118
atau aktifitas pencapaian tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu, kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi
dilimpahkan menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek hukum pidana.
204
1. Kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang-
undang. Menurut Wolter, kepelakuan fungsional fungsional daderschap adalah
karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedeikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat. Ciri khas dari
kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu yang sebenarnya melakukan atau membuatnya menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain.
Sedangkan untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tiga tahap :
2. Pribadi yang manakah dala kasus pidana ini yang dapat menjalankan atau
melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana
itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah enetapkan bahwa dengan penjelasan yang wajar secara harfiah normale, lettrerlijk uitleg ternyata tidak
memberikan hasil yang memuasakan.
3. Diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih
wettig bewijs, ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan.
205
Di samping penerimaan terhadap konsep functioneel daderschap, sebenarnya apabila kita berpijak pada adagium res ipsa loquitur dalam
204
Ibid.
205
H. Setiono, Op Cit, halaman 106
Universitas Sumatera Utara
119
mempertanggungjawabkan korporasi, kemampuan bertanggungjawab tidak diperlukan lagi.
206
Kesalahan selalau bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain.
Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang kadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk
adanya kesalahan pada diri sipembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal. Metljatno mengatakan, “hanya terhadap orang-orang yang jiwanya normal
sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.
4. Penentuan Kesalahan Korporasi
207
hal inisejalan dengana adegium “tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld dalam hukum pidana lazimnya
dipakai dalam arti tiadapidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela.
208
E.Ph. Sutorious menyatakan bahwa, “pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Ditinjau secara lebih mendalam, kesalahan memandang
hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga
206
Ibid.
207
Chairul Huda, Op Cit, Halaman 91.
208
Mahrus Ali buku 2, Op Cit, halaman 137.
Universitas Sumatera Utara
120
perbuatan itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya.perbuatan itu tidak hanya objektfi tidak patut, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya. Dapat
dicelakan itu bukanlah merupakan inti dari pengertian kesalahan, tetapi akibat dari kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa
pencelaan, maka orang menaakan sebagai dapat dicela. Oleh karena itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan mepunyai arti bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak
hanya disyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya.
209
Mampu bertanggungjawab merupakan syarat kesalahan. sementara itu, kesalahan adalah unsur pertanggungjawaban pidana. mampu bertanggungjawab
merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjwabkan dalam hukum pidana.
210
Unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya.
Hubungan batin ini berupa kesengajaan dan kealpaan. KUHP kita tidak memberikan pengertian atau pendefenisian tentang kesengajaan dan kealpaan.
211
209
Ibid, halaman 138.
210
Chairul Huda, Op Cit, halaman 91.
211
H. Setiono, Op Cit, halaman 106