42
pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana, dapat ditempatkan di dalam keseluruhan sistem hukum pidana, Meskipun beliau tidak merinci lebih lanjut
tentang persyaratan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan, cukup jelas bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan dengan
memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangsangkutan.
3. Teori ‘t Hart Pandangan dari ‘t Hart, menyatakan bahwa hukum pidana harus dilihat
sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang dikarakteristikkan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek
pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini, satu sama lain, saling terkait dengan erat. Di dalam persoalan penegakan hukum maka yang perlu
diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang tidak dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik
pandangan ‘t Hart tidak cukup menutup kemungkinan ditempatkannya
pemidanaan badan hukum di dalam sistem hukum pidana. Jika bersama-sama
dengan ‘t Hart berbicara tentang manusia di dalam hukum pidana, maka
manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia sebagai subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia
sebagai makhluk yang terdiri dari daging dan darah. Menurut ‘t Hart hal ini
akan memberikan ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain selain dari manusia sebagai subjek hukum di dalam hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
43
Masuknya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sudah tentu timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya.
51
Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban pidana itu merupakan konsep sentral yang
dikenal dengan ajaran kesalahan.
52
Berbicara tentan pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian
tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.
53
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya
celaan verwijtbaarheid yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada
pembuat yang memenuhi persaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.
54
Tindak pidana crime dapat diidentifikasikan karena adanya kerugian harm yang menyebabkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal libility.
Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan
51
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012, Halaman 129
52
Mahrus Ali buku 1, Op Cit, halaman 39.
53
Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 30.
54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
44
pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia yang di
anggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami naturlijk person.
55
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan liability based on fault atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan
dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat 1, 2
dinyatakan bahwa: Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan
subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala
perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain korban.
56
1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
55
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, disampaikan
dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006, halaman 2.
56
Alvi Syahrin, http:alviprofdr .blogspot. com201302pertanggungjawabanpidana- korporasi-oleh.html di akses pada tanggal 26 februai 2014 pukul 15.00 wib
Universitas Sumatera Utara
45
2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan
hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan kerohanian seperti halnya manusia alamiah natuurlijk.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai
berikut :
57
Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi,
selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari 1. Doktrin IdentifikasiDirect Corporate Criminal Liability
Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak
untuk danatau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban
pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup
pekerjaan korporasi.
57
Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 89.
Universitas Sumatera Utara
46
korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi.
58
Ajaran identifikasi atau identification doctrine dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam
banyak perusahaan modern. Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau orang-
orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab adalah korporasi tindakan mereka sesungguhnya identik dengan tindakan
korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu
korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief exscutive officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level yang sama dengan
kedua pejabat tersebut.
59
Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.
Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan libility 2. Doktrin Strict liability
58
Mahrus ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi buku 2, PT. Raja Grafindo persada,
jakarta, 2013, halaman 76.
59
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halaman 236.
Universitas Sumatera Utara
47
without fault. Dengan substansi yang sama, konsep strict liability dirumuskan sebagai the nature of strict libility offences is that they are crime wich do not
requere any means rea with regard to at least one element of their “actus reus” konsep peretanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk
pelanggarankejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahn, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbutan.
Dalam tindak pidana yang bersifat strict libility yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku, dan hal itu sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidananya. Jadi, tidak di persoalkan adanya men rea karena unsur pokok strict libility adalah actus reus perbuatan sehingga yang
harus dibuktikan adalah actus reus perbutan, bukanlah mens rea kesalahan. Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban
berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan libility on fault or negligence atau fault liability merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori
pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolutestrict liability yang berlaku pada jaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku rumus :”a man
acts at his peril”, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan lain, seseorang
Universitas Sumatera Utara
48
bertanggungjawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.
60
Dapat juga diartikan pertanggungjawaban korporasi semata-mata berdasarkan Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajibankondisisituasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajibankondisisituasi tertentu oleh korporasi ini dikenal
dengan istilah “companies offence”, “situasional offence”, atau “strict liability offences”.
