Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan, Hamdan, Op Cit, halaman 10.

34 sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 33 Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. 34 Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif tersebut meliputi : 35 1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana. 2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum. 3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada waktu melakukan perbuatan. 4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang. Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi: 36 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging. 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP. 33

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan,

2005, halaman 8. 34 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta, 2005, halaman 9. 35

M. Hamdan, Op Cit, halaman 10.

36 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Halaman 194. Universitas Sumatera Utara 35 Ada dua aliran berbeda pandangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yaitu aliran monisme dan aliran dualisme. Aliran monisme memandang antara unsur subjektif pelakupembuat pidana dengan unsur objektif perbuatan tidak perlu dilakukan pemisahan sedangkan aliran dualisme memandang perlu untuk dipisahkan. 37 Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Aliran monisme sepakat menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan. Perbuatan itu adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada akibat-akibat tertentu. 38 Moeljatno menganut pandangan dualisme yaitu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, Moeljatno memebedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidana orangnya dan beliau memisahkan pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. 39 Kemampuan bertanggung jawab melekat pada unsur subjektif, dan tidak pada unsur objektif, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya 37 PrayitnoImanSantosa,http:kepaniteraan.mahkamahagung.go.idkolom-hakim- agung347-pertanggungjawaban-pidana-menurut-ajaran-dualistis-penulis-prayitno-iman-santosa- .html, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB. 38 Arfan Efendi, dimensilmu.blogspot.com201307unsur-unsur-tindak-pidana, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB. 39 Edi Setiadi. dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana DI Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, Halaman 62. Universitas Sumatera Utara 36 memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan adanya pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari padangan demikian, kemampuan bertanggungjawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. 40 Penganut monoisme tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tidak pidna melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut paha monoisme juga merupakan unsur tindak pidana. 41 Paham monoisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana. 42 oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana pada perbuatan dengan syarat dipidana pada orang tidak dipisah sebagaimanamenurut paham dualism. 43 Aliran dualisme membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subjektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan 40 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 73. 41 Ibid, halaman 76. 42 Ibid. 43 Ibid, halaman 77. Universitas Sumatera Utara 37 tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur objektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang. Adapun pemidanaan ditujukan kepada pembuat atau subjek hukum pidana yang dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya. Subjek tindak pidana adalah pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Subjek hukum pidana dalam KUHP adalah manusia. Pandangan klasik ini berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi. Namun, menurut perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum. 44 Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan ahli hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa belanda disebut rechts person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. Badan hukum itu juga disebut dengan korporasi dalam arti sempit, sedangkan korporasi dalam arti luas juga meliputi badan tidak berbadan hukum. Pengembang perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman harus berbadan hukum, dalam hal ini berarti pengembang perumahan adalah korporasi berbadan hukum selanjutnya disebut korporasipengembang perumahan yang merupakan subjek hukum pidana. 45 44 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 54. 45 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi buku 1, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, halaman14. Universitas Sumatera Utara 38 Pengembang Perumahan merupakan pelaku usaha berbadan hukum yang statusnya adalah subjek tindak pidana. Korporasi merupakan badan hukum yang beranggotakan, tetapi mempunyai hak dan kewajiban anggota masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social. Modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu dan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. 46 J.C. Smith dan Brian Hogan berpendapat bahwa korporasi tidak bisa melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu sedangkan Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum korporasi bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi. 47 Badan hukum secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendirinyapemiliknya. Karena itu tanggungjwab secara hukum juga dipisah dari harta benda pribadi pemiliknya. Dalam hukum dikenal beberapa teori 46 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halalaman 43. 47 Mahrus Ali buku 1, Op Cit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 3 Universitas Sumatera Utara 39 tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari pendirinyapemiliknya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan tersebut. 48 Beberapa teori tantang badan hukum perusahaan yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 49 48 Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 3. 49 Ibid, Halaman 4. 1. Teori fiksi Teori fiksi fiction theory disebut juga sebagai teori kesatuan semu artificial sntity theory. Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, dan dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum creature of law 2. Teori realistis Teori realistis realist theory ini sering juga disebut sebagai teori organ organ theory yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi, melainkan benar realist ada dalam kehidupan hukum. 3. Teori ciptaan diri sendiri Universitas Sumatera Utara 40 Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan diri sendiri ini, Self ceating atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan hanyalah merupakan 1 Satu “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam kenyataan real personality. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur hal tersebut. Beberapa teori hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana dapat dikemukakan dari beberapa teori berikut : 50 Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J. Remmelink yang berpendapat bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan berasusila redelijk zedelijk wezen. Remmelink memilih cara pendekatan atas hukum pidana yang bersifat “psikologis”, maka hampir tidak mungkin dapat untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal ini terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau tidaknya badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka dogmatik hukum pidana yang berlaku. Hal ini juga menimbulkan permasalahan bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus didasarkan pada unsur

1. Teori Remmelink