangkabau. Seperti ukiran Rumah Gadang dan ukiran monumen Jam Gadang adalah simbol dari budaya dan terkenal di Minangkabau. Sampai saat ini, Bapak Aziz Mandri Chaniago sudah membuat

Saluang Darek lebih kurang sebanyak 300 buah hingga tahun 2014 berdasarkan kebutuhan permintaan pemesanan baik dari Medan maupun dari luar daerah Medan, bahkan sampai ke Malaysia.

Dalam proses pembuatannya, Bapak Aziz Mandri Chaniago masih tetap menggunakan alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa gergaji besi, pisau kecil, solder dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu bambu, kertas pasir, alat ukur tali meteran baju dan pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin. Dibutuhkan waktu 2 hari untuk menyelesaikan 1 buah alat musik Saluang Darek.


(29)

Menarik untuk dibahas dari uraian di atas karena pembuatannya membutuhkan proses yang memiliki ciri khas Saluang Darek yang dibuat oleh Bapak Aziz Mandri Chaniago dan bagaimana struktur organologis Saluang baik dari segi struktural maupun fungsional.


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK AZIZ MANDRI CHANIAGO

Pada Bab ini, penulis akan menjelaskan gambaran umum tentang lokasi penelitian dan biografi singkat Bapak Aziz Mandri Chaniago serta latar belakang kebudayaan Minangkabau. Penulis juga akan menjelaskan beberapa hal, seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kekerabatan, dan sistem kepercayaannya.

2.1 Wilayah Penelitian dan Keadaan Penduduk 2.1.1 Wilayah penelitian

Wilayah penelitian yang penulis teliti berada di Kelurahan Mabar yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan Saluang Minangkabau Bapak Aziz Mandri Chaniago yang bertempat tinggal di Jalan Rumah Pemotongan Hewan, Kecamatan Medan Deli, Medan. Selain itu, Kota Medan juga dijadikan sebagai lokasi penelitian untuk melihat sebaran masyarakat pengguna saluang Minangkabau.

Desa Mabar sebagai memiliki luas 20,84 Km2 dengan memiliki Kawasan Industri Medan (KIM), dan kepadatan penduduknya sekitar kurang lebih 6.350,24 Jiwa/Km2 (data tahun 2013), dengan letak geografis :

 sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Medan Labuhan dan kecamatan Medan Marelan


(31)

Medan Timur.

 sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.  sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.

Gambar 2.1. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Medan Deli

2.1.2 Keadaan penduduk

Kecamatan Medan Deli adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan yang mempunyai daerah kawasan industri dan pergudangan di kota Medan dengan penduduknya berjumlah 166.793 jiwa (laki-laki 84,520 jiwa dan perempuan 82, 273 jiwa). Sebagian besar penduduknya adalah pendatang


(32)

sedangkan penduduk asli suku Melayu Deli 30% saja.

Suku yang berada di Kota Medan adalah Batak, Jawa, Tionghoa, Aceh, Mandailing, Minangkabau, Melayu, Karo, Sunda, dan Tamil. Dan memiliki agama Islam 68,83%, Katolik 2,79%, Protestan 20, 27%, Budhha 8,79%, Hindu 0,44%, lainnya 0,85%.

Pekerjaan penduduk di kota Medan banyak yang berprofesi di bidang perdagangan . Biasanya pengusaha kota Medan banyak yang menjadi pedagang perkebunan. Setelah kemerdekaan, sektor perdagangan secara konsisten didominasi oleh etnis Tionghoa dan Minangkabau. Bidang pemerintahaan dan politik, dikuasai oleh orang-orang Mandailing. Sedangkan profesi yang memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi, seperti pengacara, dokter, notaris, wartawan, mayoritas digeluti oleh orang Minangkabau.

2.2 Kebudayaan Minangkabau di Kota Medan

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau (menang dan kerbau). Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo2. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka


(33)

kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari3

, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah "Minangkabwa", "Minangakamwa", "Minangatamwan" dan "Phinangkabhu". Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.


