Analisis Dan Arahan Pengembangan Komoditas Gambir Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Limapuluh Kota

(1)

DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

NIKO AULIA AMRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Arahan Pengembangan Komoditas Gambir (Uncaria gambier Roxb.) dalam rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Niko Aulia Amri


(3)

RINGKASAN

NIKO AULIA AMRI. Analisis dan Arahan Pengembangan Komoditas Gambir dalam rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan ATANG SUTANDI.

Indonesia merupakan negara pengekspor gambir terbesar di dunia. 80% produksi dan pasar ekspor gambir dunia berasal dari Indonesia dan 80% produksi gambir Indonesia berasal dari provinsi Sumatera Barat. Gambir diimpor oleh negara luar untuk memenuhi kebutuhan katekin dan tanin yang dikandung oleh tanaman tersebut.

Produksi gambir paling tinggi di Sumatera Barat adalah Kabupaten Limapuluh Kota dengan jumlah produksi untuk tahun 2012 sebesar 7.833,92 ton. Produksi ini terutama disumbangkan dari kecamatan Kapur IX dan Pangkalan Koto Baru.

Mengingat besarnya permintaan akan zat katekin dan tanin yang terkandung didalam gambir, maka diperlukan penelitian dan analisis dalam peningkatan pengusahaan tanaman gambir. Oleh sebab itu, dibutuhkan perencanaan yang signifikan agar pengusahaan produksi tanaman gambir ini mampu memenuhi kebutuhan akan zat yang dikandung gambir ini oleh pasar. Arahan dalam pengembangan tanaman ini diperlukan agar masyarakat dapat memaksimalkan pengusahaan pertanian. Terutama sekali harus diperhatikan lokasi penanaman gambir dengan memperhatikan kriteria tumbuh tanaman, aspek spasial serta aspek ekonomi. Juga perlu diperhatikan kelayakan usaha dari perkebunan gambir itu. Dan perlu juga diperhatikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan perkebunan gambir menurut pendapat stakeholders. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis penggunaan lahan dan areal kebun gambir eksisting; (2) menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan; (3) menganalisis rantai, margin pemasaran dan integrasi pasar komoditas gambir dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga gambir; (4) menyusun arahan pengembangan perkebunan gambir berdasarkan potensi dan pendapat stakeholders; (5) menyusun arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota.

Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, terhitung Juni sampai dengan Oktober 2014 di Kabupaten Limapuluh Kota. Kegiatan penelitian mencakup : persiapan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan komoditas gambir. Penentuan responden petani dan pedagang gambir menggunakan metode purposive sampling. Begitu juga dengan penentuan


(4)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis kelayakan finansial, analisis pemasaran (analisis rantai dan margin pemasaran serta integrasi pasar) serta Analytical Hierarchy Process (AHP).

Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan lahan kebun gambir eksisting bersifat memencar tidak beraturan seperti perkebunan sawit. Bahkan ada beberapa lahan gambir berada di kawasan hutan lindung.

Hasil penelitian terhadap kawasan yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota adalah seluas 2.889,35 ha, sedangkan lahan yang tidak berpotensi seluas 786,25 ha. Lokasi wilayah yang berpotensi disajikan dalam bentuk peta.

Terdapat empat bentuk rantai pemasaran komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota yaitu: (1) petani – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang diluar Provinsi Sumatera Barat; (2) petani – pedagang pengumpul - pedagang besar – eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat; (3) petani – pedagang besar – pedagang diluar Provinsi Sumatera Barat; (4) petani – pedagang besar – eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera

Barat. Dari keempat rantai pemasaran tersebut dilihat dari margin pemasaran, maka rantai pemasaran 2 memiliki margin pemasaran tertinggi dan memberikan bagian harga lebih rendah kepada petani. Pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota belum terintegrasi dengan baik antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat eksportir.

Faktor yang sangat mempengaruhi pengembangan perkebunan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota adalah faktor pasar terutama terkait dengan kelayakan harga dan produk turunan. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi secara berurutan berdasarkan besar tingkat pengaruhnya adalah faktor sumberdaya manusia (SDM) meliputi keuletan dan motivasi, faktor sarana prasarana meliputi peralatan produksi dan peralatan panen serta faktor lahan yang meliputi jarak dari rumah dan lokasi kebun. Dari hasil analisa usahatani, pengusahaan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota layak untuk dikembangkan. Ini dapat dilihat dari

pendapatan petani untuk pengusahaan perkebunan gambir sebesar Rp. 39.565.000,-/ha/tahun. Nilai B/C Ratio sebesar 4,06.

Arahan pengembangan perkebunan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota meliputi areal seluas 2.889,35 ha yang terbagi kedalam dua prioritas yaitu: prioritas 1 dengan luas 1.239,69 ha tersebar di 6 kecamatan dan prioritas 2 dengan luas 1.649,66 ha tersebar di 4 kecamatan. Distribusi spasial lokasi perkebunan gambir disajikan dalam bentuk peta.

Kata kunci : arahan pengembangan, gambir, integrasi pasar, kelayakan usahatani, kesesuaian lahan


(5)

SUMMARY

NIKO AULIA AMRI. Analysis and Direction of Gambier Commodity Development (Uncaria Gambier Roxb.) for Regional Economics Development Purposes in Limapuluh Kota Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and ATANG SUTANDI

Indonesia was biggest exporting gambier commodities in the world. 80% production of gambier in the world is fulfilled from Indonesia, especially 80% production exported gambier is from West Sumatera Province. Catechin and tanin is extracted from gambier conducted in abroad.

Highest production of gambier in West Sumatera Province derives from Limapuluh Kota Regency with production 7,833 tons in 2012. This highest gambier production come from Kapua IX and Pangkalan Koto Baru districts.

Considering, highest demand for gambier, research and analysis at gambier production has to be done to increase gambier farmers income. Because of that, need significantion planning to obtain of that, and also guidance for people to maximize of gambier production. Especially that must checked for development gambier is location for gambier plant with the criteria crops growth, spatial and economic aspects. Also checked for feasibility factor and factors that influence development of gambier plantations according to stakeholders. The objectives of this research are: (1) to analyze location gambier plantation; (2) to choosing good location for gambier plantation based on biophysical properties, environment and land availability; (3) to analyze the chain, margin trading system and market integration of gambier and identify the factors that become of fluctuated for gambier price in Limapuluh Kota Regency; (4) arrange development direction based on potential and stakeholders opinion; (5) arrange development direction of smallholder gambier plantation for increasing region economic in Limapuluh Kota Regency.

The experiments was conducted for 5 (five) months, from June to October 2014 in the Limapuluh Kota Regency. Research activities consist of : preparation, field data collection, processing and analyze of the data and writing thesis. This study used primary data were obtained through direct observation by using interview. Secondary data were obtained from the relevant agencies. Participants from farmers and merchant choosing with purposive sampling method. For stakeholders were choosed with purposive sampling method. The analysis method is used in the study analysis of Geographic Information System (GIS), financial analysis, margin analysis (marketing chains and market integration) and Analytical Hierarchy Process (AHP).

The results show that existing area of gambier plantation was like scatter model, not uniform like other plantations. Although any gambier plantation was able in protecting forest.


(6)

Potential area for development of smallholder gambier plantation based on biophysical properties and land availability in Limapuluh Kota Regency is 2.889,35 hectare, while not potential/suitable land is 786, 25 hectare.

There were four form of gambier commodities marketing in Limapuluh Kota Regency, namely: (1) marketing chain 1: farmers – sub district merchants – big merchants – outside Sumatera Barat province merchants; (2) marketing chain 2: farmers – sub district merchants – big merchants – exporter in Sumatera Barat province; (3) marketing chain 3: farmers – big merchants – outside Sumatera Barat province merchants; and (4) marketing chain 4: farmers – big merchants – exporter in Sumatera Barat province. Marketing margin chains show that values of marketing margin chain part 2 give lower price to farmers. Gambier market in Limapuluh Kota Regency was not yet integrated between farmers and exporter.

Factor that influence development of smallholder gambier plantations in Limapuluh Kota Regency was market factor primarily related to feasible price and gambier underlying product. Another influencing factors in sequence were human resources include hard working and motivation to produce, gambier equipment are production tools and harvesting tools, also gambier plantation distance from home and locations of plantation. Analysed for gambier plantation shows that cultivation of gambier plantation in Limapuluh Kota Regency could be conducted. Because of farmers revenue is Rp. 39.565.000,-/hectare/year. Also B/C Ratio for gambier plantation was 4,06.

Acreage of location for development of smallholder gambier plantation in Limapuluh Kota Regency is 2.889,35 hectares, divided into two priorities, namely: priority 1 with 1.239,69 hectares spread over 6 district and priority two area of 1.649,66 hectares spread over 4 district.

Keywords : development direction, financial analysis, gambier, land suitability, market integration


(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau suatu tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

NIKO AULIA AMRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(9)

(10)

Nama : Niko Aulia Amri NRP : A 156130204

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Dr Ir Atang Sutandi, MSi. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.


(11)

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga usulan karya ilmiah yang berjudul Analisis dan Arahan Pengembangan Komoditas Gambir (Uncaria gambier Roxb.) dalam rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota ini berhasil diselesaikan.

Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Atang Sutandi, MSi, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan arahan mulai tahap awal hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan PWL Kelas Khusus Bappenas Angkatan 2013 dan PWL Kelas Reguler Angkatan 2013 atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Berikutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada Bappenas Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti program Karya Siswa Tahun 2013. Teristimewa terima kasih disampaikan kepada keluarga kecil Penulis yaitu istri Adria Nola, SE dan ketiga buah hati Penulis, Adzhani Tristan Aulia, Cyltamia Anabel Aulia dan Naufal Uilsean Aulia yang telah memberikan do’a dan semangat dalam penyusunan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat hendaknya.

