7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus
Diabetes Melitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan edukasi pada pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan
menurunkan risiko komplikasi jangka panjang. Hiperglikemia kronis yang terjadi pada penderita DM berkaitan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan dari berbagai fungsi organ terutama mata, ginjal, sistem saraf, jantung, dan
pembuluh darah ADA, 2012.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Dapat pula disertai keluhan lain yang berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu PERKENI, 2011:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200
mgdL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mgdL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit
untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Penderita DM bila tidak dikelola dengan baik akan berpotensi mengalami penyulit, baik penyulit yang bersifat akut maupun kronik. Menurut PERKENI, 2011,
penyulit akut DM dapat berupa: a.
Hipoglikemia, diagnosis ditegakkan apabila terdapat gejala klinis seperti lapar, gemetar, keringat dingin, pusing, gelisah, hingga koma dan disertai kadar
glukosa darah 30-60 mgdL. b.
Ketoasidosis Diabetik KAD, merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi 300-600 mgdL, disertai dengan
adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton + kuat. Osmolaritas plasma meningkat 300-320 mOsmL dan terjadi peningkatan
anion gap
. c.
Status Hiperglikemi Hiperosmolar SHH, pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi 600-1200 mgdL, tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat 330-380 mOsmL, plasma keton +-,
anion gap
normal atau sedikit meningkat. Penyulit kronik dapat berupa:
1. Makroangiopati, dapat mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
dan pembuluh darah otak.
2. Mikroangiopati, dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik.
3. Neuropati
Untuk dapat mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah
Cheung dkk, 2009; PERKENI, 2011.
2.2
Glycocylated Haemoglobin
HbA1c
HbA1c telah digunakan dalam monitor kontrol gula darah pada penderita DM selama tiga dekade. HbA1c didefinisikan sebagai hemoglobin yang terglikosilasi
secara ireversibel pada satu atau kedua
N-terminal valines
dari rantai beta. Definisi ini tidak mengekslusi hemoglobin yang terglikasi pada tempat lain, seperti rantai
alpha atau beta Ginis dkk, 2012.
HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang normal terpapar oleh kadar glukosa yang tingi dalam plasma. Keluaran produksi dari
produk-produk glikasi pada awalnya bersifat akut dan reversibel yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Produk glikasi tersebut dibentuk di intraselular dan ekstraselular
membentuk suatu gugus kombinasi glukosa dan asam amino. Gugus ini merupakan hasil reaksi non enzimatik, yaitu proses penambahan rantai nukleofilik membentuk
gugus “
shiff base adduct
”. Kemudian gugus
adduct
ini mencapai keseimbangan dalam hitungan jam dan perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk menjadi suatu
bentuk yang lebih stabil daripada produk awalnya. Hal ini akan mencapai keseimbangan dalam periode beberapa minggu. Salah satu jenis protein terglikasi
yang dimaksud adalah HbA1c Sultanpur dkk, 2010; Murugan dkk, 2010. Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari
hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian
HbA1c dapat menilai efektifitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah dalam jangka panjang Sultanpur dkk, 2010.
HbA1c pertama kali dikenal pada tahun 1960 sebagai bentuk glikosilasi dari hemoglobin dan pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator
dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada DM. Sejak tahun 1980-an, HbA1c telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko
dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga HbA1c merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8 hingga 12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun PERKENI, 2011., Herman dan Cohen, 2012.
2.3 Neuropati Diabetik