(34)

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu

(Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek4 dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak5, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak

tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.6

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

4

Darek artinya daratan (www.kamusdaerah.com)

5


(35)

2.2.1 Asal usul masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Merantau merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang Minangkabau sejak lama. Pada awalnya merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal pedalaman Sumatera Barat tidak lagi memadai luasnya untuk menunjang kehidupan mereka. Kegiatan merantau etnis Minangkabau ini terus berlanjut bukan hanya ke wilayah Sumatera Barat tetapi menuju ke kota-kota besar terutama Batavia dan Sumatera, khususnya Jambi, Pekanbaru, Palembang, dan Medan (Niam, 1982 dalam Nasution, 2002).

Etnis Minangkabau datang ke kota Medan bertujuan untuk meningkatkan keadaan kehidupan mereka agar lebih baik dari yang sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu mereka dapat memiliki lahan sebagai pertapakan rumah melalui proses jual beli dari etnis lain. Pada saat mereka membeli tanah tersebut dari etnis lain, keadaan tanah masih dalam keadaan kosong. Mereka membangun tempat tinggalnya berdasarkan pemikiran mereka, dengan tujuan sebagai tempat perlindungan diri sendiri beserta keluarga. Mereka membangun rumahnya dengan memilih letak sesuai dengan keinginannya, apakah disudut, dipinggir, atau ditengah kaplingan tanahnya. Adanya pertambahan penduduk baik secara alamiah maupun adanya pendatang baru (urbanisasi) yang terus menerus menyebabkan adanya penambahan bangunan dan sub devisi bangunan baru mengakibatkan permukiman yang semula masih renggang menjadi padat.


(36)

2.2.2 Pengaruh kebudayaan Minangkabau di kota Medan

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya dan merupakan salah satu masyarakat yang masih berpegang teguh kepada budaya mereka. Dengan berkembangnya waktu, keberadaan kehidupan budaya mereka mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi karena adanya persentuhan dengan budaya etnis lainnya maupun pengaruh kemajuan teknologi yang begitu pesat. Perkembangan budaya mereka sudah berbeda dengan budaya yang mereka anut di kampung halamannya. Keadaan budaya yang baru, yang dialami oleh etnis Minangkabau di daerah baru di kota Medan ternyata memberi pengaruh terhadap pola ruang luar karakteristik seperti bentuk yang linier statis, linier dinamis, dan bidang statis. Karakteristik bentuk ruang luar tersebut merupakan interpretasi perwujudan budaya dari etnis Minangkabau yang menempatinya. Perbedaan antara masyarakat Minangkabau di kota Padang dengan masyarakat Minangkabau di kota Medan adalah kebudayaan di kota Padang masih kental dengan peraturan dan adat istiadat Minangkabau, sedangkan di kota Medan sudah bercampur dengan peraturan dan adat istiadat suku lainnya.

2.2.3 Sistem bahasa

Padang menggunakan bahasa Minang dan Indonesia sebagai bahasa sehari-harinya. Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi Riau serta tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.


(37)

Dialek bahasa Minangkabau sangat bervariasi, bahkan antar kampung yang dipisahkan oleh sungai sekalipun sudah mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan terbesar adalah dialek yang dituturkan di kawasan Pesisir Selatan dan dialek di wilayah Mukomuko, Bengkulu.

Untuk komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini, akhirnya dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau atau disebut Baso Padang atau Baso Urang Awak. Bahasa Minangkabau dialek Padang inilah yang menjadi acuan baku (standar) dalam menguasai bahasa Minangkabau.

Bahasa minangkabau memiliki sepuluh dialek yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara bahasa Minangkabau dengan Bahasa Indonesia baik dalam bentuk maupun tata bahasanya. Perbedaan yang terjadi hanya pada ejaan terutama dalam pemakaian vokal. Vokal a dan e dalam Bahasa Indonesia menjadi "o" dalam Bahasa Minangkabau.

Dalam bahasa Minangkabau, ada huruf mati yang dihilangkan atau dipertukarkan, misalnya dalam perkataan habis, huruf h dihilangkan dan huruf s diganti dengan huruf h sehingga menjadi abih, manis menjadi manih, hangus menjadi anguih. Ada juga beberapa daerah menghilangkan r pada suku kata kedua, umpamanya garam menjadi ga-am, beras menjadi bareh atau ba-eh dan sebagainya.

