Sumberdaya Ekosistem Pesisir TINJAUAN PUSTAKA

5. Fotografi photo hunting Kegiatan fotografi juga berlaku bagi jenis wisata selain wisata bahari. Namun selama melakukan ekowisata, kegiatan ini bertambah porsi kesulitannya. Dari mulai obyek foto landscape atau pemandangan alam, makro, sampai underwater photography bagi penikmat diving atau snorkling.

2.2. Sumberdaya Ekosistem Pesisir

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan ekosistem pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah natural atau buatan manmade. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang coral reef, hutan mangrove mangrove forest, padang lamun seagrass beds , rumput laut seaweed, pantai berpasir sandy beach, estuaria, pulau-pulau kecil dan lain- lain. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman Dahuri et al., 2004. Berdasarkan hasil survei dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Barito Kuala memiliki sumberdaya ekosistem pesisir antara lain ekosistem mangrove, estuaria, pulau-pulau kecil dan ekosistem buatan manmade ecosystem. 1. Hutan mangrove mangrove forest Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Daerah persebaran mangrove di Indonesia pada umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatra, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua Dahuri et al., 2004. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, sosial-ekonomi dan sosial budaya cukup penting untuk mendukung kehidupan masyarakat di wilayah pesisir. Secara umum fungsi yang menonjol dari ekosistem mangrove menurut Bengen 1999 adalah sebagai berikut: a. Fungsi lingk ungan yaitu sebagai peredam gelombang, pencegah abrasi, penahan badai, angin taufan, tsunami, perangkap sedimen dan penyerap limbah serta mencegah intrusi air laut. Juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai penyedia nutrien bagi berbagai fauna laut dan estuaria yang bersifat filter feeder dan pemakan detritus, tempat pemijahan spawning ground dan daerah asuhan nursery ground serta tempat mencari makan feeding ground bagi berbagai jenis biota air. b. Fungsi ekonomis penting terutama sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan dan pembuatan bubur kertas pulp, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil, penghasil sumber makanan dan minuman. Disamping itu ekosistem mangrove berfungsi sebagai pemasok larva ikan, udang dan biota laut serta sebagai kawasan ekowisata. 2. Estuaria Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang surut. Estuaria mempunyai peran ekologis penting sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut tidal circulation, penyedia habitat bagi sejumlah biota perairan, sebagai tempat berlindung, tempat mencari makan feeding ground, tempat bereproduksi dan atau tempat tumbuh besar nursery ground terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang Bengen, 2001. Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuaria adalah aliran air sungai seperti limbah, toksikan, sedimen dan nutrien dan sifat-sifat fisik air seperti pasang surut air laut dan gelombang Dahuri et al., 2004.

3. Pulau-pulau kecil

Pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km 2 atau lebarnya kurang dari 10 km Bengen, 2001. Selanjutnya didalam Bengen 2001 dijelaskan bahwa pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, antara lain: a. Terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular atau terisolasi. b. Sumberdaya air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil. c. Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran. d. Memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi. Pulau-pulau kecil yang terdapat di perairan muara Sungai Barito Propinsi Kalimantan Selatan adalah Pulau Kembang yang berstatus Taman Wisata Alam, Pulau Kaget dan Pulau Temburung yang berstatus Cagar Alam serta Pulau Bodok Colijn, 2001.

4. Ekosistem buatan manmade di wilayah pesisir

Ekosistem buatan manmade yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan yang mengelilingi TWA Pulau Kembang antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan industri kayu lapis, penggergajian kayu, lem, minyak kelapa dan kawasan pemukiman Soendjoto, 2002. 2.3. Pemanfaatan dan Permasalahan Potensial Ekosistem Pesisir 2.3.1. Pemanfaatan Potensial Ekosistem Pesisir Berikut ini beberapa pemanfaatan sumberdaya ekosistem pesisir, yaitu: 1. Pemanfaatan hutan mangrove Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. 1999 dalam Bahar 2004 menyatakan bahwa mangrove sebagai suatu ekosistem hutan pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung sebagai berikut: Ø Manfaat langsung merupakan manfaat yang secara langsung dapat dirasakan kegunaannya dan nilainya dapat dikuantifikasikan untuk pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu: a. Bentuk hasil produksi: kayu mangrove dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar fuel wood, bahan baku arang charcoal, bahan konstruksi, bahan baku kertas, bahan untuk alat keperluan perikanan tangkap dan pertanian. Buah dan daun beberapa jenis mangrove Bruguiera gymnorrhyza dan Sonneratia caseolaris dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan bahan makanan. Kulit dan getahnya digunakan sebagai pewarna tekstil. b. Bentuk jasa environmental services: pemanfaatan yang sedang menanjak dan bisa diimplementasikan pada tingkat masyarakat adalah jasa sumberdaya dan lingkungan untuk rekreasi dan ekowisata. Ø Manfaat tidak langsung merupakan pemanfaatan yang tidak konsumtif terhadap sumberdaya termasuk jasa-jasa yang disediakan oleh ekosistem mangrove tanpa menyebabkan kerusakan atau menghilangkan sebagian dari ekosistem tersebut, seperti pengatur iklim mikro climate regulator, tempat sarana pendidikan dan penelitian dan lain- lain. 2. Pemanfaatan estuaria Secara umum estuaria dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, serta sebagai pelabuhan dan kawasan industri Bengen, 2001. 3. Pemanfaatan pulau-pulau kecil Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari dapat terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu a Keharmonisan spasial b Kapasitas asimilasi atau daya dukung lingkungan dan c Pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Secara garis besar, pemanfaatan pulau kecil antara lain sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan environmental services yaitu sebagai tempat kawasan wisata alam berbasis lingkungan ekowisata, sebagai sumber keanekaragaman hayati biota, tempat pemukiman atau tempat persinggahan. Menurut Hein 1990 dalam Dahuri 1998, secara garis besar terdapat tiga pilihan pola pembangunan yang dapat diterapkan untuk pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil, yaitu: 1. Menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi, sehingga dampak negatif penting akibat kegiatan manusia dapat ditekan seminimal mungkin. 2. Pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan, seperti untuk pertanian dan perikanan yang semi- intensif. 3. Pola pembangunan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau, seperti pertambangan skala besar, tempat uji coba nuklir dan industri pariwisata berorientasi pada lingkungan. 2.3.2. Permasalahan Potensial Ekosistem Pesisir Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll, maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, baik secara langs ung misalnya kegiatan konversi lahan maupun tidak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan Bengen, 2001. Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir meliputi: 1. Sedimentasi dan pencemaran Kegiatan pembukaan lahan atas dan pesisir untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran ekosistem pesisir dan laut. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian, baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir melalui aliran sungai. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi menimbulkan keadaan lewat subur eutrofikasi yang merugikan ekosistem pesisir Bengen, 2001. Selain limbah pertanian, sampah-sampah padat rumah tangga dan perkotaan juga merupakan sumber pencemar ekosistem pesisir dan laut yang sulit dikontrol, sebagai akibat dari perkembangan pemukiman yang pesat. Sumber pencemaran lain di wilayah pesisir dan laut dapat berasal dari kegiatan seperti kegiatan transportasi yang dapat menyebabkan pencemaran minyak, kegitan pertambangan emas yang dapat menimbulkan pencemaran logam berat yang sangat berbahaya seperti raksa Hg, sianida Si dan lain- lain Bengen, 2001. 2. Degradasi fisik habitat Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Adapun permasalahan yang menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove menurut Dahuri et al., 2004 antara lain: a. Konversi kawasan hutan mangrove menjadi berbagai peruntukan lain seperti tambak, pemukiman, dan kawasan industri secara tidak terkendali. b. Belum ada kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, sehingga banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk berbagai kegiatan pembangunan. c. Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan lainnya melebihi kemampuan untuk pulih renewable capacity. d. Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri dan rumah tangga. e. Sedimentasi akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang bijak. f. Data dan informasi tentang hutan magrove masih terbatas, sehingga belum dapat mendukung kebijakan atau program penataan ruang, pembinaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan on a sustainable basis.

2.4. Pengelolaan dan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pesisir