Bogor, Januari 2015


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1

2

3

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman dan Produk Gambir 2.2 Teknik Budidaya Gambir 2.3 Kandungan Kimia Gambir

2.3.1 Katekin 2.3.2 Tanin

2.4 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah 2.5 Pengembangan Wilayah

2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan

2.7 Rantai dan Margin Pemasaran serta Integrasi Pasar 2.8 Peranan stakeholders didalam Pembangunan Pertanian 2.9 Penelitian Terdahulu

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 3.3 Teknik Analisis Data

3.3.1 Penentuan Kebun Eksisting Gambir

3.3.2 Penentuan Lokasi yang Berpotensi untuk Pengembangan Perkebunan Gambir berdasarkan Aspek Biofisik dan Ketersediaan Lahan

3.3.3 Analisis Rantai dan Margin Pemasaran serta Integrasi Pasar Komoditas Gambir

3.3.3.1 Analisis Rantai dan Margin Pemasaran 3.3.3.2 Analisis Integrasi Pasar Komoditas Gambir

3.3.4 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Komoditas Gambir menurut Pendapat

Stakeholders dan Analisis Usahatani Komoditas Gambir 3.3.4.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pengembangan Komoditas Gambir menurut Pendapat Stakeholders

3.3.4.2 Analisis Usahatani

1 2 6 6 7 9 11 13 13 14 15 16 17 18 19 20 20 21 25 25 26 28 28 28 29 29 31


(13)

4

5

6

3.3.5 Penyusunan Arahan Pengembangan Komoditas Gambir dalam rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota

GAMBARANUMUMWILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik Daerah 4.1.1 Letak Geografis 4.1.2 Topografi 4.1.3 Hidrologi 4.1.4 Iklim 4.1.5 Geologi 4.1.6 Tanah 4.1.7 Fisiografi

4.1.8 Alokasi Penggunaan Lahan 4.2 Demografi

4.3 Perekonomian

4.3.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Limapuluh Kota 4.3.2 Struktur Perekonomian Kabupaten Limapuluh Kota 4.3.3 Peranan Subsektor Perkebunan

4.3.4 Perkembangan Kebun Gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penggunaan Lahan Kebun Gambir Eksisting di Kabupaten Limapuluh Kota

5.2 Lokasi yang Berpotensi dalam Pengembangan Gambir berdasarkan Aspek Biofisik dan Ketersediaan Lahan di Kabupaten Limapuluh Kota

5.3 Rantai, Margin Pemasaran dan Integrasi Pasar Komoditas Gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

5.3.1 Rantai Pemasaran 5.3.2 Margin Pemasaran 5.3.3 Integrasi Pasar

5.4 Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Komoditas Gambir menurut Pendapat Stakeholders dan Analisis Usahatani Komoditas Gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

5.4.1 Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Komoditas Gambir menurut Pendapat

Stakeholders

5.4.2 Analisis Usahatani Komoditas Gambir

5.5 Arahan Pengembangan Komoditas Gambir dalam rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 6.2 Saran 32 34 34 34 35 35 36 36 37 37 37 39 39 39 40 41 42 44 47 47 49 52 54 54 56 57 61 63


(14)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL

1. Luas dan produksi tanaman gambir kebun rakyat Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2008-2012

2. Permintaan impor tanin dunia tahun 2000-2008

3. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman gambir (Uncaria gambier Roxb.)

4. Tujuan, jenis dan sumber data, teknik analisa dan output yang diharapkan

5. Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)

6. Penentuan arah pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota secara aspek biofisik

7. Luas kecamatan, jumlah rumahtangga, penduduk menurut jenis kelamin, rasio jenis kelamin menurut kecamatan, jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan

8. Distribusi persentase sektor ekonomi Kabupaten Limapuluh Kota Tahun 2008 – 2012 (persen)

9. Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten Limapuluh Kota Tahun 2012

10.Luas dan sebaran ketersediaan lahan untuk mengembangkan gambir serta kelas kesesuaian lahan aktual pada masing-masing kecamatan menurut faktor pembatasnya

11.Margin pemasaran tiap-tiap simpul pemasaran gambir di Kabupaten Limapuluh Kota Tahun 2014

12.Hasil dugaan parameter integrasi pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

13.Pembagian prioritas lokasi yang menjadi arahan pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

14.Lokasi prioritas dan luas arahan pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

DAFTAR GAMBAR 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian 2. Tanaman gambir

3. Bentuk-bentuk produk gambir 4. Rumus struktur katekin

5. Klasifikasi tanin dari tumbuhan 6. Peta lokasi penelitian

7. Bagan alir penelitian

8. Luas tanam dan produksi gambir di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2008-2012 64 68 82 3 4 12 23 31 33 38 40 41 46 50 52 58 60 8 10 11 13 14 22 27 41


(15)

9. Peta kebun gambir eksisting di Kabupaten Limapuluh Kota

10.Peta wilayah yang berpotensi untuk pengembangan gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan

11.Rantai pemasaran gambir 1 di Kabupaten Limapuluh Kota 12.Rantai pemasaran gambir 2 di Kabupaten Limapuluh Kota 13.Rantai pemasaran gambir 3 di Kabupaten Limapuluh Kota 14.Rantai pemasaran gambir 4 di Kabupaten Limapuluh Kota

15.Struktur hirarki, faktor utama dan kriteria dari faktor utama yang mempengaruhi pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota menurut stakeholders

16.Peta arahan lokasi pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

DAFTAR LAMPIRAN

1. Satuan lahan dari penilaian kesesuaian lahan pada wilayah yang tersedia untuk pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

2. Analisis Usahatani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dengan Harga Penjualan Rp. 18.000,-/kg, panen 2 kali/tahun dengan volume 450 kg/tahun

3. Analisis Usahatani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dengan Harga Penjualan Rp. 18.000,-/kg, panen 3 kali/tahun dengan volume 700 kg/tahun

4. Analisis Usahatani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dengan Harga Penjualan Rp. 25.000,-/kg, panen 2 kali/tahun dengan volume 450 kg/tahun

5. Analisis Usahatani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dengan Harga Penjualan Rp. 25.000,-/kg, panen 3 kali/tahun dengan volume 700 kg/tahun

6. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Limapuluh Kota 7. Peta RTRW Kabupaten Limapuluh Kota

8. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Limapuluh Kota 9. Peta Satuan Lahan (Land Unit) Kabupaten Limapuluh Kota

10.Perbandingan rataan komponen input dan output dalam pengusahaan kebun gambir untuk luasan 1 ha pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)

11.Analisis integrasi pasar gambir di Kabupaten Limapuluh Kota 12.Rata-rata harga gambir di tingkat petani dan eksportir rentang

waktu 1994 - 2013

43 45 47 47 47 48 55 59 68 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 81


(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendapatan negara yang didapat dari ekspor komoditas perkebunan tahun ke tahun mengalami peningkatan. Selama Januari-September 2013, subsektor

perkebunan telah memberikan sumbangan devisa negara sebesar US$ 21,39 milyar atau 96,3 persen dari total keseluruhan ekspor produk pertanian

yang mencapai nilai US$ 22,20 milyar (Pusdatin Deptan, 2013). Penyerapan tenaga kerja di bidang perkebunan ini mencapai 13,18 juta jiwa (36,17%) dari total jumlah tenaga kerja dibidang pertanian Indonesia pada Agustus 2012 sebanyak 36,42 juta jiwa (Pusdatin Setjentan, 2013). Ini menunjukkan bahwa subsektor perkebunan termasuk dalam penyumbang penyerapan tenaga kerja yang besar di Indonesia.

Luas areal perkebunan baik itu luas areal perkebunan rakyat, areal perkebunan besar negara maupun areal perkebunan besar swasta untuk beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Tahun 2011, luas areal perkebunan di Indonesia sebesar 21.236.251 ha dengan produksi 33.521.568 ton. Tahun 2012, luas areal perkebunan menjadi 21.971.228 ha dengan produksi 36.975.019 ton. Peningkatan luas areal perkebunan untuk tahun 2012 sebesar 3,4 persen dibandingkan tahun 2011. Untuk produksi komoditas perkebunan tahun 2012 juga mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 10,30 persen dibanding produksi tahun 2011 (Pusdatin Deptan, 2013). Salah satu komoditas perkebunan yang mengalami perkembangan dan menjadi salah satu sumber penghasil devisa bagi negara adalah tanaman gambir (Uncaria gambier roxb.).

Indonesia merupakan negara pengekspor gambir terbesar di dunia. 80 persen produksi gambir dunia berasal dari Indonesia dan 80 persen produksi

gambir Indonesia berasal dari provinsi Sumatera Barat. Sisa produksi gambir lainnya disumbangkan oleh Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (Nazir, 2000). Negara tujuan ekspor gambir utama Indonesia yaitu India, Bangladesh, Pakistan, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Perancis, Hongkong, Italia, Malaysia, Singapura, Thailand, Uni Emirat Arab dan Yaman (Pusluhtan, 2014).

Produksi gambir paling tinggi di Sumatera Barat adalah Kabupaten Limapuluh Kota dengan total produksi untuk tahun 2012 sebesar 7.833,92 ton (BPS Sumbar, 2013). Jumlah produksi itu merupakan 54,45 persen dari nilai produksi gambir provinsi Sumatera Barat dan 49,95 persen dari jumlah produksi gambir secara nasional, dimana total ekspor gambir dari Indonesia untuk tahun 2012 sebesar 15.687,47 ton. Nilai produksi ekspor gambir Indonesia ke pasaran dunia pada tahun 2012 mencapai angka Rp. 408,114 milyar. Untuk tahun 2013, total ekspor gambir sedikit menurun menjadi 15.671,1 ton, namun nilainya meningkat menjadi Rp. 418,169 milyar (BPS, 2014). Untuk nilai ekspor gambir


(17)

dari Kabupaten Limapuluh Kota pada tahun 2012 mencapai Rp. 203,853 milyar.

