103
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
ASEAN merupakan organisasi kerjasama antar negara di kawasan Asia Tenggara. Sejak dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, ASEAN mengalami
banyak perubahan. Perubahan terjadi dalam hal keanggotaan yang awalnya hanya lima negara menjadi sepuluh negara anggota. Peningkatan kuantitas anggota ini
secara otomatis meningkatkan potensi sengketa antar negara anggota ASEAN. Keadaan ini menimbulkan kesadaran dari negara-negara anggota bahwa ASEAN
belum mewujudkan suatu perasaan kolektif yang menjadikan negara-negara ASEAN sebagai keluarga. Keinginan untuk menciptakan suatu perasaan kolektif
ini diwujudkan dengan ide pembentukan komunitas Asia Tenggara yang “saling perduli dan berbagi” yang disampaikan pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur
yang dikenal dengan “ASEAN Vision 2020”. Pada tahun 2003 para pemimpin negara ASEAN memproklamirkan
pembentukan komunitas ASEAN ASEAN Community yang terdiri atas tiga pilar, yakni Komunitas Kemanan ASEAN ASEAN Security Community- ASC,
Komunitas Ekonomi ASEAN ASEAN Economic Community-AEC, dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC
yang saling mengikat dan memperkuat untuk mencapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian yang dapat dipertahankan, stabilitas dan kemakmuran yang
terbagi di kawasan Asia Tenggara.
Universitas Sumatera Utara
104
Bentuk organisasi pun kemudian berubah, ASEAN yang pada awalnya bersifat longgar menjadi organisasi yang berdasarkan hukum pasca disepakatinya
Piagam ASEAN pada tahun 2008. Hadirnya ASEAN Charter tersebut juga mengubah ASEAN Security Community menjadi ASEAN Political-Security
Community. Selain perubahan nama pilar komunitas, penerapan Komunitas ASEAN juga dipercepat menjadi tahun 2015. Percepatan itu pun didukung dengan
disahkannya cetak biru dari masing-masing pilar komunitas ASEAN untuk menjadi panduan dalam membentuk identitas bersama yang merupakan ciri
komunitas. Komunitas ASEAN ini sendiri akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas, bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk
keamanan manusia human security Keamanan manusia sendiri merupakan perubahan fokus dalam keamanan
negara. Ancaman terhadap keamanan negara tidak hanya dianggap datang dari negara lain dalam bentuk perang yang membahayakan kedaulatan negara.
Keamanan negara juga dapat terancam dari sisi manusia yang hidup di dalamnya atau dalam bentuk ancaman keamanan non tradisional. APSC sendiri menyadari
hal tersebut dan memasukkan bentuk-bentuk ancaman tersebut ke dalam cetak birunya. Bentuk ancaman keamanan tersebut antara lain, terorisme, peredaran
ilegal dan penyalahgunaan narkoba, perdagangan ilegal senjata, perdagangan manusia, cybercrimes hingga manajemen bencana.
Penanganan yang dilakukan pun berbeda, masalah keamanan tradisional harus dihadapi dengan kekuatan militer sedangkan masalah keamanan non
Universitas Sumatera Utara
105
tradisional dapat dihadapi dengan penguatan undang-undang, badan-badan sektoral, serta kerjasama antar negara seperti yang dilakukan Indonesia dengan
mengikuti APSC. Hal tersebut perlu dilakukan karena untuk mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisional harus ada landasan hukum yang
kuat. Landasan hukum tersebut akan menjadi pedoman dari segala tindakan yang dapat dilakukan oleh badan-badan sektoral dalam mencegah dan menangani
masalah keamanan non tradisional. APSC sendiri telah menyadari hal tersebut, dibuktikan dengan isi cetak
birunya, baik yang disahkan pada tahun 2009 maupun perubahannya pada tahun 2015. Terdapat banyak tindakan yang merupakan upaya penguatan terhadap
undang-undang dan badan-badan sektoral dalam mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisional di negara-negara ASEAN. Penguatan ini
menjadi upaya utama karena Komunitas Politik-Keamanan ASEAN memiliki berbagai prinsip yang menghalangi intervensi berlebih terhadap masalah suatu
negara oleh negara-negara lain. Maka, sebagai upaya membentuk kesamaan pandangan terhadap masalah keamanan non tradisional oleh seluruh negara
anggotanya dilakukanlah penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral di masing-masing negara. Penguatan itu dipandu oleh tindakan-tindakan yang diatur
dalam cetak biru APSC. Sebagai negara yang menggagas dan juga ikut dalam pelaksanaan APSC,
Indonesia memiliki berbagai masalah keamanan non tradisional terutama terorisme dan narkoba. Terorisme dan narkoba ialah dua masalah yang paling
Universitas Sumatera Utara
106
banyak tindakannya di dalam cetak biru APSC. Konsekuensi keikutsertaannya adalah Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang ada dalam cetak biru
APSC, termasuk dalam masalah terorisme dan narkoba. Tindakan yang dilakukan tersebut ialah penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral. Penguatan
dilakukan dengan melihat pada cetak biru APSC, maupun kesepakatan- kesepakatan yang hadir dari berbagai forum di ASEAN yang diikuti oleh
Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan tersebut dapat berupa konvensi maupun rencana kerja yang lebih bersifat taktis.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki undang-undang dan badan-badan terkait masalah terorisme dan narkoba. Namun, keberadaannya masih belum
mencapai standar yang diharapkan dalam cetak biru APSC. Pada masalah terorisme, masih terdapat kesenjangan antara kondisi yang diharapkan oleh APSC
dengan keadaan undang-undang di Indonesia. Kesenjangan itu terlihat dengan belum ada diaturnya masalah pencegahan baik itu deradikalisasi maupun yang
lainnya dalam undang-undang tentang terorisme. Undang-undang terkait masalah narkoba, khususnya narkotika sendiri
lebih maju dengan dimasukkannya prekursor, kerjasama penanganan narkotika, serta pembuatan laboratorium untuk mengembangkan keilmuan tentang narkotika
yang merupakan tindakan-tindakan dalam cetak biru APSC. Namun, masalah narkoba bukan hanya tentang narkotika, masih ada psikotropika yang
pengaturannya masih menggunakan undang-undang lama. Bahkan, zat adiktif
Universitas Sumatera Utara
107
sendiri hanya diatur dengan peraturan pemerintah dan terkhusus pada masalah zat adiktif dalam bentuk tembakau.
Hal tersebut menjadi bukti bagaimana masih kurangnya kapabilitas nasional Indonesia dalam menghadapi permasalahan terorisme dan narkoba.
Rendahnya kapabilitas nasional yang dimiliki Indonesia dalam hal peraturan dan badan-badan sektoral menjadi celah bagi masuk dan berkembangnya ancaman
keamanan non tradisional di Indonesia. Bila melihat dari sudut pandang realisme, maka negara dapat melakukan kerjasama dengan negara lain dalam masalah
keamanan. Indonesia memilih bekerjasama dalam bentuk Komunitas Politik- Keamanan ASEAN ASEAN Political-Security CommunityAPSC.
Keberadaan APSC sendiri dapat dianalisis dengan realisme yang menunjukkan sebagai sebuah struktur sistem internasional APSC bersifat anarki.
Maksudnya, di dalam APSC tidak ada negara yang menjadi negara yang menjadi pemerintah bagi negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena dalam pandangan
realisme negara harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global. Kondisi sistem internasional yang
anarkis akan menyebabkan tiap negara mengejar ketertinggalan dalam hal kapabilitasnya dan akan merasa terancam dengan kapabilitas yang lebih besar dari
negara lain. Melihat kenyataan tersebut, maka APSC melalui cetak birunya berfokus
pada upaya penguatan peraturan dan badan-badan sebagai kapabilitas nasional tiap negara anggota. Upaya itu menjadi kunci dari upaya penciptaan kondisi
Universitas Sumatera Utara
108
balance of power yang dalam pandangan realisme akan mengurangi potensi konflik antar negara. Keberadaan kapabilitas nasional yang setara juga akan
mempermudah integrasi kawasan demi mewujudkan identitas kawasan yang menjadi ciri dari keberadaan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.
Berkembangnya ASEAN dari organisasi yang bersifat longgar hingga menjadi organisasi yang berdasarkan hukum memberikan perubahan signifikan
terhadap kondisi negara anggotanya. Kemunculan APSC yang memiliki cetak biru sebagai landasan bagi tindakan tiap negara dalam mengikutinya merupakan
contoh dari perkembangan ASEAN tersebut. Perkembangan ini juga terlihat dengan munculnya konvensi-konvensi yang mengikat negara-negara anggota
ASEAN. Terkait masalah terorisme misalnya, terdapat ASEAN Convention On Counter Terrorism yang turut diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, Indonesia akan
melakukan perubahan dalam undang-undangnya menyesuaikan dengan isi dan standar dari konvensi itu.
Masalah narkoba sendiri masih belum memiliki konvensi yang secara khusus mengikat negara-negara ASEAN. Namun, sudah banyak kesepakatan baik
berupa deklarasi, pernyataan, maupun rencana kerja untuk mewujudkan Drug Free ASEAN. Terorisme dan narkoba merupakan dua masalah yang paling banyak
langkah-langkahnya di dalam cetak biru APSC dalam bagian keamanan non tradisional. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian dari negara-negara anggota
ASEAN terhadap kedua permasalahan ini. Berbagai kesepakatan dan tindakan yang telah ada menunjukkan adanya peluang untuk pengurangan ancaman
Universitas Sumatera Utara
109
terorisme dan narkoba. Peluang tersebut hadir karena berbagai kesepakatan yang ada mengarahkan pada penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral di
tiap negara ASEAN. Peluang yang muncul dari adanya kerjasama tersebut bila dilihat dari sudut
pandang realisme adalah peningkatan kapabilitas nasional. Hal tersebut terjadi karena tindakan-tindakan yang diatur dalam APSC tidak menjadikan ASEAN
sebagai pihak utama dalam menjamin keamanan nasional tiap negara anggotanya. APSC melalui cetak birunya hanya memberikan panduan untuk peningkatan
kapabilitas nasional tiap negara yang juga ditujukan untuk memperkecil perbedaan kapabilitas antar negara demi mewujudkan balance of power. Hal
tersebut merupakan bentuk dari asumsi realisme yang menyatakan bahwa negara tidak boleh bergantung pada organisasi internasional atau hukum internasional
untuk masalah keamanannya. Kesetaraan dalam undang-undang di tiap negara akan menyebabkan
masing-masing negara melakukan tindakan yang sama untuk mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba. Kondisi itu menempatkan Indonesia
pada posisi yang diuntungkan dalam penerapan APSC ini. Hal tersebut terjadi karena tiap negara anggota APSC yang turut mencegah dan menangani
permasalahan keamanan non tradisional di negaranya masing-masing dapat mengurangi potensi meluasnya ancaman tersebut ke Indonesia.
APSC sendiri dapat ditinggalkan Indonesia, apabila dalam perjalannya sudah tidak adalagi kepentingan Indonesia dalam pelaksanaan APSC. Hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
110
dibenarkan dalam pandangan realisme. Segala kerjasama dan juga perjanjian internasional dapat dikaji ulang dan dihentikan apabila sudah tidak sesuai dengan
kepentingan nasional sebuah negara.
4.2. Saran