83
badan sektoral, namun ada pula yang menolak dengan berbagai alasan. Terutama saat pemerintah memutuskan untuk melakukan kerjasama antar negara untuk
mencegah dan menangani masalah keamanan negara. Padahal dengan makin terorganisirnya serta perubahan sifat menjadi kejahatan lintas negara menjadikan
terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba membutuhkan kerjasama dengan negara lain untuk mencegah dan menanganinya
Bila melihat teori realisme, tidak lengkapnya undang-undang merupakan bentuk dari kelemahan kapabilitas nasional. Lemahnya kapabilitas dalam
mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba akan menjadi celah bagi terganggunya keamanan negara. Padahal keamanan negara adalah prioritas utama
dari tiap negara. Berdasarkan teori realisme, Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan negara lain untuk kepentingan keamanannya. Kerjasama
tersebut juga dapat dijadikan upaya dalam memperkecil celah atau kesenjangan antara undang-undang dengan kondisi terorisme dan narkoba di Indonesia.
3.2. ASEAN Political-Security Community sebagai Pilihan Kerjasama
Masalah terorisme dan narkoba di Indonesia seperti dipaparkan sebelumnya merupakan ancaman bagi keamanan, perdamaian dan stabilitas
negara. Ancaman tersebut dapat mengganggu jalannya pembangunan di Indonesia. Kesenjangan antara undang-undang dan badan-badan sektoral dengan
ancaman terorisme dan narkoba menjadi hambatan dalam upaya pencegahan dan penanganan permasalahan terorisme dan narkoba di Indonesia. Hal tersebut
menjadikan Indonesia berinisiatif untuk menggagas kerjasama antar negara.
Universitas Sumatera Utara
84
Kerjasama antar negara dipilih dengan negara-negara ASEAN yang kondisi geografisnya saling berdekatan. Hal itu terjadi karena perbatasan antar negara
ASEAN yang saling berdekatan dapat menjadi lokasi terjadinya kejahatan lintas negara. Kerjasama politik dan keamanan antar negara ASEAN yang saling
berdekatan akan mempermudah pencegahan dan penanganannnya. Isu-isu keamanan non tradisional seperti dipaparkan sebelumnya
merupakan suatu tantangan baru bagi stabilitas keamanan di negara-negara anggota ASEAN. Kejahatan ini bersifat kompleks, terorganisir dengan
menggunakan teknologi mutakhir dan dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara. Mengingat kejahatan ini berkarakter lintas negara, maka
untuk menanganinya mutlak diperlukan upaya kerja sama antar negara.
144
Indonesia menggagas ASEAN Security Community yang disampaikan saat Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ASEAN Ministerial MeetingAMM ke-36
di Phnom Penh, Kamboja pada Juni 2003.
145
Gagasan tersebut kemudian disahkan dalam
Deklarasi Bali Concord II di Bali tahun 2003 mengenai upaya perwujudan Komunitas ASEAN dengan ketiga pilarnya politik-
keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.
146
144
Lihat :Media Publikasi Direktorat Kerjasama ASEAN. 2015. Masyarakat ASEAN : Maju Bersama Masyarakat ASEAN “ASEAN Adalah Kita” Edisi 10 Desember 2015. Jakarta : Direktorat Kerjasama
ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia hal. 8 diunduh dari
Dipilihnya bentuk komunitas keamanan karena sejarah panjang ASEAN yang tanpa perang hingga tidak perlu membentuk
suatu pakta pertahanan atau aliansi militer.
http:www.kemlu.go.id MajalahASEAN20Edisi2010.pdf pada 21 Maret pukul 14.00 WIB
145
C.P.F. Luhulima, dkk. Op Cit. hal. 35.
146
Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
85
Keamanan komprehensif sebagai pendekatan utama dalam perwujudan APSC sendiri terletak pada poin B cetak biru APSC yang berbunyi “A Cohesive,
Peaceful and Resilent Region with Shared Responsibility for Comprehensive Security”, yang terdiri dari enam sub bagian.
147
Cetak biru itu sendiri secara formal diimplementasikan pada tahun 2015, namun sejak disahkan pada 2009 telah dimulai pelaksanaan langkah-langkah aksi
yang terdapat dalam cetak biru APSC. Pada pertemuan APSC ke-13 di sela-sela KTT ASEAN ke-27 disampaikan oleh sekretaris jenderal ASEAN bahwa per
tanggal 20 November 2015 seluruh langkah aksi dalam cetak biru APSC yang berjumlah 146 telah terlaksana. Sementara, langkah aksi yang bersifat
berkelanjutan dimasukkan ke dalam APSC Blueprint 2025 untuk diimplementasikan dalam jangka sepuluh tahun ke depan.
Salah satu dari sub bagian tersebut memasukkan isu keamanan non tradisional sebagai masalah yang harus ditangani.
Penanganan tersebut dilakukan sebagai upaya membentuk kawasan yang kompak, damai, dan elastis. Tindakan yang dilakukan adalah melalui mekanisme-
mekanisme yang diatur dalam cetak biru tersebut.
148
KTT ASEAN ke 27 tepatnya pada tanggal 22 November 2015 menyepakati perubahan dalam cetak biru dari ketiga komunitas ASEAN yang
bertajuk ASEAN 2025 : Forging Ahead Together. Bagian B dari cetak biru ini berubah menjadi, “Peaceful, Secure and Stable Region”, namun tetap terdapat
enam sub bagian yang dianggap sebagai kunci dari perwujudan perdamaian,
147
Lihat : ASEAN Political-Security Community Blueprint. hal. 8-14
148
Lihat :Media Publikasi Direktorat Kerjasama ASEAN. 2015. Op Cit. hal. 16
Universitas Sumatera Utara
86
keamanan, dan stabilitas kawasan.
149
Sesuai dengan teori realisme yang menyatakan tidak ada pemerintahan dalam politik internasional, maka APSC menjadikan tiap negara yang berada di
dalamnya setara dan tidak ada negara yang menjadi pemegang hak veto untuk menghukum negara lain. Hal tersebut akan memperkecil kemungkinan konflik
akibat merasa kedaulatan negaranya terancam oleh sanksi dari negara pemegang Permasalahan keamanan non tradisional
juga masuk menjadi salah satu sub bagian dari bagian B ini. Cetak biru yang baru ini secara lebih rinci memberikan panduan tentang apa saja yang harus dilakukan
sebagai tindakan dalam pelaksanaan APSC termasuk dalam permasalahan keamanan non tradisional.
APSC yang merupakan kerjasama dalam bidang keamanan dapat dianaliss dengan realisme. Hal tersebut teradi karena realisme meletakkan keamanan negara
sebagai kepentingan nasional yang harus diperjuangkan dalam hubungan internasional. Realisme menyatakan bahwa negara diperbolehkan memanfaatkan
kerjasama untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Sebagai kerjasama antar negara, APSC menjadi sebuah struktur sistem internasional. Keberadaan APSC
sebagai sebuah struktur sistem internasional juga bersifat anarki. Maksudnya, di dalam APSC tidak ada negara yang menjadi negara yang menjadi pemerintah bagi
negara lainnya. Hal tersebut terjadi karena dalam pandangan realisme negara harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme
pemerintahan global.
149
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 29-49.