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga jenis seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan


(38)

salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme, contohnya Dima tumbuah, sinan disiang – Cara memecahkan suatu masalah dengan langsung ke akar atau penyebab masalah itu sendiri. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Suku Minang menggunakan satu bahasa daerah yang sama, yang disebut Bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu. Menurut penelitian ilmu bahasa, Bahasa Minang boleh merupakan bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek saja dari bahasa Melayu. Secara umum dialek bahasa Minang yang dikenal dapat disebut empat, yaitu:

1. Dialek Tanah Datar 2. Dialek Agam

3. Dialek Lima Puluh Koto 4. Dialek Pesisir

Penamaan tersebut didasarkan pada pembagian daerah Minangkabau yang terdiri dari 3 Luhak (Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Koto) serta daerah rantau termasuk daerah pesisir.

Dalam sistem komunikasi, perundingan dan pembicaraan umum, masyarakat minangkabau lebih mementinkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary). Mereka menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak yang sedang berkomunikasi dalam suatu perundingan


(39)

akan dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan pengertian maksud dan tujuan. Hal semacam itu dapat disimak dalam pidato-pidato adat atau pesambahan. Setiap kata selalu diberikan batasan yang jelas. Seperti misalnya, orang minang tidak mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata hijau. Untuk biru laut, mereka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau lauik”, hijau seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (untuk warna hijau muda), dan sebagainya. Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata, dalam kehidupan masyarakat modern ditemukan saat meraka menyiapkan naskah perundang-undangan, perjanjian-perjanjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja ilmiah.

2.2.4 Agama dan kepercayaan

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Untuk itu saya akan menjelaskan bagaimana proses masuknya agama Islam ke Indonesia. Indonesia Islam berkembang pada Zaman kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahien. Pada abad IV di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak


(40)

Hindu-Budha, yaitu kerajaan Taruma Negara yang dilanjutkan dengan kerajaan Sunda sampai abad XVI (Luckman Sinar, 1986).

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad VII hingga abad XIV,kerajaan Budha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera. Hal ini di deskripsikan oleh seorang penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing, yang mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada saat puncak kejayaannya Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah, dan Kamboja (Luckman Sinar, 1986:65).

Di abad XIV juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, yaitu Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dari Wiracarita Ramayana (sejarah dari Ramayana).

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke XII, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorakan Islam, seperti Samudra Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit sekaligus menandai akhir dari era ini (Takari dan Fadlin 2009).

Di samping itu ada pendapat dari yang Mansur menyatakan: “Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawah oleh para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari tarikh Hijriyah atau abad ke VII-M. hal ini menjadi lebih kuat, menurut Arnold dalam The Preaching of Islam sejarah


(41)

dakwah Islam dimulai pada abad II Hijriah, yaitu para pedagang Islam melakukan perdagangan dengan sailan atau Srilangka. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Burger dan Prajudi (2004). Mansur menambahkan Van leur dalam bukunya Indonesian Trade and Society (2003), menyatakan pada 674 di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam.

Perkampungan perdagangan ini dimulai dibicarakan lagi pada 618 dan 626. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perdagangan ini dimulai mempraktekan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat disepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara. Mansur juga mengkritik keras adanya upaya sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia setelah runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit (1478) dan ditandai berdirinya kerajaan Demak.

Pada umumnya keruntuhan Kerajaan Hindu Majapahit sering didongengkan akibat serangan dari kerajaan Islam Demak. Pada hal realitas sejarahnya yang benar adalah Kerajaan Hindu Majaphit runtuh akibat serangan raja Girindrawirdhana dari kerajaan Hindu Kediri pada tahun 1478 M. al-Atts mengatakan sarjana Barat melangsungkan penelitian ilmiah terhadap sejarah dan kebudayaan Kepulauan Melayu-Indonesia telah lama menyebarkan bahwa masyarakat kepulauan ini seolah-olah merupakan masyarakat penyaring, penapis, serta penyatu unsur-unsur berbagai kebudayaan.

Disisi lain ada juga disebut dengan ras Proto-Melayu pedalaman, yaitu orang Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang memiliki kepercayaan adat istiadat sendiri. Memang pada dasarnya orang luar mengenal sebagian orang


(42)

Asia itu adalah orang Melayu, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan lain sebagainya. Tetapi pada kenyataannya mereka tidak mengatakannya mereka sebagai orang Melayu, karena mereka memiliki agama, bahasa dan kebudayaan yang tidak sama dengan konsep kebudayaan Melayu.

