Jika dikaitkan dengan karakteristik petani masing-masing, motivasi- motivasi pemanenan kayu rakyat akan berkelompok sesuai karakteristik tertentu
atau akan menyebar merata. Hal ini manjadi gambaran bagi tindakan pembinaan yang harus dilakukan dan sasaran yang dituju.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1.
mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat; 2.
mengetahui motivasi pemanenan kayu rakyat; dan 3.
menganalisis motivasi pemanenan kayu rakyat berdasarkan karakteristik petani hutan rakyat.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan bagi stakeholders hutan rakyat agar hutan rakyat tetap memiliki manfaat yang seimbang antara manfaat
ekonomi dan ekologi. Manfaat ekonomi hutan rakyat berupa keberlanjutan produksi kayu rakyat. Sedangkan manfaat ekologi berupa fungsi hutan rakyat bagi
lingkungan alam sekitar.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat
Suharjito 2000 menjelaskan bahwa hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau
tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
masyarakat lokal biasa disebut masyarakat hukum adat.
2.1.2 Karakteristik Hutan Rakyat
Karakteristik hutan rakyat menurut Ditjen RRL 2005 dalam Tinambunan 2008:
1. Lokasi hutan rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga atau adat,
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah negara yang terlantar.
2. Usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala kecil
sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah pemilikan lahan yang sempit di Pulau Jawa dan status lahan sering belum
jelas. 3.
Pelaksana pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat paling bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis, dan
manajemen minimal. 4.
Pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur homogen tetapi bersifat heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada
waktu bersamaan. 5.
Pelaksana pengelolaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan hutan.
6. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat belum berkembang ke taraf yang
mantap.
7. Dalam peraturan perundangan yang ada, seperti dalam uraian kegiatan
pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan.
8. Dimensi kayu yang dipanen biasanya kecil. Sebagai contoh di beberapa hutan
rakyat Jawa Barat terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm.
9. Pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, seperti
dikemukakan Simon 1995 dalam Tinambunan 2008, ada tiga pola, yaitu 1 penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik; 2 penanaman pohon
di teras bangku; dan 3 penanaman pohon di seluruh lahan milik.
2.1.3 Pengelolaan Hutan Rakyat
Menurut Windawati 2004, secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang
dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh masyarakat petani dapat diklasifikasikan pada dua pola
tanam, yaitu murni dan campuran. 1.
Hutan Rakyat Murni Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan
diusahakan secara homogen monokultur, seperti di Pulau Jawa untuk jenis sengon, jati, dan di Lampung untuk jenis damar mata kucing. Dari jenis
silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu
kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan
ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman. 2.
Hutan Rakyat Campuran a.
Hutan rakyat campuran polyculture dengan 2–5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan, seperti sengon, mahoni, dan surian,
yang dikombinasinya berbeda pada setiap daerah. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama
penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, hasil yang diperoleh berkesinambungan dan
tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik
dan terampil. b.
Hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestry atau wanatani, yaitu berbentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya
seperti perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional,
baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik
vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan sengon dan jati, sayur-sayuran petai
dan nangka, tanaman pangan singkong dan jagung, hijauan makanan ternak rumput gajah, tanaman obat-obatan kapolaga dan jahe, lebah
madu, dan lainnya. Kelebihan pola tanam ini yaitu mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit, dan angin. Secara ekonomis
dapat diperoleh keuntungan ganda yang berkesinambungan melalui panen harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Tenaga kerja yang terserap akan
lebih banyak dan berkelanjutan. Selanjutnya menurut Djuwadi 2002 dalam Wijiadi 2007, pola
penanaman hutan rakyat ialah sebagai berikut: 1.
Pola pagar, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang mengelilingi tanaman pertanian.
2. Pola selang-seling, yaitu pola penanaman tanaman kehutanan yang berselang-
seling dengan tanaman pertanian. Contohnya: tanaman pertanian satu larik, tanaman kehutanan pada larik berikutnya.
3. Pola alley cropping, atau pola terowongan, penanaman tanaman kehutanan
dan tanaman perkebuanan berkelompok pada larikan masing-masing. 4.
Pola acak, yaitu pola penanaman yang menyebar. 5.
Pola mozaik, yaitu pola penanaman tanaman pertanian dan tanaman kehutanan yang mengelompok masing-masing.
