Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Kadar HBA 1 C Tinggi Sebagai Faktor Risiko NeuropatiDiabetic Perifer di RSUP Sanglah Denpasar.
HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO
NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
SRI YENNI TRISNAWATI, GS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
(2)
i
TESIS
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR
HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO
NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
SRI YENNI TRISNAWATI, GS NIM 101468202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
ii
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
SRI YENNI TRISNAWATI, GS NIM 101468202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(4)
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 2 OKTOBER 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) dr. IGN. Purna Putra, Sp.S(K) NIP.195404201982111001 NIP.195403301983031001
Mengetahui,
Plt. Ketua Program Studi Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) NIP 196304031988032003
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001
(5)
iv
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 3592/UNI4.4/HK/2014
Tertanggal: 30 September 2014
Penguji :
1. Dr. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K)
2. dr. IGN Purna Putra, SpS (K)
3. dr. AABN Nuartha, Sp.S(K)
4. Dr. dr. AAA Putri Laksmidewi, Sp.S (K)
(6)
v
(7)
vi
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung wara
nugraha-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan sebagai persyaratan untuk
mendapatkan gelar dokter spesialis saraf.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis
dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir
ini.
Kepada Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) dan dr. I.G.N. Purna Putra,
Sp.S(K) selaku pembimbing Tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis
mengikuti pendidikan, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada dr. I
Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S selaku pembimbing akademik dan
pembimbing statistik yang telah banyak memberikan perbaikan dalam
penyusunan tesis ini.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Rektor
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan mantan
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK
(8)
vii
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,
M.Kes, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan
Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS atas izin
dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program
Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih
kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati,
MARS dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, dr. Wayan Sutarga,
MPHM atas ijin, kesempatan, dan fasilitas yang diberikan. Terimakasih
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP
Sanglah, dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua TKP PPDS I FK
UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K), Ketua Litbang Bagian/
SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Thomas Eko
Purwata, Sp.S(K), atas segala dorongan, bimbingan dan saran yang sangat berarti
bagi penulis selama mengikuti pendidikan ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya
juga penulis haturkan kepada Kepala Divisi Endokrinologi Metabolisme Diabetes
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar, Prof. Dr.
(9)
viii
penguji, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K),
dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), dr.
I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna
M.G. Sinardja, Sp.S(K) yang telah membantu, memberi dorongan semangat,
saran, dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian,
ujian hasil penelitian hingga ujian akhir tesis.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) dan Dr. dr.
D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis diterima sebagai PPDS Neurologi atas
kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini.
Kepada Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi,
Sp.S(K) dan dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah
pada saat penulis diterima, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada supervisor di
(10)
ix
Kondra, Sp.S(K), dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G Purwa Samatra,
Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, Prof. Dr.
dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas
Eko Purwata, Sp.S(K), Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna M.G.
Sinardja, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. I
Komang Arimbawa, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka
Widyadharma, M.Sc, Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. Ketut Widyastuti,
Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu
Witari, Sp.S yang telah memberikan segala arahan, dorongan, bimbingan, dan
saran selama penulis mengikuti pendidikan ini.
Terima kasih penulis tujukan kepada semua teman sejawat PPDS Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan
pengertian teman-teman selama mengikuti pendidikan ini, khususnya dr. Yoanes
Gondowardaja, Sp.S, dr. I Made Domy Astika, Sp.S, dr. Ni Md. Yuli Artini, Sp.S,
dr. Ernesta P. Ginting, Sp.S, dr. Khristi Handayani, dr. Octavianus. Terimakasih
kepada teman-teman seperjuangan penulis dr. Widyantara, dr. I.A Sri Wijayanti,
dr. Agus Antara, dr. Bhaskoro, dr. Darsana atas kerjasama dan dorongan selama
penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini.
Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada seluruh tenaga paramedis
dan non medis di bangsal dan poliklinik penyakit Saraf RSUP Sanglah, tenaga
paramedis dan non medis di poliklinik Diabetes RSUP Sanglah atas jalinan
(11)
x
disertai penghargaan kepada seluruh pasien DM dan keluarganya atas bantuan dan
kerjasamanya selama melaksanakan penelitian ini.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua yang
penulis cintai dan teriring doa yang tulus kepada ayahanda terhormat, (Alm) DR
(HC) I Made Geriawan, S.Sos, MBA dan Ni Made Sukerti, BA yang telah
mengasuh dan memberikan dasar etika dan pendidikan pada penulis, serta
memberikan wawasan luas intelektual yang tidak ternilai; ayah dan ibu mertua
yang penulis hormati, Drs. I Ketut Mudra Arjaya, MM dan A.A.M. Armayanthi,
SH yang telah memberikan semangat dan dorongan baik material maupun moral
dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk
lebih berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih yang
sebesar-besarnya dari lubuk hati terdalam juga penulis sampaikan kepada suami tercinta
dan anak-anakku terkasih, Agus Darma Yudha, ST, MM, Masayu Adithi
Shivadevi, Chesta Anindya Radharani, Dalem Khastara Vinajagar, dan Advesta
Mirahdhivya Priyaharsani yang dengan penuh pengertian, kerelaan, pengorbanan,
cinta, dan kasih yang telah mengikhlaskan perhatian dan waktu keluarga, sehingga
ibu bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini untuk mewujudkan cita-cita.
Penulis telah membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis
(12)
xi
penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
demi perbaikan tesis ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa akan selalu
melimpahkan karunia-NYA kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 30 September 2014
(13)
(14)
xiii ABSTRAK
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KADAR HBA1C TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO NEUROPATI DIABETIK PERIFER DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes Melitus (DM) dan Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik (ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan menurunkan kualitas hidup. Prevalensi NDP diperkirakan bervariasi, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP. NDP juga sering terlihat pada penderita DM yang memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap 86 penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Diabetes dan Saraf RSUP Sanglah selama bulan April hingga Agustus 2014. Subyek yang memenuhi kriteria eligibilitas dikelompokkan sebagai kasus dan kontrol masing-masing berjumlah 43 orang. NDP diperiksa dengan menggunakan MDNS. Seluruh data dianalisis dengan analisis statistik. Data karakteristik dianalisis secara deskriptif.Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala nominal dengan metode Chi-Square.Tingkat hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%.
Hasil analisis data didapatkan penderita DM tipe2 dengan kadar HbA1c tinggi yang menderita NDP terbanyak pada jenis kelamin laki-laki (51,2%) dengan rerata umur 56 tahun. Stadium NDP terbanyak yang dialami penderita adalah NDP stadium 2 (53,5%). Pada analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara kadar HbA1c tinggi dengan NDP pada penderita DM tipe 2 (p=0,001) dengan OR 4,82; IK 95% (1,931-12,041).
Dapat disimpulkan bahwa DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP Sanglah.
(15)
xiv
Neuropathy is a common complication of DM (Diabetes Melitus). Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN), the most common type of it, is confined to
disability and morbidity of DM patient. This condition is decreasing patient’s
Quality of Life significantly. Prevalence of DPN is vary, approximately 50% of DM patient suffer from DPN, especially those with uncontrolled blood glycemic index. This condition determined from the HbA1C level in blood. This study is aim to know that DM Type 2 with a high HbA1C level is a risk factor of DPN at Sanglah General Hospital.
This was a case control study enrolled for 86 patients with DM type 2 that came to Diabetic Outpatient Ward and Neurology Outpatient Ward during April unto August 2014. Eligible subjects were grouped as a case and a control one, in which there was 43 subjects for each group. DPN was evaluated by MDNS. Characteristic data analyzed with descriptive method. Chi square, one of bivariate analyze method, was held to test the independent nominal variable and dependent one. Level of relationship between both variables was tested with Odds Ratio with
level of significance is α = 5%.
The result revealed that DPN in DM type 2 patient with high HbA1c level occurred in greater number in men (51,2%). The average age is 56 years old. The most stage of DPN found was stage 2 (53,5%). In bivariate test, there was a significant relationship between high level HbA1C in DM type 2 and DPN with OR 4,82 (CI 95%; 1,931-12,041).
The study conclude that DM type 2 with a high level of HbA1C is a risk factor of DPN at Sanglah General Hospital.
