Analisis Kapabilitas Nasional terhadap Ancaman Terorisme dan

65 BAB III ANALISIS REALISME POSISI INDONESIA DALAM PENERAPAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY

3.1. Analisis Kapabilitas Nasional terhadap Ancaman Terorisme dan

Narkoba di Indonesia Indonesia memiliki permasalahan keamanan non tradisional dan juga memiliki undang-undang serta badan-badan untuk menanggulanginya. Permasalahan tersebut di antaranya ialah kasus terorisme yang ada di Indonesia. Terorisme sendiri berbeda dengan tindakan kriminal biasa yang hanya sebatas untuk keuntungan pribadi atau balas dendam. Terorisme merupakan kejahatan yang disebabkan resistensi terhadap suatu sistem kekuasaan dan adanya motivasi untuk merubah sistem kekuasaan itu secara radikal dan menyeluruh. Aksi terorisme dilakukan dengan menciptakan ketakutan pada masyarakat sipil yang kemudian akan menimbulkan kepanikan dan tekanan kepada pemerintah sebagai pihak yang berkuasa. 125 Terdapat seribu orang yang ditangkap oleh kepolisian Indonesia sejak tahun 2000 seperti disebutkan pada bab sebelumnya. Jumlah tersangka kasus terorisme tersebut membuktikan bahwa Indonesia sangat rawan dengan serangan teroris. Sebelum tahun 2002, masyarakat seperti tidak perduli dengan kejadian peledakan di beberapa lokasi seperti pada pada tanggal 1 Januari di sebuah rumah makan di Jakarta dan menewaskan satu orang. Kemudian ada pula ledakan di berbagai gereja di Palu pada tanggal 1 Januari 2002 tersebut walau tidak 125 Aleksius Jemadu. Politik Global dalam Teori dan Praktik edisi 2 Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014 hal. 27. Universitas Sumatera Utara 66 menyebabkan korban tewas. Selanjutnya ada pula peristiwa ledakan bom di Makassar yang menewaskan tiga orang dan sebelas luka-luka pada tanggal 5 Desember 2002. 126 Kondisi itu mulai berubah sejak terjadinya peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai 235 orang. 127 - Tahun 2003 terjadi kasus ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003 yang menewaskan lima belas orang dan 156 orang luka-luka; Sejak peristiwa itu, terorisme berhasil menjadi perhatian dan ancaman bagi masyarakat dan tantangan bagi pemerintah untuk menyelesaikannya. Kasus terorisme di Indonesia sendiri tidak hanya terjadi satu kali, namun terdapat beberapa kasus yang menjadi sorotan publik karena jumlah korban dan juga lokasi kejadiannya. Kasus-kasus tersebut antara lain : 128 - Tahun 2004, ledakan bom terjadi di sebuah kafe di kota Palopo, Sulawesi Selatan dan mengakibatkan empat tewas dan dua luka- luka; 129 126 Lihat : Prasetyo. Perubahan Corak Terorisme Di Indonesia Tahun 2000 Hingga Tahun 2013 dalam Jurnal Pertahanan Maret 2014, Volume 4, Nomor 1 hal. 88 127 Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah Jakarta, 20 September 2003 diunduh dari http:www.interpol.go.ididkejahatan-transnasionalterrorisme69-teroris-di- indonesia-dan-usaha-usaha-yang-diambil-untuk-mengalahkan-masalah?format=pdf diakses pada 10 Maret 2016 pukul 10.19 WIB 128 Lihat : Catatan Ledakan Bom Marriott Tahun 2003 Jakarta, 17 Juli 2009 diakses dari http:nasional.kompas.comread200907 1710125777catatan.ledakan.marriott.tahun.2003 pada 10 Maret 2016 pukul 11.00 WIB 129 Lihat : Levi Silalahi dan Erwin Prima. Teror Bom di Indonesia Beberapa di Luar Negeri dari Waktu ke Waktu Jakarta, 17 April 2004 diakses dari http:tempo.co.idhgtimeline20040417tml,20040417- 01,id.html pada 11 Maret 2016 pukul 9.42 WIB. Universitas Sumatera Utara 67 - Tanggal 9 September 2004 juga terjadi ledakan di Jakarta. Ledakan terjadi di depan Kedutaan Besar Australia dan menewaskan sembilan orang dan melukai 161 orang; 130 - Dua bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005; - Peledakan bom di Tentena, Poso, 28 Mei 2005 dan menyebabkan 22 orang tewas; - Peledakan bom di Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005, bom tersebut meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M. Iqbal di Pamulang Barat; - Peledakan bom di Bali, 1 oktober 2005, sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di Rajas bar dan restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman café, Jimbaran; - Peledakan bom di pasar Palu, Sulawesi Tengah, 31 Desember 2005 yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang; 131 - Ledakan bom kembali terjadi di Jakarta pada 17 Juli 2009, tepatnya di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang terjadi hampir bersamaan. 132 130 Lihat : Ledakan Bom Mobil Depan Kedubes Australia di Jakarta Jakarta, 09 September 2014 diakses dari http: m.liputan6.com newsread21024679-9-2004-ledakan-bom-mobil-depan-kedubes-australia-di- jakarta pada 11 Maret 2016 pukul 9.42 WIB. 131 Prasetyo. Op Cit¸hal 90. 132 Lihat : Ledakan di Hotel Ritz-Carlton dan Hotel JW Marriot 17 Juli 2009 diakses dari http:beritasore.com20090717ledakan-di-hotel-ritz-carlton-dan-hotel-jw-marriott pada 11 Maret 2016 pukul 9.45 WIB. Universitas Sumatera Utara 68 - Peledakan Bom di Cirebon, 15 April 2011 tepatnya di Masjid Mapolresta Cirebon saat shalat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya; - Peledakan Bom di Solo, 25 September 2011 di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka; 133 - Ledakan bom dan aksi saling tembak terjadi di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016 dan menewaskan tujuh orang. 134 Selain berbagai aksi ledakan bom yang terjadi tersebut, masih terdapat aksi lain seperti perampokan bank CIMB Niaga di Medan, Sumatera Utara pada 18 Agustus 2010 yang dana sebesar empat ratus juta rupiah hasil perampokan itu digunakan untuk membantu kegiatan teroris. 135 133 Lihat : Prasetyo. Op Cit, hal. 91 Aksi terorisme di Indonesia sendiri bukanlah aksi orang perorang, namun terorganisir dalam sebuah organisasi. Organisasi itu antara lain adalah Jamaah Islamiyah JI dengan tokoh utamanya Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang dituding menjadi otak dari aksi-aksi teror yang ada di Indonesia. Selain JI ada pula ancaman kasus terorisme yang berasal dari Santoso bersama kelompoknya Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok teroris tersebut telah menyatakan berbaiat atau memberi 134 Lihat : Aulia Bintang Pratama. Ledakan Thamrin, Tujuh Orang Meninggal Dunia 14 Januari 2016 diakses dari http:m.cnnindonesia.comnasional2016011432846-20-104292ledakan-thamrin-tujuh-orang- meninggal-dunia pada 11 Maret 2016 pukul 10.30 WIB. 135 Lihat : Kapolri: Perampokan Bank CIMB Niaga Terkait Terorisme 20 September 2010 diakses dari http:m.antaranews.comberita221381kaporli-perampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme pada 11 Maret 2016 pukul 10.00 WIB Universitas Sumatera Utara 69 dukungan kepada ISIS. 136 Undang-undang nomor nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi titik awal pencegahan terhadap ancaman teror oleh teroris di Indonesia. Pencegahan dalam hal pendanaan dinilai dapat mengurangi potensi serangan dan kemunculan berbagai tindakan yang mengancam keselamatan masyarakat. Lahirnya undang- Kelompok teroris di Indonesia sendiri mendasarkan aksi-aksinya pada ajaran Islam radikal dan bukan bertindak sebagai gerakan separatis seperti yang ada di Filipina maupun Thailand. Berbagai aksi terorisme itu sendiri memunculkan sejumlah aturan terkait terorisme. Peraturan yang dimaksud ialah undang-undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang- undang. Undang-undang tersebut merupakan dasar dari penegakan hukum terkait tindak pidana terorisme di Indonesia. Terdapat 47 pasal dalam Perpu yang telah disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 4 April 2003 tersebut. Keberadaan undang-undang nomor 15 tahun 2003 tersebut hanya menjadi aturan yang bersifat memberi hukuman atau penanganan tindakan terorisme. Aturan ini belum memasukkan unsur pencegahan terorisme sebagai salah satu tindakan anti terorisme di Indonesia. Akibatnya, berbagai serangan teroris masih terjadi meski telah disahkannya undang-undang ini pada tahun 2003. 136 Lihat : Selamat Ginting. Kiblat Radikalisme Mengapa Mujahidin Indonesia Timur MIT menjadi sentral dari gerakan jaringan kelompok terduga teroris di Indonesia? diakses dari http:www.republika. co.idberitakoranteraju160112o0tyga1-kiblat-radikalisme-mengapa-mujahidin-indonesia-timur-mit- menjadi-sentral-dari-gerakan-jaringan-kelompok-terduga-teroris-di-indonesia pada 11 Maret 2016 pukul 10.32 WIB Universitas Sumatera Utara 70 undang tersebut merupakan lanjutan dari ratifikasi sebuah perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999. Keterlambatan pemerintah dalam meratifikasi konvensi ini merupakan salah satu penyebab dari belum maksimalnya pencegahan tindak pidana terorisme melalui penghentian aliran dana untuk kegiatan teroris. Keterlambatan Indonesia dalam penanganan masalah teroris juga terlihat dengan baru diratifikasinya konvensi internasional pemberantasan pengeboman oleh teroris melalui Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Terrorist Bombings, 1997 Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997, padahal konvensi itu sudah ada sejak tahun 1997. Selanjutnya, untuk menambah kekuatan dalam penegakan hukum, Indonesia juga meratifikasi konvensi ASEAN mengenai pemberantasan terorisme tahun 2007 melalui undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention On Counter Terrorism Konvensi ASEAN Mengenai Pemberantasan Terorisme. Meskipun terlambat lima tahun, munculnya undang-undang ini menunjukkan mulai tumbuhnya kesadaran pemerintah terhadap kebutuhan akan kerjasama regional untuk mencegah dan menangani permasalahan terorisme di Indonesia. Kerjasama ini menunjukkan Universitas Sumatera Utara 71 bahwa terorisme dimasukkan dalam kategori kejahatan lintas negara yang memerlukan kerjasama antar negara untuk menanganinya. Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2014 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear Terrorism Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir merupakan langkah pemerintah untuk mencegah kemungkinan serangan terorisme menggunakan senjata nuklir. Ratifikasi terhadap konvensi ini juga tergolong lambat, konvensi yang disahkan pada tahun 2005 ini mengalami ratifikasi oleh pemerintah Indonesia setelah sembilan tahun, yaitu tahun 2014. Keberadaan beberapa konvensi yang telah diratifikasi tersebut seharusnya menyebabkan terjadinya perubahan undang-undang tentang terorisme di Indonesia. Perubahan dimaksud untuk memperkuat dan memperluas aturan tentang segala hal yang dianggap sebagai ancaman terorisme berdasarkan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi. Penguatan undang-undang tersebut haruslah memberikan landasan hukum terhadap proses pencegahan terorisme di Indonesia. Hal tersebut sangatlah penting karena terorisme telah berkembang menjadi kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas negara. Undang-undang yang baru juga harus memasukkan segala kemungkinan tindakan, dan penggunaan jenis senjata baru untuk aksi teror di Indonesia. Selain keterlambatan dalam kemunculan undang-undang, pemerintah Indonesia juga lambat dalam pembentukan badan untuk melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme. Seperti telah dipaparkan pada bab Universitas Sumatera Utara 72 sebelumnya pembentukan badan ini baru dilaksanakan pada tahun 2010 melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Keputusan itu lahir dari rekomendasi Komisi I DPR yang melakukan penilaian terhadap kondisi terorisme di Indonesia. Tugas BNPT sendiri di atur pada pasal 2 ayat 1 peraturan Presiden tersebut yang berbunyi “BNPT mempunyai tugas : a. menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; b. mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; c. melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.” Kemudian terdapat ayat 2 yang berbunyi, “Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional” 137 Fungsi BNPT juga diatur dalam Perpres ini yaitu pada pasal 3 yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BNPT menyelenggarakan fungsi: penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; b.monitoring, analisa, dan evaluasi di bidang penanggulangan terorisme; c. koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal di bidang 137 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Universitas Sumatera Utara 73 penanggulangan terorisme; d. koordinasi pelaksanaan deradikalisasi; e. koordinasi pelaksanaan perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi target serangan terorisme; f. koordinasi pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional; g. pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme; h. perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya serta kerjasama antar instansi; i. pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme. 138 138 Ibid . Keberadaan tugas dan fungsi dari BNPT ini sebenarnya sudah termasuk maju dalam hal menanggapi fenomena terorisme yang terjadi di Indonesia. Sebagai hasil dari peraturan presiden, keberadaan BNPT sebenarnya tidak sekuat Polisi yang diatur dengan undang-undang tersendiri. Selain masalah kekuatan hukum yang melandasi pendiriannya, tugas dan fungsi BNPT sendiri yang terdapat tindakan pencegahan serta deradikalisasi tidak diatur dalam undang- undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Tidak diaturnya hal tersebut akan menyebabkan kesulitan dalam menilai dan mengambil tindakan untuk melakukan tindakan pencegahan dan deradikalisasi. Universitas Sumatera Utara 74 Selain masalah terorisme, permasalahan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba juga menjadi masalah keamanan non tradisional di Indonesia. Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba juga banyak terjadi di Indonesia. Berikut adalah hasil kasus yang diungkapkan oleh Polri termasuk tersangka yang juga berasal dari warga negara asing : Tabel 3.1. Jumlah Kasus Narkoba Tahun 2007-2015 No Tahun Jumlah 1 2007 22.630 2 2008 29.364 3 2009 30.878 4 2010 26.614 5 2011 29.713 6 2012 28.727 7 2013 35.436 8 2014 28.108 9 2015 34.296 Jumlah 265.766 Sumber : diolah dari berbagai sumber Tabel 3.2. Jumlah Tersangka Kasus Narkoba Tahun 2007-2015 No Tahun Jumlah 1 2007 36.169 2 2008 44.711 3 2009 38.403 4 2010 33.422 5 2011 36.589 6 2012 35.640 7 2013 43.767 8 2014 35.177 9 2015 42.900 Jumlah 346.778 Sumber : diolah dari berbagai sumber Universitas Sumatera Utara 75 Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sejak tahun 2009 dilakukan juga oleh Badan Narkotika Nasional BNN. Sejak mulai tahun 2009 BNN telah melakukan berbagai pengungkapan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Berikut adalah kasus yang diungkap oleh BNN : Tabel 3.3. Jumlah Kasus dan Tersangka Narkoba Tahun 2009-2015 No Tahun Jumlah Kasus Jumlah Tersangka 1 2009 5 2 2 2010 64 75 3 2011 94 153 4 2012 117 187 5 2013 166 244 6 2014 408 595 7 2015 682 1.042 Jumlah 1.536 2.286 Sumber : Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Data yang dilansir oleh BNN tersebut merupakan gabungan data dari BNN dan BNNP. Kemudian data tersebut sudah termasuk jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika yang di dalamnya juga ada memasukkan unsur prekursor atau bahan pembuat narkotika. Data kasus tersebut juga termasuk kasus tindak pidana pencucian uang terkait hasil peredaran gelap narkotika di Indonesia. Selanjutnya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh BNN dengan Puslitkes Universitas Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari penyalahguna narkoba. Berdasarkan survei tersebut, jumlah penyalahguna di Indonesia pada usia 10-59 tahun di tahun 2014 mencapai 3,8 sampai 4,1 juta orang. Kemudian, survei tersebut juga menampilkan perkiraan pemakai pada tahun 2015 yaitu mencapai 4,3 juta orang dan hingga tahun 2020 nantinya Universitas Sumatera Utara 76 diperkirakan akan terdapat 5,0 juta penyalahguna narkoba di Indonesia. 139 Jumlah biaya yang dihasilkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba ini juga cukup besar. Estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkoba diperkirakan sekitar Rp.63,1 trilyun di tahun 2014. Jumlah tersebut sekitar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2008, atau naik sekitar 31 dibandingkan tahun 2011. Jika dipilah, diperkirakan sebesar Rp.56,1 trilyun untuk kerugian biaya pribadi private dan Rp.6,9 trilyun untuk kerugian biaya sosial. Pada biaya private sebagian besar digunakan untuk biaya konsumsi narkoba 76. Sedangkan pada biaya sosial sebagian besar diperuntukan untuk kerugian biaya akibat kematian karena narkoba premature death 78. Angka tersebut menunjukkan besarnya penyalahguna narkoba yang kemudian menjadi penyebab tumbuhnya pasar peredaran gelap narkoba di Indonesia. 140 Jumlah orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba diperkirakan mencapai 12.044 orang pertahun. 141 Selain mengungkapkan estimasi biaya yang ada pada tahun 2014 penelitian ini juga memberikan proyeksi biaya ekonomi akibat narkoba. Diproyeksikan akan terjadi peningkatan kerugian biaya ekonomi sosial sosek akibat penyalahgunaan narkoba sekitar 2,3 kali lipatnya atau meningkat dari Rp.63,1 trilyun menjadi 143,8 trilyun di tahun 2020. Hal yang perlu dicermati pada komponen biaya konsumsi narkoba, diproyeksikan biaya tersebut akan 139 BNN dan Puslitkes UI. 2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyelahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. hal 16. diunduh dari http:bnn.go.idportal_uploadspost20150311Laporan_ BNN_2014 _Upload_Humas_FIX.pdf pada 23 Maret 2016 pukul 20.00 WIB 140 Ibid. hal. 30 141 Ibid. hal. 28 Universitas Sumatera Utara 77 meningkat dari Rp.42,9 trilyun pada 2014 menjadi Rp.97,8 trilyun pada 2020. 142 Masalah narkoba bukan hanya diatur dalam satu undang-undang di Indonesia. Seperti dipaparkan pada bab sebelumnya, terdapat undang-undang Angka tersebut cukup besar untuk membuat bisnis narkoba terus berjalan di Indonesia. Permasalahan narkoba sendiri diatur dalam berbagai peraturan mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah. Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menjadi undang-undang paling baru yang diterbitkan pemerintah terkait permasalahan narkoba. Kehadiran undang-undang ini menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Undang- undang ini mengatur tentang peredaran narkoba dan juga prekusor atau bahan pembuat narkoba. Selain tentang peredarannya, undang-undang ini mengatur pula tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Berbagai jenis hukuman mulai dari penjara hingga hukuman mati juga dimasukkan ke dalam undang-undang ini sebagai hukuman terhadap berbagai tindakan yang terkait penyalahgunaan dan perdagangan ilegal narkoba di Indonesia. Namun, pasca diberlakukannya undang-undang ini belum terjadi pengurangan yang signifikan akan kasus pidana terkait narkoba. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kasus dan juga tersangka dalam hal penyalahgunaan dan juga perdagangan ilegal narkoba seperti dipaparkan sebelumnya. 142 Ibid. hal. 34. Universitas Sumatera Utara 78 nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Undang-undang ini masih berlaku hingga saat ini dan belum dilakukan perubahan sama sekali. Selain undang- undang itu, ada juga undang-undang nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya sebagai salah satu perjanjian internasional yang diratifikasi untuk penanganan permasalahan narkotika di Indonesia. Selain itu ada pula undang-undang nomor 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988. Undang-undang itu menjadi salah satu cara Indonesia untuk berkerjasama dengan negara lain dalam menangani masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Hingga undang-undang nomor 8 tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 Konvensi Psikotropika 1971. Keberadaan undang-undang tersebut sudah lama dan seharusnya dilakukan pergantian undang-undang dengan yang lebih baru supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Kasus kejahatan narkoba yang mengalami peningkatan tiap tahun menunjukkan undang-undang sebagai power negara masih lemah. Keberadaan undang-undang yang lama memberikan celah bagi para pelaku kejahatan mengembangkan modus baru untuk melakukan tindak pidana yang menyangkut permasalahan narkoba. Universitas Sumatera Utara 79 Badan untuk mengatur permasalahan narkoba sudah ada sejak tahun 2002 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. Kemudian, BNN mengalami penguatan dasar hukum setelah munculnya undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. BNN pun menjadi lembaga pemerintah nonkementerian. Sejak tahun 2009, BNN memulai tugas melakukan pemberantasan kasus narkoba bersama dengan kepolisian yang sejak awal ditugaskan mengatasi permasalahan narkoba. BNN memiliki beberapa tugas yaitu, : a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; h. mengembangkan laboratorium Narkotika Universitas Sumatera Utara 80 dan Prekursor Narkotika; i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang. 143 143 Lihat : Pasal 70 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. BNN juga memiliki wewenang yang diatur dalam pasal 71 Undang- undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.” Pengaturan narkotika yang diperuntukan sebagai obat-obatan diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut. Keberadaan lembaga yang menangani kasus penyalahgunaan dan perdagangan ilegal narkoba menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan banyaknya kasus yang terungkap. Namun, masih terdapat banyak tantangan yang ditunjukkan dengan estimasi jumlah penyalahguna narkoba yang akan mengalami peningkatan tiap tahun. Permasalahan itu ditambah dengan tingginya keuntungan yang didapat melalui bisnis narkoba yang tidak hanya melibatkan pelaku dari dalam negeri, namun juga menggunakan jaringan internasional untuk memasok narkoba. Keberadaan jaringan narkoba internasional ini sudah diperlihatkan pada data di dalam bab sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 81 Penanganan masalah terorisme dan narkoba tersebut tidak dapat disamakan dengan penanganan ancaman keamanan tradisional yang dilakukan melalui penguatan militer. Bila melihat dari sudut pandang realisme, maka kapabilitas nasional haruslah kuat dalam menghadapi masalah keamanan. Hal tersebut harus dimilki tiap negara karena kapabilitas nasional akan menjadi power bagi negara dalam menghadapi ancaman keamanan negara. Kapabilitas tersebut dalam era perang adalah militer, sedangkan dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional seperti terorisme dan narkoba adalah undang-undang, serta badan-badan sektoral. Indonesia sendiri masih belum memiliki undang-undang yang secara lengkap mengurusi pencegahan dan penanganan ancaman terorisme dan narkoba seperti dibahas sebelumnya. Padahal undang-undang sangat penting dalam menghadapi ancaman terorisme dan narkoba di Indonesia. Undang-undang memiliki peranan sebagai landasan hukum yang mengatur semua tindakan terkait ancaman terorisme dan narkoba. Hingga keberadaan badan-badan sektoral dapat melaksanakan perintah undang-undang tersebut secara menyeluruh dan menjaga keamanan nasional dari gangguan terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kemampuan undang-undang yang ada dengan ancaman terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba. Kesenjangan itu dari sisi ancaman terorisme terlihat dengan belum adanya undang-undang baru yang mengatur tindakan pencegahan Universitas Sumatera Utara 82 atau deradikalisasi. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kontra Terorisme ASEAN yang di dalamnya mengatur tentang pencegahan dan deradikalisasi. Harusnya terjadi perubahan dalam undang-undang untuk mempermudah badan-badan sektoral yang bertanggung jawab melakukan fungsi dan tugasnya. Kesenjangan juga terjadi di undang-undang tentang narkoba. Hanya narkotika yang telah memiliki undang-undang yang baru, padahal masalah narkoba bukan hanya narkotika. Terdapat juga masalah psikotropika, dan zat adiktif yang juga dapat disalahgunakan. Masalah psikotropika hanya diatur dengan undang-undang yang dibuat pada tahun 1997, padahal sebagai zat kimia psikotropika pasti mengalami perkembangan dan modus baru dalam peredaran penyalahgunaannya. Zat adiktif juga hanya diatur dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Hal ini menunjukkan masih adanya celah bagi para pengedar dan penyalahguna narkoba untuk melakukan kegiatannya. Kesenjangan antara undang-undang dan juga keberadaan badan-badan sektoral dengan ancaman terorisme dan narkoba juga diperparah dengan dinamika politik di Indonesia. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberikan kebebasan berpendapat bagi tiap warga negara. Kebebasan berpendapat juga sering terjadi dalam melihat masalah keamanan negara. Terdapat pihak yang mendukung tindakan pemerintah untuk melakukan penguatan undang-undang dan badan- Universitas Sumatera Utara 83 badan sektoral, namun ada pula yang menolak dengan berbagai alasan. Terutama saat pemerintah memutuskan untuk melakukan kerjasama antar negara untuk mencegah dan menangani masalah keamanan negara. Padahal dengan makin terorganisirnya serta perubahan sifat menjadi kejahatan lintas negara menjadikan terorisme dan peredaran serta penyalahgunaan narkoba membutuhkan kerjasama dengan negara lain untuk mencegah dan menanganinya Bila melihat teori realisme, tidak lengkapnya undang-undang merupakan bentuk dari kelemahan kapabilitas nasional. Lemahnya kapabilitas dalam mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba akan menjadi celah bagi terganggunya keamanan negara. Padahal keamanan negara adalah prioritas utama dari tiap negara. Berdasarkan teori realisme, Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan negara lain untuk kepentingan keamanannya. Kerjasama tersebut juga dapat dijadikan upaya dalam memperkecil celah atau kesenjangan antara undang-undang dengan kondisi terorisme dan narkoba di Indonesia.

3.2. ASEAN Political-Security Community sebagai Pilihan Kerjasama