Rumusan Masalah Manfaat Penelitian Epidemiologi HIVAIDS .1 Distribusi dan Frekuensi HIVAIDS Berdasarkan Orang

Universitas Sumatera Utara Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purnama di Puskesmas Tanjung Morawa sejak Agustus 2006 – Mei 2010, dilaporkan bawa jumlah kasus HIVAIDS sebanyak 97 orang Sidebang, 2008. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Desima di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012, dilaporkan bahwa jumlah kasus HIVAIDS sebanyak 145 orang, yaitu 37 kasus HIV dan 108 kasus AIDS Hutapea, 2013. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh jumlah kasus HIVAIDS dari tahun 2013- 2014 terdapat 145 kasus , 61 kasus dari 543 orang yang melakuan tes pada tahun 2013 dan 84 kasus dari 506 orang yang melakukan tes tahun 2014. Jumlah kasus ini diperoleh dari data pengunjung Poliklinik HIVAIDS yang melakukan tes HIV. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita HIVAIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013 – 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik penderita HIVAIDS di RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013 – 2014.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita HIVAIDS di RSUD Djasamen Saragih tahun 2013 – 2014. Universitas Sumatera Utara 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIVAIDS berdasarkan sosiodemografi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIVAIDS berdasarkan transmisi penularan. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIVAIDS berdasarkan keadaan klinis penderita. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIVAIDS berdasarkan jenis infeksi oportunistik. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIVAIDS berdasarkan jumlah CD4 penderita. f. Mengetahui distribusi penderita HIVAIDS berdasarkan tahap terapi Antiretroviral ARV yang diterimanya. g. Mengetahui distribusi penderita HIVAIDS berdasarkan keadaan terakhir penderita. h. Mengetahui distribusi proporsi umur penderita HIVAIDS berdasarkan transmisi penularan. i. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIVAIDS berdasarkan transmisi penularan. j. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIVAIDS berdasarkan keadaan terakhir penderita. k. Mengetahui distribusi proporsi status pekerjaan penderita HIVAIDS berdasarkan transmisi penularan. Universitas Sumatera Utara l. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan penderita HIVAIDS berdasarkan transmisi penularan. m. Mengetahui distribusi proporsi jumlah CD4 penderita berdasarkan transmisi penularan. n. Mengetahui distribusi proporsi keadaan klinis penderita berdasarkan keadaan terakhir penderita.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita HIVAIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Djasamen Saragih Pematangsiantar. b. Sebagai sarana meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai HIVAIDS sehingga masyarakat mau dan mampu melakukan perubahan perilaku dalam mencegah penularan HIVAIDS. c. Sebagai sarana meningkatkan wawasan penulis mengenai HIVAIDS dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masayarakat USU Medan. d. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang berguna dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya mengenai HIVAIDS. Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV dan AIDS

2.1.1 Definisi HIV

HIV Human Imunnodeficiency Virus merupakan oportunis sistem imun yang dapat menggunakan aktivitas sistem imun untuk replikasinya. Virus ini dapat melumpuhkan sebagian besar komponen respons imun penjamu melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung Alam, 2012. HIV merupakan virus golongan retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang klinik-laten, dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses ini, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit Kurniawati, 2011. Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1983 oleh ilmuwan Prancis Montagnier Institute Pasteur, Paris. Beliau mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV, sehingga virus ini dinamakan lymphadenopathy associated virus LAV. Pada tahun 1984 Gallo National Institute of Health, USA menemukan virus human T lymphotropic HTLV-III yang juga menyebabkan AIDS. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV termasuk subfamili Lentivirine dan famili Retroviridae Widoyono, 2008. Universitas Sumatera Utara Virion HIV berukuran sekitar 100 nm dan mengandung dua kopi genom RNA single-stranded. Genom RNA ini dilapisi oleh protein nukleokapsid NC dan kompleks protein-RNA ini dilapisi oleh kapsid CA. Sama seperti virus dengan envelope lainnya, membran virus didapatkan selama proses budding dari sel penjamu, tetapi komponen protein permukaan dan glikoprotein transmembran merupakan hasil pengkodean genom virus. Selain protein stuktural ini, virion juga mengandung tiga protein spesifik yang penting untuk proses replikasi, yaitu reverse transcriptase RT, protase PR, dan integrase IN Alam, 2012.