Berarti rerata nilai ekspor gambir Kabupaten Limapuluh Kota berkisar Rp. 16,987 milyar/bulan.

Produksi gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dipasok oleh beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Kapua IX, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kecamatan Bukit Barisan, Kecamatan Halaban dan Kecamatan Harau. Tiap tahun luas areal kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota terus mengalami peningkatan, walaupun jumlahnya tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2008 luas kebun gambir 13.336 ha terjadi peningkatan sebesar 1.972 ha menjadi 15.308 ha pada tahun 2012, sebesar 13.973 ha diantaranya merupakan lahan yang sudah menghasilkan. Selama ini pengusahaan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota tidak optimal, sehingga masyarakat hanya menghasilkan kualitas dan nilai gambir yang rendah.

1.2 Perumusan Masalah

Kebun yang diolah petani di Kabupaten Limapuluh Kota merupakan kebun yang telah turun temurun adanya. Sampai saat ini tanaman gambir tersebut mampu memberikan hasil yang baik dan dapat menjadi penopang hidup para petani tersebut, walaupun minim didalam masalah budidaya. Dalam pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, permasalahan utama sampai saat ini yaitu belum terdapat arahan yang jelas di dalam pengembangan areal yang sesuai untuk kebun gambir, sehingga produksi komoditas gambir belum mencapai hasil yang maksimal, yang berimbas pada belum adanya peningkatan pendapatan perkapita petani gambir tersebut.

Dari beberapa laporan, ternyata petani gambir termasuk petani yang dikategorikan pada petani tidak sejahtera. Ada beberapa masalah yang masih menyertai petani gambir, yaitu : a) kurangnya permodalan; b) banyaknya tanaman yang tidak produktif; c) kurangnya sarana dan prasarana produksi; d) rendahnya rendemen dan mutu produk gambir yang dihasilkan; e) kurangnya eksistensi kelembagaan petani; f) rendahnya posisi tawar petani; g) belum memiliki manajemen yang memadai dan h) lemahnya kemampuan mengakses pasar. Di Kabupaten Limapuluh Kota, pengolahan daun gambir menjadi komoditas gambir sebahagian besar dilakukan oleh petani gambir. Akibatnya petani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota juga berlaku sebagai pengolah daun gambir. Untuk pedagang gambir, permasalahan yang mereka hadapi adalah: a) rendahnya rendemen dan mutu produk gambir; b) belum adanya hilirisasi produk gambir didalam negeri; c) ketergantungan terhadap pasar ekspor yang tinggi dimana saat ini negara tujuan utama ekspor yaitu India (80 persen produksi nasional). Produksi total gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dapat dilihat pada Tabel 1.


(18)

Tabel 1. Luas dan Produksi Tanaman Gambir Kebun Rakyat di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2008-2012

Kecamatan

Luas Area

Produksi (Ton) Produktif

(ha)

Belum produktif

(ha)

Jumlah (ha)

Payakumbuh 383,00 52,00 435,00 206,50

Akabiluru - - - -

Luak - - - -

Lareh Sago Halaban 136,00 45,00 181,00 557,45

Situjuh Limo Nagari - - - -

Harau 850,00 147,00 997,00 323,07

Guguak 28,00 25,00 53,00 14,60

Mungka 522,00 56,00 578,00 232,80

Suliki 84,00 71,00 155,00 -

Bukit Barisan 2.621,00 21,00 2.642,00 1.248,00

Gunung Omeh - 29,00 29,00 -

Kapua IX 5.610,00 276,00 5.886,00 3.570,00

Pangkalan Koto Baru 3.739,00 613,00 4.352,00 2.145,67

Jumlah 2012 13.973,00 1.335,00 15.308,00 7.833,02

2011 14.129,00 1.341,50 15.470,50 7.743,16

2010 13.752,00 825,00 14.577,00 7.924,00

2009 12.646,00 7.260,50 19.906,50 9.699,48

2008 12.646,00 630,00 13.336,00 9.699,00

Sumber : BPS Kabupaten Limapuluh Kota (2013)

Untuk meningkatkan perekonomian wilayah yang ditanami gambir, Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota sedang menggalakkan penanaman gambir dengan merumuskan suatu kegiatan Gerakan Pembangunan Gambir atau yang disingkat dengan “Gerbang Gambir”. Gerakan ini merupakan suatu upaya agar masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Limapuluh Kota mengenali manfaat tanaman gambir ini serta mengetahui keunggulan dari produk gambir. Walaupun sebenarnya ada juga upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan produktifitas dari pengusahaan komoditas ini. Gerakan ini disambut baik oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan menetapkan suatu Grand design 10 industri unggulan Sumatera Barat yang mana industri pengusahaan/pengolahan gambir termasuk salah satu diantaranya. Grand design ini disusun untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yang telah ditetapkan pada bulan Desember tahun 2010 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Grand design

ini disusun sebagai koridor bagi masyarakat dalam pengusahaan tanaman gambir di Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Limapuluh Kota. Koridor ini akan


(19)

menciptakan suatu industri pengusahaan yang intensif oleh masyarakat Sumatera Barat pada umumnya dan masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota khususnya.

Pengolahan gambir menjadi katekin dan tanin memiliki prospek bisnis yang baik dan mampu memberikan keuntungan yang sangat besar baik bagi manajemen, tenaga kerja, petani serta berpeluang meningkatkan devisa negara dari nilai ekspornya yang tinggi. Saat ini industri pengolahan gambir menjadi katekin dan tanin di Indonesia masih sangat sedikit (Sa’id et al., 2009 dalam

Maulidian, 2011). Permintaan pasar produk katekin relatif cukup besar dan banyak dibutuhkan. Volume kebutuhan katekin untuk produk-produk kosmetik mencapai 1.078.582,65 kg, produk sabun 15.362,61 kg, produk minuman 3.755,77 kg, produk pasta gigi 4.357,27 kg dan obat kanker sebesar 4.776,10 kg (Pratama, 2010 dalam Maulidian, 2011). Selain katekin, tanin yang dihasilkan gambir juga banyak digunakan dalam berbagai aktifitas industri hilir. Industri yang menggunakan bahan baku tanin diantaranya industri kulit, industri tekstil, industri farmasi, industri logam dan industri perekat. Pada produk penyamak kulit, volume kebutuhan tanin mencapai 53.166,31 kg, produk desinfektan 47.920 kg, insektisida 41.943 kg (Pratama, 2010 dalam Maulidian, 2011).

Berdasarkan data UN Comtrade tahun 2008, permintaan impor tanin dunia dari tahun 2000-2007 mengalami peningkatan, kondisi tersebut juga menunjukkan semakin besarnya kebutuhan dunia terhadap tanin. Permintaan tanin dunia pada tahun 2007 mencapai 134.798.482 kg atau meningkat sebesar 12,59 persen dari tahun 2006. Pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 90,86 persen menjadi 12.314.530 kg, akibat dampak dari terjadinya krisis global yang hampir melanda seluruh dunia (Maulidian, 2011). Permintaan impor tanin dunia tahun 2000-2008 tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Permintaan Impor Tanin Dunia tahun 2000-2008

No Tahun Impor (Kg)

1 2000 71.175.852

2 2001 75.805.956

3 2002 81.974.490

4 2003 99.278.144

5 2004 97.498.667

6 2005 110.237.058

7 2006 119.725.195

8 2007 134.798.482

9 2008 12.314.530

Sumber : UN Comtrade (2008) dalam Maulidian (2011)

Begitu besarnya permintaan akan kedua zat tersebut, maka diperlukan peningkatan produksi gambir dan peningkatan produktifitas dari rendemen katekin serta tanin yang terkandung dalam gambir. Diperlukan penelitian tentang aspek-aspek untuk peningkatan produksi gambir dan rendemen katekin serta


(20)

taninnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan perencanaan yang baik agar pengusahaan produksi gambir mampu memenuhi kebutuhan pasar. Selanjutnya juga perlu diteliti mengenai rantai pemasaran dari produk ini, agar menghasilkan pemasaran yang efektif dan efisien. Pemasaran yang memberikan keuntungan lebih besar bagi petani dalam pengusahaan tanaman ini. Keuntungan yang jelas bagi pengusahaan tanaman tersebut, akan memacu masyarakat untuk melakukan penanaman gambir yang baik dan efektif. Pemerintah daerah pun akan berupaya membantu penyediaan prasarana yang dibutuhkan dalam penanaman tanaman tersebut, sehingga nantinya akan berimbas kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Mengingat potensi yang dimiliki dalam pengembangan tanaman gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, maka perlu dilakukan penelitian dalam pengusahaan tanaman gambir masyarakat. Analisis diawali dari penentuan areal eksisting kebun gambir, yaitu dengan memperhatikan kondisi terkini dari kebun gambir yang ada saat ini, dilanjutkan dengan menganalisa aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengusahaan tanaman gambir dengan memperhatikan kondisi lahan yang ditanami gambir yaitu mempertimbangkan kriteria tumbuh tanaman (biofisik), aspek spasial (tata ruang), ketersediaan lahan dan aspek ekonomi. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sitorus (1985) bahwa evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan yang menyangkut tiga aspek utama yaitu: lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomi. Untuk itu, diperlukan arahan bagi masyarakat dalam menilai faktor kelayakan pengusahaan tanaman gambir.

Keuntungan secara finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu komoditas. Pada umumnya petani gambir hanya memiliki perhitungan dalam perencanaan pengusahaan kebun mereka, namun tidak memperhatikan aspek kelayakan finansial maupun pasar dari komoditas gambir tersebut akibat keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki.

