Pengelolaan dan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pesisir

2. Degradasi fisik habitat Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Adapun permasalahan yang menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove menurut Dahuri et al., 2004 antara lain: a. Konversi kawasan hutan mangrove menjadi berbagai peruntukan lain seperti tambak, pemukiman, dan kawasan industri secara tidak terkendali. b. Belum ada kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, sehingga banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk berbagai kegiatan pembangunan. c. Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan lainnya melebihi kemampuan untuk pulih renewable capacity. d. Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri dan rumah tangga. e. Sedimentasi akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang bijak. f. Data dan informasi tentang hutan magrove masih terbatas, sehingga belum dapat mendukung kebijakan atau program penataan ruang, pembinaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan on a sustainable basis.

2.4. Pengelolaan dan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pesisir

2.4.1. Pengeloaan Ekowisata Pesisir Melihat karakteristik ekosistem di kawasan pesisir yang kompleks dan saling terkait satu sama lain, maka pengeloaan ekowisata harus mengikuti kaidah- kaidah lingkungan dan berdasarkan pada prinsip keterpaduan. Pengelolaan ekowisata pesisir secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas pengelolaan yang terdiri dari dua atau lebih sektor yang terkait. Keterpaduan juga dapat diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi pengumpulan dan analisa data, perencanaan, implementasi dan pengawasan Sorensen and Mc Creary dalam Dahuri et al., 2004. Pengelolaan ekowisata pesisir merupakan konsep pengelolaan yang memprioritaskan pada kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih daripada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai- nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi pada sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar Yulianda, 2007. 2.4.2. Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pesisir Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata membutuhkan strategi perencanaan yang baik, komprehensif, dan terintegrasi, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak negatif, baik dari sudut pandang ekologis, ekonomis maupun sosial budaya dan hukum Bahar, 2004. Menurut Gunn 1994 dalam Yahya 1999, perencanaan pengembangan ekowisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki serta minat ekowisatawan. Komponen penawaran terdiri dari atraksi potensi keindahan alam, budaya serta bentuk aktivitas wisata, aksesibilitas transportasi dan komunikasi, akomodasi, pelayanan, informa si dan promosi. Sedangkan komponen permintaan terdiri dari pasar wisata dan motivasi wisatawan. Meskipun pasar sangat menentukan pengembangan ekowisata namun konsep pengelolaan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar ekowisata. Melihat sifat sumberdaya pesisir dan lautan sangat rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven , yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia, seperti in situ, tidak tahan lama perishable, tidak dapat pulih non recoverable dan tidak tergantikan non substitutable diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya Yulianda, 2007. Adapun proses perencanaan pengembangan wisata menurut Yoety 1997 dapat dilakukan dalam lima tahap, yaitu: 1. Melakukan inventarisasi fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki 2. Melakukan penaksiran assesment terhadap pasar wisata nasional dan internasional, dan memproyeksikan aliran atau lalu lintas wisatawan 3. Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah region secara komparatif dan kompetitif, sehingga dapat diketahui daerah yang permintaannya lebih besar daripada persediaannya 4. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki 5. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal. Dalam Hidayati et al. 2003 dijelaskan bahwa pengembangan ekowisata dapat optimal tergantung tiga faktor kunci, yaitu: 1. Faktor internal meliputi potensi daerah, pengetahuan operator wisata tentang keadaan daerah budaya dan alam dan pengetahuan tentang pelestarian lingkungan serta partisipasi penduduk lokal terhadap pengelolaan ekowisata. 2. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar, meliputi kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan penelitian dan pendidikan di lokasi ekowisata yang memberi kontribusi terhadap kelestarian lingkungan dan penduduk lokal. 3. Faktor struktural adalah faktor yang berkaitan dengan kelembagaan, kebijakan, perundangan dan peraturan tentang penge lolaan ekowisata baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di zona pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam dijelaskan bahwa pengusahaan pariwisata alam bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan dan keindaha n alam di zona pemanfaatan kawasan konservasi. Adapun jenis usaha yang dikembangkan seperti: a. Jenis-jenis usaha pariwisata alam meliputi: akomodasi bumi perkemahan, cottage, karavan , penginapan, makanan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cinderamata souvenir dan sarana wisata budaya. b. Usaha pariwisata alam diselenggarakan dengan persyaratan sebagai berikut: • Luas kawasan yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam maksimum 10 dari zona pemanfaatan Taman Wisata Alam yang bersangkutan; • Bentuk bangunan bergaya arsitektur budaya setempat; • Tidak mengubah bentang alam yang ada.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan TWA Pulau Kembang, Banjarmasin, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dan ruang lingkup yang diteliti mencakup TWA Pulau Kembang dan sepanjang Sungai Barito Gambar 2. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2005. Penelitian terdiri atas tiga tahap. Ta hap pertama dilakukan survei untuk menentukan metode pengumpulan data dan perencanaan analisa data. Tahap kedua adalah melakukan pengumpulan data dan informasi tentang kawasan melalui studi literatur dan survei lapang laporan penelitian, studi-studi terkait, penyebaran kuesioner, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tahap ketiga adalah pengolahan data. Gambar 2. Peta lokasi TWA Pulau Kembang