BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN
DALAM MENYEDIAKAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dalam hukum pidana konsep libility atau “pertanggungjawaban” merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada
konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an
act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Di dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,
yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang tidak pidana actus reus dan sikap batin jahattercela mens rea.
174
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.
175
174
Mahrus ali buku 2, Op Cit, halaman 93.
175
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halaman 82.
Universitas Sumatera Utara
103
Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi
pidana. Penentu apakah seseorang patut dicela karena perbuatannya, dimana wujud celaan tersebut adalah pemidanaan. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi
tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan
seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Dengan demikian, “it operates to filter those
deserving pinishment for their wrong form those who do not and to grade liability according to tehir degree fault.” Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana
merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahan tersebut.
176
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat
untuk dapat dipidananya karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana adalah legalitas, sedangkan dasar dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti
bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidananya jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai
kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu
176
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Halaman 17.
Universitas Sumatera Utara
104
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban pidana orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjwaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakuka seseorang. Pertanggungjawaban pidana
pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan
tertentu.
177
1. Ada suatu tindakpidana yang dilakukan oleh sipembuat.
Dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, Sudarto menegaskan bahwa disamping kemempuan bertanggung jawab, kesalahan schuld dan melawan
hukum wederechterlijk sebagai syarat untuk pengenaan pidana, iyalah pembahayaan masyarakat oleh sipembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggung jawaban pidana,
dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Pemahaman terhadap masalah pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak dapat dilepaskan dari persoalan pokok pertanggungjawaban
dalam hukum pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dan asalah pemidanaan.
178
177
Mahrus Ali buku 2, Op Cit, halaman 94.
178
H. Setiono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesi, Bayu Media Publishing, Malang, 2004, halaman 100
Universitas Sumatera Utara
105
Hukum pidana indonesia pada dasarnya juga menganut asas kesalahan, ketentuan mengenai hal itu dapat dilihat diberbagai ketentuan undang-undang, seperti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana KUHAP, dalam Pasal 6 ayat 2 dan pasal 8 Undang-undang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan :
1. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman: “tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-
undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggungjawab, telah bersalaha atas perbuatan yang dituduhkan atas
dirinya”. 2.
Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: “setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sementara itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang
mengatur mengenai masalah itu terdapat dalam Pasal 97 ayat 1 huruf f yang menyebutkan :
Universitas Sumatera Utara
106
“pernyataan kesalahan terdakwa, peryataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan.”
Untuk hukum pidana materil, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, dengan mencermati pasal-pasal yang ada di dalamnya, walaupun tidak
disebutkan secara eksplisit, rumusan pasal-pasalnya mengindikasikan dianutnya asas kesalahan. Pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHP pada dasarnya masih menyasaratkan adanya unsur kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kelalaian.
Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui penelitian yang mendalam para ahli, tapi sebagai akibat dari kecendrungan
dari formalisme hukum legal formalism. Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan
korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem common law melakukan suatu analogis atas subjek hukum manusia,
sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya.
179
Pada awalnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior, suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak
bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi saja yang dapat melakukan tindak pidana
179
Mahrus Ali buku 2, Op Cit, halaman 100.
Universitas Sumatera Utara
107
dan memiliki kesalahan. Oleh karenanya, pertanggungjawaban korporasi merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lainagen vicarious liability,
dimana ia bertanggungjawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para agen. Pada perkembangannya, lalu dokrin respondeat superior menghasilkan
beberapa model atau teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu corporate criminal liability, strict liability, vicarious liability, aggregation theory, dan
corporate culture model. 2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Konsep badan hukum korporasi itu sebenarnya merupakan konsep dari stelsel hukum perdata. Konsep ini tumbuh subur hingga pada akhirnya bidang-bidang
hukum lain di luar stelsel hukum perdata sulit untuk tidak memperhatikan eksistensi badan hukum tersebut.
180
Rudi Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum bermula sekedar konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi badan hukum merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan,
disamping subjek hukum yang bersifat manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tidakan hukum.
181
Pengakuan korporasi recht person sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoretis, tidak seperti pengakuan subjek
180
H. Setiono, Op Cit, halaman 7.