(16)
xv DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ………
SAMPUL DALAM ………..……… i
PRASYARAT GELAR ……… ii
LEMBAR PENGESAHAN ……….… iii
LEMBAR PANITIA PENGUJI TESIS... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ……… vi
ABSTRAK ………...… xiii
ABSTRACT ……… xiv
DAFTAR ISI……… xv
DAFTAR GAMBAR ……… xvii
DAFTAR TABEL ……… xviii
DAFTAR SINGKATAN ……… xix
DAFTAR LAMPIRAN ……… xx
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
1.1 Latar Belakang ………...… 1
1.2 Rumusan Masalah ………...………… 5
1.3 Tujuan Penelitian ………...…… 5
1.4 Manfaat Penelitian ………...……… 5
1.4.1 Manfaat Ilmiah ……….……… 5
1.4.2 Manfaat Praktis ……….……… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...…….. 7
2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus………...….. 7
2.2 Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)…………...…... 9
2.3 Neuropati Diabetik …..…..…………...……….…... 10
2.3.1 Definisi... 11
2.3.2 Klasifikasi Neuropati Diabetik... 11
2.4 Neuropati Diabetik Perifer...………... 13
2.4.1 Patofisiologi NDP... 14
2.4.2 Gejala Klinis NDP... 23
2.4.3 Histopatologi... 33
2.5 Hubungan Hiperglikemi dengan NDP …………...…… 35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DANHIPOTESIS PENELITIAN... 39
3.1 Kerangka Berpikir ... 39
3.2 Kerangka Konsep ... 41
3.3 Hipotesis Penelitian ... 42
BAB IV METODE PENELITIAN... 43
4.1 Rancangan Penelitian ... 43
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 44
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 44
(17)
xvi
4.4.3.3 Kriteria Eksklusi Kasus dan Kontrol 45
4.4.4 Besar Sampel ... 46
4.4.5 Teknik Pengambilan sampel ... 46
4.5 Variabel Penelitian... 47
4.6 Definisi Operasional Variabel... 47
4.7 Alat Pengumpulan Data ... 51
4.8 Prosedur Penelitian ... 51
4.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 54
BAB V HASIL PENELITIAN ... 55
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 55
5.2 Analisis Bivariat Kadar HbA1c Tinggi dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2... 57
5.3 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh Terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2……….. 58
5.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP... 61
BAB VI PEMBAHASAN ………... 63
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 63
6.2 Hubungan antara Kadar HbA1c dengan NDP pada Penderita DM Tipe 2... 66
6.3 Hubungan Faktor-faktor Lain Terhadap Kejadian NDP pada Penderita DM Tipe 2... 70
6.4 Faktor Risiko Independen Terhadap NDP... 74
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………... 76
7.1 Simpulan... 76
7.2 Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
(18)
xvii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 4.1 Gambar 4.2
Jalur Polyol...……… Jalur AGE... Jalur PKC... Jalur Hexosamine... Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik Perifer... Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan Tanpa NDP... Defek Mirovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP... Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural pada Penderita Diabetes dengan dan Tanpa NDP... Mekanisme Hiperglikemi menimbulkan Degenerasi Neuron... Bagan Kerangka Berpikir...…………..………... Konsep Penelitian...…………. Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol...
Bagan Alur Penelitian...
16 18 20 21 24 34 34 35 38 40 41 43 53
(19)
xviii
Tabel 2.1 Tabel 2.2
Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Tabel 5.4
Klasifikasi Neuropati Diabetik...……… Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic
Peripheral Neuropathy...
Toronto Clinical Scoring System...
The Modified Neuropathy Disability Score……….
Stadium NDP Berdasarkan MDNS... Karakteristik Subjek Penelitian ... Analisis Bivariat Kadar HbA1c dengan NDP... Analisis Bivariat Faktor Lain dengan NDP... Analisis Multivariat Regersi Logistik...
12
25 26 27 28 56 58 59 61
(20)
xix
DAFTAR SINGKATAN
AGEs : Advanced Glycation End Products
cAFT : Cardiovascular Autonomic F unction
DAG : Diacylglycerol
DM : Diabetes Mellitus
DPN : Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy
GFAT : Glutamine Fructose-6 Phosphateamidotransferase
IGT : gangguan toleransi glukosa
GLA : Gamma-Linolenic Acid
KAD : Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik
KHONK : Koma Hiperosmolar Non-Ketotik
MAP kinase : Mitogen Activated Protein Kinase
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MDNS : Michigan Diabetic Neuropathy Score
NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hydrogen
ND : Neuropati Diabetik
NDP : Neuropati Diabetik Perifer
NND : Nyeri Neuropati Diabetik
NGF : Nerve Growth Factor
NO : Nitric Oxide
PI-3 kinase : Phosphatidylinositol-3 Kinase
QST : Quantitative Sensory Testing
ROS : Reactive Oxygen Species
TTGO : Tes toleransi glukosa oral
(21)
xx
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7
Keterangan Kelaikan Etik………....
Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian.……... Kuisioner Penelitian...…………..… MDNS………... Surat Ijin dari RSUP Sanglah Denpasar... Data Subjek Penelitian... Analisis Statistik ...
82 84 85 89 90 91 95
(22)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes
Melitus (DM) dan Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy atau Neuropati
Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik
(ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan
menurunkan kualitas hidup.
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan,
hal ini sangat terkait dengan jumlah populasi penduduk yang meningkat, angka
harapan hidup bertambah, urbanisasi yang mengubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas yang meningkat, dan kegiatan fisik yang
cenderung berkurang. DM perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif,
jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
(Lopez, 2011).
Berdasarkan penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan prevalensi DM
sebesar 1,5-2,3% pada penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun, bahkan di daerah
urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi
tersebut meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara maju, sehingga DM
merupakan masalah yang sangat serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
(23)
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah
rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk
diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas
20 tahun. Dari 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun, diperkirakan terdapat
penderita DM sebesar 12 juta untuk daerah perkotaan, dan 8,1 juta di daerah pedesaan
(PERKENI, 2011).
NDP merupakan ND yang paling sering ditemukan, yang bermanifestasi
progresif lambat, simetris dengan pola gloves and stocking. Prevalensi NDP
diperkirakan bervariasi berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis
NDP, secara umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena
NDP. Konsensus San Antonio merekomendasikan bahwa diagnosis ND paling sedikit
memenuhi satu dari lima kategori yang diukur yaitu skor gejala, skor pemeriksaan
fisik, quantitative sensory testing (QST), cardiovascular autonomic function (cAFT)
dan elektrodiagnostik. Berdasarkan uraian diatas, maka deteksi dini NDP sangat
penting pada pasien dengan diabetes karena pencegahan bisa menurunkan morbiditas
dan mortalitas, tetapi tidak ada baku emas untuk mendiagnosis polineuropati
(Dobretsov dkk, 2007).
Penderita DM akan memiliki masalah dengan saraf perifer yang dapat terjadi
kapan saja, tetapi risiko NDP akan meningkat berhubungan dengan umur dan
lamanya menderita DM. Jumlah terjadinya NDP tertinggi terjadi pada penderita yang
(24)
3
yang memiliki masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya
dapat dinilai dari kadar Glycocylated Haemoglobin (HbA1c) (Tesfaye, 2004).
Penelitian-penelitian pada penderita DM tipe 1 dan DM tipe 2 memperlihatkan
bahwa buruknya kontrol glukosa darah yang dapat dinilai dari tingginya nilai HbA1c,
walaupun belum ada korelasi yang berlangsung antara beratnya peninggian HbA1c
dengan beratnya ND (Kolegium, 2009).
Tomic dkk. (2003) melakukan penelitian obesitas sebagai faktor risiko untuk
komplikasi mikrovaskular dan neuropati pada penderita diabetes, didapatkan hasil
bahwa obesitas sendiri atau kombinasi dengan kualitas dari kontrol metabolik
(HbA1c), tekanan darah sistolik dan diastolik dan kolesterol LDL sebagai faktor
risiko komplikasi mikrovaskular dan neuropati.
Tamer dkk. (2006) dalam penelitiannya mendapatkan adanya hubungan yang
signifikan antara level HbA1c, durasi menderita DM, merokok, jenis kelamin
laki-laki, dan penggunaan insulin dengan ND pada pasien DM. Dalam penelitian ini tidak
didapatkan adanya hubungan antara umur, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan
hipertrigliseridemia dengan terjadinya ND.
Penelitian yang dilakukan EURODIAB IDDM Complications Study yang
meneliti 3250 pasien dengan DM tipe 1 dari 31 pusat kesehatan pada 16 negara di
Eropa menyimpulkan bahwa ND berhubungan dengan kontrol glukosa darah dan
durasi penyakitnya. Dikatakan pula bahwa rendahnya nilai HbA1c berhubungan
dengan rendahnya prevalensi ND. Walau demikian, baiknya kontrol glukosa darah
(25)
termasuk ND. Hal ini memperkirakan bahwa terdapat faktor lain yang juga ikut
berperan selain kontrol glukosa darah dan durasi penyakit (Tesfaye, 2004).
Keparahan dan durasi hiperglikemia memainkan peranan penting dalam
patogenesis ND. Tetapi pada praktek klinis didapatkan bahwa penderita DM dengan
nyeri neuropati atau berkembangnya neuropati berbeda pada orang-orang yang
memiliki nilai HbA1c dan durasi menderita DM yang hampir mirip. Dari hal ini,
diperoleh suatu gagasan bahwa hiperglikemia saja tidak cukup untuk perkembangan
proses neuropati (Erdoğan, 2012).