Universitas Sumatera Utara
87
hak veto. Komunitas politik-keamanan ini dipilih sebagai upaya menjaga keamanan negara tanpa mengganngu kedaulatan negara anggota lainnya karena
dalam cetak biru APSC terdapat prinsip independensi, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, non interference, dan identitas nasional. Artinya tiap negara
menghormati negara lain dalam urusan negara masing-masing dan hal tersebut akan menghindarkan konflik yang menambah ancaman keamanan bagi tiap
negara. Analisis berikutnya, Komunitas Politik-Keamanan ASEAN merupakan
perwujudan dari defensive realism yang memahami bahwa tidak baik memiliki kapabilitas negara yang sangat besar dari negara lainnya karena hanya akan
meningkatkan potensi konflik. Selain itu, komunitas politik-keamanan ASEAN yang menginginkan adanya kesetaraan kapabilitas antar negara anggota
merupakan upaya penciptaan kondisi balance of power antara negara-negara di kawasan. Upaya tersebut akan menyebabkan pengurangan potensi konflik antar
negara untuk berfokus dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional. Negara-negara di kawasan ASEAN melalui cetak biru APSC diarahkan untuk
membentuk peraturan yang kuat dalam mencegah gangguan mulai dari kejahatan lintas negara berbentuk terorisme, perdagangan gelap dan penyalahgunaan
narkoba. Penguatan peraturan dan badan-badan di dalam negara masing-masing
dipercaya dapat mencegah dan menangani permasalahan keamanan di kawasan. Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan yang sama dari negara-negara di
Universitas Sumatera Utara
88
kawasan tentang ancaman keamanan di negaranya yang sebenarnya juga ancaman keamanan di negara lain. Kemudian, upaya pencegahan dan penanganan akan
dilakukan di dalam negara tersebut hingga ancaman keamanan tidak akan menyebar ke negara lain di kawasan. Kondisi tersebut merupakan upaya
menciptakan kawasan yang aman, damai dan stabil. Selain sebagai upaya dalam mencegah dan menangani permasalahan
terorisme dan narkoba, penguatan peraturan dan badan-badan di tiap negara juga memiliki fungsi lain. Realisme percaya bahwa dengan kondisi sistem
internasional yang anarkis tiap negara akan mengejar ketertinggalan dalam hal kapabilitasnya dan akan merasa terancam dengan kapabilitas yang lebih besar dari
negara lain. Penguatan peraturan dan badan-badan sebagai kapabilitas nasional tiap negara anggota menjadi kunci dari upaya penciptaan kondisi balance of
power yang dalam pandangan realisme akan mengurangi potensi konflik antar negara. Keberadaan kapabilitas nasional yang setara juga akan mempermudah
integrasi kawasan demi mewujudkan identitas kawasan yang menjadi ciri dari keberadaan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.
Kondisi balance of power harus diwujudkan melalui APSC karena kesenjangan kapabilitas nasional antara satu negara dengan negara lain hanya
akan memicu kecurigaan. Kecurigaan tersebut dapat menimbulkan konflik antar negara di kawasan. Konflik tersebut dapat menghambat persatuan di kawasan dan
menjadi celah bagi muncul dan berkembangnya ancaman terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
89
Kondisi tersebut akan menghambat pembangunan dan kegiatan perekonomian dan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, berdasarkan
teori realisme, APSC haruslah berupaya mewujudkan balance of power agar tercipta kondisi aman, damai dan stabil di kawasan.
Berkembangnya ASEAN dari organisasi yang bersifat longgar hingga menjadi organisasi yang berdasarkan hukum memberikan perubahan signifikan
terhadap kondisi negara anggotanya. Kemunculan APSC yang memiliki cetak biru sebagai landasan bagi tindakan tiap negara dalam mengikutinya merupakan
contoh dari perkembangan ASEAN tersebut. Tindakan-tindakan yang ada di APSC menjadi panduan dan standar bagi tiap negara untuk membentuk suatu
identitas kawasan hingga tercipta kawasan yang terintegrasi. Integrasi kawasan merupakan syarat utama keberlangsungan komunitas politik keamanan ASEAN.
Penguatan undang-undang dan badan-badan di tiap negara menjadi upaya menciptakan balance of power hingga mengurangi potensi konflik untuk
mempermudah integrasi kawasan. Berkurangnya konflik antar negara di kawasan akan menyebabkan negara-negara di ASEAN mampu berfokus mencegah dan
menangani masalah keamanan negaranya, khususnya terorisme dan narkoba. Kemunculan APSC sebagai salah satu pilar dari komunitas ASEAN
memberikan suatu peluang tersendiri dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. ASEAN Political-Security Community dibangun dengan pendekatan
keamanan komprehensif dan tidak mengarah pada sebuah pakta pertahanan atau
Universitas Sumatera Utara
90
aliansi militer maupun kebijakan luar negeri bersama.
150
Upaya penciptaan identitas bersama itu juga dipengaruhi oleh dinamika politik di dalam negara tiap anggota ASEAN, seperti yang terjadi di Indonesia,
Sebagai negara yang menganut demokrasi, terdapat kebebasan berpendapat di Indonesia untuk berbagai permasalahan. Hal itu juga terjadi dalam menyikapi
kondisi politik internasional. Sering terjadi protes dalam bentuk demonstrasi yang terkadang melakukan tindakan penghinaan terhadap negara lain oleh masyarakat
Indonesia. Kejadian tersebut pun sering menyebabkan Indonesia mendapat reaksi negatif dari negara-negara yang merasa dilecehkan oleh aksi demonstrasi tersebut.
Aksi para demonstran tersebut lahir dari anggapan tindakan-tindakan negara lain khususnya di ASEAN yang merugikan Indonesia. Contohnya dalam kasus
Peluang untuk mengahadapi masalah terorisme dan narkoba tersebut muncul dari intensnya
pertemuan-pertemuan antar negara yang menghasilkan kesepakatan terkait masalah terorisme dan narkoba yang dianggap sebagai kejahatan lintas negara di
kawasan. Kesepakatan itu dapat berupa konvensi, atau hanya bersifat pernyataan bersama yang menjadi bentuk komitmen dari tiap negara dalam menghadapi
permasalahan tersebut. Kesepakatan bersama itu merupakan konsekuensi dari komunitas keamanan yang mengupayakan adanya penciptaan suatu identitas
bersama dari tiap negara anggotanya secara bersama dan terus menerus hingga dapat menjaga stabilitas negara-negara anggotanya.
150
Tim Penyusun. Op Cit. hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
91
terorisme dan narkoba, sering terjadi tudingan bahwa teroris dan narkoba yang ada di Indonesia masuk dari Malaysia.
Keberadaan APSC dengan berbagai mekanisme yang ada di dalamnya akan mencegah masalah dalam hubungan antar negara meluas ke masyarakat dan
menyebabkan aksi-aksi yang dapat mempersulit pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut. APSC mengatur bahwa setiap perselisihan yang terjadi harus
diselesaikan dengan perundingan-perundingan dan menghasilkan kesepakatan- kesepakatan bersama untuk diimplementasikan bersama, bukannya melalui
langkah non-hukum. Begitu pula dengan masalah keamanan non tradisional, berbagai mekanisme hadir untuk menghasilkan kesepakatan sebagai upaya
menguatan kapabilitas tiap negara di kawasan. Hal itu dilakukan agar tidak tercipta anggapan bahwa salah satu negara membiarkan ancaman keamanan non
tradisional bebas masuk dan berkembang di negara-negara kawasan ASEAN yang kalau dibiarkan akan menghambat proses penciptaan identitas bersama di
kawasan. Terorisme menjadi salah satu masalah yang masuk dalam cetak biru
APSC. Terdapat dua belas tindakan yang menjadi upaya dalam mencegah dan menangani masalah terorisme. Tindakan tersebut salah satunya adalah dengan
penerapan ASEAN Convention On Counter Terrorism yang telah diratifikasi Indonesia dan ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter-Terrorism.
Keberadaan konvensi ini akan memaksa seluruh negara yang menandatanganinya merubah dan menyesuaikan undang-undang negaranya dengan konvensi ini.
Universitas Sumatera Utara
92
Penyesuaian dengan konvensi ini akan memperkuat undang-undang yang berarti memperkuat kapabilitas nasional dalam menangani terorisme.
Sementara itu, ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter- Terrorism berfungsi sebagai petunjuk strategis langkah-langkah apa saja yang
harus dilaksanakan tiap negara dalam mencegah dan menghadapi terorisme. Berdasarkan rencana aksi tersebut terdapat tujuh belas cakupan langkah-langkah
kerjasama dalam pemberantasan terorisme, yaitu : -
Taat kepada Resolusi Dewan Keamanan PBB dan instrumen internasional lainnya yang relevan menyinggung terorisme;
- Implementasi kerangka hukum, instrumen, dan persetujuan regional
yang ada berkaitan dengan terorisme; -
Mengatasi akar penyebab terorisme dan kondisi penyebab penyebarannya;
- Pertukaran cara terbaik untuk melindungi infrastruktur penting,
termasuk fasilitas telekomunikasi, pembangkit listrik, fasilitas penyaluran air, bandara dan pelabuhan, kereta api dan angkutan jalan,
bangunan pemerintah dan bisnis, dan lainnya melawan serangan teroris;
- Penambahan keamanan paspor, dan dokumen perjalanan lainnya, dan
dokumen lain yang diterbitkan negara-negara anggota ASEAN;
Universitas Sumatera Utara
93
- Peningkatan pertukaran informasi kehilangan dan pencurian paspor,
kendaraan hilang dan dicuri, sidik jari, buronan, dan lainnya, dalam kerjasama yang erat dengan ASEANPOL;
- Pembangunan metode pengawasan dan kontrol pergerakan terpadu di
daerah rawan sepanjang perbatasan di negara-negara anggota ASEAN, dan mulainya patroli yang terkoordinasi untuk mencegah infiltrasi
teroris. -
Pembentukan mekanisme kelembagaan untuk pertukaran informasi dan intelijen pada pengawasan dan pelacakan tersangka teroris
termasuk organisasi mereka serta kegiatan mereka dengan maksud mencegah aksi teror mereka;
- Pembentukan komputerisasi basis data bersama pada organisasi teroris
dan asosiasi mereka sebagaimana kelompok kejahatan transnasional terorganisir yang mungkin berhubungan dengan organisasi teroris yang
bertujuan mengembangkan penilaian resiko dan ancaman bersama; -
Peningkatan kemampuan dan kerjasama antara Financial Intelligence Unist FIUs dari negara-negara anggota ASEAN , terutama pada hal-
hal yang berkaitan dengan memerangi pendanaan teroris; -
Peningkatan kerjasama antar komunitas intelijen, badan-badan penegak hukum, dan otoritas pengawas keuangan dari negara-negara
anggota ASEAN mengenai pemberantasan keuangan teroris;
Universitas Sumatera Utara
94
- Peningkatan peraturan atau prosedur yang ada dalam pengendalian
perdagangan gelap senjata, dan bahan peledak termasuk bahan kimia, bilogi, radiologi, dan nuklir CBRN dengan tujuan meningkatkan
efektivitasnya. Negara-negara ASEAN yang berlum memiliki peraturan tersebut didorong untuk segera membuatnya;
- Peningkatan kerjasama antara Pusat Data Bom dari negara anggota
ASEAN, dengan tujuan untuk mengembangkan standar pelaksanaan penanganan bahan peledak , detonator , senjata api dan bahan kimia,
biologi, radiologi, serta nuklir. Negara-negara anggota ASEAN yang memiliki pengetahuan yang lebih maju tentang masalah ini didorong
untuk memberikan bantuan kepada negara anggota lainnya yang belum memperoleh kemampuan tersebut;
- Pengembangan dan pengesahan prosedur, yang akan memungkinkan
dimulainya latihan bersama pada pemberantasan terorisme antar lembaga penegak hukum dari negara-negara ASEAN dan apabila
memungkinkan, operasi penegakan hukum bersama, khususnya di daerah perbatasan;
- Pengembangan dan pengesahan prosedur, sesuai dengan perjanjian
yang ada danatau instrumen hukum termasuk Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, yang akan
memungkinkan penyelidikan lintas batas dan penuntutan kegiatan teroris;
Universitas Sumatera Utara
95
- Pengembangan dan pengesahan standar operasional untuk
perlindungan penduduk sipil dalam peristiwa serangan teroris, seperti Modul Perlindungan Sipil atau Mekanisme Perlindungan Sipil;
- Meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dengan negara-
negara mitra ASEAN dan pihak-pihak luar.
151
Cetak biru APSC juga menekankan agar tiap negara melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen internasional terkait penanganan terorisme. Indonesia
sendiri sebagaimana disebutkan sebelumnya, masih meratifikasi tiga instrumen internasional yang menyangkut terorisme.