Umumnya pola penanaman dipengaruhi oleh ketersediaan lahan. Jika lahan berbukit-bukit, pola yang digunakan ialah mozaik atau acak. Sedangkan jika lahan
datar, pola yang digunakan ialah pola pagar, selang-seling, atau alley cropping. Menurut Djajapertjunda 2003 dalam Wardhana 2008, potensi hutan
rakyat yang sudah berkembang sekarang ini mencapai luasan 1.265.000 ha yang tersebar di 24 propinsi, dan diantaranya diperkirakan seluas 500.000 ha terdapat di
Jawa. Potensi tegakan tanaman kayu milik rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43.000.000 m
3
, yang terutama terdiri dari kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni, dan jenis tanaman buah-buahan.
Witantriasti 2010 mengemukakan bahwa pelaksanaan penebangan dilakukan oleh tengkulak, karena petani menjual kayunya dalam bentuk tegakan.
Hal ini membuat semua proses kegiatan termasuk biaya penebangan dan biaya angkut diserahkan kepada tengkulak.
Witantriasti 2010 juga menjelaskan lebih lanjut bahwa persepsi petani dalam pembangunan hutan rakyat merupakan penilaian hutan rakyat terhadap
kegiatan pembangunan hutan rakyat yang menyangkut penilaian terhadap lahan milik yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat. Semakin baik persepsi, maka
semakin baik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani.
2.1.4 Hasil Hutan Rakyat
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2004 dalam Mile 2007 menyebutkan ragam produk dan jasa yang mempunyai nilai
komersial untuk pengembangan hutan rakyat, antara lain: a hasil hutan berupa kayu pertukangan untuk bangunan, meubel, perkakas kerajinan; b kayu lapis,
pulp, dan kertas; c hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan dari tanaman serbaguna berupa buah-buahan, biji-bijian, bunga-bungaan, getah-getahan, rotan
bambu, gaharu, damar, minyak resin, lebah madu, dan sutera alam; d jasa lingkungan dari ekosistem hutan yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata
alam wisata petualangan, hutan pendidikan, dan hutan penelitian. Witantriasti 2010 mengungkapkan harga kayu rakyat menurut diameter
pada jenis sengon, mahoni, dan meranti di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor Tabel 1. Meranti dan mahoni merupakan jenis
yang memiliki nilai harga lebih mahal dibanding jenis kayu sengon. Hal ini menunjukkan bahwa meranti dan mahoni dianggap lebih berkualitas oleh pasar.
Tabel 1 Harga kayu rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
Jenis kayu Nama ilmiah
Diameter cm Harga Rpphn
Sengon Paraserianthes falcataria L.
Nielsen 20
110.000 20-29
200.000-270.000 30
300.000-340.000 Mahoni
Swietenia mahagoni L. Jacq. 20-29
500.000-1.000.000 30
1.000.000-1.500.000 Meranti
Shorea sp. 20-29
500.000-1.000.000 30
1.000.000-1.500.000 Sumber: Witantriasti 2010
Pendapatan petani hutan rakyat berasal dari bermacam sumber. Persentase kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani menurut
beberapa penelitian disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Kontribusi sumber pendapatan terhadap pendapatan total tahunan petani
hutan rakyat menurut berbagai sumber
Sumber Tahun Lokasi
Sumber pendapatan Kontribusi
Nugroho 2010
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten Pertanian
12,07 Buah
21,19 Kebun
9,75 Gula aren
23,71 Tenunan
9,48 Buruh
16,22 Kayu sengon
7,73 Sultika
2010 Desa Sidamulih,
Kecamatan Pamarican, dan Desa Bojong,
Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Hutan rakyat
33,02 Pegawai
22,26 Tani pangan
16,01 Wiraswasta
9,53 Dagang
6,13 Ternak
5,68 Buruh
3,22 Lainnya
4,15 Suwardi
2010 Desa Sukaresmi,
Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat Hutan rakyat
54,15 Sawah dan ternak
25,85 Non-pertanian
19,99 Witantriasti
2010 Desa Gunung Sari,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat Kayu rakyat
44,01 Hasil hutan bukan kayu
2,64 Sawah
4,69 Ternak
3,95 Buruh
20,78 Wiraswasta
23,94 Sumber: Nugroho 2010, Sultika 2010, Suwardi 2010, dan Witantriasti 2010
Tanaman berkayu bagi masyarakat yang menanam ialah sebuah tabungan. Karena dianggap sebagai tabungan maka pemanenannya pun terjadi ketika
memang terdapat kebutuhan. Istilah tebang butuh pun menjadi dikenal untuk menandai pemanenan pada hutan rakyat. Syahadat 2006 mengungkapkan bahwa
kayu rakyat adalah hasil hutan yang diperoleh dari lahan milik sendiri, maka pengolahan dan pemanfaatan hasil hutan sepenuhnya menjadi hak pemilik,
sedangkan fungsi pemerintah dalam hal ini hanya melakukan pembinaan untuk menjamin kelestarian hutan dan melindungi kelancaran peredaran hasil hutan
melalui penatausahaan hasil hutan.