61
Akan tetapi, istilah tanggungjawab tanpa kesalahan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru karena banyak juga tanggungjawab terhadap perbuaatan, baik
yang disengaja maupun kelalaian yang mengerogoti kepentingan orang lain. Kepentingan dilindungi oleh hukum, yang merupakan tanggungjawab tanpa
kesalahan secara moral.
62
60
Ibid , halaman 105.
61
Ibid, halaman 237.
62
Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawban Pidana korporasi berikut studi kasus,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 23.
Seakan-akan pertanggungjawaban tanpa kesalahan akan bertentangan dengan teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban
pidana korporasi tetap atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan bertolak dari
keadaan psikologis dari penetapan dapat dipermasalahkannya badan hukum
Universitas Sumatera Utara
49
korporasi yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum.
63
Alvi Syahrin, berpendapat Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus memperhatikan
kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak
pidana. Fungsi strict liability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana materil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih
merupakan persoalan pembuktikan, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur tindak pidana.
64
vicarious liablity, lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas
perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious libility adalah suatu konsep pertanggungjwaban
seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya the legal
responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done whitin scope of employment.
3. Doktrin Vicarious Liablity
63
Alviprofdr.blogspot.com201403penelitian-hukum-isu.html?m=1 diakses pada tanggal 2
maret 2014, pkl 13.30 wib.
64
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
vicarious liablity hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih
dalam ruang lingkup pekerjaannya. Rasionalitas penerpan teori ini adalah karena majikan korporasi memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan
keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan korporasi.
Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liablity disebut dengan prinsip delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola
suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan mendelegasikan secara penuh kepada
seorang meneger untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu melakukan perbuatan melawan hukum, maka sipemegang izin pemberi
delegasi bertanggungjawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggungjawab
atas tindakan manager tersebut. Doktrin-doktrin mengenai badan hukumkorporasi tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut di atas merupakan hal yang saling melengkapi dan bukan saling menghilangkan.
Universitas Sumatera Utara
51
Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi yaitu sebagai berikut :
65
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh peroses mempertanggungjawabkan seseorang yang
telah bersalah melakukan tindak pidana. “a criminal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal
concequences following form that guilt”. Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa akibat yang pasti terhadap kesalahannya
tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikant terhadap penganaan pidana dan peroses pelaksanaannya. Jika kesalahan
dipahamai “dapat dicela”, maka disini pemidanaan merupakan perwujudan dari celaan tersebut.
66
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana
hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak
65
Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 53.
66
Huda Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Keasalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011,
halaman 129.
Universitas Sumatera Utara
52
pidana tersebut dan kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. seseorang mempunyai
kesalahan bilamana pada waktu melakukan tidak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.
67
Sudarto berpendapat bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi sebuah delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal
provision, namun hak tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjektive guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya atau
jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
68
Kesalahan dalam arti luas yaitu dolus, culpa dan tak adanya dasar pemaaf veronstschuldingsgrond. Menurut Vos pengertian kesalahan should mempunyai 3
tiga tanda khusus yaitu:
69
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
toerekeningsvatbaarheid van de dader.
67
Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 30.
68
Ibid, halaman 31.
69
Edi Yunara, Op Cit, halaman 28.
Universitas Sumatera Utara
53
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat
berpa kesengajaan atau kealpaan. 3.
Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.
Kesalahan dilihat dari niat mens rea pelaku pada waktu melakukan suatu perbuatan. Jika pelaku tindak pidana tersebut adalah manusia kita dapat melihatnya
dengan mudah, namun bagaimana jika korporasi sebagai subjek hukum pidana memiliki niat layaknya manusia sementara kegiatan koorporasi itu adalah prilaku dari
pengurusnya. Ini merupakan konsekuensi dari peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga
sulit untuk diaplikasikan dan menimbulkan berbagai penapsiran. Akibat dari ketidak jelasan tersebut adalah keragu-raguan aparat penegak hukum dalam menjalankan
proses hukum terhadap korporasi sebagai pelaku kejahatan. Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana banyak yang belum
jelas. Hal ini menyebabkan proses penegakan hukum yang menyangkut korporasi sebagai pelakunya dalam praktik sulit sekali ditemukan. Bahkan dalam beberapa
putusan pengadilan yang seharusnya korporasi dapat dituntut, tetapi dalam putusannya yang dituntut dan dipidana hanya pengurus dari korporasi tersebut.