Erdoğan (2012), pada penelitiannya mendapatkan adanya perbedaan eksitabilitas yang signifikan pada dua kelompok diabetes yang memiliki nilai gula darah yang
sama. Hasil ini memperkirakan bahwa hiperglikemia tidak cukup berperan dalam
perkembangan NDP. Respon personal dari masing-masing pasien terhadap
hiperglikemia dan fungsi saluran ion diperkirakan juga memainkan peranan penting
dalam perkembangan NDP.
Penelitian atau studi kasus kontrol oleh Purwata (2010) pada 59 kasus Nyeri
Neuropati Diabetik (NND) di RSUP Sanglah didapatkan 11 orang dengan kadar
HbA1c yang rendah dan 48 orang dengan kadar yang tinggi, sedangkan pada
kelompok kontrol dari 51 orang didapatkan 18 orang dengan kadar HbA1c rendah
dan 33 orang dengan kadar yang tinggi dengan OR = 2.380 dengan CI 95%
(0.996-5.688) dan p > 0,05. Hubungan ini secara statistik tidak bermakna, jadi kadar HbA1c
(26)
5
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini masih
terdapat pendapat bahwa nilai HbA1c normal atau rendah masih memiliki risiko
untuk terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2. Sehingga penelitian ini mencoba
mencari DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di RSUP
Sanglah.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko NDP di
RSUP Sanglah?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko
NDP pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai pasien DM tipe 2
yang menderita NDP dan membuktikan bahwa kadar HbA1c tinggi sebagai faktor
risiko NDP pada komunitas penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar
(27)
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor
risiko NDP diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi dini dan penatalaksanaan
(28)
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan
kesehatan dan edukasi pada pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan
menurunkan risiko komplikasi jangka panjang. Hiperglikemia kronis yang terjadi
pada penderita DM berkaitan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan dari berbagai fungsi organ terutama mata, ginjal, sistem saraf, jantung, dan
pembuluh darah (ADA, 2012).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Dapat
pula disertai keluhan lain yang berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat
ditegakkan melalui tiga cara, yaitu (PERKENI, 2011):
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
(29)
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit
untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
karena membutuhkan persiapan khusus.
Penderita DM bila tidak dikelola dengan baik akan berpotensi mengalami
penyulit, baik penyulit yang bersifat akut maupun kronik. Menurut PERKENI, 2011,
penyulit akut DM dapat berupa:
a. Hipoglikemia, diagnosis ditegakkan apabila terdapat gejala klinis seperti lapar,
gemetar, keringat dingin, pusing, gelisah, hingga koma dan disertai kadar
glukosa darah <30-60 mg/dL.
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD), merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan
adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
c. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH), pada keadaan ini terjadi peningkatan
glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat.
Penyulit kronik dapat berupa:
1. Makroangiopati, dapat mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi,
(30)
9
2. Mikroangiopati, dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik.
3. Neuropati
Untuk dapat mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar
glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga
mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah
(Cheung dkk, 2009; PERKENI, 2011).
2.2 Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)
HbA1c telah digunakan dalam monitor kontrol gula darah pada penderita DM
selama tiga dekade. HbA1c didefinisikan sebagai hemoglobin yang terglikosilasi
secara ireversibel pada satu atau kedua N-terminal valines dari rantai beta. Definisi
ini tidak mengekslusi hemoglobin yang terglikasi pada tempat lain, seperti rantai
alpha atau beta (Ginis dkk, 2012).
HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang
normal terpapar oleh kadar glukosa yang tingi dalam plasma. Keluaran produksi dari
produk-produk glikasi pada awalnya bersifat akut dan reversibel yang dipengaruhi
oleh hiperglikemia. Produk glikasi tersebut dibentuk di intraselular dan ekstraselular
membentuk suatu gugus kombinasi glukosa dan asam amino. Gugus ini merupakan
hasil reaksi non enzimatik, yaitu proses penambahan rantai nukleofilik membentuk
gugus “shiff base adduct”. Kemudian gugus adduct ini mencapai keseimbangan dalam hitungan jam dan perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk menjadi suatu
(31)
bentuk yang lebih stabil daripada produk awalnya. Hal ini akan mencapai
keseimbangan dalam periode beberapa minggu. Salah satu jenis protein terglikasi
yang dimaksud adalah HbA1c (Sultanpur dkk, 2010; Murugan dkk, 2010).
Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari
hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari
glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian
HbA1c dapat menilai efektifitas terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah
dalam jangka panjang (Sultanpur dkk, 2010).
HbA1c pertama kali dikenal pada tahun 1960 sebagai bentuk glikosilasi dari
hemoglobin dan pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator
dari toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada DM. Sejak tahun 1980-an, HbA1c
telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko
dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM. Tes
hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga HbA1c merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8 hingga 12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak
dapat dipergunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun
(PERKENI, 2011., Herman dan Cohen, 2012).
2.3 Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering
(32)
11
ND pertama kali diperkenalkan oleh Rollo tahun 1798 yang menggambarkan ND
sebagai adanya nyeri dan parestesi pada tungkai bawah penderita DM, dimana
diagnosis ini ditegakkan setelah mengeksklusi berbagai kondisi lainnya, seperti
trauma atau adanya tekanan pada jaringan saraf, defisiensi vitamin B1, B6, B12, E,
dan Niasin, alkohol, infeksi (Lyme disease, varicella zoster, Epstein-Barr, Hepatitis
C, dan HIV/AIDS), penyakit autoimun (Systemic lupus erythematosus, Rheumatoid
arthritis dan Guillain-Barre syndrome), inherited disorder (Charcot Marie-Tooth
disease dan Amyloid polyneuropathy), tumor, dan paparan zat beracun (Guerrero dkk,
2012).
2.3.1 Definisi
ND merupakan komplikasi tersering pada DM tipe I dan tipe II ND merupakan
suatu kerusakan saraf akibat adanya gangguan metabolisme kadar glukosa darah
(Hoogwerf, 2005). Menurut Boulton dkk (2005), ND merupakan kondisi disfungsi
saraf perifer yang disebabkan oleh DM bukan karena penyebab lain.
2.3.2 Klasifikasi Neuropati Diabetik
ND dapat diklasifikasi sebagai berikut (Kolegium, 2009):
1. Neuropati perifer yang menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jari
kaki, kaki, tungkai, tangan, dan lengan.
2. Neuropati otonom yang menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi
(33)
mempengaruhi saraf-saraf yang mengurus jantung dan tekanan darah, saluran
pencernaan, traktus urinarius, organ seks, kelenjar keringat, dan mata.
3. Neuropati proksimal menyebabkan nyeri di paha, panggul, atau pada bokong
dan bisa menyebabkan kelemahan pada tungkai.
4. Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari suatu saraf atau
kumpulan saraf yang menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap
saraf di badan dapat terkena dan bisa mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis,
panggul bawah, paha, dan abdomen.
Tabel 2.1
Klasifikasi Neuropati Diabetika (Bhadada dkk, 2001)
______________________________________________________________
A. Diffuse
1. Distal symmetric sensori-motor polyneuropathy
2. Autonomic neuropathy
a. Sudomotor
b. Cardiovascular
c. Gastrointestinal
d. Genitourinary
3. Symmetric proximal lower limb motor neuropathy
(amyotrophy)
B. Focal
1. Cranial neuropathy
2. Radiculopathy/plexopathy
3. Entrapment neuropathy
(34)
13
2.4. Neuropati Diabetik Perifer (NDP)
Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang berhubungan
dengan Diabetes dan NDP merupakan bentuk paling umum dari ND. Kelainan ini
ditandai oleh nyeri, parestesi, dan berkurangnya gejala sensorik, yang dapat mengenai
lebih dari 50% penderita diabetes dengan adanya peningkatan insiden kasus baru
sebesar 2% tiap tahunnya. Walaupun prevalensi NDP diperkirakan bervariasi
berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara umum
diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP dan sekitar
30-50% pasien dengan prediabetes juga memiliki gejala neuropati (Kaur, 2013).
Keparahan NDP tergantung dari lamanya menderita DM dan level kontrol
glukosa darah. Individu dengan NDP memiliki keluhan awal berupa hilangnya
sensasi pada bagian distal kaki, dimana 80% berikutnya akan menimbulkan rasa tebal
dan tidak sensitif pada kaki tanpa rasa nyeri. Saat hilangnya sensasi ini mencapai
pertengahan betis maka penderita akan mulai merasakan hilangnya sensorik dibagian
distal ujung-ujung jari tangan (Tesfaye dkk, 2010).
Pada penelitian Pirart yang mengikuti 4400 pasien selama 25 tahun, dimulai dari
penegakan diagnosis awal, ditemukan 12% pasien dengan NDP. Peningkatan untuk
terjadinya NDP mencapai lebih dari 50% setelah 25 tahun menderita DM. Di
Amerika Serikat, NDP dievaluasi pada 6487 pasien DM dengan menilai reflek
pergelangan kaki, vibrasi, pinprick, dan sensasi temperatur yang digabungkan dengan
skor gejala 9 poin. Diperoleh bahwa 5% dari individu berusia 20-29 tahun menderita
(35)
pula pada penelitian kohort dengan 8757 pasien DM berusia 18-70 tahun, diperoleh
33% dari populasi dengan neuropati dan terjadi peningkatan sebesar 50% pada subjek
dengan umur yang lebih lanjut. Peningkatan pasien NDP berhubungan dengan
lamanya menderita DM, didapatkan pula bahwa NDP juga terjadi pada 10-18% saat
diagnosis awal dimana pasien dengan gangguan toleransi glukosa yang dikenal
sebagai prediabetes. Skrining prospektif pada pasien denngan oral glucose tolerance
test menghasilkan 30-50% pasien dengan “idiopathic” painful sensory neuropathy dengan IGT yang memiliki gejala hampir sama dengan NDP awal dengan
predominan gangguan gejala dan tanda sensorik (Feldman dan Vincent, 2004).
2.4.1 Patofisiologi NDP
Gejala dan tanda NDP berdasarkan perubahan patologis pada sistem saraf
penderita DM, didapatkan hilangnya serabut saraf besar dan kecil bermielin, kejadian
remielinisasi segmental, dan degenerasi aksonal. Perubahan pada struktur serabut
saraf terjadi pararel dengan perubahan pada pembuluh darah sekitarnya, seperti
menebalnya dinding pembuluh darah kapiler, hiperplasi endotel yang berperan dalam
menurunkan tekanan oksigen dan hipoksia, dan penyempitan kapiler yang meliputi
serabut saraf kecil bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin (Kaur, 2013).
Saat Diabetes Control and Complication Trial mengungkapkan bahwa
hiperglikemia mendasari perkembangan NDP, maka 10 tahun terakhir ini banyak
dilakukan penelitian yang memfokuskan dalam pengertian dan kerusakan vaskular
(36)
15
utama dalam metabolisme glukosa untuk terjadinya NDP, yaitu (Feldman dan
Vincent, 2004):
1. Peningkatan aktivitas jalur polyol yang menimbulkan akumulasi sorbitol dan
fruktosa, NADP (P)- Redox imbalance, dan perubahan pada sinyal transduksi.
2. Glikasi protein non enzimatik yang membentuk “advanced glycation end
products” (AGEs)
3. Aktivasi protein Kinase C (PKC) yang menginisiasi respon kaskade stres.
4. Peningkatan Hexosamine pathway flux.
Walaupun secara inisial mekanisme tersebut terlihat berbeda, beberapa bukti
penelitian memperkirakan bahwa defek ini saling berhubungan dan secara kolektif
bertanggung jawab untuk terjadinya dan perburukan NDP. Berikut akan dijelaskan
masing-masing jalur untuk terjadinya NDP, yaitu:
a. Jalur Polyol
Kecenderungan pada jaringan yang mengalami komplikasi, kelebihan glukosa tidak
dimetabolisme melalui glikolisis yang melewati jalur polyol. Pada jalur polyol,
glukosa diubah menjadi sorbitol, kemudian menjadi fruktosa, dan hal ini berperan
dalam proses oksidasi dari nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen
(NADPH) menjadi NADP+. Peningkatan aktivitas jalur metabolik ini selanjutnya
akan menghabiskan NADPH sehingga memerlukan regenerasi antioksidan
gluthathione. Tanpa gluthatione yang mencukupi, kemampuan sistem saraf akan
menurun dan berubah menjadi Reactive Oxygen Species (ROS), menimbulkan stres
(37)
jalur polyol, akan menyebabkan akumulasi sorbitol yang nantinya akan menimbulkan
stres osmotik yang mengubah potensial antioksidan dalam sel, dan nantinya akan
meningkatkan akumulasi ROS. Pengeluaran produksi fruktosa pada jalur polyol juga
menimbulkan pembentukan nonenzymatic glycation / glycoxidation yang dapat
meningkatkan ROS yang memediasi kerusakan selular protein dan lipid (Feldman
dan Vincent, 2004).
Gambar 2.1
Jalur Polyol (Feldman dan Vincent, 2004)
b. Jalur AGE
Hiperglikemia intraseluler terlihat sebagai kejadian primer yang menginisiasi formasi
AGEs melalui advanced glycation end product pathway. Glycation atau glycosilation
merupakan kombinasi glukosa dengan protein (Schiff bases) membentuk produk
(38)
17
mengalami perbaikan yang baru menjadi produk glycation awal tipe amadori yang
lebih stabil. Reaksi ini bersifat reversibel dan tidak ada bukti yang menggambarkan
bahwa produk-produk awal ini berhubungan dengan komplikasi diabetes. Dikatakan
pula bahwa beberapa produk glycation awal ini berjalan lambat, yang merupakan
reaksi kimiawi dari serial komplek menjadi AGEs. Karena AGEs ini bersifat
ireversibel, AGEs ini tidak akan kembali menjadi normal walau hiperglikemia telah
dikoreksi tetapi dikatakan bahwa AGEs ini akan terakumulasi dalam perjalanan
waktu. Bentuk AGEs di dalam sel akan menimbulkan intra dan ekstraselular cross
linking dari agregasi protein dengan protein yang menghasilkan struktur-struktur
tersier yang merusak fungsi sel tersebut. Hiperglikemia dan tingginya aliran polyol
akan meningkatkan proses ini. AGEs dapat menimbulkan kerusakan neuronal spesifik
dengan menghambat transport aksonal yang menimbulkan degenerasi akson. Proses
ini berhubungan dengan formasi AGE yang memerlukan transisi metal yang
menghasilkan makin banyak formasi AGE (Singh, 2001; Feldman dan Vincent,
2004).
AGEs yang berikatan dengan protein reseptor seperti reseptor untuk advanced
glycation end product (RAGE). Pada mesangial dan sel endotel, aktivasi RAGE oleh
AGEs menghasilkan suatu produk ROS. Mekanisme yang pasti belum diketahui,
tetapi diperkirakan ada peranan NADPH oksidase. Kejadian ini sendiri dapat
berkontribusi dalam stres oksidatif selular dan disfungsi. Sebagai tambahan,
dikatakan pula bahwa sinyal RAGE melalui phosphatidylinositol-3 kinase (PI-3
(39)
dan memelihara translokasi dari NF-KB dari sitoplasma ke nukleus pada beberapa
tipe sel termasuk monosit sirkulasi dan sel endotel (Casellini dan Vinik, 2006).
Reseptor RAGE terdiri dari 2 NF-KB yang berikatan dengan regio promotornya
sehingga aktivitasi RAGE menimbulkan translokasi NF-KB yang menghasilkan
amplifikasi RAGE dan menimbulkan lingkaran keusakan dan oksidatif stres
berkelanjutan (Feldman dan Vincent, 2004).
Gambar 2.2
Jalur AGE (Feldman dan Vincent, 2004)
c. Jalur PKC
Efek dari diabetes pada jalur PKC dikatakan sangat komplek, PKC bertanggung
jawab terhadap aktivasi dari protein esensial dan lipid di dalam sel yang berguna
untuk ketahanan hidup selular. Keseimbangan fisiologis abnormal oleh karena
(40)
19
untuk stres dengan meningkatkan osmolaritas intrasel, seperti mengakumulasi
nonpertubing organic osmolytes, seperti sorbitol, mioinositol, dan taurine. Proses ini
menurunkan taurine dan mio-inositol. Penurunan dari taurine akan mengurangi
ketahanan antioksidan, sedangkan penurunan mio-inositol mempengaruhi sinyal
intraselular phosphoinositide, penurunan aktivitas PKC (Rajbhandari dan Piya,
2005).
Peningkatan aktivitas jalur polyol mengaktivasi PKC sebagai stimulasi osmotik
dari stress-activated protein kinase. Aktivasi PKC hampir mendekati suatu status
redox sel. Pengikatan antioksidan terhadap dopamin katalitik dari aktivitas inhibisi
PKC, saat PKC berinteraksi dengan prooksidan, dimana proses ini menjadi
teraktivasi. Aktivasi PKC akan menimbulkan aktivasi MAP-kinase dan faktor-faktor
transkripsi phosphorylasi yang akan meningkatkan ekspresi gen dan multiple
stress-related gen (C-jun kinase dan Heat shock protein) yang nantinya akan merusak sel.
Walaupun aktivitas PKC lebih baik terjadi pada retina, ginjal, dan mikrovaskular
dibanding saraf, dalam pathogenesis NDP dipercaya sebagai hasil dari efek pada
aliran darah vaskular (Kaur, 2013).
Peranan PKC kedepannya sebagai komplikasi diabetes yang diperoleh dari
fakta-fakta, dikatakan bahwa aktivasi PKC vaskular menimbulkan vasokontriksi dan
iskhemi jaringan. Aktivasi PKC memiliki bifungsional efek pada NDP. Rendahnya
aktivitas PKC dapat mengganggu aliran darah pada saraf dan konduksi saraf pada
NDP. Dimana aktivitas yang tinggi akan mengurangi fungsi saraf yang kemungkinan
(41)
Gambar 2.3
Jalur PKC (Feldman dan Vincent, 2004)
d. Jalur Hexosamine
Jalur Hexosamine diaktivasi saat keluaran metabolisme glikolisis terakumulasi. Jalur
ini menimbulkan perubahan pada ekspresi gen dan fungsi protein yang berkontribusi
dalam patogenis komplikasi diabetes. Sebagai contoh, beberapa protein
acylglycosilated yang diproduksi pada jalur ini merupakan faktor transkripsi yang
meningkatkan protein yang berhubungan dengan komplikasi diabetes. Protein-protein
ini sering merupakan inflamatory intermediates dan meliputi transformasi growth
factor B1 yang berperan dalam nephropati dan plasminogen-activator inhibitor yang
menghambat pembekuan darah normal, peningkatan komplikasi vaskular. Aktivasi
(42)
21
menimbulkan oklusi mikrovaskular dan memproduksi ROS (Feldman dan Vincent,
2004).
Jalur hexosamine berperan penting dalam DM tipe 2 melalui 2 mekanisme
mayor. Nilai batas enzyme glutamine fructose-6 phosphateamidotransferase (GFAT)
secara spesifik meningkat secara spontan pada otot binatang tikus dengan DM.
Overekspresi dari GFAT ini menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia.
Sebagai tambahan, aktivasi dari jalur hexosamine yang menginduksi stres oksidatif
melalui generasi dari hidrogen peroksidasi intrasel. Beberapa jalur hexosamine
disupresi dengan terapi antioksidan (Kaur, 2013).
Gambar 2.4
(43)
e. Stres Oksidatif
Masing-masing dari keempat jalur diatas memiliki kontribusi untuk pembentukan
formasi ROS. Reaksi-reaksi ini terjadi melalui jalur polyol yang meningkatkan stres
oksidatif dengan menurunkan kofaktor yang berperan dalam ketahanan antioksidan.
Melalui produk ROS dari formasi AGEs akan meningkatkan stres oksidatif. Aktivasi
PKC menghasilkan penurunan aliran darah, angiogenesis, oklusi kapiler, inflamasi,
dan ROS. Jalur hexosamine menimbulkan oklusi makro dan mikrovaskular, iskhemia,
dan ROS. Pada neuron yang normal, produk ROS dikontrol, radikal bebas dari
superoxide dan hidrogen peroksidase penting dalam fungsi sel normal. Superoxide
diproduksi oleh rantai transfer elektron mithocondrial saat nicotinamide adenine
dinucleotide (NADH) dioksidasi menjadi NAD+ (Kaur, 2013).
Saat jumlah glukosa berlebihan, terjadi kerusakan pada rantai transfer elektron
mithokondria dengan menghambat sintesis adenosine triphosphatase. Hal ini
menimbulkan lambatnya transfer elektron mitokondria, meningkatnya pelepasan
elektron yang berperan untuk kombinasi dengan molekular oksigen untuk
memproduksi superoxide serta menimbulkan aktivasi NADH yang menghasilkan
superoxide sebagai produknya. Superoxide dimetabolisme menjadi hidrogen
peroksidase dan air dengan bantuan enzim superoxide dismutase. Hidrogen
peroksidase dapat dioksidasi dengan mudah menjadi komponen selular multipel dan
secara difus menembus membran. Saat hidrogen peroksidase bereaksi dengan iron
bebas, akan menghasilkan Hydroksill Radikal yang bereaksi dengan lipid. Lipid
(44)
23
keluaran superoxide dan hidrogen peroksidase bersifat mematikan atau menimbulkan
kerusakan pada saraf-saraf (Feldman dan Vincent, 2004).
Peningkatan aktivitas pada jalur-jalur ini menimbulkan disfungsi endotel yang
nantinya akan menimbulkan perubahan mikroangiopati dan selanjutnya akan
menimbulkan hipoksia jaringan. Hasil selanjutnya pada kerusakan struktur saraf dan
neuropati reversibel atau penurunan kecepatan hantar saraf (Tesfaye, 2004).
2.4.2 Gejala Klinis NDP
NDP juga disebut sebagai distal symetrical polineuropathy yamg merupakan
sindrom neuropati yang paling sering terlihat pada pasien DM. Sindrom yang lebih
jarang terlihat yaitu cranial mononeuropathies dan focal neuropathies seperti
proximal motor neuropathy. NDP dimulai dari jari-jari kaki dan secara gradual
menjalar keatas. Saat mengenai ekstremitas bawah, NDP juga mulai mengenai
ekstremitas atas dengan gejala menghilangnya gejala sensorik yang mengikuti bentuk
distribusi tipikal “gloveand stocking”. Defisit motorik yang signifikan secara umum tidak terjadi pada stadium awal NDP, walau pada pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) memperlihatkan atrofi otot-otot kecil bagian bawah pada kaki sebagai
gejala awal. Kelemahan otot simptomatik terlihat pada perkembangan penyakit
(45)
Gambar 2.5
Distribusi Stocking and Glove pada Neuropati Diabetik Perifer (Tanenberg, 2009).
Gejala nyeri seperti rasa terbakar, kesemutan dan parestesi terlihat awal pada
30% pasien. Penting diingat bahwa gejala-gejala tersebut tidak sebagai indikator yang
reliabel terhadap keparahan atau beratnya kerusakan saraf. Pasien dengan gejala nyeri
yang berat memiliki defisit sensorik yang lebih sedikit dibandingkan pasien dengan
gejala tanpa nyeri yang memiliki keluhan rasa tebal pada kaki (Llewelyn, 2003).
Nyeri dan insensitif merupakan dua tanda klinis NDP. Gejala nyeri meliputi
rasa terbakar, paresthesia (pins and needle’s), hiperesthesia, dan allodynia (nyeri kontak) dapat menimbulkan rasa stres dan biasanya memburuk pada malam hari.
Nyeri ini dapat berkisar dari rasa kesemutan pada satu atau lebih jari-jari kaki hingga
nyeri berat dan nyeri neuropati yang persisten. Pasien sering mendiskripsikan gejala
mereka seperti terkena sengatan listrik yang mengenai kaki atau seperti berjalan pada
(46)
25
Diagnosis NDP biasanya tergantung dari gejala subjektif. Ekslusi penyebab
neuropati diabetik seperti alkoholisme, defisiensi vitamin B12, endokrinopati,
vaskulitis, paparan logam berat, penggunaan obat-obatan, dan keganasan merupakan
hal penting karena penyebab-penyebab ini 10% terjadi pada kasus-kasus neuropati
pada penderita DM. Saat gejala tanpa tanda, keparahan dan gejala nyeri dapat dinilai
dengan visual analogue scale atau numerical rating scale (0, tidak nyeri; 10 nyeri
paling hebat) (Dobretsov dkk, 2007).
Tabel 2.2
Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic Peripheral Neuropathy
(47)
Deteksi awal NDP sangat penting untuk mendapatkan pengobatan lebih awal
dan sebagai pencegahan untuk kerusakan selanjutnya. Pada praktek klinisnya, deteksi
awal dimulai dengan anamnesis riwayat penyakit dan evaluasi gejala sensorik dan
motorik. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi pada kaki, evaluasi reflek pergelangan
kaki dan lutut, pemeriksaan sensorik meliputi pemeriksaan vibrasi, rasa raba, dan pin
prick sensation. Sistem skoring klinis dapat digunakan untuk menilai derajat
keparahan neuropati dengan menggunakan gejala dasar, reflek, dan skor sensorik,
seperti Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004).
Tabel 2.3
Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004).
Symptom Scores Reflex Scores Sensory Scores 0-6 0-8 0-5
Foot pain Knee reflexes Pinprick Numbness Ankle reflexes Temperature Tingling (both sides) Light touch Weakness Vibration Ataxia Position sense Upper limb symptoms
Maximum score = 19
0-6 = no neuropathy; 6-8 = mild neuropathy: 9-11 = moderate neuropathy
≥ 12 = severe neuropathy
Dalam diagnosis klinis, terdapat beberapa kuisioner gejala untuk menskrining
kelainan ini. Michigan Neuropathy Screening Instrument dengan menggunakan 15
pertanyaan dapat menilai gejala dan defisit serta efeknya terhadap kualitas hidup
(48)
27
yaitu Neuropathy Disability Score (NDS). Penilaian ini sangat mudah dikerjakan dan
hanya memerlukan waktu 1 hingga 2 menit. Skor maksimal untuk defisit neuropati
adalah 10 yang mengindikasikan hilangnya seluruh modalitas sensorik dan tidak
adanya reflek (Boulton, 2005).
