Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi

77 5. Peraturan Menteri perumahan rakyat Nomor 01PERMENM2010 Tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat Di Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman : - Pasal 7 ayat c, masyarakat dapat mengadukan pelayanan mitra kerja yang mengelola fasilitas subsidi prasana, sarana, dan utilitas perumahan; 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan BarangJasa Pemerintah : - Pasal 38 ayat 5 huruf h menyatakan bahwa: “Pekerjaan pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembangdeveloper yang bersangkutan”. BAB III TINDAK PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi

Universitas Sumatera Utara 77 5. Peraturan Menteri perumahan rakyat Nomor 01PERMENM2010 Tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat Di Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman : - Pasal 7 ayat c, masyarakat dapat mengadukan pelayanan mitra kerja yang mengelola fasilitas subsidi prasana, sarana, dan utilitas perumahan; 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan BarangJasa Pemerintah : - Pasal 38 ayat 5 huruf h menyatakan bahwa: “Pekerjaan pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembangdeveloper yang bersangkutan”. BAB III TINDAK PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi

Universitas Sumatera Utara 78 Hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih daripada satu pengertian. 121 Moeljatno, dalam bukunya asas-asas hukum pidana mengklasifikasikan hukum pidana mengatur dasar-dasar dan aturan untuk : Banyak para ahli yang mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum pidana, tetapi tidak ada satupun rumusan di antara rumusan- rumusan tersebut, yang dapat dianggap sebagai rumusan yang sempurna yang dapat di berlakukan secara umum. 122 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-laranagan itu dapat dikenakan atau di jatuhi pidana sebagaimana yang telah di ancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Van Hamel memberikan pengertian yang berbeda mengenai hukum pidana, bahwa hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang di anut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum on recht dan mengenakan suatu nestapa penderitaan kepada yang melanggar tersebut. 123 121 Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, halaman 1. 122 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, halaman 1. 123 Sudarto, Pengantar Ilmu Hukum Pidana, yayasan Sudarto da FH Undip, semarang, 1990, halaman 10. Universitas Sumatera Utara 79 Simons, membedakan hukum pidana itu menjadi dua bagian, hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjevtive zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Simons memberikan pengertian hukum pidana dalam arti objektif yaitu : 124 Hukum pidana dalam arti subjektif ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh Negara untuk menjatuhkan pidana strafgewalt dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini meliputi hak untuk menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana Jan Remelink. Syarat utama “het geheel van verboden en geboden, aan welker overtrading door de staat of eenige andere openbare rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verbonden is, van de voorschriften, door welke de voorwaarden voor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en toegepast” Artinya : “Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan dimana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan- peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.” 124 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, halaman 13. Universitas Sumatera Utara 80 untuk memungkinkan Negara agar dapat menjatuhkan pidana strafgewalt ini adalah adanya perbuatan manusia yang melanggar hukum pidana itu sendiri. 125 Berdasarkan beberapa rumusan hukum oleh para ahli diatas, dapat di simpulkan bahwa tindak pidana itu adalah suatu tindakan atau perbuatan yang tidak dibolehkan atau di benarkan di lakukan yang telah diatur dalam suatu peraturan atau undang-undang, dan jika tindakan atau perbuatan tersebut tetap dilakukan maka akan timbul suatu reaksi dari peraturan tersebut untuk memberikan sanksi yang di laksanakan oleh penguasa. Lebih tegas Pompe merumuskan bahwa tindak pidana atau “strafbaar feit” pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” sebagai : 126 Moeljatno, lebih sepakat menyebut tindak pidana dengan sebutan Perbuatan pidana. Perbuatan olehnya dijelaskan sebagai suatu yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mena di sertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi “Suatu pelanggaran norma gangguan terhadap terbit hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah di lakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai “ de normovertreding verstoring der rechtsorde, waaraan de overeder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der recht orde en de behartiging van het algemeen wilzijn”. 125 Sudarto, Op Cit , halaman 51. 126 Lamintang, Op Cit,halaman 181. Universitas Sumatera Utara 81 barang siapa yang melanggar larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh sesuatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan di tujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat di pisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat di ancam pidana, jika tidak karena kejadian yang di timbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka di pakailah perkataan perbantuan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret : pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 127 Simons merumuskan “straffbaar feit” itu sebagai suatu “ tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat di pertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum” 128 127 Moeljatno, Op Cit, halaman 59. 128 Lamintang, Op Cit,halaman 185. Universitas Sumatera Utara 82 Alasan dari SIMONS apa sebabnya “straffbar feit” itu harus di rumuskan seperti di atas adalah karena : 129 1. Untuk adanya suatu strafbar feit itu dinyatakan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang di wajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum 2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang di rumuskan di dalam undang- undang, dan 3. Setiap strafbar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “ onrechtmatige handeling”. Dalam hal kita akan mengatakan bahwa suatu perbuatan manusia adalah perbuatan yang dapat di klasifikasikan bahwa, perbuatan itu merupakan tindak pidana maka kita haruslah mencocokkan terlebih dahulu unsur-unsur perbuatan manusia tersebut ke dalam tindak pidana yang telah diatur undang-undang. Simons berpendapat Hal itu dapat berupa suatu tindakan berupa “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”, yang terakhir ini di dalam doktrin sering juga disebut sebagai “een natalen” hal yang mengalpakan sesuatu yang di wajibkan oleh undang-undang. 130 129 Ibid. 130 Ibid. halaman 193. Misalnya dalam tindak pidana mencuri, unsur-unsur dari tindak pinana ini adalah mengambil barang, kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki, secara melawan hukum, maka haruslah terlebih dahulu terpenuhi semua unsur dari tindak pinana Universitas Sumatera Utara 83 pencurian tersebut barulah dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana pencurian. Begitu juga dengan tindak pidana koorporasi. Unsur-unsur tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dapat di bagi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. 131 Lebih lanjut E.Utrecht mengatakan bahwa seseoarang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur : harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum masuk kepada anasir objektif dan seseorang pembuat dader yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu masuk kepada anasir subjektif. 132 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 133 1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan dolus atau culpa; 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang di maksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 134 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang Pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai 131 Ibid. 132 Sudarto , Op Cit. halaman 390. 133 Lamintang, Loc Cit. 134 Ibid. Universitas Sumatera Utara 84 pengurus atau komisariat dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; 3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang merupakan unsur- unsur tindak pidana adalah : 135 1. Kelakuan dan akibat = perbuatan. 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melawan hukum yang objektif. 5. Unsur melawan hukum yang subjektif. Karakteristik tindak pidana korporasi berbeda dengan karakteristik yang dilakukan oleh manusia. Sebab, kedua subjek hukum pidana tersebut memiliki perbedaan. Korporasi tidak mempunyai jiwa dan pikiran, berbeda manusia yang mempunyai kedua sifat tersebut. Sebagai contoh, manusia bisa melakukan pembunuhan dan pemerkosaan, sedangkan korporasi tidak bisa melakukan perbuatan tersebut. Manusia melakukan suatu ikatan perkawinan, sementara korporasi tidak bisa melakukan itu. 136 Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus atau orang lain yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi 135 Moeljatno, Op Cit, halaman 69. 136 Mahrus ali buku 2, Op Cit, halaman 74 Universitas Sumatera Utara 85 maka digunakanlah “asas identifikasi”. Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan dipersamakan dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat fysieke dader namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” functionele dader . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan dolus atau culpa mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi. 137 Selanjutnya untuk tindak pidana yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi, Sudarto menyatakan bahwa sistem hukum Inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Menurut teori, korporasi bisa melakukan tindak pidana apa saja, akan tetapi ada pembatasan. Pertama, tindak pidana yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan manusia biasa, misalnya pidana penjara atau pidana mati saja. Kedua, tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya perkosaan, bigami, sumpah palsu dan sebagainya. 138 Bentuk-bentuk kejahatan korporasi sangat beraneka ragam dan pada umumnya bernilai ekonomis. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut antara lain, 137 http:id.wikipedia.orgwikiPertanggungjawaban_korporasi, diakses pada tanggal 2 Juni 2014, Pukul 16.30 WIB. 138 H. Setiono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang, 2004, halaman 62. Universitas Sumatera Utara 86 pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan dibidang perpajakan dengan sekala dan ruang lingkup korban yang sangat luas, yaitu konsumen, masyarakat, dan negara. 139 Kejahatan korporasi tidak termasuk di dalamnya crime against corporation, yang berorientasi pada kepentingan individu yang merugikan korporasi. 140 Ada dua karakteristik yang melekat pada tindak pidana korporasi : 141 1. Tindak pidana korporasi selalu dilakukan bukan oleh korporasi, tapi oleh orang lain yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi. Ini artinya, tindak pidana korporasi akan selalu merupakan tindakan fungsional. Korporasi tidak mungkin bisa melakukan perbuatan tertentu, termasuk melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melalui orang-orang yang bertindak untuk itu. 2. Sebagai konsekuensi karakteristik tindak pidana korporasi yang pertama bahwa korporasi hanya dapat melakukan tindak pidana dengan perantara pengurusnya, tindak pidana korporasi selalu dalam delik penyertaan. Delik penyertaan sendiri merupakan dasar yang memperluas delik tatbestandausdehunungsgrund. Dalam hubungan ini chairul huda menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan korporasi selalu merupakan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi bagian dari penyertaan tindak pidana tersebut. Tidak mungkin korporasi sebagai pelau tunggal tindak pidana. 139 Ibid, Halaman 20. 140 Muladi dan Diah susistyani RS, Pertanggungjawaban pidana Korporasi Corporate Criminal Responsibility, PT. Alumni, Bandung, 2013. Halaman 4. 141 Mahrus ali buku 2, Op Cit, halaman 75. Universitas Sumatera Utara 87 Korporasi dapat menjadi pembuat dader tetapi tidak dapat menjadipelaku pleger tindak pidana. Tindak pidana tersebut baik dalam bentuk commission maupun ommision dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya. 142 Salah satu unsur tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk weder = bertentangan dengan, melawan recht = hukum. Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat yang dapat dicela kadang-kadang dimasukkan kerumusan delik, yaitu rumusan delik culpa.

B. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korporasi