2.2 Petani Hutan Rakyat 2.2.1 Karakteristik Petani Hutan Rakyat
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengelompokkan petani hutan rakyat berdasarkan karakteristik tertentu seperti terlihat pada Tabel 3. Diniyati et al.
2008 membedakan petani berdasarkan tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, besaran pendapatan, dan luas garapan. Karakteristik responden
petani hutan rakyat dalam penelitian Sultika 2010 berkelompok menurut usia, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan
luas hutan rakyat. Sedikit berbeda, penelitian Suwardi 2010 membedakan petani hutan rakyat berdasarkan umur, kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan
pendidikan. Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat menurut berbagai sumber
Sumber Tahun Lokasi penelitian
Karakteristik
Diniyati et al.
2008 Priangan Timur
usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, besaran pendapatan,
dan luas garapan Sultika
2010 Desa Sidamulih, Kecamatan
Pamarican, dan Desa Bojong, Kecamatan Langkaplancar,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. usia, pekerjaan pokok, pekerjaan
sampingan, pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan
Suwardi 2010
Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat umur, kepemilikan lahan, mata
pencaharian, dan pendidikan Wijiadi
2007 Desa Sambirejo, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, luas lahan
Witantriasti 2010
Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat usia, pendidikan, pengalaman usaha
tani Sumber: Diniyati et al. 2008, Sultika 2010, Suwardi 2010, Wijiadi 2007, dan Witantriasti
2010
Witantriasti 2010 mengelompokkan karakteristik petani hutan rakyat di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor menjadi kelompok
usia, pendidikan, dan pengalaman usaha tani. Pada karakteristik usia, dominansi terjadi pada kelompok usia 35
–49 tahun, yang menunjukkan regenerasi usaha tani di lokasi tersebut. Dalam karakteristik pendidikan, dominansi terjadi di tingkat
SD, yang menunjukkan keterbatasan sarana pendidikan di atas SD. Sedangkan dominansi yang terjadi di karakteristik pengalaman usaha tani ialah pada
kelompok petani yang telah berusaha tani selama 20 –30 tahun, yang menunjukkan
bahwa mereka telah menggantungkan hidupnya kepada usaha tani untuk mencukupi kebutuhannya.
Karakteristik petani menurut Wijiadi 2007 meliputi usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan, dan luas kepemilikan lahan. Karateristik usia
menunjukkan hubungan usia produktif manusia dengan kenyataan usia petani hutan rakyat. Karakteristik pendidikan menunjukkan ketersediaan sarana
pendidikan, tingkat perekonomian, dan kemampuan menerima inovasi. Karakteristik jumlah anggota keluarga menunjukkan jumlah tanggungan secara
ekonomi rumah tangga petani. Karakteristik pekerjaan menunjukan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sedangan karakteristik luas kepemilikan lahan menunjukkan
pemerataan luas kepemilikan lahan.