Tabel 2.4
The Modified Neuropathy Disability Score (Boulton, 2005)
Salah satu modifikasi dari NDS adalah Michigan Diabetic Neuropathy Score
(MDNS). NDP dan stadium NDP ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik kuantitas
(49)
memiliki prediksi yang tinggi terjadinya neuropati diabetika dan berkorelasi dengan
NDS, seperti tes vibrasi, fungsi otonom dan konduksi saraf (Feldman,1994).
Tabel 2.5
Stadium NDP Berdasarkan MDNS (Feldman, 1994)
Stadium 0 : Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati.
Stadium 1 : Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan hantaran saraf (neuropati ringan).
Stadium 2 : Skor MDNS < 29, dan 3-4 abnormalitas dari pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang).
Stadium 3 : Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran saraf (neuropati berat).
Alat lainnya yang mudah dikerjakan untuk skrining adalah Semmes-Weinstein
monofilament (SWMF). Pemeriksaan ini menggunakan monofilamen yang terdiri dari
filamen nilon yang dapat menilai tekanan persepsi saat dilakukan tekanan yang
gentle. SWMF merupakan suatu tes yang mudah digunakan sebagai skrining dalam
mengidentifikasi pasien NDP. Pemeriksaan ini dikatakan abnormal bila pasien tidak
dapat merasakan 5,07/10 g SWMF pada lebih dari 4 tempat dari 10 tempat yang
diperiksa (Boulton, 2005).
Quantitative Sensory Testing (QST) menggunakan suatu respon terhadap
(50)
29
QST ini makin sering digunakan untuk mengenal kehilangan sensasi dan iritabilitas
pada saraf yang berlebihan (Kolegium, 2009)
Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik,
dan tervalidasi dalam menegakkan diagnosis polineuropati. Evaluasi
elektrodiagnostik pada umunya meliputi pemeriksaan konduksi saraf atau
pemeriksaan kecepatan hantar saraf dan Electro Myo Graphy (EMG) jarum. Dalam
mendiagnosis polineuropati, pemeriksaan kecepatan hantar saraf dapat memberikan
informasi yang penting. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf ini tidak invasif,
terstandarisasi, dan merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk pemeriksaan
fungsional jaringan saraf sensoris dan motoris (Dobretsov dkk, 2007).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik merupakan pemeriksaan konduksi
saraf yang paling sensitif untuk NDP. Pada pasien asimptomatik dengan DM,
diperoleh 50% pasien dengan penurunan amplitudo Sensory Nerve Action Potential
(SNAP) dan kecepatan hantar saraf dan lebih dari 80% pasien asimptomatik memiliki
abnormalitas konduksi sensorik. Abnormalitas biasanya pertama kali terlihat pada
bagian distal ekstremitas bawah (seperti saraf suralis dan plantaris). Pada pasien
dengan neuropati dengan gangguan pada SNAP, terlihat adanya latensi distal yang
memanjang dan kecepatan hantar saraf lambat. Hilangnya H-reflex atau
memanjangnya latensi dapat diperkirakan sebagai tanda awal dari penyakit ini.
Abnormalitas pada konduksi sensorik sentral dapat terlihat pada beberapa pasien
(51)
somatosensorik. Quantitative sensory testing memperlihatkan adanya penurunan
persepsi vibrasi dan termal (Tesfaye, 2004).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik memperlihatkan hal yang serupa
pada jaringan saraf sensorik, walaupun saraf motorik jarang telibat. Reduksi pada
kecepatan hantar saraf juga terlihat serupa pada jaringan sensorik. Latensi distal
motorik terlihat adanya sedikit pemanjangan, terutama pada ekstremitas bawah.
Demielinisasi segmental yang ditandai dengan adanya blok konduksi dan atau
temporal dispersion terjadi kurang dari 10% pasien NDP. Pemeriksaan F-Wave
memperlihatkan perlambatan difus saraf motorik. Parameter F-Wave standar dari
latensi minimal dan kronodispersi merupakan parameter yang paling sensitif dan
bernilai pada pasien dengan subclinical peripheral neuropathy (Tesfaye, 2004).
Secara umum, derajat abnormalitas konduksi saraf motorik dan sensorik secara
proporsional berhubungan dengan derajat keparahan dari penyakit dan buruknya
kontrol gula darah pasien. Pemeriksaan konduksi saraf peronealis dan medianus
biasanya berkorelasi dengan derajat keparahan status klinis (Tesfaye, 2004).
Pemeriksaan Elektromiografi jarum pada pasien NDP memperlihatkan derajat
potensial fibrilasi yang bervariasi dan positive sharp wave pada bagian distal otot
ekstremitas bawah, dan pada pasien NDP yang telah berlangsung lama terlihat hal
yang sama pada ektremitas atas. Terlihat pula adanya abnormalitas dari penurunan
Motor Unit Action Potential (MUAP) recruitment dan peningkatan potensial
(52)
31
memperlihatkan adanya penurunan jitter dan densitas fiber yang konsisten dengan
kerusakan aksonal (Moscu dan Pereanu, 2010)
Pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium yang harus diperiksa
untuk menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati, dimana semua hasil
laboratorium harus normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes).
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan seperti: eritrosit, leukosit, dan hitung
jenis, elektrolit, gula darah puasa dan HbA1c, vitamin B-12 dan kadar asam folat,
thyroid-stimulating hormone dan tiroksin, Laju Endap Darah (Kolegium, 2009).
Pemeriksaan Imajing juga dilakukan untuk menyingkirkan kausa neuropati
lainnya, seperti MRI servikal, torakal, dan/ atau lumbal untuk menyingkirkan kausa
sekunder dari neuropati, CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternatif untuk
menyingkirkan lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada
radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal. MRI kepala dapat
dilakukan untuk menyingkirkan aneurisma intrakranial, lesi kompresi dan infark
pada kelumpuhan nervus okulomotorius (Tesfaye dkk, 2010).
Penilaian keparahan pada NDP dinilai dengan pemeriksaan kwantitatif dan
obyektif sebagai kriteria minimal dalam diagnosis NDP . Jika nilai kecepatan hantar
saraf tidak dapat dinilai, sebaiknya dilakukan konfirmasi diagnosis NDP hanya
diagnosis posible atau probable. Stadium NDP berdasarkan Derajat keparahan
menurut Dyck adalah (Tesyafe dkk, 2010):
(53)
2. Stadium1a: Kecepatan hantar saraf abnormal tanpa ada gejala dan tanda
3. Stadium 1b: Kecepatan hantar saraf abnormal seperti pada grade 1a dengan
tanda neurologis tipikal untuk NDP tipikal tanpa gejala neuropati
4. Stadium 2a : Kecepatan hantar saraf abnormal dengan atau tanpa tanda dan
dengan gejala neuropati tipikal
5. Stadium 2b: Kecepatan hantar saraf abnormal, seperti grade 1a, dengan derajat
kelemahan ankle dorsofleksi sedang (50%) dengan atau tanpa tanda neuropati.
Definisi kriteria minimal NDP , yaitu (Tesfaye dkk, 2010):
1. Possible NDP. Adanya tanda atau gejala dari NDP, meliputi beberapa gejala,
seperti penurunan sensasi, adanya gejala positif neuropati sensorik (contoh:
asleep numbness, prickling atau stabbing, rasa terbakar atau aching pain) yang
predominan pada jari-jari kaki, kaki, atau tungkai; atau tanda adanya penurunan
sensasi yang simetris pada bagian distal atau penurunan atau tidak adanya
reflek pergelangan kaki.
2. Probable NDP. Terlihat adanya kombinasi dari tanda dan gejala dari neuropati
meliputi dua atau lebih gejala-gejala neuropati seperti penurunan sensasi bagian
distal, atau penurunan atau tidak adanya reflek pergelangan kaki.
3. Confirmed NDP. Terlihat adanya abnormalitas pada kecepatan hantar saraf dan
suatu tanda atau gejala atau tanda dari NDP. Jika kecepatan hantar saraf normal,
(54)
33
4. Subclinical NDP. Tidak terlihat adanya tanda dan gejala neuropati yang
dikonfirmasi dengan adanya abnormalitas dari kecepatan hantar saraf atau
pemeriksaan Small fiber neuropathy yang telah tervalidasi
2.4.3 Histopatologi
Biopsi kulit/saraf terutama untuk penelitian (research). Biopsi saraf suralis
pada saat ini jarang dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak
menyenangkan bagi pasien dan mahal serta adanya masalah bila dilakukan berulang
kali dan juga karena tidak ada patokan untuk prediksi dari abnormalitas yang
ditemukan. Pada saat ini juga ditemukan cara pemeriksaan baru seperti Skin Punch
Biopsy dan Immunohistochemical Staining dari saraf perifer, namun belum diketahui
hasilnya secara pasti (Tesfaye dkk, 2010).