Beberapa bulan terakhir pada tahun 2013, harga gambir di tingkat petani Kabupaten Limapuluh Kota berkisar Rp. 18.000,-/kg sampai Rp. 25.000,-/kg. Dengan kisaran harga tersebut menunjukkan bahwa komoditas gambir memiliki prospek yang menjanjikan. Namun petani sangat sulit menjual dengan harga yang maksimal dikarenakan dalam rantai pemasaran, harga gambir ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga margin keuntungan yang didapat oleh petani tidak terlalu besar.

Untuk mendapatkan arahan yang baik dalam pengusahaan tanaman gambir, sebaiknya analisis diatas dipadukan dengan pendapat para stakeholders, sehingga nantinya akan didapatkan suatu acuan yang terstruktur bagi pelaku pengusahaan tanaman gambir di Kabupaten Limapuluh Kota. Diharapkan nantinya secara sistematis akan mendukung peningkatan kesejahteraan dari petani gambir yang otomatis akan meningkatkan laju perekonomian Kabupaten Limapuluh Kota. Dengan meningkatnya roda perekonomian, maka akan terbentuk pusat perekonomian berbasis pengusahaan pertanian. Kedepan pusat perekonomian


(21)

tersebut akan menjadi suatu wilayah yang berkembang. Berdasarkan permasalahan diatas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Dimana sajakah lokasi pengusahaan kebun gambir pada 2 kecamatan terpilih di Kabupaten Limapuluh Kota?

2. Dimanakah lokasi yang berpotensi untuk pengembangan kebun gambir rakyat berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan?

3. Bagaimana rantai, margin pemasaran dan integrasi pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota?

4. Bagaimana pendapat stakeholders tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan komoditas gambir serta analisa usahatani komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota?

5. Bagaimana arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui penggunaan lahan kebun gambir eksisting pada 2 kecamatan terpilih di Kabupaten Limapuluh Kota.

2. Menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan kebun gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan.

3. Menganalisis rantai, margin pemasaran dan integrasi pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota.

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan komoditas gambir menurut pendapat stakeholders dan analisis usahatani komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota.

5. Menyusun arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi daerah. Juga dapat sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.


(22)

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Subsektor perkebunan dapat menjadi andalan Indonesia ke depan karena peranannya yang penting dan strategis didalam peningkatan PDRB nasional. Peluang pengusahaan komoditas gambir menjadi meningkat di Indonesia, mengingat selama ini 80 persen pasokan gambir dunia berasal dari Indonesia (GIZ dan Bappenas, 2013) Meningkatnya permintaan gambir karena komoditas ini memiliki kandungan zat yang dibutuhkan untuk berbagai bidang terutama kesehatan, kosmetik dan tekstil. Saat ini sedang dilakukan penelitian mengenai kegunaan katekin dan tanin pada industri cat. Juga sedang dilakukan penelitian tentang manfaat tanin sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Hadi, 2012). Penelitian lain mengenai penggunaannya dalam industri kebutuhan sehari-hari seperti pasta gigi. Gambir yang diekspor ke negara India, sebagian besar untuk kebutuhan bahan campuran makanan sehari-hari mereka yaitu phan masala.

Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda seperti karakteristik sumber daya alam, topografi, infrastruktur, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial serta juga mencakup aspek spasial, sehingga perlu dilakukan analisis aspek kesesuaian lahan terhadap pengusahaan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota. Perbedaan karakteristik yang ada pada suatu daerah dapat membuat terjadinya perbedaan biaya dan pendapatan yang diterima petani dalam pengusahaan pertanian. Oleh karena itu, dalam rangka pengusahaan pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, maka harus diketahui dan dianalisa dari keadaan eksisting kebun gambir tersebut. Perlu dianalisis kelayakan finansial terhadap pengembangan pengusahaan gambir. Dengan data kondisi

eksisting dan analisis kelayakan finansial, dapat ditentukan lahan yang cocok bagi pengembangan kebun gambir serta lahan yang memberi keuntungan bagi petani dalam pengembangan komoditas gambir.

Disamping itu, harus diperhatikan juga kelembagaan pemasaran dari komoditas tersebut. Berhubung secara empiris kelembagaan pemasaran pertanian lemah sehingga mengakibatkan petani tersebut lebih banyak berposisi hanya sebagai penerima harga (price taker). Penyebabnya karena kurangnya informasi pasar dan juga mutu produk yang dihasilkan rendah mengakibatkan posisi tawar petani rendah. Perlu dilakukan evaluasi efisiensi rantai pemasaran komoditas gambir, dimana rantai pemasaran komoditas ini memegang peranan penting dalam penentuan persentase penerimaan petani persatuan kilogram komoditas dibandingkan dengan harga jual eksportir persatuan kilogram komoditas. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis margin tataniaga dan analisis keterpaduan pasar.

Selanjutnya, dalam rangka pengembangan kebun gambir rakyat di Kabupaten Limapuluh Kota, perlu juga diketahui pendapat stakeholders mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kebun gambir. Nantinya akan didapatkan arahan pengembangan kebun gambir berdasarkan potensi dari lahan


(23)

yang ada dan pendapat dari stakeholders. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

Disamping itu, perlu dilihat kontribusi komoditas gambir terhadap PDRB Kabupaten Limapuluh Kota pada umumnya. Dalam analisis ini harus dilihat aspek-aspek kebutuhan dan tersedianya tenaga kerja, transaksi perekonomian, sehingga nantinya komoditas gambir ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan kondisi ekonomi wilayah terpacu, maka akan mengakibatkan permintaan tenaga kerja. Akibat kenaikan permintaan tenaga kerja, wilayah  Komoditas gambir mempunyai prospek yang menjanjikan

 Pasar produk turunan gambir yang terbuka luas

 Pengusahaan produksi gambir secara nasional berada di Sumatera Barat disamping Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan

 Industri pengolahan gambir menjadi katekin dan tanin dalam negeri masih sangat sedikit  Kabupaten Limapuluh Kota merupakan sentra produksi gambir di Provinsi Sumatera

Barat selain Kabupaten Pesisir Selatan

 Potensi lahan di Kabupaten Limapuluh Kota masih luas 3.354,30 Km2

Analisis pengembangan komoditas gambir

Peta kebun gambir eksisting

Evaluasi kesesuaian lahan

Analisa rantai, margin pemasaran dan integrasi

pasar

Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi menurut pendapat

stakeholders dan analisa usahatani Peta arahan

pengembangan gambir

Rekomendasi peningkatan efisiensi

pemasaran

Arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota


(24)

tersebut akan mengalami peningkatan di semua sektor, terutama transaksi perekonomiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disusun arahan pengembangan kebun gambir rakyat di Kabupaten Limapuluh Kota.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman dan Produk Gambir

Gambir merupakan resin yang diekstrak dari daun dan cabang-cabang muda tanaman gambir (Uncaria gambier roxb.), dikristalkan dan diperdagangkan dalam bentuk kubus atau blok kecil (Ridsdale, 1993). Menurut Sufri et al. (2004) dikemukakan bahwa gambir merupakan sari air kering yang diperoleh dari daun-daunan dan ranting muda tanaman gambir (Uncaria gambier Roxb. atau

Jasminum sp, termasuk familia Rubiaceae), yang tumbuh di Indonesia terutama Sumatera. Selanjutnya, Thorpe dan Whiteley (1953) menyatakan bahwa catechu

(produk gambir untuk pewarna) merupakan produk berwarna kuning biasanya berbentuk kubus dan diperoleh dari tumbuhan Uncaria gambier yang merupakan tanaman semak, baik yang liar maupun yang dibudidayakan.

Tumbuhan gambir (Uncaria gambier Roxb.) termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Asteridae, ordo Gentianales, family Rubiaceae, genus Uncaria dan spesies Uncaria Gambier Roxb. (Ridsdale, 1993). Tinggi tanaman gambir berkisar 1,5-2 m, dapat memanjat tanaman lain dengan cara melingkar-lingkar, warna batang coklat muda sampai coklat tua, warna daun hijau muda sampai hijau coklat dan coklat muda (Hamzah, 2004

dalam Winardi, 2011). Gambir dibudidayakan pada lahan dengan ketinggian 200-800 m di atas permukaan laut, mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Tanaman gambir dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur. Bila pengusahaan di daerah berbukit secara monokultur, maka penanamannya harus searah garis kontur, sehingga pada tahap awal penanaman tidak terjadi erosi dan efisiensi pemupukan dapat tercapai (Balitbangtan, 2012). Biasanya gambir ditanam sebagai tanaman kebun di pekarangan atau kebun di pinggir hutan. Budidaya gambir biasanya semi intensif, jarang diberi pupuk tetapi pembersihan dan pemangkasan tetap dilakukan (Djarwaningsih, 1993).

Gambir baik tumbuh di daerah dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan penyinaran cahaya matahari cukup banyak, suhu udara 20oC-29oC. Gambir tumbuh subur pada ruang terbuka dengan sedikit naungan maksimal 8 persen dari pohon besar seperti albasia dan petai. Oleh karena itu kondisi agroklimat sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan daun. Bentuk tanaman gambir dapat dilihat pada Gambar 2.


(25)

Gambar 2. Tanaman Gambir

Bila tanaman gambir dikembangkan di daerah yang banyak terlindung, akan mempengaruhi pertumbuhan daun, yaitu ranting menjadi lemah, daun lebih jarang, ketebalan daun lebih tipis dan volume produksi daun agak kurang (Ditjenbun, 2008). Tanaman gambir tumbuh baik pada tanah yang gembur, dapat diperbanyak secara vegetatif maupun generatif (Yusmeiarti et al., 2000 dalam

Winardi, 2011).

