107
dan memiliki kesalahan. Oleh karenanya, pertanggungjawaban korporasi merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lainagen vicarious liability,
dimana ia bertanggungjawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para agen. Pada perkembangannya, lalu dokrin respondeat superior menghasilkan
beberapa model atau teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu corporate criminal liability, strict liability, vicarious liability, aggregation theory, dan
corporate culture model. 2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Konsep badan hukum korporasi itu sebenarnya merupakan konsep dari stelsel hukum perdata. Konsep ini tumbuh subur hingga pada akhirnya bidang-bidang
hukum lain di luar stelsel hukum perdata sulit untuk tidak memperhatikan eksistensi badan hukum tersebut.
180
Rudi Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum bermula sekedar konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi badan hukum merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan,
disamping subjek hukum yang bersifat manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tidakan hukum.
181
Pengakuan korporasi recht person sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoretis, tidak seperti pengakuan subjek
180
H. Setiono, Op Cit, halaman 7.
181
Hamzah Hatrik , Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability Dan Vicarious Liability, Jakarta, 1996, Halaman 29.
Universitas Sumatera Utara
108
hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi fiction theory yang dicetuskan oleh
Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia.
Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan hukum itu
manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.
Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tidak pidana dalam sistem hukum pidana
dibanyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya
kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas
tersebut ternyata begitu mempengaruhi kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai-berikut :
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Universitas Sumatera Utara
109
Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi.
182
Penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dan diatur di luar KUHP, karena KUHP
sifatnya statis dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat maka KUHP tersebut tidaklah sepenuhnya memenuhi aspirasi dan kebutuhan hukum bangsa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang diakui di luar KUHP dalam perundang-undangan khusus. Hukum pidana
khusus maksudnya adalah undang-undang pidana yang berada diluar hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dai segi
hukum pidana materil maupun segi hukum pidana formal. Hukum tindak pidana khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golonganorang-orang
tertentu. Ruang lingkup tindak pidana khusus tidaklah bersifa tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri
ketentuan-ketentuan dari Undang-undang pidana yang mengatur substansi tertentu.
183
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap Undang-
undang di luar KUHP sepanjang Undang-undang itu tidak menentukan lain. Dasar hukum dari Undang-undang pidana khusus adalah Pasal 103 KUHP.
Pasal 103 ini mengandung pengertian :
182
Mahrus ali buku 2, Op Cit, Halaman 64
183
Tesis Rise Karmila, Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana di Luar KUHP, USU, 2009, halaman 81.
Universitas Sumatera Utara
110
2. Adanya kemungkinan Undang-undang termasuk Undang-undang pidana di luar
KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya. KUHP masih tetap menganut subjek hukum pidana berupa “orang”, namun
dengan adanya berbagai fungsi perundang-undangan di luar KUHP akhirnya korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana di luar ketentuan KUHP.
184
Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial, menurut Satjipto Raharjo, modernisasi sosial
dampaknya pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat di situ, maka kebutuhan
akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, tetapi
dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat
yang semakin berkembang, namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak kurang banyak pula.
185
Usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana, yaitu tidak lepas karena adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha
tersebut dilatar belakangi oleh fatwa bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya.
184
Ibid, halaman 106.
185
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halman 43.
Universitas Sumatera Utara
111
Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindankan pengurus-pengurus korporasi. Oleh karenanya dianggap tidak adil
bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia.
186
Ada 3 tiga tahapan secara garis besar melihat perubahan dan perkembangan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana yaitu, pertama,
dimulainya pada tahap ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan naturlijk person. Sehingga apabila suatu tindak
pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
187
Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” zorgplihct.
188
Pada tahap ini, pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.
Namun demikian, kesulitan yang muncul adalah dalam hal pemilik atau pengusahannya adalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa
pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan tentang
kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada tahap kedua.
189
186
Mahrus ali buku 2, Op Cit, Halaman 66
187
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halaman 53.
188
Dwijda Priyatno, Op Cit, Halaman 24.
189
Mahrus ali buku 2, Op Cit, Halaman 67
Universitas Sumatera Utara
112
Tahap kedua, tahap ini ditandai dengan pengakuan yang timbul setelah perang dunia pertama dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana,
dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha atau korporasi. Tanggungjawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.
190
Perumusan khusus untuk ini adalah apakah jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana
harus dijatuhkan terhadap pengurus. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana beralig dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan
larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya.
191
Dalam tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dalam hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan
perundnag-undangan yang mengatur hal tersebut.
192
Tahap ketiga, pada tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah perang dunia II.
Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya
dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan
190
Muladi dan Dwidja Priyatn, Op Cit, halaman 55.
191
Ibid, halman 55.
192
Dwijda Priyatno, Op Cit, halaman 26
Universitas Sumatera Utara
113
mungkin seimbang bila mana pidana dijatuhkan pada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada
jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat dipaksan korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.
193
Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang pengurus, merupakan
refleksi mengenai dua hal, yakni kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
194
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai saat ini masih menajdi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra dengan alasan-alasan masing-
masing sebagai berikut:
195
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada persona alamiah. 1. Alasan-alasan pihak-pihak yang tidak setuju :
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materil, yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah.
c. Bahwa pidana dan tindakan berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat
dikenakan pada korporasi. d.
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa kepada orang tidak bersalah.
193
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, Halaman 57
194
Hamzah Hatrik, Op Cit, halaman 7.
195
H. Setiono, Op Cit, halaman 10.