Biopsi saraf memperlihatkan suatu degenerasi aksonal dan demyelinisasi
segmental. Degenerasi aksonal lebih sering terjadi pada bagian distal. Mikroangiopati
juga sering terlihat yang ditandai dengan hiperplasia epineural dan endoneural arteriol
serta kapiler. Sel-sel inflamasi terkadang terlihat pada biopsi yang predominan sel T
CD8+. Biopsi kulit memperlihatkan adanya suatu reduksi dari small myelinated
(55)
Gambar 2.6
Biopsi Nervus Suralis pada Pasien Diabetes dengan dan Tanpa NDP (Tesfaye, 2004)
Gambar 2.7
Defek Mikrovaskular Pembuluh Darah Endoneurial pada Penderita Diabetes dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004).
(56)
35
Gambar 2.8
Abnormalitas Mikrovaskular Pembuluh Darah Epineural pada Penderita Diabetes dengan dan tanpa NDP (Tesfaye, 2004).
2.5 Hubungan Hiperglikemi dengan NDP
Hiperglikemi yang berkepanjangan merupakan dasar terjadinya perkembangan
ND. Hal ini terlihat dari hasil penelitian prospektif randomisasi yang dilakukan oleh
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yaitu adanya penurunan yang
signifikan dari perkembangan dan progresifitas dari klinis neuropati, kecepatan hantar
saraf motorik, dan disfungsi otonom pada pasien diabetes tipe 1 dengan kontrol gula
darah yang optimal (Tesfaye, 2004).
Glukosa uptake pada jaringan saraf perifer terjadi secara insulin independen
sehingga pelepasan atau hasil akhir glukosa dihubungkan dengan jalur polyol yang
nantinya akan diubah menjadi sorbitol dan fruktose oleh enzim aldose reductase dan
sorbitol dehidrogenase. Sel membran saraf dikatakan relatif impermeabel terhadap
(57)
dan sorbitol secara osmotik aktif menimbulkan peningkatan konsentrasi air pada
jaringan saraf. Kedepannya akan terjadi oksidasi atau reduksi sel dengan penurunan
kadar nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan gluthatione.
Proses ini akan menimbulkan kaskade seperti penurunan aktivitas membran Na-K
ATPase, akumulasi sodium intra aksonal yang menyebabkan penurunan kecepatan
hantar saraf dan perubahan struktural dari jaringan saraf. Kadar mioinositol menurun
karena peningkatan dari glukosa dan sorbitol untuk uptake mioinositol pada jaringan
dan sel-sel. Penurunan NADPH yaitu suatu kofaktor untuk enzyme nitric oxide
synthase, penurunan formasi nitric oxide menimbulkan vasodilatasi yang
menyebabkan kegagalan suply darah ke jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2004).
Pada keadaan hiperglikemia, glukosa dapat incorporated non-enzymatically
menjadi protein dengan suatu unregulated glycation reaction. Reaksi glycation ini
terjadi melalui dua langkah untuk formasi HbA1c. Langkah pertama adalah formasi
PreA1c yang merupakan reaksi yang cepat dan reversibel. Langkah kedua lebih pelan
dan bersifat ireversibel dengan formasi HbA1c. Formasi Advanced Glycation End
Products (AGEs) meningkat oleh karena konsentrasi glukosa yang tinggi dan umur.
Pasien dengan diabetes lama memiliki kadar minimal dua kali lebih tinggi dari
individu normal. Nilai glycation dengan fruktosa dikatakan tujuh atau delapan kali
dari dengan glukose. Glycation dari protein mielin juga berkontribusi dalam
kerusakan kecepatan hantar saraf. AGEs juga terlihat pada jaringan saraf perifer yang
juga mempengaruhi transport aksonal. AGEs juga dipercaya sebagai penyebab
(58)
37
Radikal Bebas dapat merusak jaringan saraf melalui efek toksik langsung atau
mungkin disebabkan oleh penghambatan produksi Nitric Oxide (NO) oleh endotel,
yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke jaringan saraf. Pada jaringan pasien
Diabetes, generasi radikal bebas dapat dibentuk melalui proses non enzymatic
glycation dan jalur polyol, dimana kemampuan untuk menetralisir radikal bebas akan
menurun karena penggunaan NADPH sehingga meningkatkan aktivitas aldose
reductase (Head, 2006).
Kadar gamma-linolenic acid (GLA) pada jaringan saraf akan menurun akibat
dari defisiensi insulin dan hiperglikemia menghambat aktivitas d-6-desaturase
enzyme. GLA merupakan prekusor prostanoid meliputi prostasiklin yaitu suatu
vasodilator yang poten. Defisiensi dari GLA ini akan menimbulkan penurunan aliran
darah saraf penderita diabetes (Feldman dan Vincent, 2004).
Endoneural pembuluh darah tersumbat karena adanya hiperplasia dan
pembengkakan pada sel endotel, penebalan dinding pembuluh darah dengan debris
dari degenerative pericytes seperti suatu basement membrane material, dan oklusi
lumen kapiler oleh fibrin atau agregasi platelet. Beberapa defek lainnya pada
produksi NO, peningkatan “quenching” NO oleh AGE pada dinding pembuluh darah,
defisiensi prostasiklin, dan peningkatan produksi endothelin-1 yaitu suatu peptida
vasokonstriktor poten bertanggung jawab dalam peningkatan vasokonstriksi yang
dapat menimbulkan iskhemia jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2024).
Jaringan saraf perifer memiliki reseptor untuk Nerve Growth Factor (NGF),
(59)
sirkulasi menurun pada pasien DM. Pengobatan dengan NGF dapat meningkatkan
fungsi jaringan saraf perifer. Insulin like growth factor dan neurotrophin -3 juga dapat
membantu dalam regenerasi jaringan saraf (Bhadada dkk, 2001).
Gambar 2.9
Mekanisme Hiperglikemia menimbulkan Degenerasi Neuron (Feldman dan Vincent, 2004)
(60)
39 BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
HbA1c tinggi (≥ 7%) merupakan salah satu parameter untuk menilai tidak
terkontrolnya DM tipe 2 yang akan menimbulkan kondisi hiperglikemia kronik.
Kondisi ini akan menstimulasi 4 jalur, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu melalui: formasi glycation end product (interaksi AGE-RAGE), jalur
hiperaktivitas polyol, stres oksidatif, dan aktivasi protein kinase C (PKC).
Peningkatan aktivitas jalur-jalur ini akan menurunkan pembentukan NO dan
meniadakan efek NO yang berakibat terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel
selanjutnya akan menimbulkan keadaan mikroangiopati yang menimbulkan hipoksia
saraf. Kondisi mikroangiopati juga diperberat oleh DM itu sendiri yang menimbulkan
rigiditas Red Blood Cell (RBC), peningkatan koagulabilitas, dan peningkatan
reaktivitas platelet. Hasil akhirnya akan menimbulkan kerusakan struktural yang
berdampak menurunkan kecepatan hantar saraf (KHS) dan sebagai penyebab
terjadinya NDP.
Bagan di bawah ini menunjukkan mekanisme yang mungkin terjadi dan menjadi
(61)
Keterangan:
AGEs: Advanced Glycation End Products DAG: Diacylglycerol
DM: Diabetes Melitus
HbA1c : Glycocylated Hemoglobin NO: Nitric Oxide
RBC: Red Blood Cell PKC: Protein Kinase C
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir
DM (Durasi)
Hiperglikemia (HbA1C ≥ 7%)
Peningkatan AGE-RAGE Peningkatan Formasi Radikal Bebas DAG Peningkatan Aktivitas PKC
Penurunan Pembentukan NO Meniadakan Efek NO Disfungsi endotel Genetik Mikroangiopati Rigiditas RBC Peningkatan Koagulabilitas Peningkatan Reaktivitas Platelet DM Kerusakan Struktural Peningkatan
Aktivitas Jalur polyol
Hipoksia Saraf
Penurunan Kecepatan Hantar Saraf
(62)
41
3.2 Konsep
Atas dasar rumusan masalah dan kerangka berpikir maka disusun suatu konsep
penelitian sebagai berikut:
Gambar 3.2 Konsep penelitian
Keterangan: = dikendalikan pada tahap analisis data
= dikendalikan pada tahap rancangan penelitian = variabel yang akan diteliti
HbA1c ≥ 7%
Neuropati Diabetik Perifer (NDP) Usia
Obesitas Lama menderita DM
Jenis Pengobatan DM
DM tipe 2
Infeksi Keganasan
Penyakit hati kronik Penyakit ginjal kronik Dislipidemia
Toksik
Penggunaan alkohol Neuropati jebakan Obat-obatan
(63)
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusunlah konsep penelitian
sebagai berikut:
1. Neuropati Diabetik Perifer (NDP) dapat terjadi pada penderita DM tipe 2. Perlu
diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi NDP pada penderita DM. DM tipe 2
dengan kadar HbA1c yang tinggi merupakan faktor risiko NDP pada penderita
DM tipe 2.