2.1.2 Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Imunne Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat, ditularkan dari satu orang ke orang lain. Bukan penyakit bawaan. Imunne berarti kebal, sistem pertahanankekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Deficiency berarti kekurangan, menunjukkan adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normalbiasanya. Dan Syndrome berarti sindrom, suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara bersamaan, menunujukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakitkeadaan tertentu. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit sindrom spesifik yang disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh maupun spektum keseluruhan masalah kesakitan yang berkaitan dengan infeksi HIV Ditjen PPPL RI, 1989. Acquired Imunne Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 Baratwidjaja,K.G., 2006. Virus ini menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4 sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap berbagai infeksi. AIDS ini bukan Universitas Sumatera Utara suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti; infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita Murtiastutik, 2008.

2.2 Etiologi dan Patogenesis HIVAIDS

Retrovirus merupakan virus RNA single-stranded dengan envelope. Virus ini akan mengkode reverse transkriptase RNA-dependent DNA polymerase yang mengkopi genom virus menjadi DNA double strainded dan akan berintegrasi dengan genom pejamu. Retrovirus sangat sensitif terhadap faktor- faktor yang dapat mempengaruhi tekanan permukaan, sehingga tidak dapat ditransmisikan melalui udara dan debu, tetapi membutuhkan kontak erat dengan sumber infeksi. Secara garis besar, retrovirus terdiri atas dua kelompok besar, yaitu oncovirus dan lentivirus. Virus HIV termasuk dalam kelompok lentivirus. Lentivirus dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan laten tanpa menyebabkan kematian sel dan kemudian akan bersifat sitolik saat sel yang terinfeksi mendapat stimulasi tertentu Alam, 2012. Secara sederhana sel HIV terdiri dari: 1. Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi polimerase, protease, dan integrase. 2. Kapsid – antigen p24. 3. Sampul antigen p17 dan tonjolan glikoprotein gp120 dan gp41. HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk HIVmembentuk DNA HIV dari RNA Universitas Sumatera Utara HIV melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk Widoyono, 2008. DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk, akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk. Sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepaskan sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun imunosupresi ini akan menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T Widoyono, 2008. HIV menyerang CD4, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T toxic HIV. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebutkan sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivitas sel yang mempresentasikan antigen APC. Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4 dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian ini terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengadung RNA, enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan Baratawidjaja, K.G., 2006. Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untaian rantai ganda akan masuk ke inti sel. Kemudian enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4 kemudian Universitas Sumatera Utara bereplikasi menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis. Selain itu, virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel bobfour plasenta, sel-sel dedrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit Kurniawati, 2011. Patogenesis infeksi HIV merupakan proses yang kompleks dan multifaktoral yang melibatkan faktor penjamu dan virus. Tingkat replikasi virus in vivo menggambarkan keseimbangan antara faktor positif dan negatif yang mengatur ekspresi virus. Tingkat replikasi virus juga berhubungan erat dengan tingkat depresi sel limfosit CD4 dan kecepatan progresi penyakit Alam, 2012. Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada 3 tahun pertama, 50 menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan hampir 100 pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun Kurniawati, 2011. Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer Kurniawati, 2011. Universitas Sumatera Utara Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi imunokompeten akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler HLA-DR; sel T; IL-2R; serum atau humoral beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R dan antibodi unpregulation gp 120, anti p24; IgA. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut Kurniawati, 2011. Pada fase infeksi primer ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, serta timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2 – 4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononukleosis Kurniawati, 2011. Selama infeksi akut, jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut. Individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Universitas Sumatera Utara Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent away ELISA yang akan menunjukkan hasil positif Kurniawati, 2011. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik tanpa gejala. Masa tanpa gejala ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat Kurniawati, 2011. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Fase ini disebut dengan imunodefisiensi. Pada fase ini ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T di dalam serum pasien yang terinfeksi HIV. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4, sitokin IFN χ ; IL-2; IL-6; antibodi down regulation gp120; anti p-24; TNF α ; antinef Kurniawati, 2011. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif Kurniawati, 2011. Universitas Sumatera Utara 2.3 Transmisi HIVAIDS Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan masuknya agen adalah transmisi seksual yang berhubungan dengan semen dan cairan vaginaseviks, serta transmisi non seksual yang berhubungan dengan darah. Hal ini juga terjadi pada transmisi HIV Ditjen PPPL, 1989. Proses penularan virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal melalui hubungan seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal penularan dari ibunya ke bayi yang dikandungnya Murtiastutik, 2008. Penularan HIVAIDS terjadi akibat masuknya cairan tubuh yang mengandung virus HIV melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkoba, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIVAIDS adalah pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana Djoerban, 2010. Penyebaran HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci dimana penularan terjadi melalui penderita yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada kelompok penasun dan perilaku seks yang tidak aman baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual KPA, 2009.

2.3.1 Transmisi Seksual

Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area tersebut, kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu masuknya virus HIV Sonenklar, 2011. Universitas Sumatera Utara Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual Kurniawati, 2011. Hubungan seksual penetrative sexual intercourse baik vaginal maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksaul dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria Irianto, 2014. Pada hubungan seksual ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks, mukosa rektum mudah mengalami perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan tidak diperuntukkan untuk hubungan seksual seperti halnya dinding vagina Irianto, 2014. Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV, karena mukosa rektum sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual secara ano- genital. Risiko ini bertambah bila terjadi perlukaan dengan tangan fisting pada anusrektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genito heteroseksual Ditjen PPPL, 1989. Universitas Sumatera Utara Transmisi HIV melalui hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita maupun sebaliknya. Di negara-negara Afrika, kebanyakan pengidap HIVAIDS mendapat infeksi melalui hubungan heteroseks. Data yang ada menunjukkan bahwa transmisi dari pria pengidap HIVAIDS kepada wanita pasangannya lebih sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria pasangannya. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10 wanita pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV dan hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV Irianto, 2014. Berbagai aktivitas seksual memberikan risiko penularan HIV yang berbeda-beda. Berdasakan urutan gradasi kemungkinan risiko penularan HIV dari yang paling tinggi sampai yang terendah pada berbagai aktivitas seksual adalah sebagai berikut: 1. Hubungan seksual lewat liang dubur ano-genital. 2. Hubungan seksual lewat liang vagina genito-gaenital. 3. Kontak dengan menggunakan mulut oro-genital. 4. Hubungan seksual menggunakan kondom. 5. Ciuman mulut dengan mulut Irianto, 2014.

2.3.2 Transmisi Non-seksual

Menurut Murtiastutik 2008, penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemidahan darah atau produk darah seperti; transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit, jalur transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV kepada janinnya Murtiastutik, 2008. Universitas Sumatera Utara Transmisi melalui transfusi darahproduk darah telah di deteksi di negara- negara barat sebelum tahun 1985 dan di negara-negara berkembang terutama Afrika yang sampai saat ini umumnya belum melakukan pemeriksaandonor darah terhadap HIV. Penularan HIV melalui produk darah juga terjadi di negara yang mendapatkan produk darah dari negara barat, terutama pada penderita hemofilia Irianto, 2014. HIV bisa ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba Injecting Drugs User-IDU sangat berpotensi menularkan HIV. Transmisi HIV non seksual lewat jarum suntik banyak terjadi di negara barat pada kelompok penyalah guna obat biusnarkotika Sonenklar, 2011. Pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan dipakai bersama merupakan salah satu jalur penularan. Penularan dapat berlangsung akibat terjadi perpindahan sejumlah kecil darah yang tertinggi pada jarumsemprit dari satu orang ke orang lain. Irianto 2014 menyebutkan jumlah penderita AIDS di Amerika Serikat pada kelompok penyalah guna obat bius dengan suntikan menempatkan urutan kedua sesudah kelompok homobiseksual pria. Jumlah penyalah guna obat bius dengan suntikan saja sekitar 16,7. Bila disertai dengan ―risk behavior‖ homobiseksual jumlahnya 7,4 Irianto, 2014. Pengguna NAPZA suntik berkontibusi terhadap sepertiga penyebab kasus AIDS di Amerika Sonenklar, 2011. Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 sampai 0.7. Bila ibu terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20 Universitas Sumatera Utara sampai 35, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50. Penularan juga bisa terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, semakin besar risiko penularan. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10 Kurniawati, 2011. Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di bawahnya melalui masuknya darah ibu penderita HIV pada bayinya saat persalinan serta melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan berlangsung Murtiastutik, 2008.