Terdapat pula kesepakatan lain yang menjadi komitmen dari negara- negara ASEAN dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. Sebuah
Pernyataan Bersama dalam forum ASEAN Foreign Ministers Meeting pada tahun 2015 lalu di Kuala Lumpur menjadi contoh dari komitmen menanggapi masalah
terorisme dan narkoba : -
Menegaskan kembali komitmen dalam hal keamanan non tradisional, seperti pemberantasan kejahatan transnasional dan tantangan lintas
batas. Untuk menanggapinya maka dilaksanakan The 10
th
ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime AMMTC di Kuala
Lumpur, Malaysia pada 29 September –1 Oktober 2015. The Special Ministerial Meeting on the Rise of Radicalisation and Violent
Extremism di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2 Oktober 2015 sebagai
151
ASEAN. 2009. ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and Terrorism : A Compilation of ASEAN Declarations, and Statements on Combating Transnational Crime and Terrorism. Jakarta :
Sekretariat ASEAN. hal. 69-74.
Universitas Sumatera Utara
96
bagian dari upaya ASEAN menghambat perkembangan ancaman radikalisasi dan kejahatan eksrim di kawasan ASEAN.
- Mengakui ancaman Narkoba di kawasan ASEAN dan mengadakan the
ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters yang diselenggarakan pada 27-29 Oktober 2015 di Langkawi, Malaysia. Memperkenalkan
institusionalisasi dari The ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters yang akan menjadi dorongan politik bagi kerjasama dalam
masalah narkoba dan panduan strategi untuk The ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters ASOD. Menanggapi itu, akan
dilakukan pelipatgandaan usaha secara komprehensif, dan holistik melibatkan pengurangan permintaan dan suplai narkoba sejalan dengan
ASEAN Leaders Declaration on Drug Free ASEAN 2015, yang disahkan pada The 20th ASEAN Summit in 2012, di Phnom Penh,
Kamboja.
152
Bentuk komitmen lainnya ialah diadakannya AMMTC setahun sekali mulai tahun 2017 sebagaimana disebutkan dalam Joint Statement Of The Tenth
Asean Ministeral Meeting On Transnational Crime 10th AMMTC. Perubahan jadwal pertemuan tersebut akan menyebabkan lebih cepatnya respon terhadap
perkembangan masalah terorisme dan narkoba yang merupakan kejahatan lintas negara. Makin intensnya pertemuan juga akan memberikan peluang bagi evaluasi
152
Lihat : Joint Communiqué 48th ASEAN Foreign Ministers Meeting Kuala Lumpur, Malaysia 4th August 2015 “OUR PEOPLE, OUR COMMUNITY, OUR VISION” hal. 6-7 diunduh dari http:www.asean.org
storageimages2015August48th_ammJOINT20COMMUNIQUE20OF20THE2048TH20AMM- FINAL.pdf pada 23 Maret 2016 pukul 21.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
97
dan proyeksi terhadap langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan terorisme dan narkoba.
Masalah narkoba juga menjadi perhatian ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya empat belas langkah yang masuk ke dalam cetak biru APSC di
bagian narkoba. Upaya utama dari ASEAN adalah mewujudkan Drug Free ASEAN. Tindakan yang dimasukkan ke dalam cetak biru APSC sendiri sudah ada
yang dimasukkan ke dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Masuknya prekursor, kerjasama penanganan narkotika, serta
pembuatan laboratorium untuk mengembangkan keilmuan tentang narkotika ke dalam undang-undang tersebut merupakan beberapa tindakan ada pada cetak biru
APSC. Permasalahan narkoba memiliki forum tersendiri untuk membahasnya
yaitu, ASEAN Ministers Meeting on Drug Matters yang menjadi peluang untuk membuat suatu kesepakatan bersama dalam mengahadapi bahaya ancaman
narkoba. Pada pertemuan AMMD tahun 2015 terdapat sebuah pernyataan yang salah satu poinnya sepakat untuk melanjutkan keinginan Drug-Free ASEAN dan
memperkenalkan permintaan ASOD untuk membuat sebuah rencana kerja pemberantasan produksi, perdagangan, dan penggunaan narkoba ilegal pasca
2015. ASOD akan mengesahkan sebuah pendekatan seimbang, melibatkan langkah-langkah pengurangan permintaan dan pasokan, dan penguatan
pelaksanaan bidang-bidang, pendidikan pencegahan, perawatan dan rehabilitasi, penelitian dan pembangunan alternatif. Para menteri juga menerima permintaan
Universitas Sumatera Utara
98
Indonesia untuk mengadakan suatu pelatihan untuk mengembangkan rencana kerja ASOD pasca 2015.