2. Beberapa faktor lainnya juga berperan dalam proses terjadinya NDP pada
penderita DM, antara lain usia, obesitas, lama menderita DM, dan jenis
pengobatan DM selanjutnya dikendalikan pada tahap analisis data. Faktor risiko
lainnya yaitu: infeksi, keganasan, penyakit hati kronik, penyakit ginjal kronik,
toksik, penggunaan alkohol, obat-obatan, dan neuropati jebakan dikendalikan
pada tahap rancangan penelitian.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka disusun
hipotesis penelitian yaitu: DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko
(64)
43 BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk
mengetahui DM tipe 2 dengan kadar HbA1c tinggi sebagai faktor risiko Neuropati
Diabetik Perifer (NDP) di RSUP Sanglah.
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus-Kontrol
DMtipe 2 NDP (+)
(Kasus)
NDP (-) (Kontrol) HbA1c Tinggi
HbA1c Normal
HbA1c Normal
HbA1c Tinggi
Keterangan:
HbA1c: Glycosylated Hemoglobin NDP: Neuropati Diabetik Perifer
(65)
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP
Sanglah. Penelitian dimulai dari April hingga Agustus 2014, mulai dari persiapan,
pengumpulan data hingga penelitian selesai.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian terhadap faktor risiko dalam
lingkup neurologi, khususnya bidang saraf tepi.
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1 Populasi target
Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Sanglah.
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 yang
menjalani pengobatan di poliklinik Saraf dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah
Denpasar antara periode April - Agustus2014.
4.4.3 Kriteria sampel
Semua penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Saraf
dan poliklinik Diabetes RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
4.4.3.1 Kriteria kasus
(66)
45
1. Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dan NDP.
2. Penderita berusia 20-65 tahun.
3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian
(informed consent).
4.4.3.2 Kriteria kontrol
Kriteria inklusi pada kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita DM tipe 2 tanpa NDP.
2. Penderita berusia 20-65 tahun.
3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini
dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel
penelitian (informed consent).
4.4.3.3 Kriteria eksklusi kasus dan kontrol
Kriteria eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol dalam penelitian ini
adalah:
1. Penderita dengan riwayat penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, dislipidemia.
2. Penderita dengan infeksi HIV,Morbus Hansen.
3. Penderita dengan keganasan yang dapat menyebabkan neuropati
4. Penderita neuropati yang sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti anti retroviral, obat-obat kemoterapi, dan estrogen.
5. Penderita dengan riwayat paparan toksin termasuk penggunaan alkohol, pestisida, merkuri, organofosfat, dan timbal.
6. Penderita dengan kemungkinan gangguan pada sistem saraf tepi lainnya, seperti penyakit neuropati jebakan (Carpal Tunnel Syndrome, Cervical
(67)
4.4.4 Besar sampel
Penghitungan besar sampel (n) pada penelitian ini ditetapkan berdasarkan
rumus (Dahlan, 2009):
n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)² (P1-P2)²
α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96
: kesalahan tipe II, ditetapkan 10% sehingga Z= 1,28
P : proporsi total = ½ (P1+P2)
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
Q1 : 1- P1 Q2 : 1- P2
Proporsi NDP pada penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi adalah 0,38
(Purwata, 2010). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 =
42,78. Jadi jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan
kelompok kontrol adalah 43 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 86
orang.
4.4.5 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non
random jenis consecutive yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria
eligibilitas dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel yang
(1)
Area Under the Curve Test Result Variable(s): Predicted probability
Area Std. Errora Asymptotic Sig.b Asymptotic 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound
.829 .044 .000 .742 .915
The test result variable(s): Predicted probability has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. a. Under the nonparametric assumption
(2)
7.10 Stadium NDP
Case Processing Summary
Stadium NDP Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kadar_HbA1C
NDP Ringan 5 100,0% 0 0,0% 5 100,0%
NDP sedang 22 100,0% 0 0,0% 22 100,0%
NDP Berat 16 100,0% 0 0,0% 16 100,0%
7.11 Deskripsi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP
Descriptives
Stadium NDP Statistic Std. Error
Kadar_HbA1C
NDP Ringan
Mean 7,8220 ,78580
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 5,6403 Upper Bound 10,0037
5% Trimmed Mean 7,8394
Median 8,1000
Variance 3,087
Std. Deviation 1,75711
Minimum 5,34
Maximum 9,99
Range 4,65
Interquartile Range 3,17
Skewness -,384 ,913
Kurtosis ,005 2,000
NDP sedang
Mean 8,8791 ,40833
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 8,0299 Upper Bound 9,7283
5% Trimmed Mean 8,7017
Median 8,5050
Variance 3,668
Std. Deviation 1,91525
Minimum 6,90
Maximum 14,15
Range 7,25
(3)
Skewness 1,402 ,491
Kurtosis 1,809 ,953
NDP Berat
Mean 9,8963 ,67217
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 8,4636 Upper Bound 11,3289
5% Trimmed Mean 9,8003
Median 8,9050
Variance 7,229
Std. Deviation 2,68868
Minimum 6,60
Maximum 14,92
Range 8,32
Interquartile Range 4,54
Skewness ,618 ,564
Kurtosis -,845 1,091
7.10 Korelasi Kadar HbA1c dengan Stadium NDP
HbA1C * Stadium NDP Crosstabulation Count
Stadium NDP Total
NDP Ringan NDP sedang NDP Berat
HbA1C
> 7% 3 18 10 31
< 7% 2 4 6 12
Total 5 22 16 43
Directional Measures
Value Asymp. Std. Errora
Approx. Tb Approx. Sig.
Ordinal by Ordinal Somers' d
Symmetric ,092 ,158 ,583 ,560
HbA1C Dependent ,077 ,134 ,583 ,560
Stadium NDP Dependent ,113 ,193 ,583 ,560
a. Not assuming the null hypothesis.
(4)
7.12
Cut off point
HbA1c
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): Kadar_HbA1C
No
Positive if Greater Than or Equal
Toa
Sensitivity specificity
1
3,8
1
0
2
4,835
1
0,023
3
5,02
1
0,047
4
5,24
1
0,07
5
5,325
1
0,093
6
5,465
0,977
0,093
7
5,595
0,977
0,116
8
5,64
0,977
0,14
9
5,74
0,977
0,163
10
5,86
0,977
0,186
11
5,97
0,977
0,209
12
6,035
0,977
0,233
13
6,12
0,977
0,279
14
6,245
0,977
0,302
15
6,36
0,977
0,326
16
6,43
0,977
0,349
17
6,445
0,977
0,372
18
6,46
0,977
0,395
19
6,475
0,977
0,419
20
6,49
0,977
0,442
21
6,54
0,977
0,465
22
6,585
0,977
0,488
23
6,595
0,977
0,512
24
6,635
0,953
0,512
25
6,685
0,93
0,512
26
6,72
0,93
0,558
27
6,79
0,93
0,605
28
6,87
0,93
0,651
29
6,925
0,907
0,674
30
6,96
0,907
0,698
31
6,975
0,907
0,721
32
6,99
0,907
0,744
33
7,03
0,884
0,744
34
7,08
0,86
0,744
35
7,13
0,837
0,744
36
7,195
0,814
0,744
37
7,295
0,767
0,744
38
7,38
0,744
0,744
39
7,465
0,721
0,744
40
7,69
0,698
0,744
(5)
42
7,875
0,674
0,767
43
7,89
0,674
0,791
44
8
0,651
0,791
45
8,185
0,605
0,791
46
8,295
0,605
0,814
47
8,36
0,581
0,814
48
8,45
0,558
0,814
49
8,505
0,535
0,814
50
8,56
0,512
0,814
51
8,645
0,488
0,814
52
8,69
0,465
0,814
53
8,73
0,442
0,814
54
8,78
0,419
0,814
55
8,805
0,395
0,814
56
8,905
0,372
0,814
57
9,2
0,349
0,837
58
9,425
0,349
0,86
59
9,465
0,326
0,86
60
9,56
0,326
0,884
61
9,705
0,326
0,907
62
9,85
0,302
0,907
63
9,95
0,302
0,93
64
9,98
0,302
0,977
65
10,08
0,279
0,977
66
10,215
0,256
0,977
67
10,275
0,233
0,977
68
10,55
0,209
0,977
69
10,96
0,186
0,977
70
11,155
0,163
0,977
71
11,42
0,14
0,977
72
12,22
0,14
1
73
12,85
0,116
1
74
13
0,093
1
75
13,625
0,07
1
76
14,2
0,047
1
77
14,585
0,023
1
(6)