Seperti contoh penulis, saya beragama Kristen Protestan, saya berasal dari suku Batak Toba, saya menggunakan bahasa Batak dan bercampur dengan bahasa Indonesia, dan saya juga melakukan adat istiadat suku saya sendiri. Namun demikian, jika orang luar menyatakan saya orang Melayu saya pasti akan menjawab saya juga orang Melayu, karena pada dasarnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.

2.2.5 Sistem kesenian

Sistem kesenian Minangkabau berupa instrumen dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan serta kerinduan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.

2.2.5.1 Seni musik

Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Minangkabau yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarakat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh


(43)

masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional Minangkabau yaitu :

1. Saluang Darek terbuat dari bambu, kira-kira panjangnya 40-60 cm dan berdiameter 3 cm. Memiliki enam buah lubang, yang terdiri dari: empat buah lobang nada, satu lobang hembusan, dan satu lobang keluaran udara, 2. Bansi juga terbuat dari bambu. Ukurannya lebih kecil dari bahan saluang.

Panjangnya sekitar 15 cm. Diameternya sekita 2 centi meter dan memiliki enam dan tujuh lubang nada. Ujung tanpa buku disumbat dengan kayu. Pada sumbatan itu dibuat celah untuk meniup sehingga menghasilkan bunyi. Nada yang dihasilkannya sangat indah, melodius dan lagunya melankolis,

3. Pupuik batang padi terbuat dari batang padi. Pada bagian dekat buku dibuat lidah. Lidah itu, jika ditiup akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Pada bagian ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa,

4. Sarunai terbuat dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya. Sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar. Fungsinya sebagai penghasil nada. Alat ini memiliki empat lubang nada. Bunyinya juga melodis. Alat musik ini sudah jarang digunakan. Selain juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai,

5. Pupuik tanduak terbuat dari tanduk kerbau yang dibersihkan. Bagian ujungnya dipotong rata dan berfungsi sebagai tempat meniup. Bentuknya


(44)

mengkilat dan hitam bersih. Fungsinya lebih pada alat komunikasi. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampong,

6. Talempong terbuat dari bambu, kayu, dan logam. Cara memainkannya ada dua macam. Pertama, dengan cara meneteng atau memegang dua atau tiga

talempong (Talempong Pacik). Kedua, meletakan talempong diatas standar (Talempong Duduak). Talempong dapat digunakan untuk mengiringi nyanyi atau dendang dan dapat dimainkan secara instrumental,

7. Gong dan Canang terbuat dari logam. Ukuran gong lebih besar dari

talempong, bentuknya sama dengan talempong. Canang lebih besar dari

talempong dan lebih kecil dari gong. Fungsinya lebih banyak sebagai alat komunikasi ketimbang alat musik. Canang biasanya dipukul keliling kampung sebagai imbauan kepada masyarakat jika ada acara baralek atau pernikahan dan sebagainya,

8. Tambur, Rebana, Indang dan Adok terbuat dari kayu atau ruyung dan dipalut dengan kulit kambing. Gunanya untuk pelengkap talempong, juga dapat dimanfaatkan secara tunggal. Misalnya untuk arak-arakan pada acara Tabut, Khatam Quran dan arak-arakan lainnya,

9. Rabab (rebab) terbuat dari tempurung kelapa yang paling besar. Tempurung tersebut ditutup dengan kulit kambing. Batangnya dibuat dari bambu. Pada ujungnya dibuat alat perenggang tali dari kayu. Antara ujung (perenggang tali) dengan pangkalnya direntang dua tali melalui permukaan


(45)

kulit. Diatas kulit itu dipasang kuda-kuda, sehingga tali yang direntang itu menjadi tegang. Penggeseknya seperti penggesek biola. Adakalanya dibuat dari ekor kuda dan adakalanya dari benang nilon. Pengesek dipasang pada sebatang rotan yang dibengkokkan. Untuk mengatur nadanya digunakan tangan perebab. Rebab digunakan untuk mengiringi dendang. Kadang-kadang dikombinansikan dengan saluang.