70
Dalam hukum pidana pengembangdeveloper perumahan merupakan subjek hukum selain manusia yang masuk kedalam kualifikasi korporasi. Satjipto Rahardjo
memberikan pengertian korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan
70
AlviSyahrin,http:alviprofdr.blogspot.com201302pertanggungjawabanpidana-
korporasi-oleh.html di akses pada tanggal 26 februai 2014 pukul 15.00 wib
Universitas Sumatera Utara
54
yang diciptakan itu terdiri dari “corpus” yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu berkpribadian. Oleh
karen badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaanya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.
71
Korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau
karyawanya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitas hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi
adalah melalui pertanggungjawaban pengganti. Pemikiran ini berarti bahwa tidak bida melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk danatau atas nama
korporasilah yang bisa melakukan kejahatan.
72
Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum adalah sebagai berikut:
73
a. Mempunyai tujuan tertentu;
b. Mempunyai harta kekayaan;
c. Mempunyai hak dan kewajiban, baik untuk menggugat maupun digugat;
d. Mempunyai organisasi.
Badan hukum berarti terdapat pemisahaan kekayaan antara pendiri dan badan hukum, adanya pembatasan dan membedakan antara tanggungjawab pendiri dan
71
Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 13.
72
Mahrus Ali, Op Cit Buku 2, halaman 3.
73
AlviSyahrin,. http:alviprofdr.blogspot.com201302 pertanggungjawaban pidana-
korporasi-oleh.html. Diakses pada pukul 11.50 WIB. tanggal 24 Februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
55
tanggungjawab badan hukum, serta membutuhkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM mengenai legalitas dan keabsahan badan hukum tersebut.
74
74
Ibid.
Berdasarkan pasal Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman menyebutkan bahwa Penyelenggaraan rumah dan perumahan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah danatau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk
menempati, menikmati, danatau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Selanjutnya Berdasarkan Pasal 50 Undang-undang
Perumahan dan kawasan permukiman dinyakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah.
Jenis Rumah dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman dibedaan berdasarkan berdasarkan pelaku pembangunan dan
penghunian yang meliputi: rumah komersial; rumah umum; rumah swadaya; rumah khusus; dan rumah negara. Untuk rumah komersil adalah tenggungjawab
pengembang perumahan, rumah umum mendapatkan kemudahan danatau bantuan dari Pemerintah danatau pemerintah daerah, rumah swadaya dapat memperoleh
bantuan dan kemudahan dari Pemerintah danatau pemerintah daerah dan rumah khusus dan rumah Negara adalah disediakan oleh Pemerintah danatau pemerintah
daerah.
Universitas Sumatera Utara
56
Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menentukan bahwa Pemerintah danatau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah Negara. Bagi badan hukum yang ingin membangun rumah umum wajib diberikan kemudahan oleh pemerintah
pusat danatau daerah.
75
Pemerintah danatau pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawab menugasi danatau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan
perumahan dan perukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
76
1. Pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; danatau
Kemudian berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pembangunan perumahan
meliputi:
2. Peningkatan kualitas perumahan.
Penyediaan PSU perumahan dan kawasan perukiman merupakan kelengkapan fisik untuk mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan
terjangkau. Dengan demikian, ketersediaan PSU merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan
perukiman. Dukungan PSU yang memadai diharapkan dapat menciptakan dan
75
Lihat pasal 33 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman
76
Lihat Pasal 40 ayat 1 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman
Universitas Sumatera Utara
57
meningkatkan kualitas lingkungan perumahan.
77
Pengadaan barang dan jasa secara filosofi adalah upaya untuk mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan dengan dilakukannya atas dasar pemikiran yang
logis dan sistematis the system of thought, mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku. Pengadaan barang dan jasa di
pemerintah meliputi seluruh kontrak pengadaan antara pemerintah departemen pemerintah, badan usaha milik negara, dan lembaga negara lainnya dan perusahaan
baik milik negara atau swasta bahkan perorangan. Sehingga dapat terwujud yang
diamanatkan oleh Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia Pasal 9 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Khusus penyediaan PSU untuk jenis rumah komersil menjadi
tanggungjawab pengembang perumahan, PSU untuk jenis rumah umum dan swadaya memdapatkan bantuan oleh pemerintah pusatdaerah dan untuk rumah jenis khusus
dan Negara menjadi tanggungjawab Pemerintah PusatDaerah. Sehingga dalam penyediaan PSU untuk Rumah umum, swadaya dan khusus juga Negara ada ikut
andil pemerintah pusat danatau daerah.
78
77
Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013, Op Cit,
halaman 1.
78
Adrian, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012, halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
58
Pengadaan barang dan jasa melibatkan beberapa pihak, yaitu pihak pembeli atau pengguna dan pihak penjual atau penyedia barang dan jasa. Pembeli atau
pengguna barang dan jasa adalah pihak yang membutuhkan barang dan jasa. Dalam pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau memberi
tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau membuat barang atau melaksanakan pekerjaan tertentu. Pengguna barang dan jasa dapat merupakan suatu
lembagaorganisasi dan dapat pula orang perseorangan. Yang tergolong organisasi antara lain : instansi pemerintah Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten, dan Pemerintah Kota, badan usaha BUMN, BUMD, Swasta, dan organisasi masyarakat. Sedangkan yang tergolong perorangan adalah individu atau
orang yang membutuhkan barang dan jasa.
79
1. keadaan tertentu; danatau
Berdasarkan Pasal 47 ayat 1 Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman menyebutkan bahwa Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum
perumahan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, danatau setiap orang. Pemerintah dalam pelaksanaan penyediaan barangjasa pemerintah
memungkinkan Penunjukan Langsung terhadap 1 satu Penyedia BarangPekerjaan KonstruksiJasa Lainnya dapat dilakukan dalam hal:
2. pengadaan Barang khususPekerjaan Konstruksi khusus Jasa Lainnya yang
bersifat khusus.
79
Ibid, halaman 6
Universitas Sumatera Utara
59
Selanjutya berdasarkan pasal 38 ayat 5 huruf h Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman menyebutkan bahwa Pekerjaan pengadaan Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum di lingkungan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang dilaksanakan oleh pengembangdeveloper yang
bersangkutan merupakan kategori barang Khusus sehingga dimungkinkan penunjukan oleh pemerintah kepada satu pengembangdeveloper yang bergerak
dibidang perumahan dan kawasan perukiman. Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman berasaskan
kemitraan yaitu memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan
peran pelaku usaha dan masyarakat, dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini dipertegas dengan dikeluarkanntya Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Bantuan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Umum Perumahan Tapak Yang Dibangun Oleh Pengembang menegaskan ditujukan sebagai pedoman untuk melaksanakan
penyediaan PSU melalui mekanisme penunjukan langsung kepada pengembang yang bersangkutan.
80
Pengembangdeveloper dalam melaksanakan penyediaan PSU haruslah terlebih dahulu memenuhi persyaratan :
80
Lihat Pasal 2 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman
Universitas Sumatera Utara
60
1. Kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
2. Keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan lingkungan
hunian; dan 3.
Ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum. PSU dalam penjelasan pasal 28 ayat 1 huruf b Undang-undang Perumahan
dan Kawasan Permukiman menjelaskan paling sedikit harus memenuhi di antaranya paling sedikit meliputi, jalan, drainase, sanitasi, dan air minum, rumah ibadah dan
ruang terbuka hijau RTH, jaringan listrik termasuk KWH meter dan jaringan telepon serta harus mempertimbangkan kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas
umum bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik, misalnya penyandang cacat dan lanjut usia.
Pengembang yang ditunjuk oleh pemerintah dan telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan penyediaan PSU dilarang untuk mengalihfungsikan prasarana,
sarana, dan utilitas umum di luar fungsinya.
81
81
Lihat Pasal 144 Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman
Berdasarkan Pasal 162 ayat 1 pengembangdeveloper yang ditunjuk oleh pemerintah mengalihfungsikan prasarana,
sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah dan ayat 2 menyebutkan bagi
pengurus pengembangdeveloper tersebut dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan Pasal 151 Undang-undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Permukiman, yang berbunyi sebagai berikut: 1 Setiap
Universitas Sumatera Utara
61
orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan
utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
2 Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.
2. Kerangka Konsep