91
yang lain. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
159
Ajaran melawan hukum materil merupakan fungsi negatif tidak memiliki fungsi positif, yaitu tidak memiliki fungsi untuk menghukum seseorang yang
perbuatannya tidak dilarang dala undang-undang. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum yang material dihalangi dan dilarang oleh legalitas yang terkandung dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP.
160
Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik di dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun di dalam
peraturan perundang-undangan lainnya, di mana pembentuk undang-undangitu telah merumuskansejumlah keadaan-keadaan, di dalam keadaan-keadaan mana ketentuan-
ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakuka penuntutan terhadap seorang pelaku yang
telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut.
C. Alasan Pembenar Bagi Korporasi
161
Alasan pembenar atau rechtsvaardigingsgrond ini bersifat menghapuskan sifat melawan hukum dan perbuatan yang di dalam undang-undang dinyatakan
dilarang. Karena sifat melawan hukumnya dihapuskan maka perbuatan yang semula
159
Teguh Prasetyo, Hukum Op Cit, Halaman 74..
160
Frans Maramis, Op Cit, halaman 110.
161
Lamintang, Op Cit, Halaman 385.
Universitas Sumatera Utara
92
melawan hukum itu menjadi dapat dibenarkan, dengan demikian pelaku tidak dipidana.
162
Pembentuk Undang-Undang menentukan pengecualian dengan batasan tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana
sehingga terdapat alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terbagi menjadi alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapus penuntutan.
163
Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang
patut dan benar. Alasan ini menghapuskan suatu peristiwa pidana yaitu kelakuan seseorang bukan suatu peristiwa pidana walaupun sesuai dengan ketentuan yang
dilarang dalam undang-undang.
164
Alasan pembenar ini dalam KUHP dapat kita jumpai yaitu :
165
1. Perbuatan yang merupakan pembelaan darurat Pasal 49 ayat 1 KUHP
2. Perbuatan untuk melaksanakan perintah undang-undang Pasal 50 KUHP
3. Perbuatan melaksanakan perintah jabatan dari penguasa yang sah Pasal 51
ayat 1 KUHP Secara teoretis hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar
dalam hukum pidana adalah keadaan darurat noodstand, pembelaan terpaksa
162
Teguh Prasetyo, Op Cit, Halaman 126.
163
Alvi Syahrin. http:alviprofdr.blogspot.com201011alasan-penghapus-pidana.html. Diakses pada pukul 13.00 WIB, Tanggal 30 Desember 2013.
164
Ibid.
165
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, Halaman 81.
Universitas Sumatera Utara
93
noodweer, melaksanakan ketentuan undang-undang, dan melaksanakan perintah atasan.
Pasal 49 ayat 1 KUHP berbunyi “ “tidak lah dihukum seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan
geboden untuk keperluan mutlak membela badan lijf, kesusilaan eerbaarheid, atau barang-barang goed dari dirinya sendiri atau orang lain,
terhadap suatu serangan aanranding yang bersifat melanggar hukum wederechtelijk atau dikhawatirkan segera akan menimpa onmiddelijk
dreigend.”
Keadaan darurat sebagai salah satu jenis alasan pembenar terjadi dalam tiga kemungkinan. Pertama, terjepit atau memilih antara dua kepentingan yang sama-sama
penting. Misalnya orang yang berada di tengah lautan bersama dua orang temannya, sedangkan satu-satunya alat yang dapat menyelamatkan mereka hanyalah satu papan
yang cukup hanya untuk satu orang saja. Kedua, terjepit antara kepentingan dan kewajiban. Misalnya, seseorang yang mencuri roti karena tidak makan beberapa hari .
di satu sisi ia harus menyelamatkan dirinya agar tidak meninggal dunia dengan memakan roti itu, sedang pada sisi lain, dia diwajibkan untuk tidak mencuri. Ketiga,
terjepit diantara dua kewajiban. Misalnya, seseorang yang pada hari dan jam yang sama diwajibkan datang ke dua pengadilan untuk menjadi seorang saksi dalam suatu
kasus tertentu.
166
166
Mahrus ali buku 2, Op Cit, halaman 87.
Pasal 49 ayat 2 KUHP berbunyi : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan,
jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu goncangan jiwa yang hebat disebabkan oleh serangan itu”.
Universitas Sumatera Utara
94
Pembelaan terpaksa noodweer diartikan sebagai pembelaan yang dilakukan karena serangan yang mendesak dan datang secara tib-tiba serta mengancam dan
melawan hukum.
167
Pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari goncangan jiwa yang hebat. Kegoncangan jiwa itu disebabkan karena adanya serangan. Dengan
kata lain antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausalitas.
168
Pasal 50 KUHP menentukan tidak dikenakan hukuman pidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-
undangan.
169
Mula-mula Hoge Raad HR menafsirkan secara sempit, yang dimaksud undang-undang adalah undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan
dari DPR danatau raja. Tapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang
umum.
170
Jadi untuk dapat menggunakan Pasal 50 KUHP maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Tindakan seperti ini dalam daya
memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.
171
167
Ibid, halaman 88.
168
PPPJ, Op CIt, Halaman 208.
169
Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, Halaman 93.
170
PPPJ, Op Cit, Halaman 209.
171
Ibid.
Pasal 51 KUHP berbunyi : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang”
Universitas Sumatera Utara
95
Melaksanakan perintah atasan. Secara harfiah, perintah atasan adalah suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk
memerintah semacam itu bersumber pada suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
Bila perbuatan-perbutan yang termasuk kedalam alasan pembenar di atas dikaitkan dengan keberadaan korporasi, apakah korporasi ketika melakukan tindak
pidana juga memiliki alasan pembenar sehingga tindak pidana yang awalnya melawan hukum menjadi hilang sifat melawan hukumnya.