153
a. Pemberantasan perladangan ilegal, menarik masyarakat yang bermata
pencaharian dari peladangan ini dan menyediakan alternatif yang berkelanjutan untuk masyarakat ini;
Masih dalam pernyataan tersebut, para menteri mencatat langkah-langkah lanjutan dalam menghadapi permasalahan ini, yaitu :
b. Meningkatkan upaya pencegahan dan akses untuk perawatan dan
rehabilitasi pengguna narkoba, dan memastikan bahwa mereka menerima pelayanan standar yang sesuai untuk pengintegrasian
kembali mereka dengan masyarakat; c.
Mencegah perdagangan prekursor ilegal dan sindikat narkoba internasional, nilai dan keuntungan tinggi dari kejahatan narkoba
melalui aksi yang kuat oleh badan penegak hukum; d.
Meningkatkan upaya kolaborasi antar negara anggota ASEAN, dan mitra kerjasama;
e. Meningkatkan kewaspadaan akan bahaya narkoba ilegal melalui
kampanye pendidikan anti narkoba, dan pengesahan pita hijau dan putih sebagai simbol dari komitmen Drug-Free ASEAN.
154
153
The 4th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia Chairman’s Statement. hal. 2 diunduh dari
http:www.asean.orgstorage201601Chairman-Statement-4th-AMMD- ADOPTED-as-of-29-October-2015.pdf pada 23 Maret 2016 pukul 22.00 WIB.
154
Ibid. hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
99
Peluang untuk memperkuat kapabiltas dan komitmen dari tiap negara ASEAN dalam menghadapi ancaman narkoba juga terlihat dalam Pernyataan
Posisi ASEAN yang menerapkan zero-tolerance terhadap narkoba drugs, untuk selanjutnya akan disampaikan pada the 59th Session of the Commission on
Narcotic Drugs CND bulan Maret 2016 dan the United Nations General Assembly Special Session UNGASS on the World Drug Problem bulan April
2016.
155
Pernyataan posisi ASEAN terhadap narkoba menyebutkan juga ASEAN menggunakan pendekatan komprehensif dan seimbang menghadapi narkoba,
mendukung sentralitas dari konvensi pengaturan narkoba internasional dan berdiri tegas menghadapi narkoba, termasuk tegas melawan legalisasi narkoba, memberi
kedaulatan pada masing-masing negara dalam menggunakan pendekatan menghadapi bahaya narkoba, siap berkerjasama dengan kawasan lain, dan
mendukung peranan the Commission on Narcotic Drugs CND.
156
Jumlah tindakan terkait terorisme dan narkoba adalah yang paling banyak dalam cetak biru APSC di bagian keamanan non tradisional. Selain itu, seperti
disebutkan sebelumnya terdapat banyak kesepakatan lain terkait terorisme dan narkoba yang dihasilkan dari pertemuan-pertemuan yang juga diatur cetak biru
ASEAN sendiri belum memiliki konvensi tersendiri untuk permasalahan narkoba sebagai
upaya mengikat dan penguatan undang-undang di tiap negara anggota ASEAN.
155
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 17
156
Position Statement Endorsed And Adopted By The 4th Asean Ministerial Meeting On Drug Matters 29 October 2015, Langkawi, Malaysia. hal. 1-2 diunduh dari http:www.asean.orgstorage201510Position-
Statement-on-Drugs-endorsed-and-adopted-by-the-4th-AMMD-on-29-October-2015-Langkawi-Malaysia.pdf pada 23 Maret 2016 pukul 22.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
100
APSC. Bila melihat berbagai poin yang ada dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut, harusnya negara-negara di kawasan ASEAN dapat mengurangi jumlah
ancaman terorisme dan narkoba. Banyaknya kesepakatan yang dihasilkan menjadi bukti dari keseriusan
negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi masalah terorisme dan narkoba. Keseriusan yang ditunjukkan tersebut merupakan peluang bagi
berkurangnya ancaman terorisme dan narkoba di negara-negara anggota ASEAN apabila benar-benar dilaksanakan. Penguatan peraturan dan peran dari badan-
badan yang mengurusi terorisme dan narkoba harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh negara-negara anggota APSC. Implementasi dari hasil
penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral tersebut juga harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Hal tersebut dibutuhkan karena
penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral saja tidak akan memberikan dampak apapun jika tidak diimplementasikan.