Gambir di Indonesia pada umumnya digunakan untuk menyirih. Gambir diketahui merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Djarwaningsih, 1993). Fungsi lain gambir adalah untuk campuran obat luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat kumur, sariawan, sakit kulit, serta sebagai bahan penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil. Fungsi gambir yang tengah dikembangkan adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Hadi, 2012). Menurut Ridsdale (1993), gambir memiliki tiga kegunaan utama yaitu: (a) untuk penyamak kulit; (b) untuk menyirih yang dikonsumsi bersama buah pinang (Areca catechu L.), kapur dan daun sirih (Piper betle L.); serta (c) untuk obat-obatan. Di Kabupaten Limapuluh Kota, masyarakat secara turun temurun memproduksi gambir dalam bentuk bootch dan lumpang. Juga diproduksi gambir berbentuk bootch dengan diameter yang lebih besar namun lebih tipis dari yang biasa dikenal yaitu gambir koin. Sebagian eksportir melakukan pemrosesan ulang gambir asalan dari masyarakat dan mencetaknya kembali dengan bentuk wafer block atau cube (Adi, 2011). Bentuk-bentuk produk gambir tersaji pada Gambar 3.


(26)

Gambar 3. Bentuk-bentuk Produk Gambir 2.2 Teknik Budidaya Gambir

Budidaya gambir yang telah dilakukan selama ini tidaklah terlalu sulit. Namun membutuhkan benih yang berjumlah banyak. Tanaman diperbanyak dengan dua cara, yaitu vegetatif dan generatif. Perbanyakan vegetatif, dengan cara menggunakan stek dari bagian tanaman. Cara ini hanya dapat menghasilkan bibit dalam jumlah terbatas dan hasilnya belum begitu sempurna. Perbanyakan bibit untuk tujuan budidaya yang lebih luas, masih dengan cara generatif, yaitu menggunakan biji. Kebutuhan benih tiap hektar pertanaman sebanyak 16 kali dari kebutuhan normal, karena daya kecambah dari tanaman ini dibawah 60% (Sutarman, 2010).

Tanaman gambir tidak memerlukan pemupukan yang intensif seperti halnya tanaman pangan. Selain pemberian pupuk dasar yang dilakukan pada awal penanaman, pemberian pupuk cukup dilakukan setiap enam bulan sekali. Banyaknya pupuk yang akan diberikan sebaiknya disesuaikan dengan kandungan hara tanah melalui analisis tanah di laboratorium. Secara umum dosis pupuk yang diperlukan dari salah satu hasil penelitian menunjukan bahwa perbandingan pemberian pupuk N, P, K sebesar 15 : 15 : 15 sebanyak 200 kg/pohon/panen memberikan hasil yang lebih tinggi. Pemberian pupuk dengan perbandingan porsi diatas, maka didapatkan daun dan ranting gambir sebanyak 5,0 – 6,0 kg/rumpun, sedangkan yang tidak di pupuk hanya 2,5 – 3,0 kg/rumpun. Untuk tanaman tua (umur 10 tahun keatas) pemberian pupuk buatan harus diiringi dengan pemberian pupuk organik. Dapat juga dengan menggunakan ampas sisa daun pengempaan yang ditaburkan di sekitar tanaman. Dalam mempertahankan produktifitasnya, perlu diberikan pupuk kandang. Penyiangan pada tanaman gambir hanya


(27)

dilakukan dua kali dalam setahun. Pada penanaman skala kecil, biasanya tanaman gambir bebas dari hama dan penyakit yang serius. Namun pada penanaman monokultur dengan skala luas, pernah terjadi serangan hama ulat dan kumbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian tanaman gambir yang diserang hama biasanya adalah daunnya, dimana daun menjadi berlobang-lobang dan rusak, sehingga produksi getah menjadi berkurang. Serangan hama yang berbahaya adalah jenis pengisap yang mengakibatkan pucuk muda atau titik tumbuh menjadi kering dan mati, mengakibatkan pertumbuhan cabang menjadi terhenti sehingga tanaman menjadi kerdil dan tidak rimbun. Hama yang sering ditemui pada tanaman gambir adalah Lundi (larva kumbang dalam tanah) dan hama ulat (Glypodes psittacus, Oreta extensa), hama kepik (Helopeltis sumateranus Roepke, Hyalopeplus, Tingganan gambir) dan hama belalang (Sinjatu) (Sutarman, 2010). Kriteria kesesuaian lahan untuk gambir disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Gambir (Uncaria gambier Roxb.)

Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N1 N2

Temperatur (t)

Temperatur rerata (oC) harian

Ketersediaan air (w)

Curah hujan (mm/th)

Kelembaban udara (%)

Retensi hara (f)

pH H2O

Bahaya erosi (e)

Lereng (%)

Ketinggian

Elevasi (mdpl)

23 - 26

3000 – 3500

70 – 80

4,5 – 5,5

0 – 15

200 – 500

20 - 23 26 - 29

2000 – 3000 3500 – 4000

70 – 80

4,5 – 5,5

15 – 30

50 – 200 500 – 800

29 - 36

2000 – 3000 3500 – 4000

70 – 80

4,5 – 5,5

30 – 45

800 – 1100

> 36 < 20 > 4000 < 2000 > 80 < 70 > 5,5 < 4,5

45 – 75

> 1100 < 50 > 36 < 20 > 4000 < 2000 > 80 < 70 > 5,5 < 4,5 > 75 > 1100 < 50 Sumber: Data diolah dari Winardi (2011) dan Sutarman (2010)

Tanaman gambir panen 2 kali setahun dengan selang waktu 6 bulan. Pemanenan dapat ditingkatkan menjadi 3 kali setahun apabila dilakukan budidaya tanaman gambir secara baik. Panen I, tanaman berumur 1,5 tahun akan tetapi hasilnya masih relatif rendah, yaitu 40 rajut (setara dengan 2.000 kg basah atau 100 kg gambir kering), panen II tanaman berumur ± 2 tahun, produksinya meningkat dua kali lipat, panen III tanaman berumur ± 2,5 tahun produksi meningkat tiga kali lipat dari panen I, dan mulai pada panen IV dan seterusnya


(28)

(berumur > 3 tahun), produksi akan sama yaitu sebesar 7.500 kg basah/ha/panen atau 375 kg gambir kering/ha/panen. Sastrahidayat dan Soemarsono (1991) mengemukakan bahwa secara teoritis potensi produksi gambir kering dapat mencapai 700 kg/ha/panen atau 2100 kg/ha dengan intensitas panen sebanyak 3 kali/tahun. Tanda tanaman sudah dapat dipanen, yaitu: a) Daun sudah bewarna hijau muda/tua/kuning/coklat dan apabila dirasakan dengan tangan sudah agak keras, b) Ranting bewarna hijau kecoklatan dan coklat muda, c) Daun bila diremas sedikit saja dengan tangan sudah mengeluarkan getah. Pemetikan ranting dan daun terlalu muda atau terlalu tua akan menghasilkan kadar catechine yang rendah. Panen biasanya dilakukan pada pagi hari, yaitu dengan cara memangkas ranting dengan tuai atau ani-ani pada jarak 5 cm dari pangkalnya, agar tunas baru pada ketiak ranting dapat tumbuh dengan baik. Setelah sampai di tempat pengempaan, daun dan ranting gambir harus langsung diolah. Jika tertunda lebih dari 24 jam, rendemen getahnya akan berkurang. Jumlah ranting dan daun gambir yang dipetik dalam satu hari berkisar antara 200 – 250 kg/orang (Ermiati, 2004). 2.3 Kandungan Kimia Gambir

Kandungan utama gambir yang juga dikandung oleh banyak anggota

Uncaria lainnya adalah flavonoid (terutama gambirin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22%-50%), serta sejumlah alkaloid seperti gambirtanin serta turunan dihidro dan okso-nya (Thorpe et al., 1953). Menurut Djarwaningsih (1993), daun gambir mengandung katekin yang bersifat sedikit larut dalam air dingin tetapi cepat larut dalam air panas serta asam penyamak kateku (catechu) yang larut dalam air dingin.

2.3.1 Katekin

Katekin merupakan senyawa flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan. Potensi lain dari gambir yaitu sebagai inflamasi, antibakteri, antitumor dan antivirus (Nakagawa, 2005). Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan paten penggunaan katekin sebagai bahan pertumbuhan jaringan ikat pada pengobatan penyakit Alzheimer, Parkinson, dan penyakit yang disebabkan adanya kelainan jaringan yang terdiri dari protein (Castillo et al., 2002). Rumus struktur katekin dapat dilihat pada Gambar 4.


(29)

Katekin terutama terdapat pada tanaman berkayu, baik sebagai (+)-katekin maupun (-)-epi-katekin (cis). Katekin memiliki nama kimia (2R,3S)-2-(3,4-dihydroxyphenyl)chroman-3,5,7-triol dengan rumus kimia C15H14O6.

Katekin dari gambir banyak digunakan dalam pewarnaan untuk produksi katun dan dikenal sebagai “catechu brown” yang bersifat tahan terhadap cahaya, larutan asam atau basa, juga bahan pemutih.

2.3.2 Tanin

Menurut Hilbert (1954), tanin adalah sekelompok besar senyawa organik kompleks yang larut dalam air yang tersebar secara luas dalam berbagai tumbuhan. Hampir setiap tumbuhan mengandung tanin dalam daun, ranting, kulit kayu, kayu atau buahnya. Namun, tanin komersial hanya diambil dari tanaman yang memiliki kandungan yang tinggi. Tanaman dengan kandungan tanin yang lebih rendah dari 10 persen tidak ekonomis untuk diekstrak. Sebahagian besar produksi tanin berasal dari daun Maple dan kulit pohon Ek. Klasifikasi utama tanin dari tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Klasifikasi Tanin dari Tumbuhan (Hilbert, 1954)

Kelas I. Tanin Katekol (Catechol tannins)

Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan hitam kehijauan. Dengan CuSO4 diikuti dengan Amonia berlebihan, ada dua kelas :

Kelas A (Endapannya larut) Cutch (Accacia catechu)

Quebracho Hemlock

Larch Gambier Quecitron

Kelas II. Tanin Campuran

Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan keunguan.