Alasan pembenar paling mungkin ada pada korporasi terkait dengan keadaan darurat, khususnya terjepit diantara dua perbuatan yang sama-sama wajib dihindari.
Contohnya, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mengalami situasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama perusahaan tersebut beroperasi,
berupa hujan lebat disertai bongkahan es selama 3 hari berturut-turutsehingga menyebabkan tailing pada DAM meluap dan terjadi keretakan pada dinding DAM.
Bila DAM tidak segera dilepas kesungai, maka DAM failure tidak bisa dihindari dan orang orang yang tinggal disekitar DAM dipastikan meninggal dunia. Namun, ketika
DAM tersebut dibuang ke sungai, jelas hal itu akan membuat lingkungan akan tercemar karena tailingn tersebut.
172
Pada kasus tersebut, perusahaan tersebut diwajibkan untuk tidak membuang tailing kesungai sebelum limbah itu diolah melalui instalasi pengelolaan air limbah
IPAL. Bila hal itu tetap dilakukan, maka perusahaan melakukan tindak pidana
172
Mahrus ali buku 2, Op Cit, halaman 91.
Universitas Sumatera Utara
96
sebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, apabila perusahaan
tidak membuang tailing ke sungai, maka nyawa orang-orang yang tinggal disekitar sungai tidak akan tertolong.
173
173
Ibid, halaman 87.
D. Tidak Pidana Pengembang Perumahan dalam Penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman Ada beberapa tindakan badan hukum korporasi dalam hal ini pelaku usaha
yaitu pengembang perumahan menurut Undang-undang Dan Kawasan Permukiman dikategorikan sebagai Tindak Pidana.
Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman yang dapat dilakukan oleh Pengembang
Perumahan, terdapat dalam Pasal 162 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
lima miliar rupiah, yakni Badan Hukum yang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 yang
melarang Badan Hukum menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dengan mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di luar
fungsinya, serta menjual satuan permukiman bagi Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba.
Universitas Sumatera Utara
97
Pasal 155 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga menyebutkan badan hukum yang dengan sengaja melakukan pembangunan rumah
tunggal, rumah deret, danatau rumah susun dilarang melakukan serah terima danatau menarik dana lebih dari 80 delapan puluh persen dari pembeli sebelum
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan bahwa perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a.
Status pemilikan tanah; b.
Hal yang diperjanjikan; c.
Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk; d.
Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan e.
Keterbangunan perumahan paling sedikit 20 duapuluh persen. dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 163 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menyatakan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat 1 dan Pasal 152 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana penjara dan pidana
denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 tiga kali dari pidana denda terhadap orang.
Pada Pasal 163 Ayat 2 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, selain pidana bagi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Universitas Sumatera Utara
98
pengurus badan hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun.
Pasal 151 ayat 1 melarang setiap orang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah, sedangkan
Pasal 151 ayat 2 menyatakan selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai
dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.
Pada Pasal 152 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman melarang setiap orang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah
umum kepada pihak lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah.
Berdasarkan isi dari pasal Undang-undang perumahan dan Kawasan permukiman di atas maka tindakan yang dilarang berkaitan dengan penyediaan
prasarana, sarana dan utilitas umum yaitu : 1.
Tindakan yang dilarang oleh Pasal 162 ayat 1 Undang-undang Kawasan Permukiman yaitu :
a. Mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya.
Universitas Sumatera Utara
99
b.
Menjual satuan permukiman yang
status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba belum diseelesaikan
2. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 155 Undang-undang Kawasan Permukiman yaitu :
•
Melakukan serah terima danatau menerima pembayaran lebih dari 80 delapan puluh persen dari pembeli sebelum
memenuhi persyaratan Perjanjian pendahuluan jual beli
3. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 163 Undang-undang Kawasan Permukiman yaitu :
• Menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana,
dan utilitas umum yang diperjanjikan 4. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 152 Undang-undang Kawasan Permukiman
yaitu : • Menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada
pihak lain
Berdasarkan pasal di atas, aspek hukum pidana yang dapat dikemukakan disini adalah :
1. Dari sudut kualifikasi tidak pidananya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini dikualifikasikan atau
digolongkan kepada tindak pidana pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
100
2. Dari sudut bentuk formulasi tindak pidana dalam Pasal-pasal Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini
mengenal rumusan tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan perbuatan yang dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal ; Pasal 151 ayat 1 “Setiap orang yang menyelenggarakan
pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang
diperjanjikan, Pasal 152 “Setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain” dan Pasal 162 ayat 1
Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah, Badan Hukum yang:
a. Mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya
b. Menjual satuan permukiman
3. Tindak pidana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman ini dirumuskan sebagai tindak pidana commisionis yaitu tindak pidana berupa pelanggaran terhadap aturan yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2001 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana yang dapat dilakukan pengembang perumahan dalam menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
perumahan dan kawasan permukiman Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 8
Universitas Sumatera Utara
101
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, melarang pelaku usaha memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau
jasa tersebut; c. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut; Undang-undang terkait pengembang perumahan dalam menyediakan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum perumahan dan kawasan permukiman juga terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rpl.000.000.000,00
satu miliar rupiah.
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juga terkait dengan pengembang perumahan dalam
Universitas Sumatera Utara
102
menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum perumahan dan kawasan permukiman yakni setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua
puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp l.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga terdapat peraturan terkait dengan tindak pidana pengembang perumahan dan
kawasan permukiman dalam penyediaan prasarana, sarana, utilitas umum, yakni sebagai berikut:
1. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
a. Memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
103
b. Memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau jasa tersebut.
c. Memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut.
2. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: • Melakukan perbuatan Secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Tindakan yang dilarang oleh Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: • Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi.
Universitas Sumatera Utara
104
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN
DALAM MENYEDIAKAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi