Peranan Stakeholders didalam Pembangunan Pertanian Penelitian Terdahulu

kepada pedagang tersebut. Selanjutnya, pengumpul akan mengirimkan gambirnya kepada pedagang pengumpul lain atau kepada eksportir. Dalam prakteknya, rantai perdagangan tersebut mungkin lebih panjang karena berpindah dari satu pedagang ke pedagang lain hingga sampai ke eksportir. Dari Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagian gambir dikirimkan kepada eksportir di Padang atau Medan dan sebagian lain dikirimkan kepada pedagang lain di Pekanbaru. Panjangnya rantai perdagangan gambir menyebabkan tidak efisiennya kegiatan transportasi. Efisiensi sistem pemasaran suatu usaha diukur dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Margin tataniaga memiliki dua pengertian. Pertama, margin tataniaga tersebut adalah perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima petani. Kedua, margin tataniaga merupakan imbalan yang diberikan konsumen kepada lembaga tataniaga. Komponen tataniaga terdiri dari biaya tataniaga atau biaya fungsional functional cost yaitu biaya-biaya yang diperlukan lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga dan keuntungan profit lembaga tataniaga. Soekartawi 2002 menjelaskan bahwa besarnya biaya pemasaran berbeda-beda tergantung kepada beberapa faktor, yaitu: macam komoditas, lokasi pengusahaan, macam dan peranan lembaga pemasaran dan efektifitas pemasaran. Semakin pendek rantai tataniaga, maka biaya tataniaga semakin rendah, margin tataniaga juga semakin rendah dan harga yang harus dibayar konsumen juga rendah serta harga yang diterima produsen tinggi. Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk mengevaluasi seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion 1986 dan Heytens 1986.

2.8 Peranan Stakeholders didalam Pembangunan Pertanian

Peranan stakeholders sangat dibutuhkan dalam pembangunan pertanian nasional. Analisis pemangku kepentingan stakeholders bermanfaat dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling banyak kena pengaruh dampak dari suatu kegiatan pembangunan Race dan Millar, 2006 dalam Iqbal, 2007. Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan dan manfaat pembangunan bagi mereka. Analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan beberapa elemen seperti eksistensi kelompok masyarakat, dampak dan konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program pembangunan. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Dengan terciptanya sinergitas diantara stakeholders dalam pembangunan pertanian, diharapkan mampu memacu pertumbuhan sektor pertanian yang akhirnya akan menciptakan perkembangan perekonomian. Saat ini, kekurangan peran pemangku kepentingan lain yang sangat kentara. Iqbal 2007 menerangkan, diperlukan pemahaman terhadap keberadaan eksistensi pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Peran pemangku kepentingan seyogianya diwujudkan dalam wadah forum organisasi guna penyamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergitas aktifitas dalam menunjang kelancaran program pembangunan pertanian.

2.9 Penelitian Terdahulu

Afrizal 2009 yang melakukan penelitian berjudul “Analisis produksi dan pemasaran gambir di Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat” menyatakan faktor determinan produksi yang berpengaruh nyata adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit. Pengalaman petani dalam bertani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi. Pengalokasian input tenaga kerja, pupuk kimia dan pestisida pada pengusahaan kebun gambir di Kabupaten Limapuluh Kota belum efisien. Adi 2011 yang melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten Limapuluh Kota” menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menyertai didalam agroindustri gambir, yaitu: 1 permasalahan teknologi proses produksi, 2 mutu produk yang dihasilkan, 3 pasar komoditas gambir, 4 permodalan petani, 5 budidaya tanaman gambir, 6 sumberdaya manusia dan 8 kelembagaan petani gambir. Langkah awal dalam pengembangan agroindustri gambir adalah pendirian industri katekin dan tanin yang didukung perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir. Hasil analisis finansial menunjukkan pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap dan lima unit pengolahan gambir bergerak dengan kapasitas produksi 10,5 ton gambir asalan layak didirikan. Karena NPV untuk pabrik tetap sebesar 135,99 oz emas, BC Ratio 1,16 dan payback period 6,58 tahun, sedangkan penggunaan lima unit pengolahan gambir bergerak memiliki NPV sebesar 527,14 oz emas, BC Ratio 1,39 dan payback period 2,73 tahun. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Limapuluh Kota berada di bagian timur laut dari provinsi Sumatera Barat yang merupakan gerbang utama jalur darat dengan Provinsi Riau. Secara geografis, terletak pada 0 o 25’28,71” LU – 0 o 22’14,52” LS dan 100 o 50’44,10” BT - 100 o 50’47,80” BT dengan luas wilayah 3.354,30 Km 2 yang berarti 7,94 dari luas daratan Provinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km 2 . Secara administratif, Kabupaten Limapuluh Kota sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan sebelah tengah berbatasan dengan Kota Payakumbuh. Setelah dilakukan pemilihan lokasi penelitian pada tingkat kabupaten dan kecamatan, selanjutnya dilakukan penentuan lokasi penelitian pada tingkat kenagarian. Kenagarian atau nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah sendiri dan merupakan ciri khas pemerintahan daerah Sumatera Barat, yang setingkat dengan desa. Jumlah kenagarian di Kecamatan Kapua IX sebanyak 7 nagari dan Kecamatan Lareh Sago Halaban sebanyak 8 nagari. Pemilihan kenagarian ditentukan secara sengaja di dua kecamatan tersebut dan yang terpilih di Kecamatan Kapua IX adalah Kenagarian Koto Lamo, Durian Tinggi, Sialang, Galugua dan Lubuak Alai. Lalu kenagarian Halaban di Kecamatan Lareh Sago Halaban. Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari bulan Juni 2014 sampai Oktober 2014. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.

3.2 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data