Penguatan undang-undang dan badan-badan sektoral bila dilihat dari sudut pandang realisme terjadi karena negara tidak boleh mengandalkan organisasi
internasional atau hukum internasional untuk menjamin keamanan nasionalnya. Berdasarkan pandangan realisme tersebut, tindakan-tindakan yang diatur dalam
APSC pun tidak menjadikan ASEAN sebagai pihak utama dalam menjamin keamanan nasional tiap negara anggotanya. APSC melalui cetak birunya hanya
memberikan panduan untuk peningkatan kapabilitas nasional tiap negara yang
Universitas Sumatera Utara
101
juga ditujukan untuk memperkecil perbedaan kapabilitas antar negara demi mewujudkan balance of power.
Peluang yang hadir tersebut bila dilihat menggunakan realisme menunjukkan adanya kepentingan dari Indonesia sebagai penggagas APSC dan
negara dengan wilayah yang paling luas di kawasan ASEAN. Ancaman terorisme dan narkoba dapat berkembang menjadi kejahatan lintas negara hingga dapat
menambah permasalahan terorisme dan narkoba yang sudah ada di Indonesia. Melihat ancaman tersebut Indonesia mengajukan gagasan pembentukan
komunitas keamanan yang kemudian berkembang menjadi komunitas politik- keamanan ASEAN dengan mengacu pada kepentingan nasional yaitu menjaga
keamanan negara. Ikut sertanya negara-negara ASEAN dalam APSC menjadikan tiap negara
akan mengupayakan pembentukan kesamaan identitas yang merupakan ciri utama komunitas politik-keamanan. Kesamaan identitas itu akan memunculkan
kesamaan pandangan dalam upaya mencegah dan menghadapi ancaman terorisme dan peredaran gelap serta penyalahgunaan narkoba. Tiap negara yang ikut serta di
APSC akan diarahkan untuk melakukan penguatan undang-undang dan badan- badan sektoral melalui cetak biru APSC. Hal tersebut akan memberikan
kemungkinan tindakan yang sama dalam mencegah dan menghadapi terorisme dan narkoba di tiap negara anggota ASEAN.
Kondisi tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi yang diuntungkan dalam penerapan APSC. Posisi yang diuntungkan itu dapat terjadi
Universitas Sumatera Utara
102
karena dengan adanya APSC berarti Indonesia dapat mengurangi kemungkinan ancaman terorisme dan narkoba yang berasal dari negara lain di ASEAN.
Kemungkinan berkurangnya ancaman itu berarti Indonesia telah berhasil memperjuangkan kepentingan nasionalnya yaitu menjaga keamanan negara.
Meskipun berada pada posisi yang diuntungkan dalam pelaksanaan APSC, Indonesia masih harus melakukan penguatan terhadap undang-undang dan badan-
badan sektoralnya. Hal tersebut terjadi karena masih terdapat kesenjangan antara undang-undang yang ada dengan standar yang terlihat dari cetak biru APSC
maupun kesepakatan lainnya yang hadir dari mekanisme-mekanisme yang diatur dalam cetak biru APSC. Penguatan itu juga akan menunjukkan bahwa Indonesia
tidak menggunakan organisasi internasional atau hukum internasional sebagai kekuatan utama dalam menjaga keamanan negara. Indonesia yang berada di posisi
menguntungkan dalam penerapan APSC pun bila merujuk pada teori realisme dapat keluar sewaktu-waktu dari APSC. Hal tersebut dapat dilakukan karena
dalam realisme dibenarkan suatu negara keluar apabila kerjasama internasional yang diikutinya dinilai sudah tidak menguntungkan dan juga jauh dari pencapaian
kepentingan nasionalnya.
Universitas Sumatera Utara
103
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan