Sarana dan Prasarana Sarana Angkutan

5.1.4. Sarana dan Prasarana Sarana Angkutan

Sarana angkutan utama di daerah penelitian adalah perahu atau klotok yang dikelola oleh penduduk setempat. Sarana angkutan air lainnya yaitu long boat, speed boat, dompeng, motor tempel dan kapal merupakan sarana angkutan yang biasa digunakan untuk menunjang usaha penangkapan ikan dan angkutan untuk transportasi Tabel 13. Tabel 13. Jumlah dan jenis angkutan yang terdapat di kecamatan Alalak No. Jenis Angkutan Jumlah buah 1. Perahu atau klotok 5 2. Long Boat 3 3. Speed Boat 2 3. Kapal 2 4. Dompeng 50 5. Motor Tempel 30 Sumber: Kantor Kecamatan Alalak 2005 Sarana komunikasi dan informasi Sarana komunikasi dan informasi yang dimiliki masyarakat terdiri dari perangkat elektronik antara lain yaitu radio, tape, televisi, telepon dan VCD player . Media cetak yang masuk ke daerah Kecamatan Alalak adalah harian Banjarmasin Post, Serambi Umat, dan lain- lain. Sarana dan prasarana ekonomi Jarak desa yang cukup jauh dari kecamatan maupun Kota Banjarmasin terlebih lagi dari Kabupaten memberikan dampak terhadap harga sembilan bahan pokok. Perbedaan harga sembilan bahan pokok berkisar antara Rp. 200,00 - Rp. 2000,00 lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di kecamatan Alalak maupun di Kota Banjarmasin. Letak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan kegiatan ekonomi masih belum begitu lancar sehingga mengganggu kegiatan distribusi barang kebutuhan masyarakat, yang pada akhirnya mempengaruhi proses pasar supply demand. Sarana dan prasarana sosial Sarana dan prasarana sosial yang terdapat pada di kecamatan Alalak dapat dilihat pada Tabel 14. Selain itu terdapat Lembaga Kemasyarakatan antara lain yaitu LKMD, PKK, Kelompok Tani, Karang Taruna dan Bina Remaja. Tabel 14. Sarana sosial yang terdapat di kecamatan Alalak No. Sarana Sosial Jumlah buah 1. Gedung Sekolah Dasar 1 2. Gedung Sekolah Menengah Pertama 1 3. Balai Pertemuan Desa 5 4. Puskesmas Pembantu 3 5. Masjid 5 6. Musholla 7 7. Lapangan Sepak Bola 1 Sumber : Kantor Kecamatan Alalak 2005 5.2. Potensi, Kondisi dan Permasalahan Sumberdaya TWA Pulau Kembang 5.2.1. Kondisi Ekosistem Mangrove Komposisi Mangove Vegetasi mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian adalah jenis rambai atau pedada Sonneratia caseolaris dan api-api Avicennia marina. Kedua jenis tersebut ditemukan dalam berbagai ukuran baik dalam bentuk pohon, anakan dan semai. Komposisi pohon Sonneratia caseolaris sebesar 64 dan Avicennia marina sebesar 36. Komposisi anakan Sonneratia caseolaris sebesar 28 dan Avicennia marina sebesar 72, sedangkan komposisi semai terdiri atas Sonneratia caseolaris sebesar 57 dan Avicennia marina sebesar 43. Komposisi Pohon Mangrove 36 64 Sonneratia caseolaris Avicennia marina Komposisi Anakan Mangrove 72 28 Sonneratia caseolaris Avicennia marina Komposisi Semai Mangrove 43 57 Sonneratia caseolaris Avicennia marina Gambar 4. Komposisi mangrove di TWA Pulau Kembang Kerapatan mangrove Pada ekosistem mangrove di TWA Pulau Kembang terdapat dua jenis mangrove, yaitu Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina. Luasan ma ngrove di kawasan ini semakin berkurang disebabkan karena adanya abrasi, pencemaran perairan, penebangan liar dan pengambilan kayu berdiameter kecil serta penambatan kapal atau tongkang di pesisir TWA Pulau Kembang. Dari pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui jenis dan jumlah vegetasi di setiap stasiun pada Tabel 15. Tabel 15. Jenis dan jumlah vegetasi mangrove di setiap stasiun Stasiun Jenis Mangrove Pohon indha Anakan indha Semai indha 1 Sonneratia caseolaris 1400 20000 Avicennia marina 700 130000 Jumlah 2100 150000 2 Avicennia marina 1400 2000 30000 Sonneratia caseolaris 600 50000 Jumlah 2000 2000 80000 3 Sonneratia caseolaris 2800 2800 140000 Avicennia marina 600 5200 Jumlah 3400 8000 140000 Total 7500 10000 370000 Kerapatan pohon mangrove tertinggi terdapat di stasiun 3 yaitu sebanyak 3400 indha atau 34 ind100 m 2 . Tingginya kerapatan pohon disebabkan daerah ini sering mendapatkan masukan air laut ketika pasang dan me miliki jenis substrat berlumpur. Kerapatan poho n terendah terdapat di stasiun 2 yaitu sebanyak 2000 indha atau 20 ind100 m 2 . Rendahnya kerapatan pohon di stasiun ini disebabkan karena pendangkalan pantai akibat abrasi dan diperparah oleh banyaknya timbunan sampah plastik sehingga mengganggu sistem pernapasan mangrove dan membuat lahan mangrove semakin berkurang. Kerapatan anakan mangrove tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebanyak 8000 indha atau 20 ind25 m 2 . Hal ini kemungkinan disebabkan karena semai mulai tumbuh menjadi anakan. Kerapatan anakan paling rendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 2000 indha atau 5 ind25 m 2 . Hal ini disebabkan sering terjadinya abrasi sehingga menghambat pertumbuhan anakan mangrove. Kerapatan semai mangrove yang paling tinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebanyak 150000 indha atau 15 indm 2 . Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya vegetasi mangrove di lokasi ini sehingga diadakan reboisasi. Kerapatan sema i terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 80000 indha atau 8 indm 2 . Hal ini mungkin disebabkan tidak adanya ruang yang cukup untuk tumbuh bagi semai dan akar-akar pohon cukup rapat mengikat substrat. Importance Value IV atau Indeks Nilai Penting INP Indeks Nilai Penting INP berfungsi untuk memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove Bengen, 2001. INP dihitung berdasarkan jumlah nilai kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis dan penutupan relatif jenis. Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300 Tabel 16. Tabel 16. Indeks nilai penting vegetasi mangrove di TWA Pulau Kembang No. Jenis Vegetasi INP Pohon Anakan Semai 1 Sonneratia caseolaris 190.42 111.33 106.76 2 Avicennia marina 109.58 188.67 93.24 Total 300 300 200 Dari tabel 16 diketahui bahwa Sonneratia caseolaris merupakan vegetasi yang dominan dengan INP pohon sebesar 190,42. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini memberikan pengaruh dan memiliki peranan yang cukup besar terhadap komunitas ekosistem mangrove yang ada di kawasan TWA Pulau Kembang. Jenis Avicennia marina memiliki INP pohon sebesar 109,58 dan banyak ditemukan di daerah yang memiliki tekstur substrat liat dan berlumpur. Hal ini sesuai dengan sifatnya yang dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki kondisi substrat bertekstur liat dan berlumpur. Nilai INP untuk anakan yang paling besar terdapat pada jenis Avicennia marina sebesar Anakan 188,67 diikuti jenis Sonneratia caseolaris sebesar 111,33. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis tersebut memiliki tingkat regenerasi yang baik. Nilai INP pada semai terbesar terdapat pada jenis Sonneratia caseolaris sebesar 106,76 dan diikuti oleh jenis Avicennia marina sebesar 93,24. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat regenerasi yang akan datang pada kawasan ini akan didominasi oleh kedua jenis tersebut. Dari data keseluruhan jenis vegetasi mangrove pada kawasan ini pada umumnya jenis-jenis yang ditemukan di setiap stasiun hampir sama. Hal ini dikarenakan bahwa lokasi pengamatan masih merupakan satu daerah yang berdekatan dan membentuk vegetasi yang menyusun ekosistem TWA Pulau Kembang. Dari hasil analisia dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem mangrove di TWA Pulau Kembang masih cukup baik. Berdasarkan nilai INP dari masing- masing jenis dapat diketahui bahwa vegetasi yang dominan adalah pada stadia pohon dan pada stadia anakan maupun semai masing- masing jenis memiliki tingkat regenerasi yang baik. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir bagi berbagai peruntukan pemukiman, perikanan, pelabuhan, perindustrian, maka tekanan ekologis terhadap ekosistem mangrove semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini dapat mengancam kelestarian ekosistem mangrove baik secara langsung melalui kegiatan penebangan atau konversi lahan maupun secara tidak langsung melalui pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan. Dengan demikian, perlu dilakukan koordinasi antara pihak pengelola BKSDA Kalsel dan CV. Sinar Kencana dan pemerintah setempat dengan melibatkan masyarakat setempat untuk aktif dalam pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove. Fauna Mangrove Disamping memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari abrasi, mangrove juga berfungsi sebagai tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai jenis fauna. Komunitas fauna di hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan atau terestrial ular, primata dan burung dan kelompok fauna perairan atau akuatik. Fauna akuatik ini menempati dua tipe habitat yang berbeda, yaitu hidup di kolom air berbagai jenis ikan dan udang dan menempati substrat baik keras akar dan batang pohon mangrove maupun lunak lumpur, terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya Bengen, 2001. Berbagai jenis fauna yang dapat dijumpai di TWA Pulau Kembang dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Jenis fauna ekosistem mangrove di TWA Pulau Kembang No. Nama Umum Kelas Nama Latin 1. Keong gondang Gastropoda Pila ampullacea 2. Kepiting bakau Mud crab Malacostraca Scylla serrata 3. Udang windu Giant tiger p rawn Malacostraca Penaeus monodon 4. Udang putihjerbung Banana prawn Malacostraca Penaeus merguiensis 5. Timpakulblodog Pisces Periopthalmus sp. 6. Jelawat Pisces Leptobarbus hoevenii 7. Patin Pisces Pangasius pangasius 8. Pipih atau belida Pisces Notopetrus chitala 9. Baung Pisces Mystus nemurus 10. Sebelahterompa Indian halibut Pisces Psettodes erumei 11. Kakap merahbambangan Red snapper Pisces Lutjanus malabaricus 12. Gulamah tigawaja Croackerdrum Pisces Nibea albiflora 13. Belanak Pisces Mugil sp. 14. Kera abu-abu Mamalia Macaca fascicularis 15. Bekantan Mamalia Nasalis larvatus 16. Hiranganlutung Mamalia Prebytis cristata 17. Bajing tanah Mamalia Lariscus insignis 18. Raja udang biru Aves Halycon chloris 19. Elang bondol Aves Haliastur Indus 20. Sikatankipasan Aves Rhipidura javanica 21. Raja udang meninting Aves Alcedo meninting 22. Merbah cerukcuk Aves Pycnonotus goiavier 23. Punai bakau Aves Treron fulvicollis 24. Pipit Aves Lonchura Malacca 25. Ular sanca Reptil Phyton reticulates 26. Ular air Reptil Homolopsus buccata 27. Kadal Reptil Mabouya multifasciata 28. Biawak Reptil Varanus salvator Sumber : CV. Sinar Kencana 1997, BKSDA Kalsel 2004 , Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Kalsel 2004, Survei Lapangan 2005, Google 2007 Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat diketahui fauna yang tedapat pada ekosistem mangrove adalah dari kelompok biota akuatik antara lain bebagai jenis ikan, udang, kepiting dan keong serta dari kelompok fauna terestrial dari golongan mamalia, aves dan reptil. Jenis biota akuatik yang ditemukan beberapa diantaranya termasuk dalam golongan ekonomis penting seperti ikan gulamah atau tigawaja, udang windu, udang putih atau jerbung dan kepiting. Ikan- ikan yang ditemukan tersebut tidak semuanya merupakan penghuni ekosistem mangrove. Ada beberapa jenis yang datang ke kawasan mangrove hanya untuk mencari makan atau untuk bertelur, seperti udang Penaeid Aksornkoae, 1993. Pada kawasan ini terdapat beberapa jenis fauna terestrial yang dilindungi yaitu bekantan, elang bondol, raja udang biru dan raja udang meninting. Dikaitkan dengan ekowisata mangrove, burung-burung biasanya menjadi objek wisata birdwatching , karena bulunya yang indah atau suaranya yang merdu, apalagi jika terdapat jenis yang langka dan dilindungi. Keberadaanya dalam jumlah banyak pada kanopi pohon mangrove merupakan pemandangan menarik. 5.2.2. Kualitas Perairan di Sekitar Kawasan Pulau Kembang Kondisi perairan Pulau Kembang dapat diketahui dengan melihat hasil kontrol terhadap 7 parameter kualitas air, yaitu kekeruhan, suhu TSS, salinitas, DO dan pH. Lokasi pengambilan sampel air terbagi menjadi 6 titik sampling antara lain Sungai Alalak, Sungai Miai Luar, Sungai Martapura, persimpangan Sungai Barito dan Sungai Nagara, Sungai Barito depan Pasar Wangkang dan Sungai Barito dekat Tempat Pelelangan Ikan. Kondisi perairan Pulau Kembang dan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil analisa kualitas air di kawasan TWA Pulau Kembang Titik Sampling Parameter Fisika – Kimia Parameter Biologi Kekeruhan NTU Suhu °C TSS mgl Salinitas ‰ DO mgl pH Coliform MPN100 ml S. Alalak, Jl. H. Hasan Basri Kab. B.masin 35 29 98 1 2.89 5 26000 Sungai Miai Luar RT. 3 No. 48 Kab. Banjarmasin 32 28 84 1 3.81 5 1100 S. Martapura, Jl. Seberang Mesjid RT. 5 Kab. B.masin 24 29 9 1 2.89 5.5 26000 Persimpangan S. Barito dan S. Nagara Kab. Barito Kuala 28 29 73 3 1.92 5 13000 S. Barito depan Pasar Wangkang Kab. Batola 54 28 122 5 3.47 5 110000 S. Barito dekat Pelelangan Ikan, Kab. Barito Kuala 55 28 157 5 4.44 5 23000 Baku Mutu Wisata Bahari 5 alami 20 Alami 5 7 – 8.5 1000 MPN 100 ml Sumber: Balai Teknik Kesehatan Lingkungan BTKL Banjarbaru, September 2005 Beradasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Berdasarkan hasil analisa kualitas air yang diperoleh dari Balai Teknik Kesehatan Lingkungan BTKL Banjarbaru pada bulan September 2005 dapat diketahui bahwa kondisi perairan di Pulau Kembang mengalami tingkat pencemaran yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena padatnya pemukiman penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di sekitar kawasan TWA seperti adanya konversi lahan untuk pemukiman, kegiatan perikanan tambak intensif, pelabuhan, berbagai macam kegiatan industri serta masukan limbah rumah tangga, maka tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir serta lingkungan perairan semakin meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan mengancam keberadaan dan kelangsungan sumberdaya pesisir beserta ekosistemnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai kekeruha n menunjukkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom perairan. Pada tabel dapat dilihat kisaran nilai kekeruhan antara 24 - 55 NTU. Tingginya nilai kekeruhan diduga karena banyaknya sungai yang bermuara ke Sungai Barito antara lain Sungai Martapura, Sungai Alalak, Sungai Miai, Sungai Kuin, Sungai Banyur, Sungai Kelayan dan Sungai Nagara yang mengalir sambil membawa bahan organik tersuspensi sehingga memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan nilai kekeruhan. Hal ini didukung oleh Effendi 2003 bahwa padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel dapat dilihat suhu perairan berkisar antara 28 - 29°C. Secara umum suhu perairan pada setiap titik sampling tidak terlalu berfluktuasi dan masih tergolong dalam kategori aman untuk melakukan kegiatan wisata bahari di sekitar kawasan Pulau Kembang. Kadar TSS total suspended solid atau padatan tersuspensi total di perairan Pulau Kembang memiliki kisaran antara 9-157 mgl. Fluktuasi nilai TSS ini disebabkan karena perbedaan letak titik sampling saat pengambilan sampel air. Kadar TSS yang rendah yaitu 9 mgl pada titik sampling sungai Martapura diduga karena letak sungai di daerah hulu dan pemukiman di sekitar sungai tersebut masih jarang sehingga sedikit me ndapat masukan bahan organik dari daratan. Pada perairan Sungai Barito dengan kadar TSS yang cukup tinggi yaitu 157 mgl diduga karena titik sampling berada dekat dengan tempat pelelangan ikan dan pelabuhan sehingga memberikan banyak masukan berupah limbah padat maupun cair yang menyebabkan kadar TSS meningkat. Salinitas perairan di dekitar kawasan TWA berkisar antara 1-5 ‰. Nilai salinitas ini tergolong rendah karena titik sampling terletak pada daerah perairan tawar dan estuari yang bermuara ke laut Jawa. Nilai salinitas sebesar 5‰ disebabkan karena kawasan ini mendapat pengaruh dari pasang air laut. Kadar oksigen terlarut atau DO demand oxygen di perairan berkisar antara 1,92-4,44 mgl. Nilai kadar DO tertinggi terdapat pada daerah perairan Sungai Barito, yaitu sebesar 4,44 mgl. Hal ini disebabkan karena daerah ini dipengaruhi pergerakan arus dari laut sehingga massa air yang masuk akan meningkatkan oksigen terlarut. Menurut Effendi 2003, kadar oksigen terlarut tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke perairan. Nilai pH pada setiap titik sampling relatif seraga m, yaitu berkisar antara 5- 5,5. Rendahnya nilai pH ini menunjukkan kadar asam di perairan tinggi. Kondisi asam tersebut bisa berasal dari masukan air hujan atau bisa juga disebabkan kondisi tanah yang bersifat asam di Kalimantan Selatan karena sebagian besar berupa lahan gambut. Dalam Effendi 2003 menyatakan bahwa semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Rendahnya kadar karbondioksida bisa berarti tingginya kadar oksigen di perairan tersebut, demikian juga sebaliknya. Pada perairan Pulau Kembang dilakukan pengamatan terhadap parameter biologi yaitu penguk uran terhadap Total Coliform TCf. Kisaran nilai TCf yang diperoleh antara 1100-110000 MPN100 ml. Sumber utama Escherichia coli adalah feses dan keberadaan Escherichia coli yang cukup tinggi di perairan disebabkan karena sebagian besar masyarakat yang bermukim di tepi sungai masih belum memiliki sistem sanitasi yang baik. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan di sekitar Pulau Kembang tidak sesuai dengan nilai baku mutu air laut untuk wisata bahari berdasarkan Keputusan Menteri Nega ra Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 dan tidak disarankan untuk melakukan aktivitas wisata seperti diving dan snorkeling di kawasan ini. Untuk alternatif kegiatan wisata dapat dikembangkan kegiatan wisata lainnya seperti memancing fishing ground, berperahu boating along river ways sambil menikmati keindahan alam dan mengamati kehidupan masyarakat pesisir dari dekat serta melakukan berbagai aktivitas wisata di TWA Pulau Kembang.

5.2.3. Daya Dukung Lingkungan untuk Kegiatan Ekowisata