2.4 Gejala Klinis HIVAIDS

Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk klasifikasi gejala infeksi HIV yaitu menurut WHO World Health Organization dan CDC Centre for Diseases Control and Prevention Kurniawati, 2011. Gejala dari infeksi akut HIV menyerupai mononucleosis infeksiosa, meliputi demam, ruam di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, rasa tidak enak badan yang berlangsung 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun pembengkakan kelenjar getah bening masih terjadi. Seiring dengan penurunan imunitas tubuh, penderita akan memperlihatkan gejala-gejala kronis seperti diare lebih dari satu bulan, berat badan menurun hingga 10 dalam satu bulan, demam berkepanjangan selama satu bulan, nafas pendek, serta bercak putih Universitas Sumatera Utara pada lidah kandidiasis oral. Ketika sistem imun sudah semakin buruk, maka muncul penyakit oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum, terutama sarkoma kaposi. Penderita pada tahap ini sudah dikategorikan ke dalam AIDS Sonenklar, 2011.

2.4.1 Klasifikasi menurut CDC

CDC mengklasifikasikan HIVAIDS pada remaja 13 tahun dan dewasa berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 dan tiga kategori klinis, yaitu: 1. Klasifikasi berdasarkan tiga kisaran CD4 a. Kategori 1 : ≥ 500 selμ l b. Kategori 2 : 200-499 sel μ l c. Kategori 3 : ≤ 200 selμ l Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 yang terendah dari pasien. Kurniawati, 2011. 2. Klasifikasi Berdasarkan Kategori Klinis a. Kategori Klinik A Klinik Laten Meliputi infeksi HIV tanpa gejala asimptomatik, limfadenopati generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut Kurniawati, 2011. Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan gejala infeksi HIV. Pada orang dewasa yang terinfeksi HIV, fase ini Universitas Sumatera Utara berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescence Assay IFA menunjukan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4 500 sel μ l Kurniawati, 2011. b. Kategori B Simptomatik Terdiri atas kondisi dengan gejala simptomatik pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel cell mediated immunity, atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Displasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul, listeriosis, oral hairy leukoplakia,purpura idiopatik trombositopenik, serta demam 38,5 ᵒ atau diare lebih dari satu bulan Kurniawati, 2011. Individu yang terinfeksi HIV dapat nampak sehat selama beberapa tahun dan tanda dan gejala minor dari infeksi HIV mulai nampak. Jumlah virus dalam darah akan menunjukkan peningkatan, sementara pada saat yang sama jumlah limfosit CD4 menurun hingga mencapai 500 sel μ l. Individu dengan kondisi kategori B, akan tetap dalam kategori B. Tapi keadaan ini bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi kategori C apabila terjadi kondisinya semakin parah, dan juga tidak dapat kembali lagi ke kategori A bila bersifat asimptomatik Kurniawati, 2011. Universitas Sumatera Utara c. Kategori C AIDS Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap ini, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan, meliputi: Kandidiasis bronki, trakea, dan paru, kandidiasis esophagus, kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis menyebar atau di paru, kriptokokosis di luar paru, retinitis virus stimegalo, ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya, bronkitis, esofagitis atau pneumonia, histoplasmosis menyebar atau di luat paru, Isosporiasi intestinal kronis lebih sebulan lamanya, Sarkoma Kaposi, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik, Limfoma primer di otak, Mycobacterium avium complex atau M. kansassi tersebar atau di luar paru, Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di luar paru, Pneumonia Pneumocystis carinii, Pneumonia yang berulang, Leukoensefalopati multifokal progresif, Toksoplasmosis di otak, serta Septikemia Salmonella yang berulang Kurniawati, 2011. CDC juga membagi kategori C AIDS ke dalam 2 tahapan, yaitu; tahap tanda dan gejala lanjut HIV serta tahap akhir penyakit HIV. Tahap Tanda dan Gejala Lanjut HIV, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan. Perkembangan pneumonia Pneumocystis carinii, toxoplasmosis, cyptosporidiosis, dan infeksi oportunistik lainnya yang biasa terjadi. Individu dapat pula mengalami kehilangan atau penurunan berat badan, jumlah virus terus meningkat, jumlah Universitas Sumatera Utara limfosit CD4 menurun hingga 200 sel μ l. Pada keadaan ini individu akan dinyatakan sebagai penderita AIDS Kurniawati, 2011. Sedangkan pada tahap akhir penyakit HIV, Individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi sitomegalovirus, kompleks Mycobacterium avium, Meningitis cyptococcal, Leukoencephalophaty multyfocal yang progresif, dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus sangat meningkat dan jumlah limfosit CD4 50 sel μ l. Kematian bisa dikatakan sudah sangat dekat. Sekali kondisi kategori C ini terjadi, maka individu akan tetap pada kategori ini walaupun ada kemungkinan kondisi ini dapat berubah Kurniawati, 2011. Klasifikasi CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit, penderita yang dikategorikan ke kelas A3, B3, C1-3 dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan klasifikasi ulang, meskipun terjadi perbaikan status imunologi misalnya peningkatan nilai CD4 karena pengaruh terapi atau faktor fisik Kurniawati, 2011.

2.4.2 Klasifikasi Menurut WHO

Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4 tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik Kurniawati, 2011. Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan 10, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, tuberkulosis. Gejala minor terdiri Universitas Sumatera Utara dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, sarkoma kaposi Widoyono, 2008. Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO dibagi menjadi 4 stadium klinis, yaitu : a. Stadium I Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati Generalisata Persisten LGP: yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap Kurniawati, 2011. b. Stadium II Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun 10, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo, Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis bakterialis Kurniawati, 2011. c. Stadium III Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur 50, berat badan menurun 10, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, Oral hairy leukoplakin, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis Kurniawati, 2011. Universitas Sumatera Utara d. Stadium IV Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur 50, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan 1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV Kurniawati, 2011.

2.5 Diagnosa HIVAIDS

HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia nyeri otot, demam dan berkeringat. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan Kurniawati, 2011. Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

1. ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay. Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena Universitas Sumatera Utara penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif Kurniawati, 2011. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 -100. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 Widoyono, 2008.

2. Western Blot

Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif Kurniawati, 2011. Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6-100. Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam Widoyono, 2008. Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini merupakan tes lanjutan dari pemeriksaan ELISA Djoerban, 2010. Universitas Sumatera Utara Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme- labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90 Alam, 2012. Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band dari 3 protein p24, gp41, atau gp120, tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol, env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi Alam, 2012.

3. PCR Polymerase chain reaction

PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas Kurniawati, 2011. PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi, tes pada kelompok Universitas Sumatera Utara berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk HIV-2 Widoyono, 2008. a. PCR HIV DNA Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur. Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100. Walaupun demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi virus dengan strain berbeda Alam, 2012. b. PCR HIV RNA Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer, walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV, bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4 yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA yang ada saat ini antara lain: HIV-1 RNA reverse transcriptase- polymerase chain RT-PCR, pengukuran kualitatif HIV RNA dengan branched DNA, pengukuran kuantitatif HIV-RNA nucleic acid Universitas Sumatera Utara sequence-based amplification [NASBA] HIV-1 RNA QT assay Alam, 2012. WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test dipstick sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Menurut WHO dalam mendiagnosis AIDS, minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain Widoyono, 2008. Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes terhadap antibodi HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian Djoerban, 2010. 2.6 Epidemiologi HIVAIDS 2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIVAIDS

a. Berdasarkan Orang

Distribusi penderita HIVAIDS menurut umur di Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan ASIA tidak berbeda jauh. Kelompok terbesar adalah golongan umur 30-39 tahun, disusul dengan golongan umur 40-49 tahun dan 20-29 tahun Irianto, 2014. Sedangkan distribusi penderita menurut jenis kelamin, penderita AIDS di Afrika dan Amerika SerikatEropa menunjukkan pebedaan yang jelas Universitas Sumatera Utara sesuai dengan transmisi penularan yang dominan di negara-negara tersebut. Rasio antara pria dan wanita di Afrika hampir sama 1:1, sedangkan di Amerika SerikatEropa bervariansi antara 10 sampai 25 kali lebih banyak penderita laki-laki Irianto, 2014. Berdasarkan data dari UNAIDS 2008, lebih dari 7.400 orang didiagnosa terinfeksi HIV per hari pada tahun 2008, dan 97 dari mereka yang terinfeksi tinggal di negara miskin dan berkembang. Terdapat 1.200 orang penderita berusia 15 tahun, dan juga 3.000 orang berusia 15-24 tahun. Serta 48 dari kasus baru tersebut adalah perempuan Sonenklar, 2011. Epidemi penyakit ini telah meningkat dengan menampakkan wajah perempuan. Perempuan yang berumur di atas 16 tahun berkontribuasi hampir 50 dalam populasi dengan infeksi HIV penyakit AIDS di wilayah sub- Sahara Afrika jumlahnya mendekati 60, juga menunjukkan kecenderungan meningkat pula. Kunci demografi yang lain mengarah pada kelompok umur 15-24 tahun, karena orang-orang dalam kelompok umur ini menyumbangkan hampir 13 dari jumlah seluruh penderita terinfeksi HIV Subowo, 2010. Menurut Kemenkes RI sampai Desember 2013, kasus AIDS tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 tahun. Jika dilihat dari jenis kelamin, kasus pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan yaitu sebesar 15.565 orang, dan faktor risiko penularan yang paling banyak adalah heteroseksual sebanyak 32.719 kasus, diikuti IDU 8.407 kasus, transmisi perinatal 1.438 kasus, homoseksual 1.274 kasus dan transfusi darah 123 kasus Kemenkes, 2014. Universitas Sumatera Utara Situasi masalah HIV-AIDS Januari-Maret tahun 2014 menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Balitbangkes Kemenkes RI kasus HIV dari bulan Januari sampai dengan Maret 2014 dilaporkan sebanyak 6.626 kasus yang terinfeksi HIV. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun 72,3, diikuti kelompok umur 20-24 tahun 15, dan kelompok umur ≥ 50 tahun 5,8. Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Sedangkan presentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual 55,6, LSL lelaki seks lelaki 14,7, dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun 7 Balitbangkes RI, 2014. Untuk kasus AIDS, Balitbangkes RI 2014 melaporkan bahwa persentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun 33,4, diikuti kelompok umur 20-29 tahun 31,2 dan kelompok umur 40-49 tahun 21,4. Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Dan Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual 88, LSL lelaki seks lelaki 5,5, dan dari ibu positif HIV ke anak 2-6 dan pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun 1,3 Balitbangkes RI, 2014. Dinkes Sumut 2012 menyatakan berdasarkan karakteristik penderita diketahui penderita terbanyak adalah pria sekitar 75 dan wanita yaitu 25. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65 dan pengguna jarum suntik IDU 26. Presentase penularan dari ibu ke bayi perinatal meningkat dari 0,6 pada tahun 2007 menjadi 1,6 pada tahun Universitas Sumatera Utara 2012. Berdasarkan golongan umur yaitu 84 adalah kelompok usia 20-39 tahun, dan berdasarkan kewarganegaran diketahui 99,2 adalah Warga Negara Indonesia Dinkes Sumut, 2012.

b. Berdasarkan Waktu

Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014

2 69 130

Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

10 131 148

Gambaran Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Adaptasi Fisiologis Selama Kehamilan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar Tahun 2012

1 56 105

Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Loyalitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar

14 119 208

Karakteristik Penderita Diabetes mellitus Yang Dirawat Inap Di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2004-2008.

1 40 117

Hubungan Motivasi dengan Kinerja Petugas Rekam Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar Tahun 2007

10 72 108

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Berprestasi Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2007

0 25 81

Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

0 0 19

Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Loyalitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar

0 0 45

Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Loyalitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar

0 0 17