2.2.5.2 Seni tari

Tari tradisi bersifat klasik yang berasal dari Sumatera Barat yang ditarikan oleh kaum pria dan wanita umumnya memiliki gerakan aktif dinamis namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas. Kekhasan ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam, oleh karena itu dinamisme gerakan tari-tari tradisi Minang selalu merupakan perlambang dari unsur alam. Pengaruh agama Islam, keunikan adat matrilineal dan kebiasan merantau masyarakatnya juga memberi pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau. Seni tari yang berasal dari Minangkabau, antara lain :

1. Tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai,

2. Tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang,


(46)

3. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama,

4. Tari Payung merupakan tari tradisi Minangkabau yang saat ini telah banyak perubahan dan dikembangkan oleh senian-seniman tari terutama di Sumatra Barat. Awalnya tari ini memiliki makna tentang kegembiraan muda mudi (penciptaan) yang memperlihatkan bagaimana perhatian seorang laki-laki terhadap kekasihnya. Payung menjadi icon (ciri khas) bahwa keduanya menuju satu tujuan yaitu membina rumah tangga yang baik. Keberagaman Tari Payung tidak membunuh tari payung yang ada sebagai alat ungkap budaya Minangkabau,

5. Randai, tarian yang bercampur dengan silek. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran berdasarkan skenario.

2.2.6 Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang terkenal adalah matrilineal, yaitu suatu sistem yang mengikuti garis keturunan dari pihak ibu. Suatu sistem yang termasuk langka di dunia ini sehingga menarik minat para ahli dan peneliti.

Sistem matrilineal menurut ahli antropologi merupakan suatu sistem sosial masyarakat tertua yang telah lahir jauh sebelum lahirnya sistem patrilineal yang berkembang sekarang. Sistem ini akan tetap kuat dan berlaku dalam masyarakat Minangkabau sampai sekarang, dia tidak akan mengalami evolusi, sehingga


(47)

menjadi sistem patrilineal. Sistem ini menjadi langgeng dan mapan karena sistem ini memang sejiwa dengan adat Minangkabau yang universal, yang meliputi seluruh segi kehidupan manusia, baik kehidupan secara individu maupun kehidupan bermasyarakat.

Sistem kekerabatan di Minangkabau adalah sebagai berikut: 1. Keturunan dihitung menurut garis ibu,

2. Suku dibentuk menurut garis ibu,

3. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku,

4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tapi jarang dipergunakan,

5. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku, 6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-laki ibu,

7. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri. Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah “paruik”. Setelah masuk islam di

Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik7adalah “uraian”8.

Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum

7

Paruik adalah kesatuan keluarga kecil (www.kamusdaerah.com)

8


(48)

besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:

1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan,

2. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat, 3. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah istri,

4. Tali kekerabatan antara keluaraga istri dengan keluarga rumah gadang suami setelah perkawinan dan juga sebaliknya.

Kesatuan keluarga kecil seperti di atas disebut paruik, pada sebagian masyarakat ada kesatuan yang disebut kampung yang memisahkan paruik dengan suku. Kepentingan keluarga diurus oleh laki-laki yang bertindak sebagai niniek mamak, yaitu seorang yang telah diangkat oleh seluruh anggota keluarga sebagai kepala suku atau kepala kaumnya.

2.2.6.1 Suku-suku Minangkabau

Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Chaniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.Di masa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat suku dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:


(49)

• Suku Koto • Suku Piliang • Suku Bodi • Suku Caniago

Dan dua kelarasan itu adalah :

1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan 2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:

Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik • Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis

Dalam masa selanjutnya, munculah satu kelarasan baru bernama Lareh

Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia nan Bamego-mego. Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

• Suku Tanjung • Suku Sikumbang • Suku Sipisang • Suku Bendang

• Suku Melayu (Minang) • Suku Guci

• Suku Panai • Suku Jambak


(50)

• Suku Kutianyie atau Suku Koto Anyie • Suku Kampai

• Suku Payobada

• Suku Pitopang atau Suku Patopang • Suku Mandailiang

• Suku Mandaliko • Suku Sumagek • Suku Dalimo • Suku Simabua • Suku Salo

• Suku Singkuang atau Suku Singkawang

2.3 Pengertian Biografi

Dalam disiplin sejarah biografi dapat didefinisikan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi-informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas.

Sebuah biografi biasanya menganalisis dan menerangkan kejadian-kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya. Dengan


(51)

membaca bografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-ceritaatau pengalaman-pengalaman selama hidupnya.

Suatu karya biografi biasanya bercerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya. Namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang-orang atau tokoh-tokoh terkenal saja.

Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa, namun ada juaga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik -topik pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung, bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, kliping atau Koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku, refrensi atau sejarah yang memaparkan peranan subjek biografi tertentu.

Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain sebagai berikut. (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu; (d) Pikirkan, hal apalagi yang perlu anda


(52)

ketahui mengenai orang tersebut, bagian mana dari cerita tentang beliau yang ingin lebih banyak anda utarakan dan tuliskan.

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yag dapat dijadikan pertimbangan, misalnya:

a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang

tertentu juga bagi orang lain;

c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut;

d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tertentu;

e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; f) Apakah beliau memilkiki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah

dalam hidupnya;

g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko, atau karena keberuntungannya;

h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian.

Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan


(53)

si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik (terjemahan Ary 2007) pada (www.Infoplease.com/homework/wsbiography.html).

2.3.1 Alasan dipilihnya Bapak Aziz Mandri Chaniago

Dalam tulisan ini, penulis memilih Aziz Mandri Chaniago sebagai objek penelitian dikarenakan, beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Minangkabau di antaranya adalah: (a) Beliau adalah salah satu orang yang dapat membuat Saluang Darek yang merupakan alat musik tradisional Minangkabau; (b) Beliau dapat memainkan alat musik Saluang Darek

Minangkabau; (c) Saluang Darek Minangkabau hasil buatan Aziz Mandri Chaniago banyak dipakai oleh masyarakat baik di desa tempat Aziz Mandri Chaniago tinggal ataupun di luar desa tersebut; (d) Pengalaman beliau yang merupakan anak dari seniman Minangkabau membuat Aziz Mandri Chaniago paham mengenai alat musik tradisional Minangkabau.

Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Aziz Mandri Chaniago dan juga dari Istri beliau, dan rekan-rekan beliau. Peranan dan pengalaman beliau menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan pemain musik Minangkabau.

Melalui wawancara penulis akan mencatat kehidupannya berdasarkan dimensi waktu, ide-ide kreatif beliau dalam pembuatan instrumen musik tradisional Minangkabau, dalam hal ini Saluang Darek adalah salah satu instrumen musik tradisional Minangkabau dan juga akan membahas bagaimana


(54)

pengalaman hidup beliau, tanggapan masyarakat khususnya masyarakat di desa Pajak Sore Mabar, Kecamatan Medan Deli, mengenai bentuk instrumen musik tradisional Minangkabau yang dibuat oleh beliau yang sama sekali tidak ada perbedaan dengan yang terdahulu, khususnya pada instrumen Saluang Darek

Minangkabau, bagaimana pendapat orang mengenai dirinya, dan hal-hal lain.

2.3.2 Biografi Aziz Mandri Chaniago

Biografi Aziz Mandri Chaniago akan dideskripsikan dalam tulisan ini mencakup aspek-aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, kehidupan sebagai pembuat alat musik dan tanggapan masyarakat khususnya para seniman musik di Jalan Rumah Pemotongan Hewan, Kelurahan Pajak Sore Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan mengenai keberadaan Bapak Aziz Mandri Chaniago khususnya mengenai Saluang Darek

buatan beliau.

2.3.2.1 Latar belakang keluarga

Bapak Aziz Mandri Chaniago lahir di Padang, kecamatan Tanjung Emas pada tanggal 10 Juli 1970, anak dari Bapak M.Nur dan Ibu Len. Bapak Aziz Mandri Chaniago lahir dari keluarga yang berlatar belakang petani dan tidak dekat dengan musik. Hal itu tidak menjadi penghalang Bapak Aziz Mandri Chaniago untuk mempelajari musik. Beliau mempelajari alat musik dengan cara mendengar orang-orang bermain musik dan mencobanya sendiri. Bapak Aziz Mandri Chaniago mempunyai seorang adik perempuan bernama Ibu Yuni.


(55)

2.3.2.2 Latar belakang pendidikan

Bapak Aziz Mandri Chaniago menginjak pendidikan dasar (SD) pada tahun 1976 di Kecamatan Tanjung Emas, Padang. Beliau juga melanjutkan pendidikan pertama (SMP) di tempat sekolah yang sama pada tahun 1982. Lalu beliau merantau ke kota Bukit Tinggi untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 1985. Kemudian Beliau merantau lagi ke pulau Jawa untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1990. Bapak Aziz Mandri Chaniago adalah seorang sarjana Hukum yang lulus pada tahun 1995 di Universitas Trisakti, Jakarta. Dan pada tahun 1996 beliau kembali ke pulau Sumatera dan menetap di kota Medan sampai dengan sekarang.

2.3.2.3 Berumah tangga

Bapak Aziz Mandri Chaniago menikah pada tahun 1997 dengan istrinya Afriyeti. Dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang putra, yaitu:

1. Muhammad Supri 2. Muhammad Toufiq 3. Muhammad Raehan

Setelah menikah Bapak Aziz Mandri Chaniago memilih untuk berprofesi sebagai wiraswasta dan sekaligus pemusik tradisional Minangkabau dan pembuat alat musik tradisional Minangkabau di rumah beliau yang beralamat di Jalan Rumah Pemotongan Hewan, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Medan.


(1)

Minangkabau yang sudah terkontaminasi dengan perubahan zaman, generasi muda sudah lebih tertarik untuk mempelajari alat musik diluar tradisi seperti gitar, keyboard dan yang lainnya. Sekarang ini semakin dipermudah lagi dengan gadget yang bisa menginstal aplikasi alat musik yang lebih gampang untuk dipelajari dan lebih modern. Faktor lain juga yang mengakibatkan berkurangnya minat masyarakat Minangkabau dan generasi mudanya untuk mempelajari Saluang Darek ini karena bukan hanya teknik memainkannya yang dianggap cukup sulit, cara meniupnya pun bisa dikatakan tidak gampang.


(2)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan, peneliti dapat menarik kesimpulan dari hasil kajian organologis Saluang Darek. Pembuatan Saluang Darek dilakukan oleh seseorang yang ahli, yaitu dari seruas bambu sebagai bahan utama. Alat-alat yang digunakan untuk membuat Saluang Darek antara lain parang, gergaji besi, pisau kecil, solder dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu bambu, kertas pasir, alat ukur tali meteran baju dan pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin. Dibutuhkan waktu 2 hari untuk menyelesaikan 1 buah alat musik Saluang Darek.

Saluang Darek dimainkan dengan cara ditiup dari ujungnya (end blown flute) dengan empat buah lobang penghasil nada. Nada-nada yang dihasilkan oleh Saluang Darek yaitu dari nada terendah sampai nada tertinggi dengan panjang bambu Saluang Darek 58 cm dengan diameter dalam 2,5cm dan diameter luar 9 cm, maka nada tonal yang dihasilkan oleh Saluang Darek adalah nada F (kurang lebih 175 Hz). alat musik Saluang Darek merupakan alat musik melodis yang menghasilkan lima nada (pentatonic), yaitu nada do – re – ri – fa – fi. Kemudian dapat mengikuti tangga nada barat, yaitu jarak nada I ke nada ke II berjarak 1 laras, nada ke II ke nada ke III berjarak ½ laras, nada ke III ke nada ke IV berjarak 1½ laras, nada ke IV ke nada ke V berjarak ½ laras. Maka melalui jarak laras nada


(3)

diatas nada kedua pada Saluang Darek adalah nada G, nada ketiga adalah G#, nada keempat adalah A# dan nada kelima adalah nada B.

5.2 Saran

Menurut legenda, pada zaman dahulu alat musik Saluang Darek ini dimainkan oleh seorang pria yang bernama ‘si Kalam’ sebagai pengungkapan isi perasaan dan untuk mengisi waktu-waktu senggang. Akhirnya ide ‘si Kalam’ ini berkembang terus menjadi sebuah alat kesenian yang mempunyai nilai tersendiri dan menjadi kegemaran masyarakat Minangkabau ketika itu.

Pada zaman sekarang alat musik Saluang Darek sudah hampir punah dan jarang ditemui pada masyarakat Minangkabau. Generasi muda Minangkabau kurang mengenal alat musik ini. Pembuatan Saluang Darek tidak terlalu rumit tetapi tidak semua juga tukang Saluang Darek bisa membuat alat musik ini. Untuk pelestarian alat musik Saluang Darek ini seorang dosen praktek Minangkabau di Etnomusikologi USU yaitu Bapak Zul Alinur dan Bapak Aziz Mandri Chaniago sering mengenalkan Saluang Darek ini kepada kaum muda dan mahasiswa/i untuk menjaga kelestarian alat musik budaya Minangkabau, bukan hanya untuk kaum muda suku Minangkabau tetapi juga kepada suku-suku yang di luar Minangkabau. Akibat dari kemajuan teknologi yang semakin pesat perkembangannya alat musik Saluang Darek ini pun sangat jarang digunakan oleh generasi muda Minangkabau. Generasi muda sekarang ini sudah lebih tertarik pada alat musik modern dan perlahan melupakan alat musik tradisional budayanya sendiri.


(4)

Untuk itu, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Sebagai generasi penerus terkhusus kepada muda-mudi haruslah menjaga kebudayaan tradisional kita dengan menjauhi segala keinstanan kesenian dalam budaya tradisional.

2. Sebagai pemuda-pemudi haruslah melestarikan alat-alat musik tradisional, mulai mencintai kebudayaan sendiri agar alat-alat musik dan kebudayaan kita tidak terkikis oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. 3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintahan agar lebih memperhatikan

alat-alat musik tradisional. Terkhusus kepada masyarakat Minangkabau, alat musik Saluang Darek ini yang sudah sangat jarang dimainkan dan tidak pernah ditampilakan dan di perlombakan dalam pesta budaya tradisional Minangkabau. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat Minangkabau lebih fokus lagi kepada alat-alat musik yang jarang dimainkan dan dipakai di acara hiburan agar alat musik tersebut tidak hilang.

4. Dengan kepribadian kita yang ingin membangun kebudayaan-kebudayaan yang sudah hampir dilupakan oleh orang banyak, kita membangkitkannya dengan cara melestarikannya dan mengutamakan milik warisan budaya kita sendiri.

5. Bagi peneliti berikutnya, peneliti berharap agar skripsi ini dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya agar penelitian ini tidak sampai disini saja. Hal ini bertujuan agar alat-alat musik kebudayaan yang hampir punah dapat terlindungi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent. The Kent State University Press.

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961.Clasification of Musical Instrument. Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman 1961.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.

Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat, 1997. Metode-metode penelitian masyarakat, Jakarta, Aksara

Baru.

Koenjaraningrat, 1980. Sejarah Teori antropologi I. Jakarta: Gramedia. Moleong, L.J, 1990. Penelitian Metodologi Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya. Nadeak Imelda, Miduk. Kajian Organologis Sordam Pakpak Buatan Bapak

Paingot Manik Di Kabupaten Pakpak Bharat, Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Nettle, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe.

Sinulingga, Jacub. Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe, Buatan Bapak Lape Sitepu Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tobing Oktora, Jackry. Kajian Organologis Alat Musik Gambus Buatan Bapak Syahrial Felani, Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Purba Syahputra, Tribudi. Studi Organologis Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun, Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka.

Takari, dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan : Bintang Jaya. www.Budayaindonesia.net


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama: Aziz Mandri Chaniago

Alamat: Jalan Rumah Pemotongan Hewan kelurahan Mabar, kecamatan Medan Deli, Medan

Umur: 43 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta

Pengalaman seni: Pemain alat tiup minang, Budayawan Minangkabau

2. Nama: Zul Alinur

Alamat: Jalan Merpati II No. 9 Prumnas Mandala, Medan Umur: 49 tahun

Pekerjaan: Dosen praktek Minangkabau di Universitas Sumatera Utara Pengalaman Seni: Budayawan Minangkabau di Taman Budaya, Medan

3. Nama: Afri Yety (Istri Bapak Aziz Mandri Chaniago)

Alamat: Jalan Rumah Pemotongan Hewan kelurahan Mabar, kecamatan Medan Deli, Medan

Umur: 37 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta / ibu rumah tangga

Pengalaman seni: Membantu Bapak Aziz Mandri membuat Saluang Darek

4. Nama: Hajizar Koto

Alamat: Jalan Rumah Potong Hewan No. 23 Rt. 09 kelurahan Silaiking Bawah, Padang Panjang

Umur: 60 tahun

Pekerjaan: Dosen ISI Padang Panjang Pengalaman seni: Budayawan Minangkabau