Wattle bark English oak bark Chestnut oak bark

Babool bark

Kelas B (Endapannya tidak larut) Cutch (Mangrove)

Willow Oak

Kelas III. Tanin Pirogalol

Dengan larutan Brom tidak memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan biru hitam.

Gallnuts Sumac

Myrobalans Chestnut

Valonia Divi-divi


(30)

Bentuk tanin yang paling murni yaitu asam gallotanin bersifat tidak berwarna, tidak berbau, larut dalam air dan dapat bergabung dengan gelatin yang terdapat dalam kulit. Karena sifat tersebut, maka tanin sangat penting dalam industri penyamakan kulit (Hilbert, 1954).

2.4 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pendapatan regional/wilayah merupakan tingkat pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari pendapatan total wilayah maupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Pembangunan wilayah haruslah bersangkut paut dengan peningkatan pendapatan masyarakat wilayah tersebut dan biasanya yang dimaksud adalah pendapatan rata-rata (income per capita) dari masyarakat tersebut (Tarigan, 2002).

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah itu. Pertambahan pendapatan diukur dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor produksi yang beroperasi di daerah itu (tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi). Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah itu juga oleh seberapa besar terjadinya transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah. Dikemukakan juga bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

output perkapita dalam jangka panjang (Boediono, 1985 dalam Tarigan 2002). Peningkatan pendapatan wilayah sebaiknya mengedepankan penggunaan sumberdaya lokal, terutama pada tenaga kerja. Karena dengan penggunaan sumberdaya yang ada, mengakibatkan margin biaya yang rendah bagi penyediaan dan operasional tenaga kerja serta memiliki dampak dalam mengurangi angka pengangguran wilayah tersebut. Pemanfaatan sumberdaya domestik selayaknya disesuaikan dengan karakteristik dan potensi suatu wilayah agar perumusan kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan tipe wilayah. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Dengan perlakuan seperti ini, diharapkan paradigma pembangunan ekonomi wilayah dapat tercipta, yaitu penguatan basis ekonomi yang memiliki prinsip keseimbangan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (growth), dan keberlanjutan (sustainability), sehingga nilai inti dari pembangunan yaitu kecukupan (sufficiency), harga diri (self-esteem) dan kebebasan (freedom) dapat tergapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan (Todaro dan Smith, 2006).


(31)

2.5 Pengembangan Wilayah

Tarigan (2006) mendefinisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografi yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya. Rustiadi, et al. (2011) memberikan pengertian wilayah ini sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponennya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumber daya pembangunan. Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Widiatmaka (2013) menjelaskan terminologi wilayah memiliki makna dasar kemiripan, yaitu adanya keragaman/keunikan dari setiap unit wilayah yang dapat berupa perbedaan limpahan sumber daya, kosentrasi penduduk, aktivitas sosial ekonomi dan sebagainya; berdekatan (distance/accessibility), yaitu bahwa setiap unit wilayah memiliki tingkat aksesibilitas yang berbeda yang menentukan seberapa jauh suatu wilayah mampu berinteraksi dengan wilayah lainnya; keterpautan dan/atau tolong-menolong (spatial interaction), yaitu menunjukkan bahwa setiap unit wilayah yang beragam tersebut akan saling berinteraksi sesuai dengan tingkat aksesibilitas yang dimilikinya.

Pengembangan wilayah memiliki tujuan untuk menjadikan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut mengalami perkembangan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan (Djakapermana, 2010). Pengembangan wilayah ini dilakukan dengan suatu cara yang namanya pembangunan. Pembangunan itu sendiri diartikan oleh UNDP sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Pada intinya, pembangunan merupakan suatu usaha perbaikan yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sekarang.

Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis agar nantinya dapat memberikan keuntungan ekonomi wilayah. Perencanaan penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan (Sitorus, 1985). Hal ini penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan manfaat ruang wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/kondisi lahan, potensi dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu. Namun harus diperhatikan permasalahan yang akan terjadi jika seandainya perencanaan pengembangan wilayah di suatu lahan. Menurut Tarigan (2006) permasalahan makro dari penggunaan lahan untuk suatu kegiatan tertentu dapat dikelompokkan: (1) aspek kesesuaian lokasi, harus


(32)

disesuaikan dengan daya dukung dan kesesuaian lahan secara makroregional; (2) aspek strategi pengembangan ekonomi wilayah. Apabila ingin membangun suatu proyek berskala besar, hal itu harus terkait dengan strategi pengembangan wilayah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Perlu dilihat apakah kegiatan yang diusulkan cukup strategis dan sinkron dengan rencana umum pengembangan wilayah dan menuju tercapainya visi wilayah. 2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan adalah bagian dari proses perencanaan tataguna lahan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Tujuan evaluasi lahan adalah untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tujuan tertentu (Sitorus, 1985; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas masing-masing satuan peta lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang ditetapkan. Kelas kesesuaian lahan ditentukan agar nantinya didalam pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dari lahan tersebut. Pemanfaatan lahan seharusnya memperhatikan aspek teknis, sosial serta ekonomi dari lahan tersebut. Agar lahan tersebut mampu memberikan hasil yang optimum dan memberikan keuntungan bagi pengguna lahan tersebut baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang. Namun kenyataannya penggunaan/pemanfaatan lahan lebih banyak didapati tidak memperhatikan daya dukung yang dimiliki oleh lahan tersebut. Telah terjadi pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kelas kesesuaiannya. Hal ini menyebabkan terjadinya pemaksaan terhadap daya dukung lahan, sehingga sering terjadi berbagai macam bencana sebagai akibat pemaksaan dari daya dukung lahan tersebut.

Pada dasarnya, pemanfaatan/penggunaan lahan ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, lereng, dan hidrologi dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial untuk dikembangkan komoditas tertentu, artinya bahwa lahan tersebut digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup masukan yang diperlukan akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan (Sitorus, 1985).

Hasil pembandingan antara persyaratan penggunaan lahan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan tertentu dikombinasikan dengan hasil analisa input-output, cost-benefit, dampak terhadap lingkungan dan analisa sosial ekonomi akan menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan tertentu. Menurut Notohadipawiro (2000) dan Idjudin (2006) dalam Idjudin (2011), tanah


(33)

dimanapun keberadaannya merupakan komponen lingkungan hidup yang secara mutlak harus dilindungi atau dihindarkan dari dampak yang merugikan, maka konservasi tanah menjadi suatu keharusan bagi membuat lingkungan hidup terhunikan. Pokok dari evaluasi lahan adalah penentuan jenis penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaannya) yang akan diterapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya, dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan, sehingga didapat kelas kesesuaian lahannya secara fisik. Dalam evaluasi lahan ekonomi (kuantitatif), dilanjutkan dengan analisa ekonomi (serta sosial dan lingkungan) sehingga didapatkan penggunaan lahan yang optimal dan berkelanjutan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Sitorus, 1985).

Hasil penelitian kesesuaian lahan dapat berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kelas kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survei tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Artinya, lahan tersebut dibatasi kendala-kendalanya, maka harus diperhitungkan apakah secara ekonomi dapat memberikan keuntungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan-lahan dengan kesesuaian lahan S1 memerlukan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan dengan kelas S2 dan S3. Prioritas satu diarahkan pada lahan yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu lahan semak, padang rumput, tegalan dan alang-alang. Prioritas dua merupakan lahan yang telah digunakan masyarakat yaitu penggunaan lahan kebun rakyat. Lahan arahan dimasukkan dalam prioritas satu karena lahan ini merupakan lahan yang akan diusahakan masyarakat untuk pengembangan tanaman gambir.

2.7 Rantai dan Margin Pemasaran serta Integrasi Pasar

Menurut Adi (2011), penjualan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah kombinasi antara pedagang mendatangi petani ataupun petani mendatangi pedagang. Penjualan gambir juga dilakukan di pasar, terutama pasar pengumpul. Kebanyakan petani telah memiliki pedagang pengumpul langganan tempat mereka menjual gambirnya. Bahkan, ada petani yang terikat untuk menjual produknya kepada pedagang pengumpul tertentu karena petani memiliki pinjaman


(34)

kepada pedagang tersebut. Selanjutnya, pengumpul akan mengirimkan gambirnya kepada pedagang pengumpul lain atau kepada eksportir. Dalam prakteknya, rantai perdagangan tersebut mungkin lebih panjang karena berpindah dari satu pedagang ke pedagang lain hingga sampai ke eksportir. Dari Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagian gambir dikirimkan kepada eksportir di Padang atau Medan dan sebagian lain dikirimkan kepada pedagang lain di Pekanbaru. Panjangnya rantai perdagangan gambir menyebabkan tidak efisiennya kegiatan transportasi.

Efisiensi sistem pemasaran suatu usaha diukur dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Margin tataniaga memiliki dua pengertian.

Pertama, margin tataniaga tersebut adalah perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima petani. Kedua, margin tataniaga merupakan imbalan yang diberikan konsumen kepada lembaga tataniaga. Komponen tataniaga terdiri dari biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost) yaitu biaya-biaya yang diperlukan lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga dan keuntungan (profit) lembaga tataniaga. Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa besarnya biaya pemasaran berbeda-beda tergantung kepada beberapa faktor, yaitu: macam komoditas, lokasi pengusahaan, macam dan peranan lembaga pemasaran dan efektifitas pemasaran. Semakin pendek rantai tataniaga, maka biaya tataniaga semakin rendah, margin tataniaga juga semakin rendah dan harga yang harus dibayar konsumen juga rendah serta harga yang diterima produsen tinggi.

Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk mengevaluasi seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986).

2.8 Peranan Stakeholders didalam Pembangunan Pertanian

Peranan stakeholders sangat dibutuhkan dalam pembangunan pertanian nasional. Analisis pemangku kepentingan (stakeholders) bermanfaat dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling banyak kena pengaruh (dampak) dari suatu kegiatan pembangunan (Race dan Millar, 2006

dalam Iqbal, 2007). Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan dan manfaat pembangunan bagi mereka. Analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan beberapa elemen seperti eksistensi kelompok masyarakat, dampak dan konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program pembangunan. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Dengan terciptanya sinergitas diantara


(35)

stakeholders dalam pembangunan pertanian, diharapkan mampu memacu pertumbuhan sektor pertanian yang akhirnya akan menciptakan perkembangan perekonomian.

Saat ini, kekurangan peran pemangku kepentingan lain yang sangat kentara. Iqbal (2007) menerangkan, diperlukan pemahaman terhadap keberadaan (eksistensi) pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Peran pemangku kepentingan seyogianya diwujudkan dalam wadah (forum) organisasi guna penyamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergitas aktifitas dalam menunjang kelancaran program pembangunan pertanian.

2.9 Penelitian Terdahulu

Afrizal (2009) yang melakukan penelitian berjudul “Analisis produksi dan pemasaran gambir di Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat” menyatakan faktor determinan produksi yang berpengaruh nyata adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit. Pengalaman petani dalam bertani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi. Pengalokasian input tenaga kerja, pupuk kimia dan pestisida pada pengusahaan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota belum efisien.

Adi (2011) yang melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten Limapuluh Kota” menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menyertai didalam agroindustri gambir, yaitu: (1) permasalahan teknologi proses produksi, (2) mutu produk yang dihasilkan, (3) pasar komoditas gambir, (4) permodalan petani, (5) budidaya tanaman gambir, (6) sumberdaya manusia dan (8) kelembagaan petani gambir. Langkah awal dalam pengembangan agroindustri gambir adalah pendirian industri katekin dan tanin yang didukung perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir. Hasil analisis finansial menunjukkan pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap dan lima unit pengolahan gambir bergerak dengan kapasitas produksi 10,5 ton gambir asalan layak didirikan. Karena NPV untuk pabrik tetap sebesar 135,99 oz emas, B/C Ratio 1,16 dan payback period 6,58 tahun, sedangkan penggunaan lima unit pengolahan gambir bergerak memiliki NPV sebesar 527,14 oz emas, B/C Ratio 1,39 dan payback period 2,73 tahun.

3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kabupaten Limapuluh Kota berada di bagian timur laut dari provinsi Sumatera Barat yang merupakan gerbang utama jalur darat dengan Provinsi Riau.


(36)

Secara geografis, terletak pada 0o25’28,71” LU – 0o22’14,52” LS dan 100o50’44,10” BT - 100o50’47,80” BT dengan luas wilayah 3.354,30 Km2 yang berarti 7,94% dari luas daratan Provinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Secara administratif, Kabupaten Limapuluh Kota sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan sebelah tengah berbatasan dengan Kota Payakumbuh.

Setelah dilakukan pemilihan lokasi penelitian pada tingkat kabupaten dan kecamatan, selanjutnya dilakukan penentuan lokasi penelitian pada tingkat kenagarian. Kenagarian atau nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah sendiri dan merupakan ciri khas pemerintahan daerah Sumatera Barat, yang setingkat dengan desa. Jumlah kenagarian di Kecamatan Kapua IX sebanyak 7 nagari dan Kecamatan Lareh Sago Halaban sebanyak 8 nagari.

Pemilihan kenagarian ditentukan secara sengaja di dua kecamatan tersebut dan yang terpilih di Kecamatan Kapua IX adalah Kenagarian Koto Lamo, Durian Tinggi, Sialang, Galugua dan Lubuak Alai. Lalu kenagarian Halaban di Kecamatan Lareh Sago Halaban. Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari bulan Juni 2014 sampai Oktober 2014. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6. 3.2 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Data sekunder diperoleh dari instansi yang berkaitan dengan komoditas ini. Penentuan lokasi kebun eksisting berdasarkan survei lapangan yang dilakukan oleh peneliti.

Penentuan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan kebun gambir, didasarkan pada aspek biofisik dan ketersediaan lahan menggunakan peta penggunaan lahan eksisting, satuan peta lahan (land unit), peta RTRW, peta penunjukan kawasan hutan, peta administrasi, kriteria kesesuaian lahan tanaman gambir. Data diperoleh dari Bappeda Kabupaten Limapuluh Kota, Distanhorbun Kabupaten Limapuluh Kota, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor.

Analisis rantai, margin tataniaga serta integrasi pasar dalam rantai pemasaran gambir menggunakan data harga di tingkat petani, harga gambir di tiap simpul rantai pemasaran. Hubungan tujuan penelitian, jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output yang diharapkan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.


(37)

Gambar 6. Peta lokasi penelitian Tabel 4. Tujuan, jenis dan sumber data, teknik analisis dan output yang diharapkan


(38)

1. Mengetahui penggunaan lahan kebun gambir eksisting

Peta kebun gambir eksisting • Kelompok tani

• Distanhorbun Kabupaten Limapuluh Kota

• Bappeda Kabupaten Limapuluh Kota

Analisis spasial dengan metode Sistem Informasi Geografis (SIG)

Diketahuinya wilayah dan luas eksisting dari kebun gambir

2. Menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan kebun gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan

 Peta penggunaan lahan (land use) eksisting

Peta satuan lahan (land unit)

Peta administrasi

 Peta kawasan hutan

Kriteria kesesuaian lahan gambir

Peta RTRW

• Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP)

• Distanhorbun Kabupaten Limapuluh Kota

• Bappeda Kabupaten Limapuluh Kota

Analisis spasial dengan metode Sistem Informasi Geografis (SIG)

Diketahuinya wilayah yang berpotensi untuk pengembangan kebun gambir berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan

3. Menganalisis rantai, margin pemasaran dan integrasi pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

Harga gambir di tingkat petani, harga gambir di tiap simpul rantai pemasaran gambir

• Distanhorbun Kabupaten Limapuluh Kota

• Kuesioner serta wawancara dengan petani dan pedagang pengumpul di tiap simpul rantai pemasaran gambir • Direktorat Tanaman Semusim

Departemen Pertanian RI • BPS Kabupaten Limapuluh Kota

Analisis rantai, margin pemasaran dan analisis integrasi pasar

Diketahuinya tingkat efisiensi margin tataniaga, keterpaduan pasar komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

pengembangan komoditas gambir menurut pendapat stakeholders dan analisa usahatani komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

Hasil wawancara dan kuesioner

Usaha tani kebun gambir (harga dan jumlah bibit, upah dan jumlah tenaga kerja, harga dan jumlah sarana produksi, harga jual gambir)

Stakeholders

• Kuesioner serta wawancara dengan petani

Analytical

Hierarchy Process (AHP)

• Analisis Usahatani

Diketahuinya pendapat

stakeholders tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

pengembangan komoditas gambir dan diketahuinya analisa usahatani komoditas gambir di Kabupaten Limapuluh Kota

5. Menyusun arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota

Hasil olahan empat tujuan sebelumnya

Hasil olahan data wilayah yang berpotensi secara biofisik, lingkungan dan ketersediaan lahan, analisis usahatani, margin tataniaga dan persepsi stakeholders

Sintesis Arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka

pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota


(39)

Pedagang yang dijadikan sampel meliputi pedagang pengumpul 4 orang, pedagang besar 2 orang, pedagang besar luar provinsi Sumbar 2 orang dan 2 orang eksportir lokal. Penentuan pedagang yang dijadikan responden dilakukan secara purposive sampling dengan tujuan untuk menghindari pengambilan sampel yang tidak tepat. Pedagang gambir yang dijadikan sampel merupakan pedagang yang melakukan pembelian gambir petani yang berada pada kedua kecamatan terpilih.

Menjaring pendapat stakeholders untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan gambir dilakukan dengan teknik AHP melalui wawancara dan pengisian kuesioner pendahuluan dengan pendekatan purposive sampling. Pengambilan sampel pihak terkait dengan budidaya tanaman gambir yaitu dari Sekretariat Daerah Kabupaten Limapuluh Kota, Distanhorbun Kabupaten Limapuluh Kota, Bappeda Kabupaten Limapuluh Kota, Anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Badan Penyuluhan Pertanian Peternakan Kehutanan yang ada di kecamatan terpilih, Diskoperindag Kabupaten Limapuluh Kota, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Solok, Dosen Universitas Andalas dan Bappeda Provinsi Sumatera Barat. Jumlah responden sebanyak 12 orang tersebut dipilih secara sengaja (purposive). Kuesioner tahap pertama dipadukan dengan referensi yang terkait dengan pengembangan kebun gambir, yang nantinya akan menjadi dasar pertanyaan pada kuesioner utama untuk analisis AHP. Kuesioner utama digunakan untuk menjaring pendapat responden guna mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan dengan pendekatan purposive sampling dan responden ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian.

Dalam penyusunan kebun gambir menurut potensi, dihitung analisis usahatani pengusahaan kebun gambir. Data yang digunakan untuk analisis adalah biaya bibit gambir, upah dan pemakaian tenaga kerja, sarana produksi, harga jual gambir serta produksi gambir dalam satuan hektar. Data diperoleh melalui wawancara dan kuesioner dengan petani. Pengambilan petani sampel dilakukan secara purposive. Petani sampel adalah petani yang memiliki curahan kerja utama pada usahatani gambir dan kebun mereka tersebut telah berproduksi.

Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu Kecamatan Kapua IX dan Kecamatan Lareh Sago Halaban. Penentuan lokasi tersebut dengan pertimbangan: (1) merupakan sentra produksi gambir; (2) untuk melihat keragaman serta keragaan usahatani dan pemasaran gambir di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota; (3) supaya tidak terjadi pengelompokan pada wilayah tertentu sehingga memungkinkan lokasi penelitian tersebar. Namun pemilihan kedua kecamatan tersebut tidak dimaksudkan untuk dilakukan perbandingan.

Kecamatan Kapua IX dipilih berdasarkan kontribusi tinggi dalam luas areal tanam dan produksi gambir, masing-masing 38,45 persen dan 45,57 persen


(40)

terhadap produksi gambir Kabupaten Limapuluh Kota. Sedangkan pemilihan Kecamatan Lareh Sago Halaban didasarkan pada pertimbangan karena merupakan daerah pertama penghasil gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dan sampai sekarang masih menghasilkan gambir dengan mutu kualitas A yang dikenal dengan nama Gambir Halaban I. Pemilihan kenagarian ditentukan secara sengaja pada kedua kecamatan tersebut. Jumlah petani gambir menurut hasil Sensus Pertanian tahun 2003, di Kabupaten Limapuluh Kota terdapat 9.056 rumahtangga petani. Rumahtangga petani gambir untuk kedua kecamatan terpilih sebanyak 3.316 rumahtangga dengan perincian masing-masing: 3.201 rumahtangga petani di Kecamatan Kapua IX, lalu sebanyak 115 rumahtangga petani di Kecamatan Lareh Sago Halaban. Sampel berukuran 1 persen dari jumlah rumahtangga petani yang ada di daerah tersebut. Banyaknya sampel yang diambil yaitu sebanyak 32 orang untuk Kecamatan Kapua IX dan 25 orang untuk Kecamatan Lareh Sago Halaban. Sampel di Kecamatan Lareh Sago Halaban melebihi angka 1 persen agar didapat jumlah responden yang mewakili dari rumahtangga yang ada di wilayah tersebut jika dibandingkan dengan hanya menggunakan responden sebanyak 2 orang dari jumlah rumahtangga petani yang ada di kecamatan tersebut.

Arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota disusun dengan mensintesiskan hasil olahan dari empat tujuan penelitian sebelumnya. Pertimbangan dalam menyusun arahan pengembangan kebun gambir diantaranya menyangkut aspek biofisik, lingkungan dan ketersediaan lahan, kelayakan usahatani pengusahaan kebun gambir, pemasaran gambir serta pendapat stakeholders. Arahan pengembangan kebun gambir secara biofisik dibuat kedalam tiga prioritas utama yang sesuai.

3.3 Teknik Analisis Data

3.3.1 Penentuan Kebun Gambir Eksisting

Penentuan kebun eksisting menggunakan analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis (SIG). Peta merupakan gabungan titik koordinat yang dihasilkan dari penunjukan posisi kebun gambir pada peralatan GPS. Selanjutnya koordinat tersebut diplot ke peta penggunaan lahan yang berasal dari RTRW Kabupaten Limapuluh Kota Tahun 2012 -2032.

Analisis selanjutnya dengan memisahkan penggunaan lahan untuk hutan primer, hutan sekunder, kolam air tawar, kebun rakyat, sawah beririgasi, sawah tadah hujan, tanah terbuka, tegalan/ladang serta yang terakhir pemukiman/lahan terbangun.


(41)

3.3.2 Penentuan Lokasi yang Berpotensi untuk Pengembangan Kebun Gambir Berdasarkan Aspek Biofisik dan Ketersediaan Lahan

Untuk menentukan lokasi yang berpotensi berdasarkan aspek biofisik dan ketersediaan lahan, teknik analisisnya juga menggunakan analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis (SIG). Analisis diawali dengan menentukan wilayah yang tersedia untuk pengembangan kebun gambir dengan cara menumpangtindihkan (overlay) peta penggunaan lahan eksisting, peta penunjukan kawasan hutan, peta RTRW dan peta administrasi, maka diperoleh wilayah yang tersedia untuk pengembangan kebun gambir. Wilayah yang tersedia belum tentu berpotensi atau sesuai untuk pengembangan kebun gambir. Langkah selanjutnya, peta wilayah yang tersedia di-overlay dengan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman gambir, sehingga diperoleh wilayah yang berpotensi (sesuai dan tersedia) untuk pengembangan kebun gambir.

Penentuan kesesuaian lahan aktual tanaman gambir dengan menggunakan peta satuan lahan (land unit) dan karakteristiknya dipadukan dengan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman gambir. Peta kesesuaian lahan aktual tanaman umumnya merujuk pada analisis kesesuaian lahan menurut metode FAO (1976). Sistem ini dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Dalam analisis wilayah yang berpotensi pada penelitian ini, digunakan kriteria kesesuaian lahan gambir yang merujuk pada kriteria yang disusun oleh Djaenudin et al. (2011) dan dipublikasikan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, sehingga diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual pada tiap satuan lahan di Kabupaten Limapuluh Kota.

Kelas kesesuaian lahan terdiri atas kelas Sesuai (S1, S2 dan S3) dan kelas Tidak Sesuai (N1 dan N2). Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem ini menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai: Tingkat Ordo (Order). Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N). Pada tingkat kelas, lima tingkat kelas tersebut dimodifikasi oleh Djaenudin et al. (2011) menjadi empat kelas dan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

 Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly suitable)

Lahan ini tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktifitas lahan secara nyata.

 Kelas S2 : Cukup Sesuai (Moderately suitable)

Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.


(42)

 Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally suitable)

Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada kelas ini memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campurtangan pemerintah atau pihak swasta.

 Kelas N : Tidak Sesuai (Not suitable)

Lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.

Dalam evaluasi kesesuaian lahan dikenal kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Bagan alir penelitian

Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang ada dan belum mempertimbangkan usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada. Kesesuaian lahan potensial adalah keadaan lahan yang dicapai setelah adanya usaha-usaha

•Peta administrasi Kab. Limapuluh Kota

•Peta penunjukan kawasan hutan

•Peta RTRW Kab. Limapuluh Kota Peta wilayah yang tersedia untuk

pengembangan gambir

Overlay

•Peta wilayah yang berpotensi pengembangan gambir (sesuai dan tersedia)

•Peta lokasi arahan pengembangan kebun gambir

Arahan pengembangan komoditas gambir dalam rangka pengembangan ekonomi wilayah di Kab. Limapuluh Kota

Peta kelas kesesuaian lahan aktual tanaman gambir

Analisis usahatani gambir

Analisis pendapat stakeholders melalui teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) Analisis rantai dan margin pemasaran serta integrasi pasar

Peta penggunaan lahan (land use) eksisting

Overlay

Peta satuan lahan (land unit) Kabupaten Limapuluh Kota

Kriteria kesesuaian lahan gambir


(1)

(2)

(3)

78

Lampiran 10. Perbandingan rataan komponen input dan output dalam pengusahaan kebun gambir untuk luasan 1 ha pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)

No. Komponen input dan

output Satuan

Harga Satuan

(Rp) Rataan/ha/tahun 1. Output

- Produksi Kg 18.000 450

2. Input

- Bibit Batang 1.600 2.500

- Upah Tenaga Kerja HOK 55.000 110

- Pupuk

 Kompos Kg 500 2.000

 Urea Kg 3.300 100

 NPK Kg 4.000 300

- Obat-obatan

Herbisida Liter 60.000 4


(4)

Lampiran 11.(lanjutan)

ANALISIS INTEGRASI PASAR GAMBIR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA The REG Procedure

Model: MODEL1 Dependent Variable: PF

Number of Observations Read 20 Number of Observations Used 20

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 251856355 83952118 37.40 <.0001 Error 16 35913020 2244564

Corrected Total 19 287769375

Root MSE 1498.18682 R-Square 0.8752 Dependent Mean 9087.50000 Adj R-Sq 0.8518 Coeff Var 16.48624

Parameter Estimates

Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1164.54832 844.41192 1.38 0.1868 PFt 1 0.94412 0.18427 5.12 0.0001 DPE 1 0.05384 0.06898 0.78 0.4464 PEt 1 0.00969 0.10548 0.09 0.9279


(5)

81

Lampiran 12. Rata-rata harga gambir kering di tingkat petani dan eksportir rentang waktu 1994 – 2013

No. Tahun Tingkat Harga (Rp/kg)

Petani Eksportir

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 3.400 2.800 3.500 6.300 7.200 6.750 6.800 8.300 9.000 8.200 8.100 9.000 9.600 9.800 12.000 14.000 12.500 12.500 14.000 18.000 2.274 3.110,5 4.062,6 8.416,8 30.435,6 10.182,9 16.778,8 14.424,3 12.581,7 10.346,4 13.152,5 18.161,0 16.479,8 16.434,8 19.796,3 21.620,2 20.731,6 19.752,9 19.568,2 23.851,5 Sumber : BPS (2013) dan Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian (2014)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 01 September 1977 dari Ayah bernama Amri Sa’i dan Almarhumah Ibu Rusjda Rustam. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Birugo, Bukittinggi pada tahun 1989. Selanjutnya Penulis mengikuti pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bukittinggi (lulus tahun 1992) dan SMA Negeri 1 Bukittinggi (lulus tahun 1995). Penulis menempuh pendidikan sarjana mulai tahun 1997 sampai 2003 pada Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Padang dengan memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST).

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2011 Penulis bekerja di Dinas Perhubungan Kabupaten Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat dengan jabatan sebagai Penguji Kendaraan Bermotor. Pada tahun 2012, Penulis pindah tugas ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat dengan jabatan sebagai Staf Bagian Umum. Tahun 2013, Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di program studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Gelar yang diperoleh dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia

Penulis menetap di Kabupaten Tanah Datar, menikah tahun 2005 dengan Adria Nola, SE binti Usman dan telah dikaruniai tiga orang anak, Adzhani Tristan Aulia, Cyltamia Anabel Aulia dan Naufal Uilsean Aulia.