2.2.2 Motivasi Pemanenan Kayu Rakyat
Motivasi menurut Sudaryanto et al. 1987 dalam Witantriasti 2010 merupakan faktor dalam endogen yang tumbuh dalam diri manusia yang berupa
nilai-nilai yang mendorong untuk memanfaatkan kesempatan dan atau mengambil manfaat dari kondisi-kondisi yang menguntungkan. Secara singkat, motivasi dapat
dikatakan sebagai motif yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Minat dari dalam tersebut akan tercermin dalam perilaku yang sebenarnya merupakan
kumpulan fantasi dari berbagai aspek. Motivasi dalam diri manusia terdorong karena adanya keinginan untuk hidup, keinginan untuk memiliki sesuatu, dan
keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan motivasi pemanenan
kayu rakyat seperti terlihat pada Tabel 4. Hasil penelitian Suryandari dan Puspitojati 2003 mengemukakan bahwa keputusan pemanenan hutan rakyat
bukanlah berdasarkan pertimbangan ekonomi pohon, tetapi berdasarkan pertimbangan desakan ekonomi petani itu sendiri. Hal ini yang memunculkan
istilah daur butuh, yaitu keputusan menebang ditentukan oleh kebutuhan petani. Jangka waktu periode penebangan masih belum teratur karena waktu penebangan
dan jumlah pohon yang ditebang masih berdasarkan kebutuhan ekonomi yang mendadak seperti adanya hajatan pernikahan, khitanan, pendidikan, dan lain-lain.
Tabel 4 Motivasi pemanenan kayu rakyat menurut berbagai sumber
Sumber Tahun
Lokasi penelitian Karakteristik
Butar-Butar 2006
Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang,
Jawa Timur membayar utang, biaya
pendidikan, dan lain-lain Suryandari dan
Puspitojati 2003
Priangan Timur hajatan pernikahan, khitanan,
pendidikan, dan lain-lain Witantriasti
2010 Desa Gunung Sari, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
biaya sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun
membangun masjid Sumber: Butar-Butar 2006, Suryandari dan Puspitojati 2003, dan Witantriasti 2010
Penelitian Butar-Butar 2006 mengatakan bahwa petani akan memanen tanaman apabila mereka anggap sudah menguntungkan, walaupun belum masak
tebang, karena mereka berprinsip walaupun untungnya sedikit tetapi cepat hasil agar bisa menanam lagi. Desakan yang timbul seperti membayar utang, biaya
pendidikan, dan lain-lain. Hal itu didukung oleh penelitian Handoko 2007, bahwa kegiatan pemanenan yang dilakukan petani hutan rakyat berupa pemilihan
tegakan yang memiliki nilai jual yang dapat memenuhi kebutuhan yang jumlahnya cukup besar.
Penelitian Witantriasti 2010 menjelaskan bahwa kegiatan pemanenan di Desa Gunung Sari menerapkan sistem tebang pilih dengan kriteria umur yang
cukup, walaupun tidak jarang yang belum memenuhi kriteria. Motivasi pemanenan kayu rakyat disebabkan oleh kebutuhan mendesak, seperti biaya
sekolah, ongkos kesehatan, membangun rumah, maupun membangun masjid. Kebutuhan mendesak diartikan sebagai kebutuhan yang pemenuhannya
harus dilakukan dengan segera dalam jumlah yang besar. Pada saat yang sama, petani hutan rakyat tidak memiliki komoditas lain yang dapat digunakan untuk
menutupi kebutuhannya tersebut. Itulah sebabnya hutan rakyat dinilai sebagai tabungan, dimana hasilnya untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut
Marlina 2010.
III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Penelitian
Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai
bahan baku industri pengolahan kayu makin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah melalui pengembangan hutan rakyat
yang menghasilkan kayu rakyat Syahadat 2006. Hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan
ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Jenis tanaman kayu-kayuan pada hutan rakyat umumnya dijadikan investasi yang bersifat jangka
panjang. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia Suharjito 2000.
Hardjanto 2000 mengemukakan tentang kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan kurang penting dibanding komoditi lain oleh
sebagian besar petani. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian, dan sebagainya.
Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan.
Pengelolaan hutan rakyat terletak pada tingkat rumah tangga atau keluarga petani hutan rakyat. Pemegang keputusan berada di kepala rumah tangga atau
orang yang dituakan dalam rumah tangga. Kepala rumah tangga atau orang yang dituakan inilah yang kemudian dianggap sebagai petani hutan rakyat. Petani hutan
rakyat sebagai pemegang keputusan memiliki karakteristik yang beragam. Petani hutan rakyat yang umumnya menganggap hutan rakyat sebagai usaha
sampingan memiliki kebutuhan hidup masing-masing yang belum dapat tercukupi oleh pendapatan utama mereka atau bahkan kebutuhan yang bersifat mendesak
Witantriasti 2010. Kebutuhan mendesak diartikan sebagai kebutuhan yang pemenuhannya harus dilakukan dengan segera dalam jumlah yang besar Marlina
2010. Selain itu, Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, petani hutan rakyat menggunakan hasil kayu rakyat dari lahan hutan rakyat
miliknya. Hal itulah yang membuat petani memiliki motivasi untuk melakukan salah satu tindakan pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemanenan kayu rakyat.
Pola pemanenan kayu rakyat saat ini membuat petani tidak memperoleh manfaat secara ekonomi yang optimal. Hasil penjulan kayu saat dipanen sebelum
mencapai daur volume maksimum akan lebih sedikit. Peran tanaman bagi lingkungan juga menjadi tidak optimal.
Menurut Awang 2007, keragaman karakteristik petani hutan rakyat membuat keragaman pola pengelolaan hutan rakyat. Salah satu kegiatan
pengelolaan hutan rakyat ialah pemanenan kayu rakyat, dimana di dalamnya terdapat motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan tertentu. Secara langsung,
terdapat hubungan antara karakteristik petani hutan rakyat dan motivasi pemanenan kayu rakyat. Sejauh mana perbedaan karakteristik petani hutan rakyat
dapat mempengaruhi kemunculan motivasi pemanenan kayu rakyat, sehingga dapat menggambarkan perilaku pemanenan kayu rakyat.
Sebagai contoh, jika petani berusia antara 40 –44 tahun, motivasi pemanenan
kayu rakyat dominan yang muncul ialah untuk biaya pendidikan, karena mereka memiliki anak yang akan atau sedang bersekolah di lembaga pendidikan yang
membutuhkan biaya besar dan tidak tercukupi oleh pendapatan tetap mereka. Hal itu masih terkait dengan anggapan bahwa usaha hutan rakyat ialah usaha
sampingan atau tabungan. Dengan demikian, karakteristik petani hutan rakyat dapat menjelaskan kondisi yang memungkinkan petani hutan rakyat melakukan
pemanenan kayu rakyat miliknya. Pemanenan kayu rakyat oleh petani disebabkan motivasi yang beragam,
bergantung kebutuhan yang terjadi pada rumah tangga masing-masing. Hal ini yang menyebabkan adanya daur butuh, yaitu pemanenan yang lebih cepat
daripada daur optimalnya. Daur butuh tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan yang optimal.
Jika dikaitkan dengan karakteristik petani masing-masing, motivasi- motivasi pemanenan kayu rakyat akan berkelompok sesuai karakteristik tertentu
atau akan menyebar merata. Hal ini menjadi gambaran bagi tindakan pembinaan yang harus dilakukan dan sasaran yang dituju.
Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar
kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan
baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara.
Hal ini menjelaskan bahwa hutan rakyat tidak hanya memiliki manfaat ekonomi semata, tetapi juga manfaat sosial, dan manfaat ekologi.
Hutan rakyat secara ekologis memiliki manfaat seperti mencegah erosi, menjaga ketersediaan air, mempertahankan suhu agar tetap stabil, penyerap sinar
matahari yang mengganggu penglihatan, menjaga ketersediaan oksigen, pengurang karbon dioksida, dan habitat satwa. Pemanenan hutan rakyat
menyebabkan kerusakan lingkungan kecil, seperti beberapa mata air yang mengering, perubahan cuaca di lingkungan sekitarnya, dan hilangnya habitat
beberapa satwa. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan petani hutan rakyat sendiri yang tinggal di sekitar lahan hutan rakyatnya.
Kondisi petani yang kurang sejahtera membuat mereka akan meningkatkan frekuensi pemanenan, karena terkait status usaha hutan rakyat bagi mereka.
Sementara kelestarian alam akan terganggu, yang pada saatnya akan membahayakan lingkungan tempat tinggal petani hutan rakyat dan menyebabkan
potensi kayu rakyat berkurang. Pengendalian pemanenan hutan rakyat merupakan tindakan bijaksana dalam upaya menjaga manfaat hutan rakyat, yang salah
satunya ialah sebagai penghasil kayu rakyat. Selain itu, perlu ada pembinaan keberlanjutan usaha hutan rakyat berupa upaya mempertahankan motivasi
menanam dan meragamkan jenis tanaman yang ditanam oleh petani. Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. Bagan
berawal dari kayu sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu selain dari hutan alam. Upaya mempertahankan manfaat hutan rakyat akan
membuat keberlanjutan produksi kayu rakyat.
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian